Lima Penulis Memikat: dari Bandung
Mawardi hingga Acep Iwan Saidi
Darwin
Tanpa tulisan, tidak ada dunia
modern, ilmu pengetahuan
lambat berkembang, teknologi
sebatas sederhana,
komunikasi sejauh teriakan,
transportasi sekuat tungkai selebar layar
(Samsudin
Berlian, Kompas, 18/6/2010)
Jika ada nama penulis yang saya tunggu-tunggu
setiap pekannya di koran atau majalah, lima nama patut disebutkan: Acep Iwan Saidi,
Indra Tranggono, Asep Salahudin, Bandung Mawardi, dan nama yang populer di kalangan
dunia literasi, Muhidin M. Dahlan. Bukan bermaksud merendahkan penulis-penulis
hebat lainnya. Ini tentunya sangat subjektif. Ya, sensasi dunia tulis menulis memang berbeda bagi setiap
orang. Ada yang menyukai tulisan karena tampilan visualnya, misalnya para
penggemar komik. Ada yang menyukai lantunan ayat-ayat Tuhan, itu terpuaskan
oleh novel-novel karangan sastrawan bergenre religi, atau tulisan-tulisan para
pendakwah yang tidak inspiratif itu.
Ada lagi yang menyukai dunia perhantuan, itu tersua pada tulisan para
klenikus, ada pula yang menyukai dunia cibi-cibi, medianya adalah novel-novel teenlit yang sangat laris di pasaran
itu. Atau bagi penyuka cara hidup instan sudah tersedia di pasaran buku-buku
motivator. Dan yang terakhir bagi yang suka berpikir berat-berat, ada penulis
yang konsern di wilayah ini, yakni para filsuf, atau sastrawan yang setengah
filsuf, yang bisa dilihat dari novel-novel mereka nan berat. Tetapi di balik
kerutan kening itu tentu saja ada isi tulisan yang berisi sekaligus menginspirasi.
Kembali ke lima nama yang saya tulis
di awal. Mereka-mereka ini, menurut pandangan subjektif saya, adalah
penulis-penulis yang mempunyai tulisan indah. Tulisan mereka sungguh tidak
membosankan. Dari awal hingga tulisan pungkas, kita akan terus dibuai daya sihir
kata yang mereka torehkan. Hmm, tentu
saja tidak hanya daya pikat kata saja yang menyihir dan melenakan pembaca.
Kalau hanya berhenti di sini, pastilah sebuah tulisan tidak akan menarik. Ia
hanyalah puisi yang didedahkan para pujangga semacam Sutardji, Chairil Anwar,
atau Rendra. Lima penulis yang saya idolakan ini adalah juga perangkai ide yang
memesona. Ide dalam tulisan-tulisan mereka tentu saja sulit diduga. Mereka
penyampai ide yang tak terpikirkan sebelumnya. Ada satu lagi, tulisan mereka
tentu saja informatif. Banyak hal baru yang mereka ulas.
Yang menarik perhatian saya ketika
membaca tulisan mereka tentu saja daya pikat kata yang mereka mainkan.
Permainan diksi mereka sungguh aduhai. Sehingga tulisan mereka tentu saja
menjaadi ‘renyah’, ibarat kita menikmati dunia sastra, laiknya puisi yang
bertaburan kata-kata indah itu.
Lima penulis ini tidak begitu intim
buat saya sebagaimana penulis-penulis besar lainnya. Tentu saja kehidupan
mereka belum saya ketahui seluk-beluknya, kecuali Muhidin. Kita tahu Muhidin
adalah penulis yang tenar karena novelnya, Tuhan
Izinkan Aku Jadi Pelacur. Belakangan tulisan indahnya memenuhi ruang-ruang
surat kabar yang sering kita baca saban harinya. Ada Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, dan koran-koran lainnya yang
mengisi ruang baca kita.
Empat penulis lain, mungkin yang
agak tenar dikit—itu pun posisinya ada di bawah Muhidin—adalah Indra Tranggono.
Indra Tranggono setahu saya adalah seorang cerpenis. Cerpen-cerpennya menghiasi
surat kabar setiap hari Ahad. Cerpennya beberapa kali termuat dalam buku Cerpen
Terbaik Kompas. Esainya juga bertebaran di media nasional maupun lokal Yogyakarta.
Kumpulan cerpennya sudah diterbitkan ke dalam Anoman Ringsek dan Iblis
Ngambek. Dalam penerokaan saya, ia sangatlah produktif, hampir saban hari
tulisannya berupa esai budaya, politik, atau cerpen, akan tersua di koran seperti
Kompas, Koran Tempo, Kedaulatan
Rakyat, Jawa Pos, majalah Horison, dan lainnya. Penulis yang juga
konsern di drama ini berdomisili di Bantul, Yogyakarta. Tidak diketahui
pekerjaan sesungguhnya selain menulis, karena di setiap tulisannya ia hanya
mencantumkan pekerjaannya sebagai Anggota Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa,
hanya itu!
Bagaimana dengan Bandung Mawardi?
Bandung Mawardi adalah penulis produktif. Tulisannya sangat memikat. Diksinya
manis. Tulisannya bisa dinikmati di koran-koran nasional dan lokal. Hampir
setiap saya membaca Jawa Pos atau Koran Tempo, tulisan indahnya akan
selalu dijumpai. Bandung Mawardi bagi saya agak ‘misterius’. Profil pribadinya
tidak terlalu diketahui. Di setiap tulisannya ia hanya mencantumkan
aktivitasnya sebagai pengelola Jagat Abjad Solo. Entah komunitas apa itu? Mungkin
saja ada hubungannya dengan dunia tulis menulis yang dilakoninya. Yang lain,
yang saya tahu ia adalah orang nomor satu di organisasi pengarang Tanah Air. Ia
didaulat sebagai Ketua Perhimpunan Pengarang Indonesia, yang di dalamnya terhimpun
para penulis seluruh Indonesia.
Asep dan Acep
Sementara
Asep Salahudin adalah pimpinan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah
Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya. Ia juga
aktivis Lakpesdam NU, Jawa Barat. Tulisan memikatnya sering saya temui di Harian
Kompas. Salah satunya adalah analisisnya
saat menjelang perayaan Hari Raya Kurban pada bulan Oktober 2013 lalu. Tulisannya
berjudul “Daulat Mahkamah Kurban” (Kompas, 14/10/2013). Dengan lihai ia
memainkan judul artikel itu. Pada saat itu kita tahu politik negeri ini sedang
guncang berkat ulah seorang Akil Mochtar, sang Ketua Mahkamah Konstitusi, yang dipergoki
KPK sedang menerima suap di rumah dinasnya. Inilah sedikit kutipan tulisannya:
“Memasuki
Hari Raya Idhul Adha, memori kolektif kaum beriman selalu diingatkan ihwal drama
rohaniah tekad Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya….”
“Setan
bukan sekadar imaji makhluk jahat buruk rupa, melainkan yang tidak kalah
mengerikan adalah dorongan-dorongan primitif
yang mengendap dalam setiap jiwa kita. Hal itu, misalnya, sikap
intoleran, perilaku rakus, tindakan politik menghalalkan segala cara, termasuk
hasrat ingin “menjadi Tuhan”, yang
dikatakan Sartre sebagai asal mula segala macam kekerasan tergelar.”
Penulis kelahiran Garut, Jawa Barat
ini, pernah membikin ‘sensasi’ dengan pemuatan tujuh artikelnya sekaligus dalam
sehari di tujuh media berbeda pada tanggal 23 Januari 2013 dengan tema Maulid
Nabi. Masing-masing berjudul: “Maulid
Politik Kenabian” (Kompas), “Tarekat Kultural Maulid” (Tribun Jabar), “Maulid Kita” (Pikiran Rakyat),
“Spirit Budaya Kenabian” (Republika, rubrik ‘KabarJabar’), “Religiositas Maulid Nabi” (Republika), “Semiotika Berkat Maulid” (Jurnal
Nasional), dan “Maulid dan Paradoks
Keberagamaan” (Media Indonesia)
(lihat http://www.nu.or.id).
Di sinilah kelebihan seorang Asep.
Ia bisa meneropong peringatan Maulid Nabi dengan beragam perspektif. Sungguh langka
penulis demikian, bukan?
Yang terakhir ada penulis yang tidak
kalah produktifnya, yakni Acep Iwan Saidi. Ia sebelas dua belas dengan penulis
di atas tadi. Tulisannya selalu nampang
di kolom opini surat kabar-surat kabar nasional maupun lokal. Ide-ide bernasnya
juga tersampaikan melalui media yang ia tuliskan ke dalam buku dengan keindahan
kata dan analisis cerdas. Ia selalu menganalisis fenomena budaya, keberagamaan,
dan politik, dengan perspektif semiotika, juga filsafat secara keseluruhan.
Penulis ini lahir pada 9 Maret 1969,
di Bogor. Saat ini ia mengabdikan dirinya di Fakultas Seni Rupa dan Desain,
Institut Teknologi Bandung (ITB), sebagai seorang pengajar. Ia adalah lulusan Fakultas
Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung.
Tidak tahu pasti proses kreatif ia
menjadi penulis. Yang pasti penulis yang bergelar Doktor ini pernah menjadi
Redaktur Opini Majalah Kebudayaan KancahBandung
pada tahun 1999-2000, Sekretaris Jurnal Sosioteknologi
2006-2007, dan Pemred Warta
Sosioteknologi ITB 2000-2005 (Acepiwansaidi.com). Namun, saya yakin ia
adalah seorang pembaca yang kuat, terlihat dari diksi, ide, dan kekuatan sihir
tulisannya di berbagai media maupun buku yang dilahirkannya. Kita tahu membaca
tidak bisa dipisahkan dengan menulis, ibarat kuku dan daging, demikian pepatah
Melayu mengatakan.
Sebagai penutup kalam, setelah mengamati
sepintas lalu, kelima penulis ini tidak bisa dilepaskan dari yang namanya dunia
sastra. Mungkin karena itu pula, tulisan mereka menjadi indah dan tidak
membosankan. Muhidin sudah tidak diragukan lagi kepakarannya dalam bidang
sastra, dengan novel dan esai sastra yang didedahkannya. Indra Tranggono adalah
salah seorang cerpenis produktif dari Yogyakarta, karya-karyanya menghiasi
jagat kesastraan Indonesia. Begitu juga dengan Acep, Asep, dan Bandung Mawardi
yang bertungkus lumus dengan dunia sastra dalam keseharian mereka. Bandung,
misalnya, ia adalah penulis esai sastra yang terpandang di kalangan penulis.
Hingga di sini saja, semoga yang
membaca tulisan ini juga kepincut dengan lima penulis keren ini! Wallahu a’lam bi al-shawab.Feb 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar