Ahok
Ahmad Sahide
Gubernur
DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau yang dikenal luas dengan sebutan Ahok,
menjadi salah satu figur yang banyak disorot oleh pemberitaan media. Seolah
pemberitaan media tidak lengkap tanpa ada berita terkait Ahok. Terutama pada
tahun 2016 ini, satu tahun menjelang pemilihan gubernur ibu kota. Ahok selalu
menjadi incaran media, baik itu terkait dengan kebijakannya maupun segala
kontroversi yang menjadi bagian menarik dari sosoknya. Sosok Ahok hanya kalah
menarik dan populer dari Presiden Joko Widodo, orang nomor satu di republik
ini.
Oleh
karena itu, popularitas Ahok menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017
membuat para kandidat yang berniat menantangnya bermanuver dengan berbagai
macam cara dengan harapan dapat merusak citra dan popularitas gubernur
kontroversial tersebut. Bahkan para kandidat, termasuk Yuzril Ihza Mahendra,
beramai-ramai menyudutkan Ahok untuk menjegal langkahnya memimpin Jakarta
periode 2017-2022. Hal itu karena para pengamat dan awak media memprediksi
bahwa Ahok tidak mendapatkan banyak kesulitan untuk memertahankan posisinya,
jika melihat tingkat elektabilitasnya saat ini yang mendekati 50 persen
(Republika.co.id, 12 Maret 2016).
Daya
Tarik Ahok
Munculnya Ahok sebagai figur yang
sangat populer dan menjadi incaran media karena beberapa hal yang cukup menarik
dari sosoknya. Pertama, Ahok sejak awal kemunculannya dalam kancah politik ibu
kota telah banyak disorot karena latar belakangnya yang berbeda dari latar
belakang masyarakat ibu kota pada umumnya. Ahok adalah figur dari etnis
Tionghoa yang agamanya berbeda dari agama mayoritas (Islam). Maka dari itu,
dalam masa kampanye untuk pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012,
banyak figur dan kelompok masyarakat yang menyerang dari sisi keyakinannya. Salah
satu figur yang sempat menyerangnya dan diproses secara hukum adalah penyanyi
dangdut Rhoma Irama.
Pada saat itu Ahok maju sebagai
calon wakil gubernur mendampingi Jokowi. Duet harmonis ini hanya berlangsung
sampai akhir tahun 2014, pasalnya Jokowi maju sebagai calon presiden pada tahun
2014 dan berhasil memenangi kontestasi politik tersebut. Jokowi pun mundur
sebagai gubernur DKI Jakarta dan melantik mantan wakilnya itu sebagai Gubernur
ibu kota, menggantikan dirinya. Setelah dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta,
Ahok mendapatkan panggung politik yang semakin luas dan besar. Sosoknya pun
semakin menarik awak media. Penolakan dari kelompok tertentu pun semakin keras,
seperti Front Pembela Islam (FPI) yang sempat mendeklarasikan Gubernur DKI
Tandingan. Tapi sosok Ahok malah semakin populer dari Sabang sampai Merauke.
Kedua, Ahok muncul sebagai sosok
pemimpin dengan gaya bahasa yang berbeda. Ahok bukanlah pemimpin yang menjaga
citra dengan bahasa yang normatif sebagaimana pemimpin pada umumnya. Sebaliknya,
dari Ahok kita sering kali mendengar kata-kata seperti (maaf) ‘bajingan,
bangsat, kurang ajar’ dan lain sebagainya yang menjadi konsumsi pemberitaan.
Bahasa yang tidak terjaga itulah yang biasanya dijadikan celah oleh lawan-lawan
politiknya bahwa Ahok tidak pantas menjadi seorang pemimpin karena tidak mampu
menjaga lisannya. Bahasa Ahok banyak kita dengar dari anak-anak jalanan pada
umumnya.
Kedua faktor ini yang membuat
Ahok menjadi sosok yang menarik dan selalu ditunggu oleh awak media. Ia seperti
Jusuf Kalla ketika mendampingi Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada periode
2004-2009. Jusuf Kalla pada saat itu adalah tokoh yang selalu dinanti karena
sering kali memberikan pernyataan politik yang tidak disangka-sangka. Namun
kini, ada sosok yang lebih ‘nyentrik’ dari Jusuf Kalla, yaitu Basuki Tjahaya
Purnama alias Ahok. Di samping itu, Jusuf Kalla yang kini kembali menjadi wakil
presiden mendampingi Jokowi sudah cukup tua sehingga ia muncul sebagai sosok
yang lebih ‘calm’. Maka munculllah
Ahok sebagai sosok yang menarik dari media, bukan lagi Jusuf Kalla.
Kedewasaan
masyarakat
Tingginya
popularitas Ahok meskipun ia selalu diserang karena latar belakang keyakinan
dan bahasa politiknya menjadi catatan tersendiri bagi kita semua bahwa
masyarakat pada umumnya, terutama di ibu kota, sudah mulai dewasa. Kedewasaan
masyarakat karena kemampuannya melihat bahwa banyak pemimpin hari ini yang
menjadikan agama sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan, bukan sebagai pandangan
hidup dan sumber nilai-nilai dalam menjalankan roda kekuasaan.
Hal
itu terlihat bahwa banyak pemimpin-pemimpin partai politik berlabelkan Islam justru
terjerat kasus koruspsi dan bahkan beberapa terbukti ‘bermain’ perempuan.
Perilaku yang jauh menyimpang dari nilai-nilai agama itu sendiri. Kini
masyarakat ibu kota sadar bahwa agama Ahok memang bukan Islam (yang mayoritas)
tetapi kepemimpinan Ahok ‘lebih islami’ dibanding pemimpin yang berlatar
belakang Islam. Bahasa Ahok memang bahasa anak jalanan tetapi kinerjanya selama
memimpin ibu kota dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pada umumnya,
terutama dalam mengurangi banjir dan tingkat kemacetan. Masyarakat merasakan
keberpihakan Ahok kepada masyarakat kecil pada umumnya.
Itulah
sosok Ahok yang setiap hari menjadi pemberitaan media, baik lokal maupun
nasional. Kehadirannya memberikan banyak pelajaran penting dan kedewasaan dalam
dinamika politik Indonesia. Presiden Republik Indonesia keempat, Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), punya pernyataan yang sering dikutip, yaitu “Tidak penting
apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk
semua orang, orang tidak pernah Tanya apa agamamu.”
Dalam konteks politik ibu kota,
sepertinya rakyat sedang menyampaikan pesan kepada para pemimpin bahwa tidak
penting memandang status primordialmu, kalau kamu (pemimpin) bisa membawa
perubahan dan perbaikan dalam kehidupan kami, kami akan memilihmu tanpa melihat
agama atau suku selagi pilihan itu tidak menghalangi rakyat melaksanakan ritual
sesuai dengan agamanya masing-masing. Barangkali itulah pesan kuat yang
dikirimkan oleh rakyat ibu kota dengan tingginya tingkat popularitas Ahok
menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 nanti.
Yogyakarta, 24 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar