Minggu, 07 Februari 2016

Arus Balik Politik



Arus Balik Politik
Ahmad Sahide

            Ketika Megawati Soekarno Putri resmi memberikan mandat kepada Joko Widodo (Jokowi), untuk menjadi calon presiden, pada tanggal 14 Maret 2014, yang ditulis tangan langsung olehnya, Ketua Umum PDI P itu pun mendapatkan sambutan hangat dari publik dan para pemerhati politik.
Surat mandat yang membuka jalan bagi Jokowi untuk memimpin negeri ini kian terbuka lebar dan itu juga, di mata publik, menunjukkan kebesaran jiwa dan kematangan berpolitik Megawati Soekarno Putri. Megawati pun disanjung luas sebagai negarawati sejati.  Hasilnya, Jokowi-Jusuf Kalla (JK), yang diusung PDI P dan koalisinya, memenangi pemilihan presiden dan wakil presiden 9 Juli 2014 lalu, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang diusung oleh Koalisi Merah Putih (KMP).
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya diikuti oleh dua pasang calon itu membuat atmosfer politik, menjelang dan sesudah 9 Juli 2014, sangat panas dan keras. Black campaigne (kampanye negatif) oleh kedua pasang calon untuk merebut suara publik tidak terhindarkan. Dan pasangan Jokowi-JK lebih banyak mendapatkan serangan politik (negatif) daripada pasangan Prabowo-Hatta. Serangan politik yang tidak dapat diterima oleh nalar sehat, dengan penguasaan media, oleh pasangan Prabowo-Hatta itulah yang membuat pasangan ini mempunyai citra negatif di masyarakat. Jokowi dituduh dengan berbagai macam isu yang justru itu menghadirkan simpati publik meluas padanya, seperti dengan tuduhan bahwa Jokowi adalah keturunan Tionghoa dan lain sebagainya.

Setelah 9 Juli 2014
            Setelah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014, masing-masing kedua pasang calon mendeklarasikan kemenangannya, berdasarkan hasil Quick Count (hitung cepat) dari lembaga survei yang berbeda. Hari itu juga, Prabowo memberikan pidato kemenangan yang disiarkan beberapa stasiun televisi, seperti MNC TV Group, TVONE, dan lain-lain. Di tempat yang terpisah, Megawati Soekarno Putri, sebagai Ketua Umum PDI P yang mengusung Jokowi-JK, juga memberikan pidato kemenangan. Juga disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi yang secara tidak langsung berada di belakangnya.
            Pertarungan politik yang keras itulah yang membuat rakyat terbelah menjelang dan sesudah 9 Juli. Namun sebagian besar rakyat Indonesia memercayai bahwa pasangan Jokowi-JK yang memenangi daur ulang demokrasi 2014, kemenangan yang tidak diakui oleh pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sikap politik Prabowo-Hatta dan KMP itulah yang membuat citranya di mata publik semakin negatif. Sebaliknya, Jokowi-JK dan partai pengusungnya, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), semakin kuat mendapatkan pembelaan dari rakyat.
            Citra politik Prabowo-Hatta beserta KMP semakin buruk ketika tidak menerima hasil resmi pemilihan presiden dan wakil presiden yang disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 Juli 2014 di mana pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memeroleh suara 46,85%, sedangkan pasangan Jokowi-JK memeroleh 53,15%. Pasangan Prabowo-Hatta kemudian menggugat hasil pemilihan umum melalui Mahkamah Konstitusi (MK) tetapi akhirnya tetap kalah. Langkah politik ini dibaca oleh publik bahwa ini semata ketidakrelaan Prabowo-Hatta menerima hasil pemilihan umum yang menjadikannya sebagai pasangan yang kalah. Prabowo, terutama, dianggap tidak berbesar hati menerima hasil dari daur ulang demokrasi lima tahunan itu.
Prabowo-Hatta berserta KMP pun kemudian membalas kekalahannya pada 9 Juli 2014 dengan menguasai Parlemen. PDI P, sebagai pemenang pemilihan legislatif beserta partai koalisinya (KIH) disingkirkan di Parlemen. Pimpinan MPR dan DPR serta alat kelengkapannya  dikuasai sepenuhnya oleh KMP. Hal inilah yang kemudian memunculkan DPR tandingan dari KIH sebelum akhirnya tercapai kompromi politik oleh kedua kubu di Senayan. Namun demikian, kisruh politik ini semakin memperburuk citra Prabowo-Hatta dan KMP di mata publik. Sebaliknya, Jokowi-JK dan partai pengusungnya semakin menikmati sanjungan publik terhadapnya.

Politik Arus Balik
            Menjelang pelantikan Jokowi-JK 20 Oktober 2014, sempat diberitakan secara luas bahwa Prabowo Subianto tidak akan menghadiri pelantikan pemimpin baru tersebut. Hal ini pula yang semakin menambah rentetan kekecewaan publik, termasuk pendukungnya pada 9 Juli, terhadap sosok Prabowo. Apalagi sempat santer diberitakan bahwa MPR dan DPR, yang dikuasai KMP, akan memboikot pelantikan Jokowi-JK. Tentu saja isu ini membuat publik resah dan cemas.
            Prabowo sepertinya membaca aspirasi publik tersebut sehingga akhirnya memutuskan menghadiri pelantikan Jokowi-JK, terlebih sebelum 20 Oktober, Jokowi menyambangi Prabowo di kediamannya. Kehadrian Prabowo dalam pelantikan Jokowi-JK mendapatkan perhatian khusus dari berbagai media. Tidak berhenti sampai di situ, Prabowo mendapatkan pujian dari berbagai pihak di mana sebelumnya dinilai negatif. Prabowo menunjukkan nasionalismenya dengan menghadiri pelantikan pasangan yang mengalahkannya. Hal ini pula yang dikaitkan dengan sosok Megawati Soekarno Putri yang tidak menghadiri pelantikan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK), 20 Oktober 2004 silam. Dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden waktu itu, SBY-JK mengalahkan Megawati-Hasyim Muzadi.
            Beberapa hari setelah pelantikan Jokowi-JK, Megawati dan PDI P kembali menjadi sorotan publik. Sosok Megawati, terlepas benar atau tidak, ditengarai terlalu jauh ikut campur dalam penyusunan kabinet yang akan dibentuk Jokowi-JK. Megawati, yang sebelumnya disanjung, mulai menuai kritikan dari publik. Megawati sedikit memberikan data penguat akan tesis yang berkembang menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bahwa Jokowi akan menjadi bonekanya.
            Kini, setelah memasuki bulan keempat kepemimpinan Jokowi-JK, muncul prahara politik yang belum juga selesai, yakni konflik KPK-Polri. Publik dan banyak pengamat menengarai bahwa ada sosok Megawati di belakang munculnya prahara politik ini. Budi Gunawan (BG), calon Kapolri yang ditersangkakan oleh KPK, adalah ‘pesanan’ dan terkesan dipaksakan untuk memimpin kepolisian Republik Indonesia. Banyak yang mengatakan bahwa Megawati dan Budi Gunawan mempunyai hubungan yang cukup dekat mengingat BG adalah ajudan Megawati saat menjadi Presiden ke-4.
            Dalam konflik KPK-Polri, PDI P terkesan membela BG, dan hal itu menekan Presiden Jokowi yang tidak ingin melantik BG. Jokowi pun sepertinya kini berhadapan dengan partai tempatnya bernaung, dan itu berarti berhadapan dengan Megawati Soekarno Putri. Akhirnya tercium oleh publik akan keretakan hubungan antara Jokowi-Megawati dan PDI P. Pernyataan dari Puan Maharani, putri kesayangan Megawati, yang memersilahkan Jokowi untuk membuat partai sendiri memperkuat dugaan keretakan tersebut. Meskipun pada sisi yang lain, ada bahasa yang tidak terucapkan dari PDI P bahwa Jokowi berhutang budi terhadap PDI P yang mengantarkannya ke istana.
Sebaliknya, Jokowi justru mendapatkan dukungan dari Prabowo dan KMP, hal itu diungkapkan oleh Prabowo saat diundang ke Istana Bogor oleh Presiden Jokowi. Dinamika politik ini yang menggeser persepsi publik, Megawati dan PDI P disoroti negatif oleh publik sedangkan Prabowo dan KMP mendapatkan apresiasi positif dengan berada di belakang Presiden Jokowi untuk mengambil keputusan terkait konflik KPK-Polri. Inilah drama arus balik politik yang sedang ditonton oleh pemirsa di seluruh Tanah Air.
Terakhir, sebagai anak bangsa, saya ingin menyampaikan pesan terbuka kepada Megawatai Soekarno Putri, Presiden ke-4 kita yang tercinta, dan PDI P bahwa betul Jokowi berhutang kepada PDI P yang mengantarkannya menjadi orang nomor satu di negeri ini, tetapi Jokowi juga mempunyai andil besar atas kemenangan yang diraih oleh PDI P, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Oleh karena itu, akan lebih baik, dan itu harapan rakyat, jika Megawati dan PDI P tidak terlalu jauh ikut campur dalam pengambilan kebijakan oleh Presiden Jokowi. Berikanlah ruang yang luas bagi Presiden Jokowi untuk menafsirkan dengan kebijakan politik dari ideologi partai yang mengusungnya. Tugas Megawati adalah menjaga perkaderan dan ideologi partainya. Tugas Jokowi adalah memimpin negeri ini dengan semangat ideologi partai. Hanya dengan demikianlah Megawati akan selalu mendapatkan tempat di hati rakyat Indonesia sepanjang sejarah, bukan hanya saat PDI P berkuasa!
Ahmad Sahide
Pegiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar