Seri Perjuangan Perempuan
|
‘Dia’ Berjuang dalam
Kesenyapan
Oleh:
Marliza Arsiyana
Sebuah
layang-layang tetap dapat terbang menjulang tinggi menentang terpaan angin dan
gesekan benang dari layang-layang lain karena adanya dukungan benang yang kuat
dan kokoh. Benang diibaratkan sebagai seorang perempuan yang berjuang agar
layang-layangnya (baca: laki-laki) mampu terbang setinggi-tingginya (sukses).
Begitulah perumpaan perjuangan seorang perempuan, memeras keringat dengan penuh
ikhlas tampa berharap untuk selalu tampil di depan.
Di
desa Taba Air Pauh asal tempat Ibu saya tinggal, dimana mayoritas penduduknya
bermata pencarian sebagai petani
Sering
kita lihat bagaimana seorang perempuan di dalam kehidupan rumah tangga
mengemban tugas yang multi dimensi sekaligus di dalam kehidupannya, sebagai
seorang ibu dari anak-anak, seorang istri dan seorang pekerja di luar rumah. Sebut saja, perempuan-perempuan pedesaan,
bagaimana perempuan desa tidak hanya bekerja di dalam rumah; memasak, mencuci
dan mengasuh anak, tetapi juga bekerja di luar rumah; menanam padi, bahkan ada
yang mencangkul di sawah.
Selanjutnya,
bagaimana perempuan-perempuan tersebut dimaknai oleh para feminis postkolonial.
Para feminis postkolonial menggangap multi-peran yang tergambar tersebut merupakan
satu bentuk penindasan terhadap kaum perempuan.
Perempuan-perempuan
desa telah dikontruksikan pada pemahaman konservatif yang menerima hegemoni
perlakuan sosial. Mereka hanya mampu menjadi benang tetapi tidak mampu menjadi
layang-layang (memunculkan diri) dalam kemenangan identitas. Aktivitas yang
mereka jalani dianggap sebagai “kebiasaaan wajar”, meski sebenarnya merupakan
tragedi sosial.
Di dalam produk post kolonial, perempuan adalah subjek
dunia ketiga—muncul istilah ‘perempuan dunia ketiga’ yang teridentifikasi di
zona minor. Para feminis postkolonial menganggap bahwa perempuan tertindas
dalam dunia kontruksi kolonial dan laki-laki. Dengan demikian, mereka menderita
penyakit ganda: kolonial dan laki-laki. Perempuan dunia ketiga sering digambarkan
sebagai subjek yang sentimentil, oportunis, dan lemah.
Ketidakberdayaan
perempuan inilah yang diperjuangkan oleh kaum feminis. Dengan niat awal
mendobrak pola pikiran yang terbentuk sejak zaman kolonial, kaum feminis
mencoba untuk menampilkan keberadaannya hingga setara dengan kaum laki-laki. Sayangnya
gerakan feminis saat ini sepertinya disalah artikan, sehingga malah menjadi
daftar panjang sejarah ekspoitasi perempuan.
Sebut
saja, perempuan-perempuan yang menjadi model iklan mobil. Kita tidak dapat
menemukan hubungan langsung antara mobil dan perempuan namun sering kita
temukan iklan mobil mewah yang disandingkan dengan perempuan berpenampilan
seksi. Mungkin saja persepsi dalam perempuan dalam iklan ini menggap perannya
sebagai bentuk emansipasi modern, padahal tanpa ia sadari telah menjadi korban
bentuk eksploitasi baru. Perempuan-perempuan ini seakan-akan terasing dari
identitas keperempuanannya.
Melihat
sejarah perjuangan tokoh wanita Indonesia, Kartini merupakan salah satu rujukan
identitas perempuan bangsa. Benarkah emansipasi yang ditampilkan oleh perempuan
sekarang, merupakan bentuk emansipasi yang sama diperjuangkan oleh Kartini?
Melalui
suratnya kepada nyonya Abendanon (4 Oktober 1902) diketahui bahwa Kartini menilai
perempuan Indonesia harus cerdas. Kecerdasan yang dimiliki oleh seorang
perempuan Indonesia bukan menjadi alat untuk mengalahkan laki-laki, tetapi
menepatkan status sosial yang sama. “Perempuan
tak harus maskulin untuk mendapatkan kekuasaannya, tetapi justru dengan
memanfaatkan dimensi kefeminitasannya” demikian kata Christina S. Handayani dan Ardhian
Novianto dalam Kuasa Wanita Jawa.
Perempuan
tetaplah perempuan dengan segala kecerdasan dan kewajibannya. Yang harus
berubah dalam diri perempuan ialah mendapat pendidikan dan perlakuan baik. Jadi
apa salahnya menjadi sebuah benang, selagi benang itu berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar