Selasa, 07 Juni 2011

Ideologi Di Balik Sebuah Film

Jerman ingin memimpin dunia pada dekade tahun 30-an di bawah pimpinan sang diktator yang jago beretorika, Adolf Hitler. Jerman ketika itu bisalah disamakan dengan negara super angkuh Amerika Serikat hari ini yang selalu menginginkan negara lain berada satu tingkat di bawah mereka. Jerman ingin menjadi negara nomor satu ketika itu tidak bisa lepas dari Hitler dengan NAZI-nya. Dan, yang menarik, media yang digunakan oleh Hitler untuk mewujudkan keinginannya tersebut salah satunya adalah media massa: film. Melalui film, Hitler bisa menyampaikan pesan-pesan propaganda kepada rakyatnya bahwa, Jermanlah yang paling unggul saat itu.

Memang, media film selalu digunakan oleh para penguasa sebuah negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Di Indonesia, presiden Soeharto yang bercokol di kursi nomor satu selama 32 tahun juga menggunakan film sebagai alat doktrinasi ideologi pemerintahannya. Kita tahu, dulu setiap tanggal 30 September, kita selalu disuguhi tayangan film 30 September/PKI. Film ini menjadi alat legitimasi bagi pemerintahan Soeharto untuk menumpas siapa pun yang dianggap terlibat organisasi ini. Selain itu, di film ini digambarkan jasa besar Soeharto dalam penumpasan Gerakan 30 September/PKI.
Dari sini, bisa kita tarik kesimpulan, bahwa film tidak hanya sekadar media hiburan. Di balik sebuah film ada ideologi yang bermain. Baik itu ideologi kekuasaan yang memanfaatkan sebuah film sebagai alat legitimasi kekuasaannya dalam rangka meninabobokan rakyatnya, maupun ideologi sebuah negara yang “dipaksakan” kepada para pembuat film untuk membuat negara lain selalu berada pada posisi nomor dua dalam tatanan pergaulan internasional.

Ideologi yang dipaksakan kepada negara luar terjadi dalam film-film Hollywood. Ideologi tersebut tidak lain adalah ideologi negara adikuasa Amerika Serikat di mana Hollywood berada. Kepentingan AS hampir selalu terakomodir dari film-film produksi Hollywood. Dan ironisnya, kepentingan itu biasanya selalu menganggap orang lain pada posisi nomor dua. Bahkan, tidak hanya sekadar penomorduaan, tapi ada stereotip yang dibangun.
Yang paling sering kita lihat dari film-film Hollywood biasanya adalah penonjolan apa yang disebut WASP (White Anglo-Saxon Protestan). Di mana yang berkulit putih, ras Anglo-saxon, dan agama Protestan selalu dianggap terbaik dibanding yang lain sebagai oposisi binernya, seperti kulit hitam, bangsa non-Amerika dan agama Islam, misalnya. Hampir di setiap film Hollywood yang menjadi pahlawan biasanya adalah yang berkulit putih, bangsa Amerika dan beragama Protestan. Di sini juga ada stereotip yang dibangun, yang bukan WASP, dianggap nomor dua, terbelakang, bikin masalah, dan stereotip-stereotip lainnya.

Representasi orang berkulit hitam dan beragama Islam juga selalu digambarkan secara parsial. Dalam film-film Hollywood ras kulit hitam selalu diidentikkan dengan kemiskinan, bikin onar dan lain sebaginya. Begitu juga dengan orang Islam yang selalu dianggap suka kekerasan, dianggap teroris dan berbagai stereotip lainnya. Negara-negara dunia ketiga juga mendapat stereotip jelek, di mana dianggap sebagai negara terbelakang, miskin, dan tidak beradab.


Ideologi memang tidak bisa dipisahkan dari sebuah film. Di setiap film pasti ada kepentingan yang bermain. Baik itu kepentingan kekuasaan, negara, korporasi, dan yang lainnya. Kita sebagai penikmat film harus kritis melihat hal ini. Memang tidak banyak yang kita bisa perbuat, karena kita adalah konsumen yang secara tidak sadar dicekoki ideologi unggul seperti WASP, yang membuat kita menerima begitu saja tanpa ada keselektifan. Tapi, ada usaha-usaha minimal yang kita lakukan. Apa itu?

Pertama, ketika kita menonton sebuah film (Hollywood), kita bisa melihat dengan kritis jika ada stereotip terhadap Islam, kulit hitam, dan negara terbelakang.
Kedua, kita (pembuat film di Indonesia) bisa memproduksi film yang mengangkat keunggulan agama Islam untuk merubah imej yang dibangun oleh wacana dominan selama ini, misal agama Islam adalah agama damai bukan agama kekerasan yang selama ini tampil dalam film-film Hollywood.

Ketiga, kita bisa memutarbalikkan fakta bahwa bangsa non-Amerika adalah bangsa yang selalu nomor dua dengan menjadikan para Bule sebagai pameran pembantu, misalnya, dalam film-film kita.
Inilah yang perlu kita perhatikan ke depannya, baik kita sebagai konsumen film-film Hollywood, maupun para produser, sutradara dan pihak terkait lainnya dalam proses produksi film-film kita. Dan, mulai saat ini silahkan memperhatikan ideologi yang bermain dalam sebuah film!!


Yogyakarta, 4 Januari 2011

Darwin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar