RINI GADIS MALANG
Nur Alam Amjar
Hutan belantara berselimut kabut di sore
hari, laksana cadar yang menutupi kecantikan wanita. Tak seberkaspun cahaya
matahari yang mampu menelusup sampai ke bumi. Jiwa-jiwa merdeka penghuni hutan
merintih kedinginan. Kini mereka hanya bisa berselimut udara dingin. Tangan
mereka saling bersidekap di dada. Bulu tebal tak cukup untuk menghangatkan
kebekuan itu. Tapi, dari mata mereka terpancar cahaya harapan yang besar untuk
tetap bertahan.
Dan kota di sore hari bermandikan sunset
dan udara pun teramat panas. Jiwa-jiwa damai anak kota berkabung dengan
kebecian karena kehidupan kota yang selalu mengekang. Carut-marut kehidupan
kota yang seakan-akan tak pernah peduli akan sesama, menjadikannya kota yang
tak indah lagi. Tapi, menjadi neraka bagi penduduknya.
***
Keteguhan hati yang merintih menghadapi
keterasingan dalam hidup. Menangis dalam dekapan malam, namun tak ada air mata.
Merintih dalam sunyi namun, tak ada suara. Itulah yang diraskan gadis kecil itu
saat ini. Ia menjadi terasing. Menjadikannya anak yang pendiam. Tak ingin
mengenal siapa-siapa lagi. Ia lebih memilih menyendiri, bersama sunyi.
Tubuhnya yang kurus kadang membawa
jiwanya mengarungi kota pendidikan yang baru diinjaknya. Sepeda butut yang
dibelinya beberapa waktu lalu setia menemaninya, kadang menjadi teman curhat
saat mengarungi jalan, di bawah sengatan sinar matahari. Ia kadang berteduh di
bawah pohon yang rindang. Dan udara panas menyergap kulit jari lentiknya.
Wajah ovalnya dan alisnya yang
melengkung indah tepat di atas matanya yang bulat, ia tengadahkan ke langit.
Matanya menjelajah, laksana orang tertindas mencari keadilan dalam hidup. Ia
merasa seakan-akan dianaktirikan. Setelah puas menatap langit gadis yang
tubuhnya terbalut oleh pakaian warna merah kembali melanjutkan perjalanan,
mencari ketenangan jiwa.
"Tuhan, jika memang aku harus
menderita dalam tanah rantau ini, aku ikhlas. Tapi, kenapa harus orang
terdekatku yang menjadikanku menjadi seperti ini?" Katanya saat berhenti
lagi di sisi kanan jalan sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan
yang menyimpan kesucian sentuhan itu. Dan ia menyandarkan sepeda bututnya pada
paha yang terbungkus dengan rok warna abu-abu. Bulir-bulir bening pun
berjatuhan di antara kedua tangan yang menyimpan beribu permohonan.
Matahari sudah berada di ubun-ubun.
Menembus sampai ke dalam kepala. Alis yang tadinya indah melengkung berubah
menjadi tak beraturan. Mata yang bulat semakin meyipit, menghindar dari
serangan silaunya cahaya dan suhu udara yang semakin panas. Tatapannya nanar
pada sebuah tempat yang teduh, di bola matanya mulai lahir kunang-kunang
beterbangan seakan ingin menutupi seluruh dunia yang dinikmatinya. Lengan kiri
yang tak memegang sepeda perlahan terangkat dan mendarat pada batok yang
tertutupi jilbab hitam sebahu. Matanya mulai sayu, kunang-kungan semakin
menguasai dunianya. Ia pun hanya bisa terduduk menyandarkan tubuh mungilnya
pada sebuah pohon kecil yang kebetulan berdiri kokoh di samping kanannya.
Ia pejamkan matanya. Gadis kecil itu tak
lagi bisa melihat dunia yang terang, ia hanya bisa melihat dunia tertutup
kegelapan. Di antara orang yang melalui jalan itu tak satu pun yang memiliki
rasa iba. Ribuan pasang mata hanya menatap biasa, seakan orang seperti ini
adalah hal biasa mereka lihat. Mungkin jiwa mereka telah gelap, sehingga saat
melihat anak yang hanya bisa terduduk tak berdaya adalah hal yang lumrah.
***
Tak lama kemudian gadis kurus yang kini
berwajah pucat menyerupai vampir membuka matanya.
"aku ada di mana?" Ucapnya
lemah, sambil berusah untuk duduk dengan bantuan kedua tangannya.
"Sudah, kamu baring saja
dulu!" Perintah seorang laki-laki muda berambut lurus dan kurus yang duduk
di sampingnya. "Sekarang kamu sudah ada di kos." Lanjutnya sambil
meberikan segelas air putih dalam gelas kaca berwarna merah.
"Sii.....siap...siapa yang bawa aku
pulang?" Tanyanya terbata-bata dan tangannya ia letakkan di dada.
"Aku tadi kebetulan lewat dengan
temanku dan melihat kamu tiduran di bawah pohon itu. Aku menghampirimu,
kubangunkan kamu tapi kamu tak kunjung bangun, bersama dengan temanku aku
mebawamu pulang dengan cepat." Lelaki itu menceritakan semuanya, bagaimana
gadis yang terbaring pucat itu bisa berada di kosnya.
"Terimakasih Kak Bam." Katanya
pada laki-laki yang mengenakan kaos kuning di sampingnya.
"Yang lain pada ke mana?"
"Aku tidak tahu." Jawabnya
dengan memalingkan wajah ke kiri. Tak ingin memperlihatkan kesedihannya pada
Bam saat mengingat ke dua teman kosnya itu.
"Kamu kenapa Rhin? Ada masalah apa
dengan mereka?" Katanya dengan lembut, melihat perubahan pada wajahnya
saat menanyakan kedua temannya, sambil mendekatkan wajahnya ke Rhina, ia
mencari wajah gadis itu.
"Tidak." Sergahnya dan semakin
terisak saat mengingat semua perlakuan orang yang tinggal bersamanya saat ini,
meskipun sepupunya sendiri. Tapi, ia tidak bisa mneyembunyikan kekecewaannya,
"Ceritalah Rhin, nanti aku akan
membatumu bila itu perlu." Rayu laki-laki yang duduk di sebelah kanan
Rhina.
"Tidaak," Ia membentak dengan
suara tertahan oleh kesedihan yang ingin segera meledak. "Cukup aku
sendiri yang menerima semua ini." Lanjutnya semakin terisak. Suara
tangisannya tak begitu jelas sampai pada telinga Bam karena gadis itu menutup
wajahnya dengan bantal.
"Ya, Sudahlah," katanya
memelas. Lalu ia mencari sesuatu.
"Kak, Bam!" Ucapnya lirih.
Bantal yang menutupi wajahnya telah menggelinding ke samping. Dan wajah sembab
itu kini menatap dengan sendu pada laki-laki yang bersamanya.
"Iya kenapa, Rhin?" Ia
menjawab sekenanya, sambil menoleh kembali setelah beberap saat sebelumnya ia
memalingkan wajah.
"Kenapa aku harus merasakan ini. Di
kota yang jauh dari tanah kelahiranku. Di sini aku merasa terasing. Aku di sini
memenuhi panggilan sepupu tetapi sekarang dia tidak peduli lagi dengan aku,
Kak. Di tambah lagi hatiku di penuhi dengan rasa cinta. Aku mencitai pria, tapi
sepertinya dia sedikit pun tak punya perasaan kepadaku. Aku harus bagaimana,
Kak Bam?" Ia mengeluarkan semua kegelisahan yang sempat terpenjara dalam
hatinya. Wajah pucat itu kini tertutupi oleh telapak tangan dan lagi linangan
air mata muncul di sela-sela tangan yang menutupi wajah pucat itu.
Bam tak bisa menjawab, ia hanya bisa
diam. Mulutnya terkatup dengan rapat, makanan dalam dekapan mulutnya tak
kunjung menembus sampai ke lambung. Mulutnya bisu tetapi hatinya mengoceh,
menasehati gadis yang ada di depannya. Ia tak ingin melihat gadis itu bertambah
sedih jika nantinya Bam salah dalam menasehati.
"Aku mengerti perasaanmu saat ini,
Dik. Tapi, kamu harus sabar, sebab di sini aku bukan siapa-siapa kamu."
Katanya mebatin sambil menelan sisa makanan dalam mulutnya.
Si sakit saat ini menatap dengan mata
sembab dan penuh harap akan jawaban dari pria yang ada di depannya.
"Mungkin Kakak tidak menjawab
karena Kakak menganggap diri Kak Bam bukan siapa-siapa. Tapi di sini bisakah
Kakak menjadi Kakaku karena cuma kakaklah yang peduli dengan aku." Ucapnya
lugas, matanya sayu menunggu tanggapan dari Bam.
Suhu dalam kamar itu semakin terasa
panas meskipun langit sudah semakin gelap. Debu-debu di depan kamar
beterbangan, beradu dengan kuatnya tiupan angin. Semua tanah menjadi kering
kerontang, karena sudah hampir dua bulan lamanya kota pendidikan itu tidak
diguyur hujan.
Pemuda kurus itu belum juga berucap. Ia
masih terheran-herang dengan semua ucapan si sakit. Tapi ia menjadi kasihan
melihat mata yang semakin sayu, dan berbinar-binar. Dari mata bulat itu Bam
seakan melihat pancaran cayaha bulan yang menyejukkan. Hatinya pun segera
tercerakan dan menggerakkan kekakuan yang terjadi pada bibirnya untuk berucap.
"Kebencian seseorang tidak datang
begitu saja. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini ada penyebanya. Tapi,
jika urusan perasaan adalah hubungan antara perseorangan, tapi tak menutup
kemungkinan kita tidak boleh meminta pendapat kepada orang lain." Ia
menjelaskan dengan menatap datar ke arah pintu yang terbuka, lalu sesekali ia
melirik ke arah si sakit. Bam melihat ada sebuah senyum yang terbentuk di kedua
sudut bibir mungil Rhina. Kemudian ia melanjutkan ceritanya ia hubungkan dengan
kisah hidupnya saat pertama kali ia menginjakkan kaki di kota pendidikan ini.
"Dulu, aku pernah merasakan hal
yang sama. Aku merasa terasing di kota ini. Seakan-akan aku hanya hidup sendiri
dalam keramaian kota. Aku tau di sini ada sebuah organisasi daerah. Tapi, tak
pernah menganggapku ada, hingga aku semakin terkucilkan. Dan suatu ketika,
karena sudah tidak tahan dengan kondisi seperti ini. Dan saat itu ada sebuah
awan gelap yang aku lihat mendekat dan masuk ke dalam tubuhku. Penglihatanku
gelap, ia menguasai jiwaku, menggelapkan pikiranku. Hingga aku berpikiran untuk
mengakhiri hidup dengan cara akan lompat dari jalan layang yang tak jauh dari
Universitas Islam Negeri." Ia menghela napas dan raut mukanya seketika itu
berubah menjadi muram. Bayang-bayang kenangan kelam itu harus ia kembalikan dalam
pikirannya. Ia berusaha untuk menguasai diri lalu lanjut bercerita.
"Tapi saat aku melangkah dan
mengankat kaki ke atas pagar besi di atas trotoar jalan layang. Kurasakan angin semilir
menerbangkan ragaku. Jiwaku seakan telah melayang meninggalkan ragaku. Rambut
panjangku berkibar kebelakang karena belaian lembut angin itu. Ku pejamkan mata
lalu menengadahkan kepala dan kemudian membuka kembali mataku. Aku tak sanggup
lagi melihat langit yang berhias awan, semuanya seakan menyatu dengan diriku.
Dan saat itulah ada sebuah cahaya putih yang masuk ke dalam tubuhku. Kulihat ia
perlahan-lahan meruncing lalu menyusup masuk lewat dadaku. Kurasakan hangat dan
ketenangan jiwa yang begitu indah. Kupenjamkan kembali mataku kurasakan cahay
itu masuk sepenuhnya ke dalam tubuhku. Menguasai jiwaku. Mencerahkan hati dan
pikiranku." Ia menhela napas lalu lanjut kembali.
"Saat itulah aku menemukan
kebenaran. Aku sadar bahwa di dunia ini aku tak sendiri. Tapi ada Tuhan yang
selalu menyinari hatiku. Dan di stulah aku menemukan kembali semangat hidupku.
Maka kamu jangan pernah merasa terkucilkan, mungkin mereka mengabaikanmu. Tapi,
Tuhan selalu bersamamu. Ia selalu bersemayam dalam hati dan jiwamu."
Jelasnya panjang, dan ia juga menunjuk ke arah dada Rhini meskipun tak sampai
menyentu. Dan bulir-bulir bening itu kembali mengalir dari kedua sudut mata si
sakit. Ia terharu mendengar cerita dari Bam. Hati Rhini menjadi dingin sedingin
kutub utara mengiringi air mata yang terus membajiri jiwa yang baru saja
melihat cayaha hidupnya kembali.
◎◎◎
Tak lama kemudian datang dua orang
perempuan. Satunya bertubuh bongsor, namun wajahnya elok dipandang. Dan yang
satu kecil mungil dan sedikit tomboi, namun ia berpenampilan begitu islami.
Mungkin kerena dulunya ia adalah anak pondokan, matanya bulat dan ketika ia
senyum, semua orang yang melihatnya akan melayang dan merasa berada dalam
timbunan kelopak bunga yang harum menyemerbak. Tapi semua pemandangan itu berubah
saat mata kita alihkan ke gadis gendut yang besrsama si cantik. Saat ia
tersenyum keindahan dunia seketika akan hilang. Dan merasa berada dalam genangan
lumpur yang bau. Senyumnya pahit.
Bam bangkit dari duduknya, menghampiri
kedua orang yang baru datang itu. Tapi ia hanya ke gadis yang berbadan lebih
besar itu. Bam mengajaknya untuk ngobrol. Si cantik bingung dengan prilaku Bam
terhadap Rhisna. Gadis itu hanya bisa garuk kepala belakang yang berlapis kain
tipis.
"Kamu sini dulu, ada yang ingin saya
omongin sama kamu," celetuknya cepat. Ia lalu meraih tangan gadis itu
keluar pintu.
"Apa sih, kamu ini bukan
siapa-siapaku, ya. Jadi jangan sembarang tarik-tarik orang." Sergahnya
sambil melempar genggaman tangan Bam dari tangannya. Dan membuang wajah.
"Sudah, mungkin aku bukan
siapa-siapa. Tapi aku peduli dibandingkan kamu kepada Rhini." Celotehnya
dengan suara yang sedikit di tekan, sedang lenganny kanannya terayun-ayun
menunjuk ke arah dalam kamar. "Yang aku heran dari kamu. Kamu adalah
sepupunya akan tetapi kamu memperlakukannya seperti ini. Bukannya kamu sendiri
yang mengajaknya untuk melanjutkan sekolahnya di kota ini?" Tanyanya.
"Hey. Dengar, ya. Kamu jangan sok
peduli, jangan kamu urusi kehidupan kami." Tandasnya dengan mata yang
seakan-akan ingin keluar.
"Iya saya tau. Tapi mana rasa
tanggung jawabmu atas adikmu sendiri. Bagaimana jika keluarganya di kampung tau
kalau di sini dia di telantarkan. Kita memang bukan keluarga, tapi kita satu
daerah. Ingat itu." Suaranya semakin meninggi. Dan telunjuknya tidak
tinggal diam
"Sudah tak usah kau ceramahi aku.
Aku juga tau itu." Balasnya dengan suara yang lebih tinggi.
Sontak semua orang yang ada melihat ke
arah meraka. Kini mereka seakan di kelilingi tali yang melingkar bak ring
tinju. Dan mereka menjadi pemainnya, dan orang-orang yang ada menjadi penonton.
Ya mereka bertarung kata dalam ring perdebatan.
Rhini yang mendengar pertengkaran mereka
menjerit. Suranya melengking mangikuti tiupan angin. Pandangannya kembali
gelap. Ia merasa berada dalam ruangan gelap yang tak sedikit pun cahaya yang
masuk. Dalam ruangan ia hanya mendengar suara yang saling beradu, terpantul ke
mana-mana memenuhi ruangan. Gadis pucat itu semakin menjerit, lalu suaranya tak
terdengar lagi. Matanya pun ikut mengatup bagai putri malu yang mengatupkan
daunnya saat tersentuh manusia. Ia tak sadar lagi.
Yogyakarta, 29 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar