Senin, 15 Oktober 2012

Hukuman Bercinta

Hukuman Bercinta
Darwin
            Yes! Cerpenku dimuat lagi Bang,” teriak istriku tiba-tiba nongol dari dalam kamar mandi dengan tangan kanan terkepal, dan tangan kiri menggenggam sebuah HP Blackberry. Aku yang lagi asyik membaca sebuah artikel tentang dampak buruk televisi tulisan seorang penulis terkenal itu, kaget bukan main. Yang membuat aku kaget tidak saja karena suara istriku yang keras itu, tetapi tubuh istrikulah yang membuat aku terperanjat. 

            Istriku yang semampai itu hanya dibalut handuk putih ukuran kecil saja. Lekuk tubuh dan kulit putih melatinya terlihat jelas di depan mataku. Lekas teguran dengan suara pelan keluar dari mulutku, “Dek, gembira itu ada batasnya! Mentang-mentang cerpennya dimuat, eh, malah tubuh sendiri diabaikan.” 

            “He he. I-Iya Bang,” jawab istriku malu-malu sambil mutar badan masuk kamar mandi lagi.
            Istriku memang manusia aneh yang pernah aku temui di planet ini. Hampir setiap ke kamar mandi ia selalu membawa HP. Ketika kutanya, kenapa membawa HP ke kamar mandi, alasannya adalah dengar musik, fesbukan, dan takut ada telepon penting yang memanggil. Apalagi kalau telepon itu dari redaksi koran yang memberitahu bahwa cerpennya akan dimuat.

            Hal aneh lainnya adalah kebiasaannya tidur larut malam. Nah, untuk yang satu ini bisalah aku maklumi, karena sama seperti diriku, ia juga seorang cerpenis. Pekerjaan menulis menurutku memang membutuhkan malam hari. Malam hari memberikan ketenangan, sekaligus memberikan kesempatan bagi aku dan istriku menikmati suasana rumah yang tidak kita dapatkan di siang hari itu. Tentu saja alasan klise manusia modernlah penyebabnya: sibuk atau sok sibuk. Selain menulis cerpen yang kuanggap sebagai pekerjaan utamaku, aku juga menjadi editor di sebuah penerbitan yang gajinya tidak seberapa itu.

            Sedangkan istriku, si manusia aneh itu bekerja di sebuah LSM bidang hukum. Profesinya ini membuatnya pulang malam saban harinya. Meskipun begitu, sempat saja baginya menulis cerpen menjelang tidur, atau lebih tepatnya malah gak pernah tidur. Karena setiap aku terbangun, ia tetap asyik duduk menulis dengan laptop yang ditaruh di atas pahanya di atas kasur di sampingku.

            “Bang!” panggil istriku yang sedang berbaring di atas tempat tidur suatu malam. Aku yang sedang menyelesaikan cerpenku yang akan aku kirim besok harinya itu langsung menoleh pada istriku. “Ada apa Dek?” tanyaku. Pencet memencet tuts laptop terpaksa aku berhentikan dulu demi panggilan agak sedikit mesra dari istriku.

            “Hmm. Gimanaaa kalau kita bikin semacam kompetisi cerpen Bang!” Kuperhatikan ada novel My Name is Red-nya Orhan Pamuk di tangan istriku. Ternyata yang diutarakan istriku jauh dari nuansa romantis, persepsiku salah 180 derajat.

            “Hah, kompetisi cerpen!” aku setengah tidak setuju mendengar permintaan istriku yang cantik itu.
            “Eh, jangan cepat-cepat tidak setuju dulu Yang, sebelum Adek menjelaskan detail permasalahannya.” Istriku menaruh buku di sampingnya untuk kemudian dengan mimik muka serius menjelaskan maksud yang sebenarnya.

            “Kita berdua sudah mulai dikenal nih Bang sama orang-orang sebagai cerpenis. Nah, kalau Adek enggak puas hanya sampai di sini Bang. Mungkin Abang udah puas ya?”
            “Siapa yang puas Dek? Mau setenar Ayu Utami atau Hamsad Rangkuti pun, Abang tak kan pernah puas Sayaaaang,” jawabku agak mesra dikit.
            “Makanya Bang, untuk menuju kepuasan itu, kita bikin kompetisi.”
            Aku yang duduk di atas kursi dari tadi langsung menghampiri istriku, lalu menggelitiknya. Istriku tertawa-tawa sambil memohon untuk dihentikan.
            “Dek, jangan becanda dong! Katanya tadi jangan cepat-cepat tidak setuju. Eh, sekarang malah kembali lagi ke kompetisi cerpen,” permintaan dariku sambil berbaring di tempat tidur samping istriku.

            “Kompetisi di sini maksudnya antara Abang dan Adek yang sangat cantik ini,” istriku memberi penjelasan. Penjelasan yang masih menggantung bagiku itu.

            Istriku langsung berbaring sambil menghadap ke arahku, lalu kembali menjelaskan. Aku sudah tidak sabaran, karena bagiku istriku ini menyita waktu menulisku dari tadi. Tetapi, demi istri yang tidak mau kalah denganku ini, aku merelakan sedikit waktuku untuknya.  

            “Bagaimana kalau ke depannya kita bikin taruhan Bang! Siapa yang dimuat duluan cerpennya, maka dia akan mendapatkan pelayanan ekstra selama satu hari. Mulai dari pelayanan makan, hingga yang paling ekstrem.”
            “Pelayanan ekstrem itu apa dulu?” tanyaku penasaran.
            “Bercinta sampai pagi,” jawab istriku cepat.
            “He he. Memang betul sebutan untuk Adek selama ini, ya! Manusia aneh.”
            Sejenak aku berpikir, kemudian meneruskan, “Asyik juga ya!”
            “Ya iya dong!” istriku melanjutkan, “gimana, sepakat enggak?”
            “Sepakat! Sepakat! Tapi kalau cerpen Adek yang dimuat duluan, Abang harus masak dan  menyediakan makanan juga ya?”
            “Ya, iyalah. Pokoknya satu hari penuh pemenangnya dilayani dari subuh sampai subuh lagi.”
            “Ya udah, sepakat. Kita harus milih hari Minggu dong!”
            “Jelas!” tukas istriku.
***
            Setelah kesepakatan dengan manusia aneh itu, hatiku jadi berdebar-debar menantikan cerpen siapa dulu yang dimuat, cerpenku atau cerpen istriku? Aku bisa menerima hukuman bercinta yang diajukannya, tetapi agak sulit bagiku menerima hukuman memasak makanan, menghidangkannya, kemudian membereskannya. Menurutku pekerjaan ini agak berat dilakukan oleh seorang laki-laki semacamku. Racikanku selama ini kalah jauh dibanding istriku. Istriku itu memang jagonya mengolah bumbu. Bahkan, sambil berpejam pun mungkin istriku akan menghasilkan masakan dengan citarasa tinggi.

Aku dan istriku tidak sabar menanti. Setiap hari Minggu kolom sastra surat kabar langganan kami menjadi rubrik pertama yang kami intip isinya. Terkadang aku dan istriku rebutan untuk melihat terlebih dahulu. Selalu saja aku yang menang, karena istriku ada kelemahannya. Ketika ia memegang koran, langsung saja aku menggelitiknya hingga korannya terlepas dari tangannya. Saat itulah aku dengan leluasa membalik lembaran koran sampai cerpen minggu aku temui. Terkadang aku mengerjai istriku, aku katakan padanya bahwa cerpenkulah yang dimuat. Padahal, cerpen sastrawan terkenal yang, hampir setiap dua bulan sekali pasti nampang itu yang dimuat.

“Sudah enam bulan Bang, kok cerpen kita enggak dimuat-muat ya!” ucap istriku pada suatu malam menjelang tidur.

Aku yang lagi membaca cerpennya Leo Tolstoy langsung menjawab, “Iya ya Dek. Sabarlah. Penulis cerpen terkenal aja ada yang cerpennya dimuat setelah  enam bulanan. Kita ‘kan belum seperti mereka. Tunggu aja satu atau dua bulan lagi Adekku sayang!”

“Adek enggak sabar Bang, pengen melihat Abang memasak. He he.”
“Adek ini ada-ada aja. Kita lihat saja nanti! Cerpennya siapa yang dimuat duluan. Abang optimis cerpennya Abang yang dimuat duluan.”
“Adek juga optimis, cerpennya Adek yang dimuat duluan. Karena cerpennya Adek penuh dengan kejutan disertai dengan bahasa yang memikat.”
“Enggak ada jaminan bahasa yang memikat itu akan dimuat Dek!” kataku memberi penekanan.
“Ya udah Bang, tidur yuk!” ajak istriku.
Ntar lagi, nyelesaiin Tolstoy dulu. Tidur aja duluan. Besok bangunkan Abang ya, mau pagi-pagi ke kantor!”
“Siap Bos!” kata istriku untuk kemudian terlelap. Aku memperhatikan wajah istriku dalam lelapnya itu, wajah yang tetap cantik meski ia jarang ke salon seperti istri-istri teman satu kantorku itu. Kesibukannya sehari-hari membuatnya tidak mempedulikan urusan merawat tubuh.
***
Penantian nan panjang disertai ujian kesabaran yang kata istriku lebih berat dari ujian yang ditimpakan kepada Ayub itu akhirnya menemukan ujungnya. Setelah delapan bulan lebih tujuh hari, cerpenku dimuat juga. Untuk kali ini istriku harus lapang dada dan siap-siap menjalankan hukuman bercinta dan segala hukuman yang menjadi ide gilanya itu.

“Oke! Oke! Harus Adek akui kali ini suamiku yang tiada duanya inilah yang memenangkan taruhan. Jiwa sastra Abang menampakkan kualitasnya kali ini. Adek mengaku kalah dah. Dan mulai saat ini Abang sudah selevel dengan cerpenis nasional lainnya,” puji istriku. “Hadiah pertama buat suamiku adalah ciuman membabibuta. He he,” sambungnya.

Mendaratlah ciuman dari istriku di wajahku secara tiba-tiba. Inilah istriku, sungguh manusia aneh yang dilahirkan di bumi ini!
“Abang tetap aja Dek belum pantas disandingkan dengan cerpenis nasional lainnya. Dan Abang juga yakin kualitas cerpennya Adek tidak kalah dengan Abang. Karena Abang lihat cerpennya Adek kekuatannya terletak pada diksi nan memikat. Sementara cerpennya Abang lebih ke detail peristiwa. Masing-masing kita punya kelebihan Dek. Abang yakin sebentar lagi cerpennya Adek akan nongol juga,” aku sok rendah hati di depan istriku.

“Abang sangat rendah hati, tumben! Ya udah Bang hukuman siap dilaksanakan!” istriku berteriak dengan suara melengking enggak jauh dari rumpun telingaku.
Hukuman 24 jam itu ditunaikan juga. Mulai pagi itu istriku sudah siap memasak beragam masakan terenak yang menjadi keahliannya itu. Tidak hanya memasak, bersih-bersih rumah juga dilakukannya. Sama denganku, seharian itu pembantu kami juga ikut berleha-leha karena pelayanan ekstra dari istriku. 

Malamnya keindahan mengitari kamar tidur kami. Kamar berwarna pink yang di beberapa sudutnya ditaruh buku koleksi kami berdua itu menyemerbak bau harum. Sudah pasti ini adalah kerjaan istriku. 

Bak pengantin baru, kami menghabiskan malam dengan kecupan, juga sentuhan. Akibatnya, pagi harinya kami jadi telat bangun. Padahal, pekerjaan kantor menunggu. Persoalan kantor, istriku lebih beruntung daripadaku. Ia menempati posisi puncak di kantornya, sehingga ia bisa seenaknya saja masuk kantor. Sementara aku hanyalah seorang editor. Apalah kekuatan seorang editor, mematuhi pimpinan wajib disetor.

Tepat pukul 7.30 aku terbangun dengan sang istri masih dalam pelukan. Bergegas aku bangkit dan mandi, untuk kemudian berangkat ke kantor tanpa secuil sarapan. Biarkan saja istriku menikmati indahnya hari yang selama ini sulit didapatkan karena kesibukan.

Benar saja dugaanku. Sebulan setelah cerpenku dimuat, yang ditunggu-tunggu istriku pun datang jua. Kali ini aku yang harus siap-siap menjalankan hukuman 24 jam non-stop itu. Semuanya dengan ikhlas aku jalani. Bagaimanapun juga, ide manusia aneh ini tetap ada nilai positifnya. Aku dan istriku semakin menjadi produktif. Cerpenku dan istriku semakin sering menghiasi lembaran sastra hari Minggu. Jika dahulu berjarak enam sampai tujuh bulanan baru dimuat, sekarang hanya menunggu 4 bulan saja. Malam-malam kami berdua pun selain dihabiskan untuk bercinta, juga dihabiskan untuk menatap layar laptop dengan jari yang tidak bisa lepas dari tuts.
 
Aku selalu lebih dahulu selesai menulis daripada istriku. Saat menanti waktu tidur, selalu aku manfaatkan untuk menikmati jemari lentik istriku menari di tuts laptop berwarna pink kesayangannya itu. Sekali-sekali aku mencoba untuk menggodanya, namun istriku tetap saja fokus dengan tulisannya. Istri yang luar biasa!
***
Hari Minggu adalah hari yang indah menurutku. Saat-saat menunggu koran dilempar oleh pengantar koran, kemudian membuka lembaran sastranya, menurutku lebih indah dari kelopak mawar di depan rumahku yang selalu kupandangi saban pagi itu. Hari Minggu juga menjadi indah bagiku karena hari Minggu adalah hari yang membebaskanku dari ritual manusia modern, tentu saja ritual harianku sebagai seorang editor.

Aku terbangun tepat pukul enam lebih lima menit. Terdengar istriku seperti mengobrol di dalam kamar mandi. Aku yakin dia mau mandi, tetapi ada telepon penting yang tidak bisa dilewatkannya. Betul-betul manusia aneh! Iseng-iseng aku mendekat ke pintu kamar mandi, kemudian dengan sangat hati-hati aku menempelkan daun telingaku ke pintu kamar mandi. Aku mendengar istriku berbicara di telepon, “Mas, aku takut suatu saat ketahuan bahwa cerpenku itu adalah hasil kerjanya Mas.”

Aku berpikir sejenak dan hatiku pun menduga-duga, “Hmm. Makelar cerpen!” ***
*Cerpen ini terinspirasi oleh sebuah film yang diceritakan oleh seorang teman kepada penulis
Yogyakarta, 14-15 September 2012
1.10 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar