Selasa, 28 Juni 2011

ADVOKASI PERMASALAHAN PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI DI LUAR NEGERI

ABSTRAKSI

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang seharusnya diberi perlindungan hukum oleh negara dan dijamin keselamatannya dari berbagai tindak kejahatan yang mengancam keberlangsungan hidup dan nyawanya, kerap kali hanya impian belaka. Semua ini ibarat republik mimpi yang menjanjikan hal angin surga, namun pada kenyataannya yang didapat hanya kepahitan di tengah-tengah keuntungan negara yang berlimpah (devisa negara yang tinggi). Para TKI hanya dijadikan sebagai komoditi perdagangan ekspor yang mendatangkan keuntungan cukup besar bagi negara. Kelalaian negara dalam memberikan perlindungan kepada TKI merupakan suatu kesalahan besar dan harus mendapatkan kritik tajam, sehingga dengan begitu perbaikan akan mewujud dalam kaitannya dengan TKI ini. Menurut penulis, pemerintah dalam hal ini telah melupakan pesan-pesan fundamental yang tertuang di dalam amanat konstitusi. Oleh sebab itu, kehadiran tulisan ini bertujuan memberikan gambaran permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh TKI yang menjadi korban dari proses penempatan dan perlindungan yang tidak sesuai dengan aturan atau kaidah hukum, khususnya UU No. 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri serta bagaimana advokasinya. 

Kemudian, tulisan ini berupaya memaparkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh para TKI, dengan menyajikan pokok masalah mengenai: apa saja permasalahan di bidang penempatan dan perlindungan TKI; bagaimana proses advokasinya. Permasalahan inilah yang menjadi poin penting bagi penulis dalam melakukan kajian ini.

Selain itu, tulisan ini juga menyajikan permasalahan-permasalahan yang dialami TKI, seperti: proses migrasi kerja yang rentan terhadap eksploitasi; kebijakan negara yang justru melegitimasi eksploitasi melalui kebijakan-kebijakan yang tidak melindungi; Undang-undang No.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang mengedepankan aspek penempatan TKI daripada perlindungan mereka; persoalan yang dihadapi oleh TKI dan kaitannya dengan sistem pengelolaan negara-negara lain, lemahnya penegakan hukum dan absennya pengawasan terhadap pelaku-pelaku migrasi (PJTKI, aparat pemerintah dan aparat hukum); nilai-nilai yang berlaku di masyarakat di mana anak perempuan yang menjadi TKW merupakan aset keluarga dan masyarakat juga menjadi kerentanan TKW itu sendiri.


Yang terakhir adalah menjelaskan bagaimana proses advokasi terhadap permasalah tersebut. Advokasi dapat dilakukan dengan berbagai cara di antaranya: memberikan penyuluhan langsung terkait proses prosedur yang benar jika ingin bekerja atau menjadi TKI; melakukan amandemen UU No. 39 Tahun 2004 dengan mengacu pada isi dari Konvensi PBB Tahun 1990 Tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya, serta melibatkan Syarikat Buruh Migrant Indonesia dalam proses amandemen, yang tujuannya adalah agar proses advokasi tidak terbentur dengan aturan normatif; mensinergikan proses koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mempertegas permasalahan pembagian wewenang antara satu instansi dan instansi lainnya (Depnakertrans dengan BNP2TKI); dan kemudian penyuluhan-penyuluhan mengenai tata cara bekerja di luar negeri yang aman, serta proses peningkatkan kerja dari para pegawai di KBRI dalam melakukan monitoring terhadap TKW yang berkerja di luar negeri.


PENDAHULUAN

“Urus saja uangnya…
Urus saja keuntungannya…
Peraturan yang sehat yang kami mau”.

Sepenggal lirik lagu Iwan Fals yang dirubah oleh penulis, bermaksud sebagai gambaran apa yang dialami dan diinginkan oleh Tenaga Kerja Indonesia. Permasalahan-permasalahan TKI yang telah masuk ke sendi-sendi kehidupan bangsa Negara Republik Indonesia tidak selalu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dan, bahkan belum ada perubahan signifikan yang dibuktikan pada penyusunan kebijakan (policy) oleh pemerintah dari tahun ke tahun, semisal kebijakan mengenai permasalahan tumpang tindih wewenang antara Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Bagaimana mungkin 2 lembaga negara yang memiliki wewenang yang sama dalam hal penempatan dan perlindungan TKI. Selain itu, terlihat dari setiap peraturan yang dikeluarkan belumlah berpihak pada TKI. Bahkan UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang merupakan aturan hukum yang satu-satunya mengatur secara khusus permasalahan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri belum mampu sepenuhnya mengatasi permasalahan yang ada.

Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar negeri (UU PPTKILN) yang disetujui dalam Sidang Paripurna DPR-RI tanggal 29 September 2004 telah berlaku sejak tanggal ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 18 Oktober 2004 dan dimuat dalam lembaran Negara Tahun 2004 No. 133 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4445. Dengan berlakunya UU PPTKILN tersebut, hal ini merupakan langkah prestatif yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator), mengingat, sejak Indonesia merdeka, baru pertama kali Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Selama ini, secara yuridis peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia untuk Melakukan Pekerjaan di luar Indonesia (Staatblad Tahun 1887 No.8) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 104A/Men/2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, serta peraturan pelaksanaannya.

Permasalahan-permasalahan yang kerap dialami oleh para TKI adalah permasalahan perekrutan (recruitment) TKI, proses penampungan para TKI sebelum diberangkatkan, bahkan, yang paling sering terjadi adalah penipuan job order . Sehingga kerap kali TKI tidak bekerja sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kerja dan bahkan TKI harus menanggung uang cicilan dari uang keberangkatan yang cukup tinggi, di mana hal tersebut kepada para TKI sendiri, yakni ketika berakhirnya masa kerja, mereka tidak memiliki ongkos untuk pulang ke Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut hanya sebagian kecil dari permasalahan yang dialami oleh TKI ketika mereka memperjuangkan hidupnya di negeri orang lain. Akankah pemerintah tetap menutup mata terkait permasalahan ini?

Proses penempatan dan perlindungan TKI memang merupakan suatu rangkaian proses yang sistematis sehingga membutuhkan berbagai koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Bahkan proses ini terbilang sungguh kompleks, hal itu terlihat dari pengertiannya, sehingga proses advokasi terhadap para TKI yang mengalami permasalahan seputar pelanggaran dari proses pemberangkatan yang dilakukan oleh Pengguna Jasa TKI (PJTKI), maupun pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna atau majikan, menjadikan tantangan tersendiri. Hal tersebut terkadang menjadi sia-sia dan seakan tak ada artinya jika pemerintah belum mampu membuat aturan hukum yang berpihak pada TKI. Padahal, jika diperhatikan perkembangan atau peningkatan angka minat para pekerja yang berkeinginan menjadi TKI dari waktu ke waktu selalu meningkat. 

Memang persoalan atau isu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak kalah bergengsinya di bandingkan dengan isu-isu politik dan korupsi. Walaupun peminatnya tidak pernah menurun, isu ini merupakan donatur terbesar kedua setelah migas bagi pembangunan Negara Republik Indonesia, hal ini dapat dibuktikan dengan devisa yang masuk dari sekitar 2,7 juta Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada akhir tahun 2006, yang diperkirakan mencapai 3,4 miliar dollar AS atau setara Rp 30,6 trilyun. Kemudian dalam program Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah 2004-2009, pemerintah menargetkan peningkatan ekspor TKI dari 700.000 orang sekarang ini menjadi 1 juta orang per tahun hingga 2009. Demikian pula target negara tujuan bakal diperluas dari 11 negara menjadi 25 negara. Adapun perolehan devisa ditargetkan meningkat dari sekitar Rp. 35 triliun menjadi Rp. 186 triliun tahun 2009. Sehingga pada diri TKI melekat istilah “Pahlawan Devisa” yang memberikan kontribusi cukup besar bagi pembangunan bangsa. Namun, yang terjadi kerap kali mereka tidak mendapatkan perhatian dan perlindungan yang cukup. Apakah hal ini akan dibiarkan begitu saja, dengan TKI tetap menjadi korban, sedangkan pemerintah bergelimang devisa? Sungguh ironi memang!! Hal inilah yang cukup menarik untuk dilakukan kajian secara mendalam. Lewat tulisan ini, penulis berupaya memberikan gambaran mengenai persoalan-persoalan terkait penempatan dan perlindungan TKI serta bagaimana proses advokasinya, namun dikarenakan persoalan ini cukup luas, maka tulisan ini hanya difokuskan pada persoalan-persoalan sekitar: permasalahan penempatan dan perlindungan TKI, dan proses advokasinya.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pada hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Apa saja permasalahan di bidang penempatan dan perlindungan TKI?
2. Bagaimana proses advokasinya?

PEMBAHASAN

A. PERMASALAHAN DI BIDANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TKI

Tenaga Kerja Indonesia adalah setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Sehingga hanya para warga negara yang telah memenuhi persyaratan yang bisa bekerja ke luar negeri, namun hal tersebut tidak menjadikan halangan ataupun hambatan bagi para pekerja yang berkeinginan untuk merubah nasib keluarganya, yakni bekerja secara ilegal. Berangkat dari keyakinan penuh bahwasanya para TKI bisa merubah nasib hidupnya di negeri seberang atau luar negeri, telah berdampak pada meningkatnya pemasukan bagi Negara Republik Indonesia, hal ini dapat digambarkan dengan kenaikan angka pengiriman uang remitansi. Remitansi adalah transfer uang dari pekerja di luar negeri ke daerah atau negara asal mereka. Seperti yang tergambar pada tabel remitansi di bawah ini:
Tabel 1: Remitansi dari tahun ke tahun
Tahun Remitansi (dalam US$ Milyar)
2003 1.67
2004 1.88
2005 2.93
2006 3.42
2007 5.84
2008 2.23 (Data s.d. April 2008)
Sumber : Data-data penulis yang diolah dan diperoleh dari berbagai sumber.

Menurut data yang penulis peroleh di website Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), rata-rata remitansi TKI sekitar 100 triliun setiap tahunnya. Uang remitansi ini memiliki pengaruh bagi pendapatan negara karena pengelolan uang yang masuk ke negara lewat pajak penghasilan. Sehingga pajak yang masuk kenegara lewat uang remitansi juga ikut meningkat, hal tersebut sesuai dengan kenaikan angka remitansi yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Jika melihat dari tabel di atas, maka investasi pemerintah di bidang pengiriman TKI ke luar negeri memang suatu investasi yang menjanjikan, bahkan dapat dikatakan investasi yang menguntungkan. Belum lagi jika dilihat dari pemasukan negara, di tahun 2008 TKI telah menyumbang devisa negara sebanyak 130 Triliun rupiah. Kemudian ditahun 2009, pemerintah lewat kebijakan negara dengan memobilisasi pengiriman TKI guna memenuhi target perolehan devisa Rp 169 triliun. Jumlah ini merupakan pemasukan devisa terbesar kedua setelah migas yang menyumbang sebanyak 180 Triliun. TKI telah berjasa cukup besar bagi keberlangsungan kehidupan bernegara, namun hal tersebut tidak diimbangi dengan regulasi yang melindungi para TKI. Terkait persoalan-persoalan penempatan dan perlindungan TKI, memang terus meningkat, dari tiap-tiap Negara tujuan TKI memiliki prosentase yang berbeda, seperti tabel dibawah ini;

Negara Tujuan, Jumlah TKI, dan Prosentase Permasalahan
Negara Tempat Bekerja Jumlah TKI Prosentase TKI Bermasalah
Brunei Darussalaam 33.000 0.19
Hongkong 120.000 4.96
Korea Selatan 33.000 0.02
Malaysia 2.000.000 5.47
Singapura 80.000 6.49
Taiwan 130.000 9.94
Bahrain 16.000 0.82
Kuwait 63.255 6.33
Oman 12.384 2.53
Qatar 25.463 3.35
Saudi Arabia 960.000 48.70
Syiria 70.000 0.36
Uni Emirat Arab 75.000 8.54
Lain - Lain 438.434 2.30
Total 4.056.536 100
Sumber : Data-data penulis yang diolah dan diperoleh dari berbagai sumber.

Mengetahui berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi oleh TKI di bidang penempatan dan perlindungan TKI tersebut, maka tidak pas jika makna dari kata penempatan dan perlindungan belum diketahui artinya. Berikut ini akan dijelaskan pengertian penempatan dan perlindungan TKI; Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan. Sedangkan pengertian perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja. Persoalan-persolan TKI memang tidak pernah berhenti begitu saja, jika dilihat permasalahan tersebut dan melakukan kualifikasi maka akan nampak permasalahan-permasalahan TKI seperti tabel berikut ini;
Permasalah yang paling banyak dihadapi TKI:

Permasalahan Jumlah Kasus
PHK Sepihak 18.789
Sakit akibat kerja 8.742
Penganiayaan 3.470
Gaji tidak dibayar 3.797
Pelecehan seksual 1.889
Sumber : Data-data penulis yang diolah dan diperoleh dari berbagai sumber.

Pada tabel diatas terlihat sangat jelas mengenai persoalan-persoalan yang kerap dialami oleh TKI, bahkan permasalahan tersebut masih terus berkembang, khususnya dibidang penempatan TKI di luar negeri. Sebagian besar masalah yang dihadapi oleh TKI bersumber pada proses atau tahap migrasi di dalam negeri Indonesia. Berikut ini adalah persoalan-persoalan lain yang kerap dialami oleh TKI, yakni: Pertama, proses migrasi kerja yang rentan terhadap eksploitasi. Kedua, kebijakan negara yang justru melegitimasi eksploitasi melalui kebijakan-kebijakan yang tidak melindungi. Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) lebih mengedepankan aspek penempatan TKI daripada perlindungan TKI. Ketiga, persoalan yang dihadapi oleh TKI tidak lepas dari sistem pengelolaan negara-negara lain, lemahnya penegakan hukum dan absennya pengawasan terhadap pelaku-pelaku migrasi (PJTKI, aparat pemerintah dan aparat hukum). Keempat, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, di mana anak perempuan yang menjadi TKW merupakan aset keluarga dan masyarakat, juga menjadi kerentanan TKW itu sendiri. 

B. PROSES ADVOKASINYA

Berkenaan dengan berbagai persoalan TKI yang telah dijelaskan di atas, maka muncul keinginan-keinginan untuk melakukan proses pendampingan terhadap TKI yang bermasalah, baik permasalahan yang bersumber dari diri TKI sendiri ataupun persoalan yang muncul berkenaan dengan sistemnya. Pemberian bantuan hukum atau advokasi bagi kalangan yang lemah atau kalangan miskin (TKI) telah bergulir cukup lama, hal ini nampak pada kemunculan program bantuan hukum di Indonesia, yakni sejak berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1970. Setelah kemunculan Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta tersebut, semakin menambah maraknya program-program pendampingan bagi masyarakat. Senada dengan hal tersebut, maka program pendampingan bagi TKI memang harus tetap dilanjutkan mengingat permasalahannya adalah permasalahan kemaslahatan umum dan permasalahan penegakan Hak Asasi Manusia. Namun, penulis tidak ingin melakukan kajian dari sisi penegakkan HAM, penulis hanya berkutat pada permasalahan proses advokasinya saja. 

Melihat pada permasalahan-permasalahan yang kerap dihadapi TKI, sudah seyogianya dilakukan langkah konkrit dari pemerintah guna memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para TKI, sehingga pemerintah mampu menjalankan pesan moral dari amanat konstitusi yang ada. Permasalahan-permasalahan di atas dimungkinkan untuk dilakukan proses pendampingannya, lewat langkah-langkah berikut ini:

Pada poin pertama di atas dijelaskan mengenai permasalahan proses migrasi kerja yang rentan terhadap eksploitasi. Hal ini berkenaan dengan informasi yang memadai untuk calon pekerja migran yang tidak tersedia dengan baik, antara lain mengenai biaya yang harus dikeluarkan, hukum dan kebijakan yang mengatur hubungan kerja di Indonesia serta hukum dan kebiasaan yang berlaku di negara-negara tujuan bekerja. Mengenai biaya, calon TKI seringkali mengalami penipuan oleh penyalur. Selain itu juga, persoalan pertama biasanya lebih menitikberatkan pada peran perusahaan Pengguna Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Kerap kali PJTKI pada saat melakukan rekruitmen tanpa batasan, tidak ada aturan yang dapat dipakai untuk menjamin validitas informasi yang diberikan mengenai lowongan kerja, biaya pendaftaran dan proses keberangkatan, karena tidak memiliki informasi yang lain atau resmi, kerap kali calon TKI/TKW tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti informasi dan persyaratan yang diberikan oleh calo pada saat proses rekruitmen berlangsung. Di sinilah titik awal dari rangkaian penyalahgunaan kekuasaan yang sistematis berlangsung. 

Kemudian penulis akan menjelaskan keterkaitan pasal 21 dengan permasalahan pertama. Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi : “Pelaksana penempatan TKI swasta dapat membentuk kantor cabang di daerah di luar wilayah domisili kantor pusatnya”. Pasal ini dari segi substansinya sangatlah penting dan strategis dalam proses rekruitmen yang tepat untuk mencegah hal-hal yang tidak sesuai, seperti TKI illegal, human trafficking atau perdangan manusia, penipuan, dan percaloan dan sebagainya, namun menurut hemat penulis rumusan kata “dapat” yang dapat diartikan “boleh” menjadi tidak sesuai dengan maksud yang dituju. Menurut hemat penulis, sebaiknya pasal 21 ayat (1) dirumuskan menjadi “harus”, sehingga tujuan rumusan pasal tersebut tercapai. Selain itu juga, menurut penulis, proses rekruitmen merupakan proses penting bagi pengiriman TKI ke luar negeri, sehingga proses ini kerap kali calo-calo yang mengatasnamakan PPTKIS (Pelaksana Penempatan TKI Swasta) yang bermain.

Permasalahan ini merupakan masalah klasik, namun sampai sekarang belum mampu diatasi dengan baik sehingga permasalahan ini akan terus berulang sampai adanya kebijakan yang mampu mengatasinya. Mengapa dikatakan demikian?, sebab belum tersedianya sumber daya manusia di Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi yang terjun di desa-desa guna memberikan penyuluhan langsung terkait proses yang benar. Bahkan ,yang lebih ironis lagi adalah BP3TKI (Badan Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan TKI) yang notabennya adalah perpanjangan tangan dari Depnakertrans di tingkatan daerah propinsi, kabupaten dan kota belum mampu melakukan upaya maksimal. Badan tersebut hanya bergerak pada wilayah program-program pendataan dan administrasi saja, sedangkan proses penyuluhan langsung ke masyarakat baru sebatas pada program kerja bersifat lembaga. Padahal jika melihat fungsi dari badan tersebut, secara moral liability memiliki tanggung jawab besar, namun apa mau dikata jika keinginan tersebut terhambat pada program kerja yang terbatas. Bahkan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) baru ada di ibu kota negara, sehingga badan tersebut belum memiliki jejaring atau jaringan di daerah-daerah. Maka, dengan demikian proses advokasi memang tetap harus dijalankan, baik melakukan proses pendampingan bagi TKI maupun proses monitoring bagi kerja-kerja lembaga-lembaga pemerintah. Sehingga harapannya kemudian adalah para TKI yang buta informasi akan mendapatkan informasi yang sebaik-baiknya dan terhindar dari permasalahan-permasalahan. Dengan, begitu TKI akan memperoleh kepastian prosedur dari penempatan kerja yang dilakukan oleh Pengguna Jasa TKI (PJTKI). 

Permasalahan pada point kedua, kebijakan negara yang justru melegitimasi eksploitasi melalui kebijakan-kebijakan yang tidak melindungi. Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri lebih mengedepankan aspek penempatan TKI daripada perlindungan mereka, hal ini dapat terlihat pada pasal-pasal perlindungan dalam UU No. 39 Tahun 2004 hanya terdiri dari 8 pasal (77-84) dari 109 pasal dan 16 bab dibanding 86 pasal yang mengatur mengenai mekanisme penempatan migran yang terdapat di dalam UU. Pasal perlindungan ini pun menurut penulis selain tidak jelas, juga sangat tidak cukup memproteksi hak dan kepentingan pekerja migran Indonesia, dan pasal-pasal perlindungan yang ada bermakna perlindungan selama masa penempatan di negara tujuan. Padahal undang-undang ini tidak mampu menjangkau pekerja domestik Indonesia yang bekerja di sektor rumah tangga khususnya di rumah majikannya di luar negeri.

Menurut penulis, UU No. 39 Tahun 2004 lebih mangatur tata niaga dan kepentingan pihak perusahaan PJTKI dan bukan perlindungan kepada pekerja migran. Selain itu, permasalahan ini terlihat pada aturan normatif (UU No. 39 Tahun 2004) yang belum secara baik memberikan kepastian hukum dan jaminan perlindungan bagi TKI. UU. No. 39 Tahun 2004 ini lebih melihat TKI sebagai komoditas ketimbang aspek kemanusiaan di mana setiap orang memiliki hak asasi untuk berpindah tempat kerja dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Penyerahan tanggung jawab pun lebih banyak kepada penyalur (PJTKI), adalah bentuk pelepasan tanggung jawab negara terhadap warganya. Kebijakan lainnya, seperti nota kesekapatan (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia tentang Rekruitmen dan Penempatan TKI memasukkan klausul bahwa passpor TKI dipegang oleh pengguna jasa atau majikannya. Hal ini menyebabkan TKI yang mengalami kasus kekerasan atau eksploitasi oleh majikan tidak memiliki keleluasaan membebaskan diri karena dokumen penting identitas mereka berada di tangan majikan. 

Di Malaysia sendiri, TKI yang melarikan diri dan atau tidak memiliki indentitas resmi telah divonis sebagai pendatang haram dan kemudian diusir dari negeri itu. Oleh sebab itu, munculnya UU No. 39 Tahun 2004 telah mengalami berbagai pro dan kontra yang mana hal tersebut dilatarbelakangi oleh pemerintah yang belum mau mengamandemen isi dari UU No. 39 Tahun 2004 yang mengacu pada proses ratifikasi isi dari Konvensi PBB Tahun 1990 Tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya, padahal Pemerintah sudah menandatanganinya, namun tindakan melakukan ratifikasi yang mewajibkan pemerintah untuk membuat UU yang mengacu kepada isi konvensi sampai hari ini tidak dilakukan. Tanpa langkah ratifikasi konvensi PBB ini, maka sudah barang tentu proses perlindungan yang memberikan perlindungan bagi para TKI yang menjadi korban kejahatan belum mampu teratasi. Kemudian langkah yang dapat diambil adalah melibatan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendampingan bagi para TKI. Sehingga proses monitoring dapat terwujud. Ratifikasi konvensi inilah yang kiranya sedikit banyak dapat melindungi hak-hak demokratis dari buruh migran Indonesia dari keserakahan dan berbagai macam pelanggaran yang seringkali dilakukan oleh para majikan, PJTKI/agen, dan pemerintah Indonesia. Akankah hal tersebut mampu dilaksanakan oleh pemerintah? Jika hal tersebut tidak mampu dijalankan maka sudah barang tentu proses advokasi akan terbentur pada aturan.

Permasalahan ketiga, persoalan yang dihadapi oleh TKI tidak lepas dari sistem pengelolaan negara-negara lain, lemahnya penegakan hukum dan absennya pengawasan terhadap pelaku-pelaku migrasi (PJTKI, aparat pemerintah dan aparat hukum). Melihat permasalahan ini maka upaya advokasi yang dapat dijalankan adalah mensinergikan proses koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mempertegas permasalahan pembagian wewenang antara satu instansi dan instansi lainnya untuk menyelesaikan akar masalah dan melindungi mereka yang menjadi korban menyebabkan TKI semakin jauh dari perlindungan yang dibutuhkan. Permasalahan ini merupakan permasalahan klasik dan kerap kali terjadi di Negara Republik Indonesia, semisal jika ada permasalahan hukum mengenai permasalahan penempatan TKI kerap kali dua lembaga pemerintah terlibat adu mulut mengenai siapa yang bertanggung jawab atau itu bukan wewengan kami. Sungguh ironi memang, namun hal ini memang benar-benar terjadi dan menimbulkan keresahan tersendiri bagi TKI. Permasalahan ketiga ini masih menjadi isu penting dan hangat pada akhir tahun 2009 ini, yakni dengan diterbitkannya empat peraturan menteri yang dikeluarkan Menakertrans. Permenakertrans itu adalah Permenakertrans Nomor 15/2009 tentang pencabutan Permenakertrans No 22/2008, Permenakertrans Nomor 16/2009 tentang Tatacara Penerbitan Surat Ijin Pengerahan (SIP) Calon Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri bagi Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). Kemudian, Permenakertrans Nomor 17/2009 tentang Penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) TKI ke Luar Negeri dan Permenakertrans Nomor 18/2009 tentang Bentuk, Persyaratan dan Tata Cara Memperoleh Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN).

Keluarnya empat peraturan menteri tersebut telah membonsai kewenangan dari BNP2TKI yang notabenenya adalah lembaga di bawah departemen yang dibentuk oleh presiden sesuai dengan amanat dari UU No. 39 Tahun 2004. Sehingga yang terjadi kemudian adalah perbenturan mengenai siapa yang lebih berwenang dalam melakukan proses penempatan TKI, padahal selama ini BNP2TKI telah melaksanakan fungsi tersebut dengan berdasarkan perjanjian atau MoU yang dilakukan oleh pemerintah dengan pemerintah negara lain atau Government to Government (G to G), sehingga tidak menyalahi aturan. Diharapkan pemerintah mampu menyelesaikan secara cepat polemik ini, dengan begitu proses advokasi akan segera bisa dijalankan dalam hal proses meminta pertanggungjawaban kepada kedua lembaga tersebut jika terdapat permasalahan yang menimpa TKI. 

Masalah keempat, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, di mana anak perempuan yang menjadi TKW merupakan aset keluarga dan masyarakat, juga menjadi kerentanan TKW itu sendiri. Perempuan didorong untuk bekerja ke luar negeri karena akses pada peluang kerja terutama sektor domestik dengan menjadi PRT lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki. Di dalam negeri pemerintah tidak memiliki tanggung jawab yang cukup untuk menyediakan lapangan kerja dalam upaya mengurangi kemiskinan di negeri ini. Permasalahan keempat inilah yang merupakan permasalahan urgen dan kerap kali menjadikan para TKW korban dari sistem yang tidak manusiawi sehingga program advokasi sangat dirasakan perlu guna mengatasinya. Melihat sebagian besar permasalahan TKW berujung pada kematian atau TKW pulang tinggal nama, memungkinkan peran dari para pemangku jabatan agar lebih memperhatikan permasalahan TKW. Memang, terkadang niat untuk meningkatkan taraf kehidupan keluarga menjadi faktor penentu bagi TKW untuk melakukan segala upaya agar kemudian mereka dapat bekerja di luar negeri, bahkan cara-cara ilegal kerap kali ditempuh. Penyuluhan-penyuluhan mengenai tata cara bekerja di luar negeri yang aman harus senantiasa menjadi sasaran utama bagi para pemangku jabatan. Hal ini tidak harus terbatas pada program kerja dari lembaga, akan tetapi harus dilihat dari sisi pengabdian dan tanggung jawab moral sehingga harapannya kemudian adalah para TKW mengerti akan hak dan kewajibannya jika ingin bekerja di luar negeri. 

Proses peningkatkan kerja dari para pegawai di KBRI dalam melakukan monitoring terhadap TKW yang berkerja di luar negeri agar senantiasa dimaksimalkan, jangan hanya melihat persoalan TKW tatkala persoalan tersebut menjadi permasalahan secara internasional atau persoalan tersebut telah menjadi isu internasional serta menjadi sorotan dari berbagai media, baik cetak maupun eleektronik. Hal inilah yang sebenarnya harus dimaksimalkan, mengingat para pegawai konsulat adalah perpanjangan tangan dari pemerintah Indonesia yang ditugaskan guna melakukan monitoring terhadap para TKI/TKW yang bekerja di luar negeri, dan kemudian melakukan tindakan cepat dalam menangani berbagai laporan-laporan tindak kejahatan yang dilakukan oleh para pengguna jasa (user) atau majikan di luar negeri terhadap para TKI/TKW. Jika hal tersebut mampu diciptakan, maka sudah barang tentu cita-cita dari amanat konstitusi dapat dilaksanakan walaupun harus dilaksanakan di negara lain. Semoga cita-cita tersebut dapat terwujud dan para TKI/TKW dapat bekerja dengan tenang. Semoga!!!

KESIMPULAN

Berdasar pada permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Permasalahan-permasalahan yang dialami TKI adalah permasalahan seputar: proses migrasi kerja yang rentan terhadap eksploitasi; kebijakan negara yang justru melegitimasi eksploitasi melalui kebijakan-kebijakan yang tidak melindungi; Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri lebih mengedepankan aspek penempatan TKI daripada perlindungan mereka; persoalan yang dihadapi oleh TKI tidak lepas dari sistem pengelolaan negara-negara lain, lemahnya penegakan hukum dan absennya pengawasan terhadap pelaku-pelaku migrasi (PJTKI, aparat pemerintah dan aparat hukum); nilai-nilai yang berlaku di masyarakat di mana anak perempuan yang menjadi TKW merupakan aset keluarga dan masyarakat, juga menjadi kerentanan dari TKW itu sendiri.
2. Proses advokasi dapat dilakukan dengan mengupayakan berbagai hal berikut ini : memberikan penyuluhan langsung terkait proses prosedur yang benar jika ingin bekerja atau menjadi TKI; Melakukan amandemen UU No. 39 Tahun 2004 dengan mengacu pada isi dari Konvensi PBB Tahun 1990 Tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Seluruh Anggota Keluarganya serta melibatkan serikat buruh migran Indonesia dalam proses amandemen tersebut yang kemudian tujuannya adalah agar proses advokasi tidak terbentur dengan aturan normatif; mensinergikan proses koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mempertegas permasalahan pembagian wewenang antara satu instansi dan instansi lainnya (Depnakertrans dengan BNP2TKI); dan kemudian penyuluhan-penyuluhan mengenai tata cara bekerja di luar negeri yang aman serta proses peningkatkan kerja dari para pegawai di KBRI dalam melakukan monitoring terhadap TKW yang berkerja di luar negeri.


DATA PRIBADI
NAMA : MARHENDRA HANDOKO, SHI
TTL : SURAKARTA, 10 MEI 1985
UMUR : 24 Tahun
AGAMA : Islam
ALAMAT : Blimbing Sari CT IV No. 72 RT/RW.03/16
Sleman Yogyakarta.
EMILE : jibril_mahen@yahoo.co.id
No. Hp : 081804120187/081279007030




2 komentar:


  1. SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259











    SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum wrb salam persaudaraan,perkenalkan saya Sri Wulandari asal jambi,maaf sebelumnya saya hanya mau berbagi pengalaman kepada saudara(i) yang sedang dalam masalah apapun,sebelumnya saya mau bercerita sedikit tentang masalah saya,dulu saya hanya penjual campuran yang bermodalkan hutang di Bank BRI,saya seorang janda dua anak penghasilan hanya bisa dipakai untuk makan anak saya putus sekolah dikarenakan tidk ada biaya,saya sempat stres dan putus asa menjalani hidup tapi tiap kali saya lihat anak saya,saya selalu semangat.saya tidak lupa berdoa dan minta petunjuk kepada yang maha kuasa,tampa sengaja saya buka internet dan tidak sengaja saya mendapat nomor tlpon Aki Sulaiman,awalnya saya Cuma iseng2 menghubungi Aki saya dikasi solusi tapi awalnya saya sangat ragu tapi saya coba jalani apa yang beliau katakan dengan bermodalkan bismillah saya ikut saran Aki Sulaiman saya di ritualkan dana gaib selama 3 malam ritual,setelah rituialnya selesai,subahanallah dana sebesar 2M ada di dalam rekening saya.alhamdulillah sekarang saya bersyukur hutang di Bank lunas dan saya punya toko elektronik yang bisa dibilang besar dan anak saya juga lanjut sekolah,sumpah demi Allah ini nyata tampa karangan apapun,bagi teman2 yang mau berhubungan dengan Aki ).Sulaiman silahkan hub 085216479327 insya Allah beliau akan berikan solusi apapun masalah anda mudah2han pengalaman saya bisa menginspirasi kalian semua,Assalamualaikum wrb.JIKA BERMINAT SILAHKAN HUB AKI SULAIMAN 085-216-479-327,TAMPA TUMBAL,TIDAK ADA RESIKO APAPUN(AMAN) .

    BalasHapus