Hukuman Bercinta
Darwin
“Yes!
Cerpenku dimuat lagi Bang,” teriak istriku tiba-tiba nongol dari dalam kamar
mandi dengan tangan kanan terkepal, dan tangan kiri menggenggam sebuah HP
Blackberry. Aku yang lagi asyik membaca sebuah artikel tentang dampak buruk televisi
tulisan seorang penulis terkenal itu, kaget bukan main. Yang membuat aku kaget
tidak saja karena suara istriku yang keras itu, tetapi tubuh istrikulah yang
membuat aku terperanjat.
Istriku yang semampai itu hanya dibalut
handuk putih ukuran kecil saja. Lekuk tubuh dan kulit putih melatinya terlihat
jelas di depan mataku. Lekas teguran dengan suara pelan keluar dari mulutku,
“Dek, gembira itu ada batasnya! Mentang-mentang cerpennya dimuat, eh, malah
tubuh sendiri diabaikan.”
“He he. I-Iya Bang,” jawab istriku malu-malu
sambil mutar badan masuk kamar mandi
lagi.
Istriku memang manusia aneh yang
pernah aku temui di planet ini. Hampir setiap ke kamar mandi ia selalu membawa
HP. Ketika kutanya, kenapa membawa HP ke kamar mandi, alasannya adalah dengar musik, fesbukan, dan takut ada telepon penting yang memanggil. Apalagi
kalau telepon itu dari redaksi koran yang memberitahu bahwa cerpennya akan dimuat.
Hal aneh lainnya adalah kebiasaannya
tidur larut malam. Nah, untuk yang satu ini bisalah aku maklumi, karena sama
seperti diriku, ia juga seorang cerpenis. Pekerjaan menulis menurutku memang
membutuhkan malam hari. Malam hari memberikan ketenangan, sekaligus memberikan
kesempatan bagi aku dan istriku menikmati suasana rumah yang tidak kita
dapatkan di siang hari itu. Tentu saja alasan klise manusia modernlah
penyebabnya: sibuk atau sok sibuk. Selain menulis cerpen yang kuanggap sebagai
pekerjaan utamaku, aku juga menjadi editor di sebuah penerbitan yang gajinya
tidak seberapa itu.
Sedangkan istriku, si manusia aneh
itu bekerja di sebuah LSM bidang hukum. Profesinya ini membuatnya pulang malam
saban harinya. Meskipun begitu, sempat saja baginya menulis cerpen menjelang
tidur, atau lebih tepatnya malah gak
pernah tidur. Karena setiap aku terbangun, ia tetap asyik duduk menulis dengan
laptop yang ditaruh di atas pahanya di atas kasur di sampingku.
“Bang!”
panggil istriku yang sedang berbaring di atas tempat tidur suatu malam. Aku
yang sedang menyelesaikan cerpenku yang akan aku kirim besok harinya itu langsung
menoleh pada istriku. “Ada apa Dek?” tanyaku. Pencet memencet tuts laptop terpaksa aku berhentikan
dulu demi panggilan agak sedikit mesra dari istriku.
“Hmm. Gimanaaa kalau kita bikin
semacam kompetisi cerpen Bang!” Kuperhatikan ada novel My Name is Red-nya Orhan Pamuk di tangan istriku. Ternyata yang
diutarakan istriku jauh dari nuansa romantis, persepsiku salah 180 derajat.
“Hah, kompetisi cerpen!” aku
setengah tidak setuju mendengar permintaan istriku yang cantik itu.
“Eh, jangan cepat-cepat tidak setuju
dulu Yang, sebelum Adek menjelaskan detail permasalahannya.” Istriku menaruh
buku di sampingnya untuk kemudian dengan mimik muka serius menjelaskan maksud
yang sebenarnya.
“Kita berdua sudah mulai dikenal nih
Bang sama orang-orang sebagai cerpenis. Nah, kalau Adek enggak puas hanya
sampai di sini Bang. Mungkin Abang udah
puas ya?”
“Siapa yang puas Dek? Mau setenar
Ayu Utami atau Hamsad Rangkuti pun, Abang tak kan pernah puas Sayaaaang,”
jawabku agak mesra dikit.
“Makanya Bang, untuk menuju kepuasan
itu, kita bikin kompetisi.”
Aku yang duduk di atas kursi dari
tadi langsung menghampiri istriku, lalu menggelitiknya. Istriku tertawa-tawa
sambil memohon untuk dihentikan.
“Dek, jangan becanda dong! Katanya
tadi jangan cepat-cepat tidak setuju. Eh, sekarang malah kembali lagi ke
kompetisi cerpen,” permintaan dariku sambil berbaring di tempat tidur samping
istriku.
“Kompetisi di sini maksudnya antara
Abang dan Adek yang sangat cantik ini,” istriku memberi penjelasan. Penjelasan
yang masih menggantung bagiku itu.
Istriku langsung berbaring sambil
menghadap ke arahku, lalu kembali menjelaskan. Aku sudah tidak sabaran, karena
bagiku istriku ini menyita waktu menulisku dari tadi. Tetapi, demi istri yang
tidak mau kalah denganku ini, aku merelakan sedikit waktuku untuknya.
“Bagaimana kalau ke depannya kita
bikin taruhan Bang! Siapa yang dimuat duluan cerpennya, maka dia akan
mendapatkan pelayanan ekstra selama satu hari. Mulai dari pelayanan makan,
hingga yang paling ekstrem.”
“Pelayanan ekstrem itu apa dulu?”
tanyaku penasaran.
“Bercinta sampai pagi,” jawab
istriku cepat.
“He he. Memang betul sebutan untuk
Adek selama ini, ya! Manusia aneh.”
Sejenak aku berpikir, kemudian
meneruskan, “Asyik juga ya!”
“Ya iya dong!” istriku melanjutkan,
“gimana, sepakat enggak?”
“Sepakat! Sepakat! Tapi kalau cerpen
Adek yang dimuat duluan, Abang harus masak dan menyediakan makanan juga ya?”
“Ya, iyalah. Pokoknya satu hari
penuh pemenangnya dilayani dari subuh sampai subuh lagi.”
“Ya udah, sepakat. Kita harus milih hari Minggu dong!”
“Jelas!” tukas istriku.
***
Setelah kesepakatan dengan manusia
aneh itu, hatiku jadi berdebar-debar menantikan cerpen siapa dulu yang dimuat,
cerpenku atau cerpen istriku? Aku bisa menerima hukuman bercinta yang
diajukannya, tetapi agak sulit bagiku menerima hukuman memasak makanan,
menghidangkannya, kemudian membereskannya. Menurutku pekerjaan ini agak berat
dilakukan oleh seorang laki-laki semacamku. Racikanku selama ini kalah jauh
dibanding istriku. Istriku itu memang jagonya mengolah bumbu. Bahkan, sambil
berpejam pun mungkin istriku akan menghasilkan masakan dengan citarasa tinggi.
Aku
dan istriku tidak sabar menanti. Setiap hari Minggu kolom sastra surat kabar
langganan kami menjadi rubrik pertama yang kami intip isinya. Terkadang aku dan
istriku rebutan untuk melihat terlebih
dahulu. Selalu saja aku yang menang, karena istriku ada kelemahannya. Ketika ia
memegang koran, langsung saja aku menggelitiknya hingga korannya terlepas dari
tangannya. Saat itulah aku dengan leluasa membalik lembaran koran sampai cerpen minggu aku temui. Terkadang aku
mengerjai istriku, aku katakan padanya bahwa cerpenkulah yang dimuat. Padahal,
cerpen sastrawan terkenal yang, hampir setiap dua bulan sekali pasti nampang
itu yang dimuat.
“Sudah
enam bulan Bang, kok cerpen kita enggak dimuat-muat ya!” ucap istriku pada
suatu malam menjelang tidur.
Aku
yang lagi membaca cerpennya Leo Tolstoy langsung menjawab, “Iya ya Dek.
Sabarlah. Penulis cerpen terkenal aja
ada yang cerpennya dimuat setelah enam
bulanan. Kita ‘kan belum seperti mereka. Tunggu aja satu atau dua bulan lagi Adekku sayang!”
“Adek
enggak sabar Bang, pengen melihat Abang memasak. He he.”
“Adek
ini ada-ada aja. Kita lihat saja
nanti! Cerpennya siapa yang dimuat duluan. Abang optimis cerpennya Abang yang
dimuat duluan.”
“Adek
juga optimis, cerpennya Adek yang dimuat duluan. Karena cerpennya Adek penuh
dengan kejutan disertai dengan bahasa yang memikat.”
“Enggak
ada jaminan bahasa yang memikat itu akan dimuat Dek!” kataku memberi penekanan.
“Ya
udah Bang, tidur yuk!” ajak istriku.
“Ntar lagi, nyelesaiin Tolstoy dulu. Tidur aja
duluan. Besok bangunkan Abang ya, mau pagi-pagi ke kantor!”
“Siap
Bos!” kata istriku untuk kemudian terlelap. Aku memperhatikan wajah istriku
dalam lelapnya itu, wajah yang tetap cantik meski ia jarang ke salon seperti
istri-istri teman satu kantorku itu. Kesibukannya sehari-hari membuatnya tidak
mempedulikan urusan merawat tubuh.
***
Penantian
nan panjang disertai ujian kesabaran yang kata istriku lebih berat dari ujian
yang ditimpakan kepada Ayub itu akhirnya menemukan ujungnya. Setelah delapan
bulan lebih tujuh hari, cerpenku dimuat juga. Untuk kali ini istriku harus
lapang dada dan siap-siap menjalankan hukuman bercinta dan segala hukuman yang menjadi
ide gilanya itu.
“Oke!
Oke! Harus Adek akui kali ini suamiku yang tiada duanya inilah yang memenangkan
taruhan. Jiwa sastra Abang menampakkan kualitasnya kali ini. Adek mengaku kalah
dah. Dan mulai saat ini Abang sudah
selevel dengan cerpenis nasional lainnya,” puji istriku. “Hadiah pertama buat
suamiku adalah ciuman membabibuta. He he,” sambungnya.
Mendaratlah
ciuman dari istriku di wajahku secara tiba-tiba. Inilah istriku, sungguh manusia
aneh yang dilahirkan di bumi ini!
“Abang
tetap aja Dek belum pantas
disandingkan dengan cerpenis nasional lainnya. Dan Abang juga yakin kualitas
cerpennya Adek tidak kalah dengan Abang. Karena Abang lihat cerpennya Adek
kekuatannya terletak pada diksi nan memikat. Sementara cerpennya Abang lebih ke
detail peristiwa. Masing-masing kita punya kelebihan Dek. Abang yakin sebentar
lagi cerpennya Adek akan nongol juga,” aku sok rendah hati di depan istriku.
“Abang
sangat rendah hati, tumben! Ya udah Bang hukuman siap dilaksanakan!”
istriku berteriak dengan suara melengking enggak jauh dari rumpun telingaku.
Hukuman
24 jam itu ditunaikan juga. Mulai pagi itu istriku sudah siap memasak beragam
masakan terenak yang menjadi keahliannya itu. Tidak hanya memasak,
bersih-bersih rumah juga dilakukannya. Sama denganku, seharian itu pembantu
kami juga ikut berleha-leha karena pelayanan ekstra dari istriku.
Malamnya
keindahan mengitari kamar tidur kami. Kamar berwarna pink yang di beberapa
sudutnya ditaruh buku koleksi kami berdua itu menyemerbak bau harum. Sudah
pasti ini adalah kerjaan istriku.
Bak
pengantin baru, kami menghabiskan malam dengan kecupan, juga sentuhan.
Akibatnya, pagi harinya kami jadi telat bangun. Padahal, pekerjaan kantor
menunggu. Persoalan kantor, istriku lebih beruntung daripadaku. Ia menempati
posisi puncak di kantornya, sehingga ia bisa seenaknya saja masuk kantor.
Sementara aku hanyalah seorang editor. Apalah kekuatan seorang editor, mematuhi
pimpinan wajib disetor.
Tepat
pukul 7.30 aku terbangun dengan sang istri masih dalam pelukan. Bergegas aku
bangkit dan mandi, untuk kemudian berangkat ke kantor tanpa secuil sarapan.
Biarkan saja istriku menikmati indahnya hari yang selama ini sulit didapatkan
karena kesibukan.
Benar
saja dugaanku. Sebulan setelah cerpenku dimuat, yang ditunggu-tunggu istriku
pun datang jua. Kali ini aku yang harus siap-siap menjalankan hukuman 24 jam
non-stop itu. Semuanya dengan ikhlas aku jalani. Bagaimanapun juga, ide manusia
aneh ini tetap ada nilai positifnya. Aku dan istriku semakin menjadi produktif.
Cerpenku dan istriku semakin sering menghiasi lembaran sastra hari Minggu. Jika
dahulu berjarak enam sampai tujuh bulanan baru dimuat, sekarang hanya menunggu
4 bulan saja. Malam-malam kami berdua pun selain dihabiskan untuk bercinta,
juga dihabiskan untuk menatap layar laptop dengan jari yang tidak bisa lepas dari
tuts.
Aku
selalu lebih dahulu selesai menulis daripada istriku. Saat menanti waktu tidur,
selalu aku manfaatkan untuk menikmati jemari lentik istriku menari di tuts laptop berwarna pink kesayangannya
itu. Sekali-sekali aku mencoba untuk menggodanya, namun istriku tetap saja
fokus dengan tulisannya. Istri yang luar biasa!
***
Hari
Minggu adalah hari yang indah menurutku. Saat-saat menunggu koran dilempar oleh
pengantar koran, kemudian membuka lembaran sastranya, menurutku lebih indah
dari kelopak mawar di depan rumahku yang selalu kupandangi saban pagi itu. Hari
Minggu juga menjadi indah bagiku karena hari Minggu adalah hari yang
membebaskanku dari ritual manusia modern, tentu saja ritual harianku sebagai seorang
editor.
Aku
terbangun tepat pukul enam lebih lima menit. Terdengar istriku seperti
mengobrol di dalam kamar mandi. Aku yakin dia mau mandi, tetapi ada telepon
penting yang tidak bisa dilewatkannya. Betul-betul manusia aneh! Iseng-iseng
aku mendekat ke pintu kamar mandi, kemudian dengan sangat hati-hati aku
menempelkan daun telingaku ke pintu kamar mandi. Aku mendengar istriku
berbicara di telepon, “Mas, aku takut suatu saat ketahuan bahwa cerpenku itu
adalah hasil kerjanya Mas.”
Aku berpikir sejenak dan hatiku pun menduga-duga, “Hmm. Makelar cerpen!” ***
*Cerpen ini
terinspirasi oleh sebuah film yang diceritakan oleh seorang teman kepada
penulis
Yogyakarta, 14-15 September 2012
1.10 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar