Rabu, 12 Maret 2014

Lima Penulis Memikat: dari Bandung Mawardi hingga Acep Iwan Saidi



Lima Penulis Memikat: dari Bandung Mawardi hingga Acep Iwan Saidi
Darwin
Tanpa tulisan, tidak ada dunia modern, ilmu pengetahuan
lambat berkembang, teknologi sebatas sederhana,
komunikasi sejauh teriakan, transportasi sekuat tungkai selebar layar
(Samsudin Berlian, Kompas, 18/6/2010)
            Jika ada nama penulis yang saya tunggu-tunggu setiap pekannya di koran atau majalah, lima nama patut disebutkan: Acep Iwan Saidi, Indra Tranggono, Asep Salahudin, Bandung Mawardi, dan nama yang populer di kalangan dunia literasi, Muhidin M. Dahlan. Bukan bermaksud merendahkan penulis-penulis hebat lainnya. Ini tentunya sangat subjektif. Ya, sensasi  dunia tulis menulis memang berbeda bagi setiap orang. Ada yang menyukai tulisan karena tampilan visualnya, misalnya para penggemar komik. Ada yang menyukai lantunan ayat-ayat Tuhan, itu terpuaskan oleh novel-novel karangan sastrawan bergenre religi, atau tulisan-tulisan para pendakwah yang tidak inspiratif itu.
            Ada lagi yang menyukai  dunia perhantuan, itu tersua pada tulisan para klenikus, ada pula yang menyukai dunia cibi-cibi, medianya adalah novel-novel teenlit yang sangat laris di pasaran itu. Atau bagi penyuka cara hidup instan sudah tersedia di pasaran buku-buku motivator. Dan yang terakhir bagi yang suka berpikir berat-berat, ada penulis yang konsern di wilayah ini, yakni para filsuf, atau sastrawan yang setengah filsuf, yang bisa dilihat dari novel-novel mereka nan berat. Tetapi di balik kerutan kening itu tentu saja ada isi tulisan yang berisi sekaligus menginspirasi.
            Kembali ke lima nama yang saya tulis di awal. Mereka-mereka ini, menurut pandangan subjektif saya, adalah penulis-penulis yang mempunyai tulisan indah. Tulisan mereka sungguh tidak membosankan. Dari awal hingga tulisan pungkas, kita akan terus dibuai daya sihir kata yang mereka torehkan. Hmm, tentu saja tidak hanya daya pikat kata saja yang menyihir dan melenakan pembaca. Kalau hanya berhenti di sini, pastilah sebuah tulisan tidak akan menarik. Ia hanyalah puisi yang didedahkan para pujangga semacam Sutardji, Chairil Anwar, atau Rendra. Lima penulis yang saya idolakan ini adalah juga perangkai ide yang memesona. Ide dalam tulisan-tulisan mereka tentu saja sulit diduga. Mereka penyampai ide yang tak terpikirkan sebelumnya. Ada satu lagi, tulisan mereka tentu saja informatif. Banyak hal baru yang mereka ulas.
            Yang menarik perhatian saya ketika membaca tulisan mereka tentu saja daya pikat kata yang mereka mainkan. Permainan diksi mereka sungguh aduhai. Sehingga tulisan mereka tentu saja menjaadi ‘renyah’, ibarat kita menikmati dunia sastra, laiknya puisi yang bertaburan kata-kata indah itu.
            Lima penulis ini tidak begitu intim buat saya sebagaimana penulis-penulis besar lainnya. Tentu saja kehidupan mereka belum saya ketahui seluk-beluknya, kecuali Muhidin. Kita tahu Muhidin adalah penulis yang tenar karena novelnya, Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur. Belakangan tulisan indahnya memenuhi ruang-ruang surat kabar yang sering kita baca saban harinya. Ada Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, dan koran-koran lainnya yang mengisi ruang baca kita.
            Empat penulis lain, mungkin yang agak tenar dikit—itu pun posisinya ada di bawah Muhidin—adalah Indra Tranggono. Indra Tranggono setahu saya adalah seorang cerpenis. Cerpen-cerpennya menghiasi surat kabar setiap hari Ahad. Cerpennya beberapa kali termuat dalam buku Cerpen Terbaik Kompas. Esainya juga bertebaran di media nasional maupun lokal Yogyakarta. Kumpulan cerpennya sudah diterbitkan ke dalam Anoman Ringsek dan Iblis Ngambek. Dalam penerokaan saya, ia sangatlah produktif, hampir saban hari tulisannya berupa esai budaya, politik, atau cerpen, akan tersua di koran seperti Kompas, Koran Tempo, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, majalah Horison, dan lainnya. Penulis yang juga konsern di drama ini berdomisili di Bantul, Yogyakarta. Tidak diketahui pekerjaan sesungguhnya selain menulis, karena di setiap tulisannya ia hanya mencantumkan pekerjaannya sebagai Anggota Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa, hanya itu!
            Bagaimana dengan Bandung Mawardi? Bandung Mawardi adalah penulis produktif. Tulisannya sangat memikat. Diksinya manis. Tulisannya bisa dinikmati di koran-koran nasional dan lokal. Hampir setiap saya membaca Jawa Pos atau Koran Tempo, tulisan indahnya akan selalu dijumpai. Bandung Mawardi bagi saya agak ‘misterius’. Profil pribadinya tidak terlalu diketahui. Di setiap tulisannya ia hanya mencantumkan aktivitasnya sebagai pengelola Jagat Abjad Solo. Entah komunitas apa itu? Mungkin saja ada hubungannya dengan dunia tulis menulis yang dilakoninya. Yang lain, yang saya tahu ia adalah orang nomor satu di organisasi pengarang Tanah Air. Ia didaulat sebagai Ketua Perhimpunan Pengarang Indonesia, yang di dalamnya terhimpun para penulis seluruh Indonesia.
           
Asep dan Acep
Sementara Asep Salahudin adalah pimpinan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah Pesantren Suryalaya,  Tasikmalaya. Ia juga aktivis Lakpesdam NU, Jawa Barat. Tulisan memikatnya sering saya temui di Harian Kompas. Salah satunya adalah analisisnya saat menjelang perayaan Hari Raya Kurban pada bulan Oktober 2013 lalu. Tulisannya berjudul “Daulat Mahkamah Kurban” (Kompas, 14/10/2013). Dengan lihai ia memainkan judul artikel itu. Pada saat itu kita tahu politik negeri ini sedang guncang berkat ulah seorang Akil Mochtar, sang Ketua Mahkamah Konstitusi, yang dipergoki KPK sedang menerima suap di rumah dinasnya. Inilah sedikit kutipan tulisannya:
            Memasuki Hari Raya Idhul Adha, memori kolektif kaum beriman selalu diingatkan ihwal drama rohaniah tekad Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya….
            Setan bukan sekadar imaji makhluk jahat buruk rupa, melainkan yang tidak kalah mengerikan adalah dorongan-dorongan primitif  yang mengendap dalam setiap jiwa kita. Hal itu, misalnya, sikap intoleran, perilaku rakus, tindakan politik menghalalkan segala cara, termasuk hasrat ingin “menjadi Tuhan”, yang dikatakan Sartre sebagai asal mula segala macam kekerasan tergelar.
            Penulis kelahiran Garut, Jawa Barat ini, pernah membikin ‘sensasi’ dengan pemuatan tujuh artikelnya sekaligus dalam sehari di tujuh media berbeda pada tanggal 23 Januari 2013 dengan tema Maulid Nabi. Masing-masing berjudul: “Maulid Politik Kenabian” (Kompas), “Tarekat Kultural Maulid” (Tribun Jabar), “Maulid Kita” (Pikiran Rakyat), “Spirit Budaya Kenabian” (Republika, rubrik ‘KabarJabar’), “Religiositas Maulid Nabi” (Republika), “Semiotika Berkat Maulid” (Jurnal Nasional), dan “Maulid dan Paradoks Keberagamaan” (Media Indonesia) (lihat http://www.nu.or.id).
            Di sinilah kelebihan seorang Asep. Ia bisa meneropong peringatan Maulid Nabi dengan beragam perspektif. Sungguh langka penulis demikian, bukan?
            Yang terakhir ada penulis yang tidak kalah produktifnya, yakni Acep Iwan Saidi. Ia sebelas dua belas dengan penulis di atas tadi. Tulisannya selalu nampang di kolom opini surat kabar-surat kabar nasional maupun lokal. Ide-ide bernasnya juga tersampaikan melalui media yang ia tuliskan ke dalam buku dengan keindahan kata dan analisis cerdas. Ia selalu menganalisis fenomena budaya, keberagamaan, dan politik, dengan perspektif semiotika, juga filsafat secara keseluruhan.
            Penulis ini lahir pada 9 Maret 1969, di Bogor. Saat ini ia mengabdikan dirinya di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB), sebagai seorang pengajar. Ia adalah lulusan Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung.
            Tidak tahu pasti proses kreatif ia menjadi penulis. Yang pasti penulis yang bergelar Doktor ini pernah menjadi Redaktur Opini Majalah Kebudayaan KancahBandung pada tahun 1999-2000, Sekretaris Jurnal Sosioteknologi 2006-2007, dan Pemred Warta Sosioteknologi ITB 2000-2005 (Acepiwansaidi.com). Namun, saya yakin ia adalah seorang pembaca yang kuat, terlihat dari diksi, ide, dan kekuatan sihir tulisannya di berbagai media maupun buku yang dilahirkannya. Kita tahu membaca tidak bisa dipisahkan dengan menulis, ibarat kuku dan daging, demikian pepatah Melayu mengatakan. 
            Sebagai penutup kalam, setelah mengamati sepintas lalu, kelima penulis ini tidak bisa dilepaskan dari yang namanya dunia sastra. Mungkin karena itu pula, tulisan mereka menjadi indah dan tidak membosankan. Muhidin sudah tidak diragukan lagi kepakarannya dalam bidang sastra, dengan novel dan esai sastra yang didedahkannya. Indra Tranggono adalah salah seorang cerpenis produktif dari Yogyakarta, karya-karyanya menghiasi jagat kesastraan Indonesia. Begitu juga dengan Acep, Asep, dan Bandung Mawardi yang bertungkus lumus dengan dunia sastra dalam keseharian mereka. Bandung, misalnya, ia adalah penulis esai sastra yang terpandang di kalangan penulis.
            Hingga di sini saja, semoga yang membaca tulisan ini juga kepincut dengan lima penulis keren ini! Wallahu a’lam bi al-shawab.Feb 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar