Kamis, 23 Juni 2016

Dalam Hilang, Kenangan Itu Abadi



Dalam ‘Hilang’, Kenangan itu Abadi
Ahmad Sahide

Masih ada kenangan
Tentang perempuan yang tak sempat menjadi tuan rumah hatiku
Permata hidup yang dulu menghadirkan mimpi dan harapan

Masih ada kenangan
Yang tersusun rapi dalam bait-bait sajakku
Tentang dia yang sederhana, tapi berkelas

Masih ada kenangan
Tentang dia yang hadir mengukir lara dalam kehidupanku
Yang membawa mimpi, harapan, dan kehidupanku terbang jauh
Terbang bersama kupu-kupu yang kuhadiahkan untuknya

Dan kini kupu-kupu itu datang lagi
Menunjukkan dan mengabarkan padaku bahwa ia masih ada
Bersama kenangan yang selalu di hati
Dalam ‘hilang’, kenangan dan kisah itu abadi

Kata maaf beribu kali ia ucapkan
Katanya, ia mengukir lara dalam pertemuan dan kisah ini
Sebab “ tak mampu mengubah keadaan”, itu katanya yang selalu terngiang
(Yogyakarta, 24 Juni 2016)

Rabu, 27 April 2016

Ahok



Ahok
Ahmad Sahide
            Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau yang dikenal luas dengan sebutan Ahok, menjadi salah satu figur yang banyak disorot oleh pemberitaan media. Seolah pemberitaan media tidak lengkap tanpa ada berita terkait Ahok. Terutama pada tahun 2016 ini, satu tahun menjelang pemilihan gubernur ibu kota. Ahok selalu menjadi incaran media, baik itu terkait dengan kebijakannya maupun segala kontroversi yang menjadi bagian menarik dari sosoknya. Sosok Ahok hanya kalah menarik dan populer dari Presiden Joko Widodo, orang nomor satu di republik ini.
            Oleh karena itu, popularitas Ahok menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 membuat para kandidat yang berniat menantangnya bermanuver dengan berbagai macam cara dengan harapan dapat merusak citra dan popularitas gubernur kontroversial tersebut. Bahkan para kandidat, termasuk Yuzril Ihza Mahendra, beramai-ramai menyudutkan Ahok untuk menjegal langkahnya memimpin Jakarta periode 2017-2022. Hal itu karena para pengamat dan awak media memprediksi bahwa Ahok tidak mendapatkan banyak kesulitan untuk memertahankan posisinya, jika melihat tingkat elektabilitasnya saat ini yang mendekati 50 persen (Republika.co.id, 12 Maret 2016). 

Daya Tarik Ahok
Munculnya Ahok sebagai figur yang sangat populer dan menjadi incaran media karena beberapa hal yang cukup menarik dari sosoknya. Pertama, Ahok sejak awal kemunculannya dalam kancah politik ibu kota telah banyak disorot karena latar belakangnya yang berbeda dari latar belakang masyarakat ibu kota pada umumnya. Ahok adalah figur dari etnis Tionghoa yang agamanya berbeda dari agama mayoritas (Islam). Maka dari itu, dalam masa kampanye untuk pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012, banyak figur dan kelompok masyarakat yang menyerang dari sisi keyakinannya. Salah satu figur yang sempat menyerangnya dan diproses secara hukum adalah penyanyi dangdut Rhoma Irama.
Pada saat itu Ahok maju sebagai calon wakil gubernur mendampingi Jokowi. Duet harmonis ini hanya berlangsung sampai akhir tahun 2014, pasalnya Jokowi maju sebagai calon presiden pada tahun 2014 dan berhasil memenangi kontestasi politik tersebut. Jokowi pun mundur sebagai gubernur DKI Jakarta dan melantik mantan wakilnya itu sebagai Gubernur ibu kota, menggantikan dirinya. Setelah dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, Ahok mendapatkan panggung politik yang semakin luas dan besar. Sosoknya pun semakin menarik awak media. Penolakan dari kelompok tertentu pun semakin keras, seperti Front Pembela Islam (FPI) yang sempat mendeklarasikan Gubernur DKI Tandingan. Tapi sosok Ahok malah semakin populer dari Sabang sampai Merauke.
Kedua, Ahok muncul sebagai sosok pemimpin dengan gaya bahasa yang berbeda. Ahok bukanlah pemimpin yang menjaga citra dengan bahasa yang normatif sebagaimana pemimpin pada umumnya. Sebaliknya, dari Ahok kita sering kali mendengar kata-kata seperti (maaf) ‘bajingan, bangsat, kurang ajar’ dan lain sebagainya yang menjadi konsumsi pemberitaan. Bahasa yang tidak terjaga itulah yang biasanya dijadikan celah oleh lawan-lawan politiknya bahwa Ahok tidak pantas menjadi seorang pemimpin karena tidak mampu menjaga lisannya. Bahasa Ahok banyak kita dengar dari anak-anak jalanan pada umumnya.
Kedua faktor ini yang membuat Ahok menjadi sosok yang menarik dan selalu ditunggu oleh awak media. Ia seperti Jusuf Kalla ketika mendampingi Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada periode 2004-2009. Jusuf Kalla pada saat itu adalah tokoh yang selalu dinanti karena sering kali memberikan pernyataan politik yang tidak disangka-sangka. Namun kini, ada sosok yang lebih ‘nyentrik’ dari Jusuf Kalla, yaitu Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Di samping itu, Jusuf Kalla yang kini kembali menjadi wakil presiden mendampingi Jokowi sudah cukup tua sehingga ia muncul sebagai sosok yang lebih ‘calm’. Maka munculllah Ahok sebagai sosok yang menarik dari media, bukan lagi Jusuf Kalla.

Kedewasaan masyarakat
            Tingginya popularitas Ahok meskipun ia selalu diserang karena latar belakang keyakinan dan bahasa politiknya menjadi catatan tersendiri bagi kita semua bahwa masyarakat pada umumnya, terutama di ibu kota, sudah mulai dewasa. Kedewasaan masyarakat karena kemampuannya melihat bahwa banyak pemimpin hari ini yang menjadikan agama sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan, bukan sebagai pandangan hidup dan sumber nilai-nilai dalam menjalankan roda kekuasaan.
            Hal itu terlihat bahwa banyak pemimpin-pemimpin partai politik berlabelkan Islam justru terjerat kasus koruspsi dan bahkan beberapa terbukti ‘bermain’ perempuan. Perilaku yang jauh menyimpang dari nilai-nilai agama itu sendiri. Kini masyarakat ibu kota sadar bahwa agama Ahok memang bukan Islam (yang mayoritas) tetapi kepemimpinan Ahok ‘lebih islami’ dibanding pemimpin yang berlatar belakang Islam. Bahasa Ahok memang bahasa anak jalanan tetapi kinerjanya selama memimpin ibu kota dapat dirasakan langsung oleh masyarakat pada umumnya, terutama dalam mengurangi banjir dan tingkat kemacetan. Masyarakat merasakan keberpihakan Ahok kepada masyarakat kecil pada umumnya.
            Itulah sosok Ahok yang setiap hari menjadi pemberitaan media, baik lokal maupun nasional. Kehadirannya memberikan banyak pelajaran penting dan kedewasaan dalam dinamika politik Indonesia. Presiden Republik Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), punya pernyataan yang sering dikutip, yaitu “Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah Tanya apa agamamu.”
Dalam konteks politik ibu kota, sepertinya rakyat sedang menyampaikan pesan kepada para pemimpin bahwa tidak penting memandang status primordialmu, kalau kamu (pemimpin) bisa membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan kami, kami akan memilihmu tanpa melihat agama atau suku selagi pilihan itu tidak menghalangi rakyat melaksanakan ritual sesuai dengan agamanya masing-masing. Barangkali itulah pesan kuat yang dikirimkan oleh rakyat ibu kota dengan tingginya tingkat popularitas Ahok menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 nanti. 
Yogyakarta, 24 April 2016

Minggu, 07 Februari 2016

Arus Balik Politik



Arus Balik Politik
Ahmad Sahide

            Ketika Megawati Soekarno Putri resmi memberikan mandat kepada Joko Widodo (Jokowi), untuk menjadi calon presiden, pada tanggal 14 Maret 2014, yang ditulis tangan langsung olehnya, Ketua Umum PDI P itu pun mendapatkan sambutan hangat dari publik dan para pemerhati politik.
Surat mandat yang membuka jalan bagi Jokowi untuk memimpin negeri ini kian terbuka lebar dan itu juga, di mata publik, menunjukkan kebesaran jiwa dan kematangan berpolitik Megawati Soekarno Putri. Megawati pun disanjung luas sebagai negarawati sejati.  Hasilnya, Jokowi-Jusuf Kalla (JK), yang diusung PDI P dan koalisinya, memenangi pemilihan presiden dan wakil presiden 9 Juli 2014 lalu, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang diusung oleh Koalisi Merah Putih (KMP).
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang hanya diikuti oleh dua pasang calon itu membuat atmosfer politik, menjelang dan sesudah 9 Juli 2014, sangat panas dan keras. Black campaigne (kampanye negatif) oleh kedua pasang calon untuk merebut suara publik tidak terhindarkan. Dan pasangan Jokowi-JK lebih banyak mendapatkan serangan politik (negatif) daripada pasangan Prabowo-Hatta. Serangan politik yang tidak dapat diterima oleh nalar sehat, dengan penguasaan media, oleh pasangan Prabowo-Hatta itulah yang membuat pasangan ini mempunyai citra negatif di masyarakat. Jokowi dituduh dengan berbagai macam isu yang justru itu menghadirkan simpati publik meluas padanya, seperti dengan tuduhan bahwa Jokowi adalah keturunan Tionghoa dan lain sebagainya.

Setelah 9 Juli 2014
            Setelah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014, masing-masing kedua pasang calon mendeklarasikan kemenangannya, berdasarkan hasil Quick Count (hitung cepat) dari lembaga survei yang berbeda. Hari itu juga, Prabowo memberikan pidato kemenangan yang disiarkan beberapa stasiun televisi, seperti MNC TV Group, TVONE, dan lain-lain. Di tempat yang terpisah, Megawati Soekarno Putri, sebagai Ketua Umum PDI P yang mengusung Jokowi-JK, juga memberikan pidato kemenangan. Juga disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi yang secara tidak langsung berada di belakangnya.
            Pertarungan politik yang keras itulah yang membuat rakyat terbelah menjelang dan sesudah 9 Juli. Namun sebagian besar rakyat Indonesia memercayai bahwa pasangan Jokowi-JK yang memenangi daur ulang demokrasi 2014, kemenangan yang tidak diakui oleh pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Sikap politik Prabowo-Hatta dan KMP itulah yang membuat citranya di mata publik semakin negatif. Sebaliknya, Jokowi-JK dan partai pengusungnya, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), semakin kuat mendapatkan pembelaan dari rakyat.
            Citra politik Prabowo-Hatta beserta KMP semakin buruk ketika tidak menerima hasil resmi pemilihan presiden dan wakil presiden yang disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 Juli 2014 di mana pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memeroleh suara 46,85%, sedangkan pasangan Jokowi-JK memeroleh 53,15%. Pasangan Prabowo-Hatta kemudian menggugat hasil pemilihan umum melalui Mahkamah Konstitusi (MK) tetapi akhirnya tetap kalah. Langkah politik ini dibaca oleh publik bahwa ini semata ketidakrelaan Prabowo-Hatta menerima hasil pemilihan umum yang menjadikannya sebagai pasangan yang kalah. Prabowo, terutama, dianggap tidak berbesar hati menerima hasil dari daur ulang demokrasi lima tahunan itu.
Prabowo-Hatta berserta KMP pun kemudian membalas kekalahannya pada 9 Juli 2014 dengan menguasai Parlemen. PDI P, sebagai pemenang pemilihan legislatif beserta partai koalisinya (KIH) disingkirkan di Parlemen. Pimpinan MPR dan DPR serta alat kelengkapannya  dikuasai sepenuhnya oleh KMP. Hal inilah yang kemudian memunculkan DPR tandingan dari KIH sebelum akhirnya tercapai kompromi politik oleh kedua kubu di Senayan. Namun demikian, kisruh politik ini semakin memperburuk citra Prabowo-Hatta dan KMP di mata publik. Sebaliknya, Jokowi-JK dan partai pengusungnya semakin menikmati sanjungan publik terhadapnya.

Politik Arus Balik
            Menjelang pelantikan Jokowi-JK 20 Oktober 2014, sempat diberitakan secara luas bahwa Prabowo Subianto tidak akan menghadiri pelantikan pemimpin baru tersebut. Hal ini pula yang semakin menambah rentetan kekecewaan publik, termasuk pendukungnya pada 9 Juli, terhadap sosok Prabowo. Apalagi sempat santer diberitakan bahwa MPR dan DPR, yang dikuasai KMP, akan memboikot pelantikan Jokowi-JK. Tentu saja isu ini membuat publik resah dan cemas.
            Prabowo sepertinya membaca aspirasi publik tersebut sehingga akhirnya memutuskan menghadiri pelantikan Jokowi-JK, terlebih sebelum 20 Oktober, Jokowi menyambangi Prabowo di kediamannya. Kehadrian Prabowo dalam pelantikan Jokowi-JK mendapatkan perhatian khusus dari berbagai media. Tidak berhenti sampai di situ, Prabowo mendapatkan pujian dari berbagai pihak di mana sebelumnya dinilai negatif. Prabowo menunjukkan nasionalismenya dengan menghadiri pelantikan pasangan yang mengalahkannya. Hal ini pula yang dikaitkan dengan sosok Megawati Soekarno Putri yang tidak menghadiri pelantikan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK), 20 Oktober 2004 silam. Dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden waktu itu, SBY-JK mengalahkan Megawati-Hasyim Muzadi.
            Beberapa hari setelah pelantikan Jokowi-JK, Megawati dan PDI P kembali menjadi sorotan publik. Sosok Megawati, terlepas benar atau tidak, ditengarai terlalu jauh ikut campur dalam penyusunan kabinet yang akan dibentuk Jokowi-JK. Megawati, yang sebelumnya disanjung, mulai menuai kritikan dari publik. Megawati sedikit memberikan data penguat akan tesis yang berkembang menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bahwa Jokowi akan menjadi bonekanya.
            Kini, setelah memasuki bulan keempat kepemimpinan Jokowi-JK, muncul prahara politik yang belum juga selesai, yakni konflik KPK-Polri. Publik dan banyak pengamat menengarai bahwa ada sosok Megawati di belakang munculnya prahara politik ini. Budi Gunawan (BG), calon Kapolri yang ditersangkakan oleh KPK, adalah ‘pesanan’ dan terkesan dipaksakan untuk memimpin kepolisian Republik Indonesia. Banyak yang mengatakan bahwa Megawati dan Budi Gunawan mempunyai hubungan yang cukup dekat mengingat BG adalah ajudan Megawati saat menjadi Presiden ke-4.
            Dalam konflik KPK-Polri, PDI P terkesan membela BG, dan hal itu menekan Presiden Jokowi yang tidak ingin melantik BG. Jokowi pun sepertinya kini berhadapan dengan partai tempatnya bernaung, dan itu berarti berhadapan dengan Megawati Soekarno Putri. Akhirnya tercium oleh publik akan keretakan hubungan antara Jokowi-Megawati dan PDI P. Pernyataan dari Puan Maharani, putri kesayangan Megawati, yang memersilahkan Jokowi untuk membuat partai sendiri memperkuat dugaan keretakan tersebut. Meskipun pada sisi yang lain, ada bahasa yang tidak terucapkan dari PDI P bahwa Jokowi berhutang budi terhadap PDI P yang mengantarkannya ke istana.
Sebaliknya, Jokowi justru mendapatkan dukungan dari Prabowo dan KMP, hal itu diungkapkan oleh Prabowo saat diundang ke Istana Bogor oleh Presiden Jokowi. Dinamika politik ini yang menggeser persepsi publik, Megawati dan PDI P disoroti negatif oleh publik sedangkan Prabowo dan KMP mendapatkan apresiasi positif dengan berada di belakang Presiden Jokowi untuk mengambil keputusan terkait konflik KPK-Polri. Inilah drama arus balik politik yang sedang ditonton oleh pemirsa di seluruh Tanah Air.
Terakhir, sebagai anak bangsa, saya ingin menyampaikan pesan terbuka kepada Megawatai Soekarno Putri, Presiden ke-4 kita yang tercinta, dan PDI P bahwa betul Jokowi berhutang kepada PDI P yang mengantarkannya menjadi orang nomor satu di negeri ini, tetapi Jokowi juga mempunyai andil besar atas kemenangan yang diraih oleh PDI P, baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden. Oleh karena itu, akan lebih baik, dan itu harapan rakyat, jika Megawati dan PDI P tidak terlalu jauh ikut campur dalam pengambilan kebijakan oleh Presiden Jokowi. Berikanlah ruang yang luas bagi Presiden Jokowi untuk menafsirkan dengan kebijakan politik dari ideologi partai yang mengusungnya. Tugas Megawati adalah menjaga perkaderan dan ideologi partainya. Tugas Jokowi adalah memimpin negeri ini dengan semangat ideologi partai. Hanya dengan demikianlah Megawati akan selalu mendapatkan tempat di hati rakyat Indonesia sepanjang sejarah, bukan hanya saat PDI P berkuasa!
Ahmad Sahide
Pegiat Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta


Keringat Sejarah Budaya



Keringat Sejarah Budaya
By Ofadhani Afwan

Riuh hidup dalam mimpi
Kenangan yang difermentasikan dalam hati

Debu-debu yang tertempel dalam arca
Dalam arca kenangan agung
Yang suram dilupakan

Pinggul yang menari kanan kiri
Getaran indah dari dalam tekak
Kulit binatang yang dicacah menjadi cerita

Agungkanlah!
Agungkanlah itu semua
Balutlah itu dalam hatimu
Dalam hati kalian
Dalam hati kita semua
Semua sang pemuda

Angkat dan bersihkanlah debu pada arca
Tarik kepalamu dalam irama musik
Dan mulailah menari!dan mulailah menyanyi!
Dan mulailah bercerita!
Hidupkan! Abadikan!

Kita sang pemuda
Jinjinglah sama rata semua budaya dan sejarah
Resaplah dan peras tetesannya untuk hidup kita!
Tariklah hatimu keluar dari dadamu dan berikan kepada agamamu!
Lalu bersihkan dan kumpulkan darah yang tersisa
Kemudian berikan kepadaku
Agar aku bias tulis namamu di batu-batu surge
(Yogya, 11 April 2015)