Jumat, 22 Mei 2015

‘Dia’ Berjuang dalam Kesenyapan

Seri Perjuangan Perempuan
‘Dia’ Berjuang dalam Kesenyapan
Oleh: Marliza Arsiyana

Sebuah layang-layang tetap dapat terbang menjulang tinggi menentang terpaan angin dan gesekan benang dari layang-layang lain karena adanya dukungan benang yang kuat dan kokoh. Benang diibaratkan sebagai seorang perempuan yang berjuang agar layang-layangnya (baca: laki-laki) mampu terbang setinggi-tingginya (sukses). Begitulah perumpaan perjuangan seorang perempuan, memeras keringat dengan penuh ikhlas tampa berharap untuk selalu tampil di depan.
Di desa Taba Air Pauh asal tempat Ibu saya tinggal, dimana mayoritas penduduknya bermata pencarian sebagai petani
Sering kita lihat bagaimana seorang perempuan di dalam kehidupan rumah tangga mengemban tugas yang multi dimensi sekaligus di dalam kehidupannya, sebagai seorang ibu dari anak-anak, seorang istri dan seorang pekerja di luar rumah.  Sebut saja, perempuan-perempuan pedesaan, bagaimana perempuan desa tidak hanya bekerja di dalam rumah; memasak, mencuci dan mengasuh anak, tetapi juga bekerja di luar rumah; menanam padi, bahkan ada yang mencangkul di sawah.
Selanjutnya, bagaimana perempuan-perempuan tersebut dimaknai oleh para feminis postkolonial. Para feminis postkolonial menggangap multi-peran yang tergambar tersebut merupakan satu bentuk penindasan terhadap kaum perempuan.
Perempuan-perempuan desa telah dikontruksikan pada pemahaman konservatif yang menerima hegemoni perlakuan sosial. Mereka hanya mampu menjadi benang tetapi tidak mampu menjadi layang-layang (memunculkan diri) dalam kemenangan identitas. Aktivitas yang mereka jalani dianggap sebagai “kebiasaaan wajar”, meski sebenarnya merupakan tragedi sosial.
Di dalam produk post kolonial, perempuan adalah subjek dunia ketiga—muncul istilah ‘perempuan dunia ketiga’ yang teridentifikasi di zona minor. Para feminis postkolonial menganggap bahwa perempuan tertindas dalam dunia kontruksi kolonial dan laki-laki. Dengan demikian, mereka menderita penyakit ganda: kolonial dan laki-laki. Perempuan dunia ketiga sering digambarkan sebagai subjek yang sentimentil, oportunis, dan lemah.
Ketidakberdayaan perempuan inilah yang diperjuangkan oleh kaum feminis. Dengan niat awal mendobrak pola pikiran yang terbentuk sejak zaman kolonial, kaum feminis mencoba untuk menampilkan keberadaannya hingga setara dengan kaum laki-laki. Sayangnya gerakan feminis saat ini sepertinya disalah artikan, sehingga malah menjadi daftar panjang sejarah ekspoitasi perempuan.
Sebut saja, perempuan-perempuan yang menjadi model iklan mobil. Kita tidak dapat menemukan hubungan langsung antara mobil dan perempuan namun sering kita temukan iklan mobil mewah yang disandingkan dengan perempuan berpenampilan seksi. Mungkin saja persepsi dalam perempuan dalam iklan ini menggap perannya sebagai bentuk emansipasi modern, padahal tanpa ia sadari telah menjadi korban bentuk eksploitasi baru. Perempuan-perempuan ini seakan-akan terasing dari identitas keperempuanannya.
Melihat sejarah perjuangan tokoh wanita Indonesia, Kartini merupakan salah satu rujukan identitas perempuan bangsa. Benarkah emansipasi yang ditampilkan oleh perempuan sekarang, merupakan bentuk emansipasi yang sama diperjuangkan oleh Kartini?
Melalui suratnya kepada nyonya Abendanon (4 Oktober 1902) diketahui bahwa Kartini menilai perempuan Indonesia harus cerdas. Kecerdasan yang dimiliki oleh seorang perempuan Indonesia bukan menjadi alat untuk mengalahkan laki-laki, tetapi menepatkan status sosial yang sama. “Perempuan tak harus maskulin untuk mendapatkan kekuasaannya, tetapi justru dengan memanfaatkan dimensi kefeminitasannya” demikian  kata Christina S. Handayani dan Ardhian Novianto dalam Kuasa Wanita Jawa.
Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kecerdasan dan kewajibannya. Yang harus berubah dalam diri perempuan ialah mendapat pendidikan dan perlakuan baik. Jadi apa salahnya menjadi sebuah benang, selagi benang itu berkualitas.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar