Sabtu, 09 Mei 2015

DURKHEIM DAN KEMATIAN DISENGAJA



DURKHEIM DAN KEMATIAN DISENGAJA
Piank

Semampuku akan berbuat apapun agar anda, kita, dan mereka bisa terbuka matanya, telinganya dan hatinya untuk KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA (Sebastian  Manuputi, Merdeka.com)

Tak ada sedikit pun membenarkan tindakan bunuh diri dalam masyarakat apalagi atas nama agama. Sudah barang tentu tindakan bunuh diri merupakan hal terlarang dalam agama Islam maupun Kristen. Tak sedikit juga menganggap tindakan bunuh diri merupakan tindakan kegilaan. Bahkan, orang-orang pada umumnya menyerang dan menghujat pelaku bunuh diri sebagai tindakan melankolis, konyol, hina, bodoh dan kolot. Begitu mudahnya sumpah serapah itu keluar atas nama agama. Lantunan Doa yang seharusnya mengiringi kepergian seorang manusia kini masih dipertentangkan atas nama hukum, moralitas dan nilai. Tubuh yang tak berdaya terzalimi atas nama Tuhan. Betulkah kematian disengaja adalah tindakan kurang terpuji atau bertentangan dengan agama?
Ternyata, di tempat lain “Gunung Kidul Yogyakarta” tindakan bunuh diri dianggap sebagai wahyu oleh pelaku bunuh diri yang disebut Pulung Gantung. Bunuh diri sudah dijadikan kultur dalam masyarakat Gunung Kidul sebagai suratan takdir. Tindakan bunuh diri di latar belakangi oleh pesan atau tanda dari  langit berupa bintang jatuh yang berpijar dekat rumah sang pelaku (Abdur Rozaki, kyotoreview.org). Pandangan kedua ini melawan pandangan pertama mengenai bunuh diri atau kematian yang disengaja. Pandangan pertama, kematian disengaja merupakan tindakan kenaifan. Sementara, pandangan kedua adalah panggilan wahyu yang dibangun dari mitos untuk menutupi persoalan sosial dalam masyarakat.
Kedua pandangan tersebut cukup bertentangan dalam melihat tindakan bunuh diri. Walaupun, masing-masing dibangun atas dasar keyakinan dan kepercayaan penganutnya. Pandangan tersebut tidak terlahir dari ruang yang kosong akan tetapi terlahir dari proses sosial yang terjadi dalam masyarakat.  Makanya, pandangan pertama cenderung bersikap pesimistis ditandai dengan kecemasan, kehancuran dan amoral. Sedangkan pandangan kedua cenderung optimistis yang ditandai dengan pengorbanan, pemujaan dan kerelaan. Sedangkan, menurut Emile Durkheim bunuh diri dibagi ke dalam empat tipe kategori yaitu bunuh diri egoistis, bunuh diri altruistis, bunuh diri anomik, dan bunuh diri fatalistik. Keempat kategori tersebut berasal dari masyarakat sebagai fakta sosial (dalam Suicide, 1951).
Pertama, bunuh diri egoistik adalah bunuh diri yang dilakukan atas dasar dominasi kepentingan pribadi atas kepentingan sosial karena kenyataan sosial di sekitarnya tidak sesuai yang diharapkan. Kedua, Bunuh diri altruistik (altruistic suicide) adalah bunuh diri yang terjadi karena ikatan atau solidaritas kelompok terlalu kuat. Ikatan tersebut mendorong melakukan pengorbanan atas kepentingan kelompoknya seperti pada penganut Agama Hindu. Ritual “sati” perempuan janda dalam Agama Hindu diharuskan terjun ke bara api suaminya sebagai bentuk pengorbanan.
Ketiga, bunuh diri anomik adalah bunuh diri yang dilakukan karena menganggap dirinya sebagai beban dari masyarakat. Keempat, diri fatalistik (fatalistic suicide) adalah bunuh yang terjadi karena norma yang berlaku dalam masyarakat terlalu mengekang, diskriminatif terhadap keberadaan individu sehingga secara psikologis merasa tertekan. Jalan keluar mereka tempuh adalah bunuh diri (Durkheim, 1951).
Menarik kiranya menelaah kembali teori yang dikemukakan Durkheim ini. Sebab, teorinya telah lama dienyahkan dan ditinggalkan, menurut saya masih relevan untuk didiskusikan kembali. Apalagi saat ini Dunia kembali dirundung peningkatan angka bunuh diri setiap tahun. Bayangkan saja, menurut data Word Health Organisation (WHO) merilis data 10 tahun terakhir angka bunuh diri sedikitnya dari 800.000 setiap tahun, atau 1 kematian setiap 40 detik. Penelitian tersebut dilakukan di 172 negara termasuk Indonesia. Sementara,  angka bunuh diri Indonesia selalu mengalami peningkatan setiap Tahun. Pada tahun 2010 angka bunuh diri mencapai 5.000 orang per tahun dan pada tahun 2012 mencapai 10.000 orang per tahun (Beritasatu.com). Termasuk penyumbang terbesar angka bunuh diri tersebut adalah Gunung Kidul Yogyakarta.
Terlepas dari data tersebut, penulis ingin mengetengahkan kasus bunuh diri yang terjadi di Stadion Gelora Bung Karno pada tanggal 1 Mei 2015. Banyak orang menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan kenaifan, hanya ingin mendapatkan popularitas dan ingin mencari perhatian. Sungguh sederhana penilaian ini kepada saudara Sebastian Manuputi. Menurut saya tak adil bagi Sebastian untuk menghakimi beliau sebagai tindakan kenaifan dan hanya ingin mendapatkan perhatian. Sebastian  Manuputi sebagai aktivis buruh, ia dikenal pembela hak para buruh dan nasib sahabatnya mendapatkan diskriminasi dari perusahaan PT Tirta Alam Segar. Akan tetapi, perjuangannya selalu mengalami kemandekan karena perusahaan tempatnya bekerja tidak pernah mengabulkan tuntutannya.
Berdasarkan latar belakang Sebastian sebagai seorang aktivis dan petikan status dari akun facebooknya yang terakhir. Tindakan Bunuh dirinya adalah puncak perjuangannya dalam meneriakkan hak para buruh di Indonesia. Pada dasarnya tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh Sebastian diarahkan atau ditujukan kepada negara. Dari kejadian ini seharusnya negara harusnya lebih peka dan peduli kepada nasib buru yang belum punya kejelasan Kesejahteraan hidup dan standar upah minimum masih cukup rendah. Selain itu, perusahaan terkadang memperlakukan buruh dengan cukup tidak adil.
Ketika ditinjau dari teori Emile Durkheim tindakan yang dilakukan oleh Sebastian merupakan Bunuh diri altruistik (altruistic suicide) karena berangkat atas dorongan memperjuangkan nasib kelompoknya. Tetapi, satu sisi tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh Sebastian bersifat Egoistik karena tidak bisa memenuhi peranan yang dikehendaki atas kehidupannya kesehariannya. Sementara tindakan bunuh diri yang dilakukan Sebastian tentunya berbeda dengan tindakan bunuh diri yang dilakukan di Gunung Kidul yang dilatarbelakangi dengan keyakinan pada mitos. Sementara tindakan bunuh diri oleh Sebastian didorong atas nama perjuangan. Tentunya dilatarbelakangi dengan realitas yang timpang di ranah sosial.





Daftar Bacaan.
Durkheim, Emile. 1951. Suicide: A Study in Sociology. London and New York: Free Press.

1 komentar:

  1. terimakasih infonya sangat bermanfaat, kunjungi http://bit.ly/2NlzJZM

    BalasHapus