Sabtu, 24 Desember 2011

Batu Lumut yang Menyisakan Kenangan

Darwin
Aku duduk bermenung di tepi sungai ini. Sungai yang selalu membawa cerita. Suka maupun duka. Segala tetek bengek yang berkaitan dengan orang-orang di kampung kami hampir tidak bisa dipisahkan dari sungai ini. Ia menjadi urat nadi bagi warga kampung kami. Bisa dikatakan periuk nasi orang-orang kampung kami sangat bergantung dari sungai ini. Jika arus sungai ini berhenti mengalir, berhenti pula gerak kehidupan masyarakat kampung kami. <--more--!>

Sungai yang juga termaktub dalam sastra lisan daerah kami ini juga menyimpan sisi romantisme bagi setiap pasangan muda-mudi yang ada di kampung kami. Ada tiga buah batu hitam legam yang ditumbuhi lumut di semua sisinya di tengah-tengah sungai ini. Karena itu batu ini dinamakan batu lumut. Batu persegi empat berukuran lima kali lima meter ini berjejer dari hulu ke hilir sungai dengan jarak dari satu batu ke batu lainnya sekitar 20 meter. Tiga buah batu yang aku tidak tahu sejak kapan ada di aliran sungai kampung kami ini menjadi tempat muda-mudi kampung kami berkasih-kasihan, juga menjadi tempat janjian bagi pasangan yang sedang kasmaran, karena di kampung kami tidak ada kafe, mal, ataupun taman seperti di ibukota kabupaten yang jaraknya ratusan kilo dari kampung kami itu. Selain itu, batu ini juga menjadi saksi bagi suami penyelingkuh dari kampung di hulu sungai yang bersebelahan dengan kampung kami. Selingkuhan yang dibawa bisa istri orang, ataupun perempuan sundal yang didapat entah dari mana. Setahuku kompleks tempat perempuan sundal menunggu langganannya hanya ada di ibukota kabupaten. Aku tahu tentang suami-suami penyelingkuh ini dari cerita-cerita teman-teman sekampungku. Badu, salah satu teman sekelasku ketika SMP dulu pernah bercerita padaku ketika pulang sekolah sambil mendayung sampan, karena sekolahku berada di kampung tetangga yang terletak di hilir sungai berjarak kira-kira 5 kilo dari kampungku, “Eh, kau tahu ndak, kemarin sore ketika aku duduk-duduk sama si Rusniar di atas batu lumut ada bapak-bapak yang selingkuh ketahuan istrinya?” katanya sambil menoleh ke belakang, karena dalam perjalanan kami bolak-balik ke sekolah, ia selalu duduk di haluan sebagai pengatur jalannya perahu supaya tak salah arah, sementara aku duduk di belakangnya.

Tanpa menunggu jawaban dariku, langsung saja ia bercerita dengan sangat detail terkait peristiwa yang dijumpainya di atas batu lumut itu. Sambil mendayung dengan mata yang tetap fokus ke depan untuk menghindari jika ada batang pohon yang melintang di sungai, ia menceritakan dengan sangat antusias tentang seorang ibu paruh baya dari kampung tetangga yang memergoki suaminya di atas batu lumut yang lagi berpelukan dengan seorang gadis sundal cantik dengan make up yang mencolok itu. Badu mengetahui bahwa perempuan itu adalah sundal dari maki hamun yang keluar dari mulut ibu itu. Selain itu, dari tanktop yang dipakainya, dan dandanannya yang menor itu. Tidak mungkin gadis-gadis dari beberapa kampung sepanjang aliran sungai ini mampu membeli perlengkapan dandan seperti itu, kecuali si Rusniar anak Pak Kepala Desa yang berada itu, karena untuk makan saja sudah susah. Pun gaya berpakaian gadis kampung kami masih terjaga, hampir sulit ditemukan gadis-gadis yang memakai rok di atas lutut seperti gadis sundal itu. Umumnya gadis-gadis di kampungku memakai rok panjang, dengan baju yang pantas, meskipun tidak dijumpai yang memakai jilbab. Hal ini bisa dimaklumi, karena masyarakat kampung kami adalah masyarakat yang bukan termasuk relijius, mirip-mirip masyarakat kejawen di tanah Jawa itulah.

Hampir setiap hari dalam perjalananku pergi ke sekolah maupun ketika pulangnya, selalu saja ada cerita terbaru yang keluar dari mulut temanku satu ini. Memang selama aku berteman dengan Badu dari SD dahulu hingga sekarang ini, ia adalah tukang cerita yang sangat handal. Segala hal yang terkait dengan kesehariannya, mulai dari kisah asmaranya dengan Rusniar, gadis kampung kami anak Pak Kades, hingga yang remeh temeh sekalipun seperti ketika ia membuang hajat di hulu sungai, sementara di hilirnya ada Pak Kades sedang mandi, dan beragam cerita lucu lainnya, semuanya keluar dari mulutnya seperti berondongan peluru ketika perang. Terkadang bosan melanda diriku karena mendengar celotehannya setiap hari itu.

Bakat bercerita yang ada pada Badu ini menurut hematku adalah warisan dari nenek moyang kami. Setahuku orang Melayu sangat terkenal dengan kemampuan lisannya yang sangat menakjubkan. Orang Melayu kalau sedang berkumpul baik itu di warung kopi yang bertebaran di kampung kami, ataupun di rumah ketika menerima kunjungan tetangga, selalu berbual tanpa henti hingga ber jam-jam. Isi perbincangannya pun sangat berkualitas menurutku. Aku katakan berkualitas karena dipenuhi dengan petatah petitih, tunjuk ajar, metafora, dan diksi yang manis, yang sangat sulit ditandingi oleh generasi zaman sekarang ini. Sangat wajar kalau dari tanah Melayu ini muncul sastrawan sekaliber Raja Ali Haji, Sutardji, Taufik Ikram Jamil, dan banyak lagi yang lainnya.
***

Aku duduk bermenung di tepi sungai ini sambil memperhatikan arusnya yang tenang. Arus yang membawa kenangan. Kenangan manis yang menjadi pahit jika diingat di masa-masa sekarang ini. Kenangan ketika aku masih ababil, kalau boleh meminjam istilah anak muda zaman sekarang. Masa ketika aku duduk di bangku SMP dulu. Persis di depanku inilah sepuluh tahun yang lalu secara heroik dan nekat aku menyelamatkan nyawa seorang gadis sebayaku yang hanyut dibawa arus ketika ia sedang mencuci pakaian dan mandi, karena ia terlalu jauh ke tengah sungai yang waktu itu arusnya sangat kuat, ditambah lagi gadis ini tidak mempunyai skill renang. Gadis ini tidak bisa berenang karena ia baru saja datang dari ibukota kabupaten mengikuti orangtuanya yang mengajar di SMPku. Berbeda sekali memang dengan gadis-gadis yang ada di kampungku yang, semuanya bisa berenang dengan berbagai teknik seperti perenang kelas dunia itu.

Tanpa ampun arus sungai yang deras karena hujan pada malam harinya tersebut menyeret tubuh mungil gadis ini.
“Tolong...! Tolong...!” teriaknya, sebelum air sungai masuk ke mulut dan hidung gadis cantik itu. Gadis ini aku katakan cantik karena mempunyai mata bening, pipi ranum, kulit putih, tubuh semampai, dan rambut hitam lurus. Selain itu, aku belum pernah melihat gadis kampungku sememikat dia. Aku tahu informasi tentang gadis ini karena sebelumnya pernah berpapasan ketika aku pergi ke surau yang tidak jauh dari rumahku. Juga dari perbincangan tanpa henti teman-teman sekampungku tentang gadis ini.

Aku yang baru saja tiba di pinggiran sungai bersama teman-temanku, termasuk Badu, juga untuk mandi, terkejut sekaligus panik. Tanpa berpikir panjang, langsung saja aku terjun demi menyelamatkan seorang gadis yang tidak kukenal itu. Dengan teknik renang tingkat tinggi yang kupunyai, aku bergulat dengan arus sungai yang deras untuk meraih tubuh gadis itu. Kecepatan renangku berhasil mengalahkan arus sungai ini, dan tubuh gadis itu berhasil aku raih dan membawanya ke pinggir sungai. Mungkin ini bisa kulakukan karena tempaan alam yang kualami selama ini. Karena mulai dari kecil hingga sekarang aku sudah terbiasa dengan arus sungai ini. Sekali lagi kukatakan, semua aktivitas kami tidak bisa dipisahkan dari sungai ini.
“Makasih yah!” kata gadis itu sambil terbatuk-batuk karena banyak menelan air di atas tebing pinggir sungai setelah gadis itu siuman.

“Sama-sama,” jawabku sambil kuperhatikan wajahnya yang putih mulus. Wajah yang berbeda dengan gadis-gadis kampungku yang hitam manis dan tidak mulus. Mungkin karena gadis-gadis di kampungku harus bergelut dengan alam membantu orangtua mereka menyadap karet dan mencari ikan di sungai, ditambah lagi mereka tidak pernah merasakan sentuhan make-up atau tangan kapster di salon yang hanya ada di kota itu.
Dari sinilah kisah asmaraku dengan gadis ini bermula. Permulaan yang sangat sulit untuk dilupakan kalau tidak terjadi peristiwa yang mengerikan itu. Gadis ini bernama Tengku Laila. Ia datang dari ibukota kabupaten mengikuti kedua orangtuanya. Ayahnya dikirim oleh Dinas Pendidikan untuk menjadi tenaga pengajar di SMPku. Dengan alasan efisiensi, mereka tidak tinggal di kampung di mana SMPku berada, yang jauh di hilir sungai. Alasan lain, di kampungku banyak keluarga dari pihak ibu Laila. Rumah yang mereka tempati di kampung kami sekarang adalah salah satu rumah dari pihak ibunya ini.

Laila juga bersekolah di SMP yang sama denganku. Aku duduk di kelas dua. Ia kelas satu. Ia sering berangkat dengan Ayahnya yang juga menggunakan perahu dayung. Sekali-sekali ketika ayahnya ada urusan di ibukota kabupaten, Laila berangkat sekolah bersamaku dan juga si Badu. Jadilah kami bertiga dalam satu perahu dayung sambil bersenda gurau di sepanjang sungai yang di kiri kanannya adalah hutan lebat yang belum dijamah tangan manusia, sebelum menginjakkan kaki di halaman sekolah kami yang berlumpur itu. Terkadang rasa takut menyelusup ke pikiran kami, karena harimau dan binatang buas lainnya masih berkeliaran di dalam hutan ini. Tetapi karena semangat bersekolah kami yang tinggi, semua ini tidak menjadi penghalang. Hal lain yang menjadi pendongkrak semangatku tiada lain adalah si Laila. Apalagi kadang-kadang aku bisa satu perahu dengannya, dan di sekolah selalu bertemu muka ketika jam istirahat.

Tempat favoritku di kampung bersama Laila tentu saja batu lumut yang sangat tenar hingga ke kampung sebelah itu. Biasanya kami membuat janji dulu ketika tanda lonceng istirahat sekolah kami berdentang. Seperti biasa, pohon pulai di depan sekolah kami menjadi tempat nongkrong teman-teman akrabku ketika jam istirahat setiap harinya, termasuk Laila, kekasihku itu. Naungan pohon pulai sebesar pelukan orang dewasa itu menjadi tempat yang paling mengasyikkan bagi kami karena sekolah kami tidak mempunyai kantin. Sambil duduk-duduk di bawah pohon pulai itulah Laila mengajakku ke batu lumut sore harinya, “Bang, nanti sore kita ke batu lumut ya, aku ingin merasakan sensasi batu lumut itu lagi. Sudah seminggu kita tidak ke sana Bang!” pinta Laila manja.

Getaran suara manjanya mengalir ke sekujur tubuhku, membuat aku tidak bisa menolaknya, “Oke...!” responsku sambil menganggguk, dan melanjutkan, “sekitar jam empat aja ya Laila! Soalnya jam tiga-an aku ke ladang dulu mengantar benih padi, mau ditanam oleh Ayah sama Ibuku.”

“Oke Bang, aku ngikut aja. Karena berbakti sama ortu juga penting kan, he he!” ia tertawa renyah, kelihatan giginya yang putih.
“Iya...apalagi yang bisa kita perbuat untuk kedua ortu kita yang tercinta, paling menuntut ilmu di sekolah ini sampai selesai, dan ortu kita bersuka cita karenanya,” jawabku sambil sedikit berkhotbah.
“perlu bantuan ndak Bang?”
“Maksudmu?”
“Mengantar benih padinya ke ladang.”
“Ndak usah, cuma sedikit, Aku sendiri aja bisa!”
***

Di sore hari yang lindap karena matahari tertutup awan, aku dan Laila duduk berdekatan di atas batu lumut bertinggi satu meter dari permukaan air itu sambil melihat ke bawah, ke arus sungai yang mengalir tiada hentinya itu. Seharusnya seperti itulah hidup kita. Tanpa henti berjuang menjalankan kehidupan ini sampai kita menemukan kehidupan yang hakiki di akhirat nanti!
“Arus air sungai ini terlihat indah ya Bang seperti cinta kita,” Laila memulai percakapan.
“Iya...semua akan terlihat indah termasuk cinta kita kalau dibangun dengan rasa saling percaya,” kataku dengan nada agak lembut. Berbanding terbalik dengan nada orang Melayu yang keras itu. “Air itu indah karena ada penyatuan. Dan mereka bertekad bersama-sama mencapai muara nun jauh di sana. Coba kalau airnya hanya setetes, tidak mungkin muara akan bisa diraih,” kata-kata agak puitis terlontar dari mulutku.
“Aku berharap Bang, cinta kita berdua bisa bertahan sampai kita menemukan muara,” Laila tidak mau kalah mengeluarkan metafora.
“Iya, Laila. Aku juga berharap seperti itu. Kita serahkan saja pada yang di Atas,” kataku sambil memeluk Laila erat-erat.
Dalam pelukan eratku itu, Laila mengalihkan topik yang dibicarakan,
“Abang tau ndak sejarahnya kenapa batu lumut ini menjadi tempat pertemuan muda mudi atau pasangan yang lagi kasmaran?”
“Ndak terlalu tahu.”
“Setahu Abanglah, Abang kan dari kecil udah di sini.”

Aku mulai berpikir mengingat-ngingat cerita yang pernah sampai ke otakku tentang batu ini dari berbagai sumber yang kudapatkan. Pandanganku kualihkan kepada dahan dan reranting pepohonan yang menjulang tinggi yang ada di sisi kanan sungai untuk mempermudah mengingat. Setelah berhasil, pandangan kualihkan kepada ikan-ikan yang berloncatan di sekeliling batu lumut, “Menurut cerita nenekku, batu ini sudah ada sejak dahulu kala. Bahkan nenekku juga tidak tahu kenapa batu lumut ini ada di sini dan menjadi tempat pertemuan dua kekasih.”
“Seperti kapal Titanic yang ada di film itu yah,” potong Laila.
“Aku belum pernah nonton filmnya Laila...! Maklum tinggal di udik he he! Aku cuma tahu tragedi Titanic itu dari buku yang pernah kubaca.”
“Eh, Laila, kamu tau ndak... nenekku bertemu kakekku juga di batu lumut ini? Begitu juga Ayah dan Ibuku.”
“Oooh...bisa ndak ya kita berdua melanjutkan tradisi ini hingga berlanjut ke pelaminan seperti nenek dan ibumu itu?”
***

Aku bermenung di tepi sungai ini sambil memperhatikan arus sungai yang dangkal dan keruh karena hutan di kiri kanannya sudah tidak ditemukan lagi. Hal ini dikarenakan pembabatan hutan yang kelewat batas oleh perusahaan besar yang beroperasi di sepanjang aliran sungai ini. Kuperhatikan juga ke tengah-tengah sungai bekas batu lumut dulu berada. Aku mengingat lagi masa-masa indah bersama Laila di atas batu tersebut sepuluh tahun yang lalu. Setahun yang lalu, batu lumut itu hilang seiring banjir besar yang melanda kampung kami karena air sungai ini meluap. Mungkin air sungai ini murka karena peredam amarahnya, yakni hutan sudah lenyap karena perbuatan orang-orang berduit dari Jakarta. Bersamaan dengan itu, hilang pula Laila, kekasihku yang tiada duanya itu. Hanyut bersama arus sungai yang dulu katanya indah tersebut.***
Kamar kos, 08 September 2011, 04.57

*ababil=anak baru gede labil *sundal=PSK: Pekerja Seks Komersial
*maki hamun=caci maki *berbual=berbincang
*petatah petitih=pribahasa *ladang=sawah kalau di Jawa
*ortu=orangtua *lindap=teduh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar