Jumat, 15 Mei 2015

RINI GADIS MALANG



RINI GADIS MALANG
Nur Alam Amjar

Hutan belantara berselimut kabut di sore hari, laksana cadar yang menutupi kecantikan wanita. Tak seberkaspun cahaya matahari yang mampu menelusup sampai ke bumi. Jiwa-jiwa merdeka penghuni hutan merintih kedinginan. Kini mereka hanya bisa berselimut udara dingin. Tangan mereka saling bersidekap di dada. Bulu tebal tak cukup untuk menghangatkan kebekuan itu. Tapi, dari mata mereka terpancar cahaya harapan yang besar untuk tetap bertahan.
Dan kota di sore hari bermandikan sunset dan udara pun teramat panas. Jiwa-jiwa damai anak kota berkabung dengan kebecian karena kehidupan kota yang selalu mengekang. Carut-marut kehidupan kota yang seakan-akan tak pernah peduli akan sesama, menjadikannya kota yang tak indah lagi. Tapi, menjadi neraka bagi penduduknya.
***

Keteguhan hati yang merintih menghadapi keterasingan dalam hidup. Menangis dalam dekapan malam, namun tak ada air mata. Merintih dalam sunyi namun, tak ada suara. Itulah yang diraskan gadis kecil itu saat ini. Ia menjadi terasing. Menjadikannya anak yang pendiam. Tak ingin mengenal siapa-siapa lagi. Ia lebih memilih menyendiri, bersama sunyi.

Tubuhnya yang kurus kadang membawa jiwanya mengarungi kota pendidikan yang baru diinjaknya. Sepeda butut yang dibelinya beberapa waktu lalu setia menemaninya, kadang menjadi teman curhat saat mengarungi jalan, di bawah sengatan sinar matahari. Ia kadang berteduh di bawah pohon yang rindang. Dan udara panas menyergap kulit jari lentiknya.

Wajah ovalnya dan alisnya yang melengkung indah tepat di atas matanya yang bulat, ia tengadahkan ke langit. Matanya menjelajah, laksana orang tertindas mencari keadilan dalam hidup. Ia merasa seakan-akan dianaktirikan. Setelah puas menatap langit gadis yang tubuhnya terbalut oleh pakaian warna merah kembali melanjutkan perjalanan, mencari ketenangan jiwa.

"Tuhan, jika memang aku harus menderita dalam tanah rantau ini, aku ikhlas. Tapi, kenapa harus orang terdekatku yang menjadikanku menjadi seperti ini?" Katanya saat berhenti lagi di sisi kanan jalan sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang menyimpan kesucian sentuhan itu. Dan ia menyandarkan sepeda bututnya pada paha yang terbungkus dengan rok warna abu-abu. Bulir-bulir bening pun berjatuhan di antara kedua tangan yang menyimpan beribu permohonan.

Matahari sudah berada di ubun-ubun. Menembus sampai ke dalam kepala. Alis yang tadinya indah melengkung berubah menjadi tak beraturan. Mata yang bulat semakin meyipit, menghindar dari serangan silaunya cahaya dan suhu udara yang semakin panas. Tatapannya nanar pada sebuah tempat yang teduh, di bola matanya mulai lahir kunang-kunang beterbangan seakan ingin menutupi seluruh dunia yang dinikmatinya. Lengan kiri yang tak memegang sepeda perlahan terangkat dan mendarat pada batok yang tertutupi jilbab hitam sebahu. Matanya mulai sayu, kunang-kungan semakin menguasai dunianya. Ia pun hanya bisa terduduk menyandarkan tubuh mungilnya pada sebuah pohon kecil yang kebetulan berdiri kokoh di samping kanannya.

Ia pejamkan matanya. Gadis kecil itu tak lagi bisa melihat dunia yang terang, ia hanya bisa melihat dunia tertutup kegelapan. Di antara orang yang melalui jalan itu tak satu pun yang memiliki rasa iba. Ribuan pasang mata hanya menatap biasa, seakan orang seperti ini adalah hal biasa mereka lihat. Mungkin jiwa mereka telah gelap, sehingga saat melihat anak yang hanya bisa terduduk tak berdaya adalah hal yang lumrah.
***
Tak lama kemudian gadis kurus yang kini berwajah pucat menyerupai vampir membuka matanya.
"aku ada di mana?" Ucapnya lemah, sambil berusah untuk duduk dengan bantuan  kedua tangannya.
"Sudah, kamu baring saja dulu!" Perintah seorang laki-laki muda berambut lurus dan kurus yang duduk di sampingnya. "Sekarang kamu sudah ada di kos." Lanjutnya sambil meberikan segelas air putih dalam gelas kaca berwarna merah.
"Sii.....siap...siapa yang bawa aku pulang?" Tanyanya terbata-bata dan tangannya ia letakkan di dada.
"Aku tadi kebetulan lewat dengan temanku dan melihat kamu tiduran di bawah pohon itu. Aku menghampirimu, kubangunkan kamu tapi kamu tak kunjung bangun, bersama dengan temanku aku mebawamu pulang dengan cepat." Lelaki itu menceritakan semuanya, bagaimana gadis yang terbaring pucat itu bisa berada di kosnya.
"Terimakasih Kak Bam." Katanya pada laki-laki yang mengenakan kaos kuning di sampingnya.
"Yang lain pada ke mana?"
"Aku tidak tahu." Jawabnya dengan memalingkan wajah ke kiri. Tak ingin memperlihatkan kesedihannya pada Bam saat mengingat ke dua teman kosnya itu.
"Kamu kenapa Rhin? Ada masalah apa dengan mereka?" Katanya dengan lembut, melihat perubahan pada wajahnya saat menanyakan kedua temannya, sambil mendekatkan wajahnya ke Rhina, ia mencari wajah gadis itu.
"Tidak." Sergahnya dan semakin terisak saat mengingat semua perlakuan orang yang tinggal bersamanya saat ini, meskipun sepupunya sendiri. Tapi, ia tidak bisa mneyembunyikan kekecewaannya,
"Ceritalah Rhin, nanti aku akan membatumu bila itu perlu." Rayu laki-laki yang duduk di sebelah kanan Rhina.
"Tidaak," Ia membentak dengan suara tertahan oleh kesedihan yang ingin segera meledak. "Cukup aku sendiri yang menerima semua ini." Lanjutnya semakin terisak. Suara tangisannya tak begitu jelas sampai pada telinga Bam karena gadis itu menutup wajahnya dengan bantal.
"Ya, Sudahlah," katanya memelas. Lalu ia mencari sesuatu.
"Kak, Bam!" Ucapnya lirih. Bantal yang menutupi wajahnya telah menggelinding ke samping. Dan wajah sembab itu kini menatap dengan sendu pada laki-laki yang bersamanya.
"Iya kenapa, Rhin?" Ia menjawab sekenanya, sambil menoleh kembali setelah beberap saat sebelumnya ia memalingkan wajah.
"Kenapa aku harus merasakan ini. Di kota yang jauh dari tanah kelahiranku. Di sini aku merasa terasing. Aku di sini memenuhi panggilan sepupu tetapi sekarang dia tidak peduli lagi dengan aku, Kak. Di tambah lagi hatiku di penuhi dengan rasa cinta. Aku mencitai pria, tapi sepertinya dia sedikit pun tak punya perasaan kepadaku. Aku harus bagaimana, Kak Bam?" Ia mengeluarkan semua kegelisahan yang sempat terpenjara dalam hatinya. Wajah pucat itu kini tertutupi oleh telapak tangan dan lagi linangan air mata muncul di sela-sela tangan yang menutupi wajah pucat itu.

Bam tak bisa menjawab, ia hanya bisa diam. Mulutnya terkatup dengan rapat, makanan dalam dekapan mulutnya tak kunjung menembus sampai ke lambung. Mulutnya bisu tetapi hatinya mengoceh, menasehati gadis yang ada di depannya. Ia tak ingin melihat gadis itu bertambah sedih jika nantinya Bam salah dalam menasehati.
"Aku mengerti perasaanmu saat ini, Dik. Tapi, kamu harus sabar, sebab di sini aku bukan siapa-siapa kamu." Katanya mebatin sambil menelan sisa makanan dalam mulutnya.

Si sakit saat ini menatap dengan mata sembab dan penuh harap akan jawaban dari pria yang ada di depannya.
"Mungkin Kakak tidak menjawab karena Kakak menganggap diri Kak Bam bukan siapa-siapa. Tapi di sini bisakah Kakak menjadi Kakaku karena cuma kakaklah yang peduli dengan aku." Ucapnya lugas, matanya sayu menunggu tanggapan dari Bam.

Suhu dalam kamar itu semakin terasa panas meskipun langit sudah semakin gelap. Debu-debu di depan kamar beterbangan, beradu dengan kuatnya tiupan angin. Semua tanah menjadi kering kerontang, karena sudah hampir dua bulan lamanya kota pendidikan itu tidak diguyur hujan.

Pemuda kurus itu belum juga berucap. Ia masih terheran-herang dengan semua ucapan si sakit. Tapi ia menjadi kasihan melihat mata yang semakin sayu, dan berbinar-binar. Dari mata bulat itu Bam seakan melihat pancaran cayaha bulan yang menyejukkan. Hatinya pun segera tercerakan dan menggerakkan kekakuan yang terjadi pada bibirnya untuk berucap.
"Kebencian seseorang tidak datang begitu saja. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini ada penyebanya. Tapi, jika urusan perasaan adalah hubungan antara perseorangan, tapi tak menutup kemungkinan kita tidak boleh meminta pendapat kepada orang lain." Ia menjelaskan dengan menatap datar ke arah pintu yang terbuka, lalu sesekali ia melirik ke arah si sakit. Bam melihat ada sebuah senyum yang terbentuk di kedua sudut bibir mungil Rhina. Kemudian ia melanjutkan ceritanya ia hubungkan dengan kisah hidupnya saat pertama kali ia menginjakkan kaki di kota pendidikan ini.
"Dulu, aku pernah merasakan hal yang sama. Aku merasa terasing di kota ini. Seakan-akan aku hanya hidup sendiri dalam keramaian kota. Aku tau di sini ada sebuah organisasi daerah. Tapi, tak pernah menganggapku ada, hingga aku semakin terkucilkan. Dan suatu ketika, karena sudah tidak tahan dengan kondisi seperti ini. Dan saat itu ada sebuah awan gelap yang aku lihat mendekat dan masuk ke dalam tubuhku. Penglihatanku gelap, ia menguasai jiwaku, menggelapkan pikiranku. Hingga aku berpikiran untuk mengakhiri hidup dengan cara akan lompat dari jalan layang yang tak jauh dari Universitas Islam Negeri." Ia menghela napas dan raut mukanya seketika itu berubah menjadi muram. Bayang-bayang kenangan kelam itu harus ia kembalikan dalam pikirannya. Ia berusaha untuk menguasai diri lalu lanjut bercerita.
"Tapi saat aku melangkah dan mengankat kaki ke atas pagar besi di atas trotoar  jalan layang. Kurasakan angin semilir menerbangkan ragaku. Jiwaku seakan telah melayang meninggalkan ragaku. Rambut panjangku berkibar kebelakang karena belaian lembut angin itu. Ku pejamkan mata lalu menengadahkan kepala dan kemudian membuka kembali mataku. Aku tak sanggup lagi melihat langit yang berhias awan, semuanya seakan menyatu dengan diriku. Dan saat itulah ada sebuah cahaya putih yang masuk ke dalam tubuhku. Kulihat ia perlahan-lahan meruncing lalu menyusup masuk lewat dadaku. Kurasakan hangat dan ketenangan jiwa yang begitu indah. Kupenjamkan kembali mataku kurasakan cahay itu masuk sepenuhnya ke dalam tubuhku. Menguasai jiwaku. Mencerahkan hati dan pikiranku." Ia menhela napas lalu lanjut kembali.
"Saat itulah aku menemukan kebenaran. Aku sadar bahwa di dunia ini aku tak sendiri. Tapi ada Tuhan yang selalu menyinari hatiku. Dan di stulah aku menemukan kembali semangat hidupku. Maka kamu jangan pernah merasa terkucilkan, mungkin mereka mengabaikanmu. Tapi, Tuhan selalu bersamamu. Ia selalu bersemayam dalam hati dan jiwamu." Jelasnya panjang, dan ia juga menunjuk ke arah dada Rhini meskipun tak sampai menyentu. Dan bulir-bulir bening itu kembali mengalir dari kedua sudut mata si sakit. Ia terharu mendengar cerita dari Bam. Hati Rhini menjadi dingin sedingin kutub utara mengiringi air mata yang terus membajiri jiwa yang baru saja melihat cayaha hidupnya kembali.
◎◎◎

Tak lama kemudian datang dua orang perempuan. Satunya bertubuh bongsor, namun wajahnya elok dipandang. Dan yang satu kecil mungil dan sedikit tomboi, namun ia berpenampilan begitu islami. Mungkin kerena dulunya ia adalah anak pondokan, matanya bulat dan ketika ia senyum, semua orang yang melihatnya akan melayang dan merasa berada dalam timbunan kelopak bunga yang harum menyemerbak. Tapi semua pemandangan itu berubah saat mata kita alihkan ke gadis gendut yang besrsama si cantik. Saat ia tersenyum keindahan dunia seketika akan hilang. Dan merasa berada dalam genangan lumpur yang bau. Senyumnya pahit.

Bam bangkit dari duduknya, menghampiri kedua orang yang baru datang itu. Tapi ia hanya ke gadis yang berbadan lebih besar itu. Bam mengajaknya untuk ngobrol. Si cantik bingung dengan prilaku Bam terhadap Rhisna. Gadis itu hanya bisa garuk kepala belakang yang berlapis kain tipis.
"Kamu sini dulu, ada yang ingin saya omongin sama kamu," celetuknya cepat. Ia lalu meraih tangan gadis itu keluar pintu.
"Apa sih, kamu ini bukan siapa-siapaku, ya. Jadi jangan sembarang tarik-tarik orang." Sergahnya sambil melempar genggaman tangan Bam dari tangannya. Dan membuang wajah.
"Sudah, mungkin aku bukan siapa-siapa. Tapi aku peduli dibandingkan kamu kepada Rhini." Celotehnya dengan suara yang sedikit di tekan, sedang lenganny kanannya terayun-ayun menunjuk ke arah dalam kamar. "Yang aku heran dari kamu. Kamu adalah sepupunya akan tetapi kamu memperlakukannya seperti ini. Bukannya kamu sendiri yang mengajaknya untuk melanjutkan sekolahnya di kota ini?" Tanyanya.
"Hey. Dengar, ya. Kamu jangan sok peduli, jangan kamu urusi kehidupan kami." Tandasnya dengan mata yang seakan-akan ingin keluar.
"Iya saya tau. Tapi mana rasa tanggung jawabmu atas adikmu sendiri. Bagaimana jika keluarganya di kampung tau kalau di sini dia di telantarkan. Kita memang bukan keluarga, tapi kita satu daerah. Ingat itu." Suaranya semakin meninggi. Dan telunjuknya tidak tinggal diam
"Sudah tak usah kau ceramahi aku. Aku juga tau itu." Balasnya dengan suara yang lebih tinggi.
Sontak semua orang yang ada melihat ke arah meraka. Kini mereka seakan di kelilingi tali yang melingkar bak ring tinju. Dan mereka menjadi pemainnya, dan orang-orang yang ada menjadi penonton. Ya mereka bertarung kata dalam ring perdebatan.
Rhini yang mendengar pertengkaran mereka menjerit. Suranya melengking mangikuti tiupan angin. Pandangannya kembali gelap. Ia merasa berada dalam ruangan gelap yang tak sedikit pun cahaya yang masuk. Dalam ruangan ia hanya mendengar suara yang saling beradu, terpantul ke mana-mana memenuhi ruangan. Gadis pucat itu semakin menjerit, lalu suaranya tak terdengar lagi. Matanya pun ikut mengatup bagai putri malu yang mengatupkan daunnya saat tersentuh manusia. Ia tak sadar lagi.

Yogyakarta, 29 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar