DURKHEIM DAN KEMATIAN DISENGAJA
Piank
Semampuku akan berbuat apapun agar anda, kita,
dan mereka bisa terbuka matanya, telinganya dan hatinya untuk KEADILAN SOSIAL
BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA (Sebastian Manuputi,
Merdeka.com)
Tak
ada sedikit pun membenarkan tindakan bunuh diri dalam masyarakat apalagi atas
nama agama. Sudah barang tentu tindakan bunuh diri merupakan hal terlarang
dalam agama Islam maupun Kristen. Tak sedikit juga menganggap tindakan bunuh
diri merupakan tindakan kegilaan. Bahkan, orang-orang pada umumnya menyerang
dan menghujat pelaku bunuh diri sebagai tindakan melankolis, konyol, hina,
bodoh dan kolot. Begitu mudahnya sumpah serapah itu keluar atas nama agama.
Lantunan Doa yang seharusnya mengiringi kepergian seorang manusia kini masih
dipertentangkan atas nama hukum, moralitas dan nilai. Tubuh yang tak berdaya
terzalimi atas nama Tuhan. Betulkah kematian disengaja adalah tindakan kurang
terpuji atau bertentangan dengan agama?
Ternyata,
di tempat lain “Gunung Kidul Yogyakarta” tindakan bunuh diri dianggap sebagai
wahyu oleh pelaku bunuh diri yang disebut Pulung Gantung. Bunuh diri sudah dijadikan
kultur dalam masyarakat Gunung Kidul sebagai suratan takdir. Tindakan bunuh
diri di latar belakangi oleh pesan atau tanda dari langit berupa bintang jatuh yang berpijar
dekat rumah sang pelaku (Abdur Rozaki, kyotoreview.org). Pandangan kedua
ini melawan pandangan pertama mengenai bunuh diri atau kematian yang disengaja.
Pandangan pertama, kematian disengaja merupakan tindakan kenaifan. Sementara,
pandangan kedua adalah panggilan wahyu yang dibangun dari mitos untuk menutupi
persoalan sosial dalam masyarakat.
Kedua
pandangan tersebut cukup bertentangan dalam melihat tindakan bunuh diri.
Walaupun, masing-masing dibangun atas dasar keyakinan dan kepercayaan
penganutnya. Pandangan tersebut tidak terlahir dari ruang yang kosong akan
tetapi terlahir dari proses sosial yang terjadi dalam masyarakat. Makanya, pandangan pertama cenderung bersikap
pesimistis ditandai dengan kecemasan, kehancuran dan amoral. Sedangkan pandangan
kedua cenderung optimistis yang ditandai dengan pengorbanan, pemujaan dan
kerelaan. Sedangkan, menurut Emile Durkheim bunuh diri dibagi ke dalam empat
tipe kategori yaitu bunuh diri egoistis, bunuh diri altruistis, bunuh diri
anomik, dan bunuh diri fatalistik. Keempat kategori tersebut berasal dari
masyarakat sebagai fakta sosial (dalam Suicide,
1951).
Pertama, bunuh diri egoistik adalah bunuh diri yang dilakukan
atas dasar dominasi kepentingan pribadi atas kepentingan sosial karena
kenyataan sosial di sekitarnya tidak sesuai yang diharapkan. Kedua, Bunuh diri altruistik (altruistic suicide) adalah bunuh diri yang terjadi karena ikatan
atau solidaritas kelompok terlalu kuat. Ikatan tersebut mendorong melakukan
pengorbanan atas kepentingan kelompoknya seperti pada penganut Agama Hindu.
Ritual “sati” perempuan janda dalam Agama Hindu diharuskan terjun ke bara api
suaminya sebagai bentuk pengorbanan.
Ketiga, bunuh diri anomik adalah bunuh diri yang dilakukan
karena menganggap dirinya sebagai beban dari masyarakat. Keempat, diri fatalistik
(fatalistic suicide) adalah bunuh
yang terjadi karena norma yang berlaku dalam masyarakat terlalu mengekang,
diskriminatif terhadap keberadaan individu sehingga secara psikologis merasa
tertekan. Jalan keluar mereka tempuh adalah bunuh diri (Durkheim, 1951).
Menarik kiranya menelaah
kembali teori yang dikemukakan Durkheim ini. Sebab, teorinya telah lama
dienyahkan dan ditinggalkan, menurut saya masih relevan untuk didiskusikan
kembali. Apalagi saat ini Dunia kembali dirundung peningkatan angka bunuh diri
setiap tahun. Bayangkan saja, menurut data Word
Health Organisation (WHO) merilis
data 10 tahun terakhir angka bunuh diri sedikitnya dari 800.000 setiap tahun, atau 1 kematian setiap 40
detik. Penelitian tersebut dilakukan di 172 negara termasuk Indonesia.
Sementara, angka bunuh diri Indonesia
selalu mengalami peningkatan setiap Tahun. Pada tahun 2010 angka bunuh diri
mencapai 5.000 orang per tahun dan pada tahun 2012 mencapai 10.000 orang per
tahun (Beritasatu.com). Termasuk penyumbang terbesar angka bunuh diri tersebut
adalah Gunung Kidul Yogyakarta.
Terlepas dari data tersebut, penulis ingin
mengetengahkan kasus bunuh diri yang terjadi di Stadion Gelora Bung Karno pada
tanggal 1 Mei 2015. Banyak orang menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan
tindakan kenaifan, hanya ingin mendapatkan popularitas dan ingin mencari
perhatian. Sungguh sederhana penilaian ini kepada saudara Sebastian Manuputi. Menurut saya tak adil bagi Sebastian
untuk menghakimi beliau sebagai tindakan kenaifan dan hanya ingin mendapatkan
perhatian. Sebastian Manuputi
sebagai aktivis buruh, ia dikenal pembela hak para buruh dan nasib sahabatnya
mendapatkan diskriminasi dari perusahaan PT Tirta Alam Segar. Akan tetapi,
perjuangannya selalu mengalami kemandekan karena perusahaan tempatnya bekerja
tidak pernah mengabulkan tuntutannya.
Berdasarkan
latar belakang Sebastian sebagai seorang aktivis dan petikan status dari akun
facebooknya yang terakhir. Tindakan Bunuh dirinya adalah puncak perjuangannya dalam
meneriakkan hak para buruh di Indonesia. Pada dasarnya tindakan bunuh diri yang
dilakukan oleh Sebastian diarahkan atau ditujukan kepada negara. Dari kejadian
ini seharusnya negara harusnya lebih peka dan peduli kepada nasib buru yang
belum punya kejelasan Kesejahteraan hidup dan standar upah minimum masih cukup
rendah. Selain itu, perusahaan terkadang memperlakukan buruh dengan cukup tidak
adil.
Ketika
ditinjau dari teori Emile Durkheim tindakan yang dilakukan oleh Sebastian
merupakan Bunuh diri altruistik (altruistic
suicide) karena berangkat atas dorongan memperjuangkan nasib kelompoknya.
Tetapi, satu sisi tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh Sebastian bersifat
Egoistik karena tidak bisa memenuhi peranan yang dikehendaki atas kehidupannya
kesehariannya. Sementara tindakan bunuh diri yang dilakukan Sebastian tentunya
berbeda dengan tindakan bunuh diri yang dilakukan di Gunung Kidul yang
dilatarbelakangi dengan keyakinan pada mitos. Sementara tindakan bunuh diri
oleh Sebastian didorong atas nama perjuangan. Tentunya dilatarbelakangi dengan
realitas yang timpang di ranah sosial.
Daftar
Bacaan.
Durkheim, Emile. 1951. Suicide: A Study in Sociology. London and New York: Free Press.
terimakasih infonya sangat bermanfaat, kunjungi http://bit.ly/2NlzJZM
BalasHapus