Demokrasi : ladang intoleran (?)
Demokrasi menurut KBBI (kamus besar bahasa
Indonesia) adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak
dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Singkatnya,
demokrasi bertujuan memperlakukan semua orang sama dan sederajat. “setiap orang
dilihat sebagai satu dan tidak satu orang pun dilihat sebagai lebih dari satu”,
tulis pakar hukum Inggris, Jeremy Bentham.
Kearifan
nilai dan definisi yang terkandung di dalam demokrasi serta kesadaran akan
kemajemukan bangsaitulah yang kemudian menjadi dasar atau landasan mengapa
Indonesia menjatuhkan pilihan pada statuta yang terkenal dengan term dari rakyat, oleh rakyat &
untuk rakyat ini.
Demokrasi
sendiri mempunyai pandangan khusus terhadap masyarakatnya, pandangan tersebut
terbagi dalam 2 kategori : kelompok mayoritas dan minoritas. Di sini, penulis
lebih fokus terhadap isu kelompok minoritas. Jules Deschennes menjelaskan
pengertian kelompok minoritas sebagai kelompok warga negara dalam jumlah kecil
yang memiliki karakteristik etnis, agama atau bahasa yang berbeda dari
masyarakat penduduk, tidak punya posisi dominan dalam negara, memiliki
solidaritas terhadap kelompok lain, mempunyai semangat kebersamaan untuk memperoleh
kesetaraan dengan kelompok lain, dan persamaan hak di hadapan hukum.
Di
indonesia, kearifan definisi tersebut kadang tak sejalan dengan
implementasinya. Meskipun semua hak warga negara dijamin kebebasannya, namun
pada praktiknya ada saja sebagian kelompok masyarakat yang mempertentangkan hal
tersebut.Penjegalan dan pembungkaman hak sosial tersebut dikenal dengan sebutan
intoleransi. Dan memang, peristiwa intoleran ini acapkali memposisikan kelompok
minoritas sebagai korban. alasannya beragam, penyimpangan, dan klaim kebenaran
dari pihak terkait. Lain halnya, jika persoalan hak minoritas dipandang dengan
kerendahan hati dan sikap empati, tentu akan ada yang bertanya : siapa yang
bertanggungjawab menyelesaikan persoalan hak minoritas? Kalau ada pihak yang
berwenang di manakah batas-batas kewenangannya?
Tidak mudah
untuk menjawab pertanyaan di atas. Sebab, masyarakat Indonesia mudah lupa atau
bahkan sengaja melupakan peristiwa kerusuhan Mei 1998, kerusuhan Ambon,
kerusuhan Poso, kerusuhan Sampit, Konflik Sunni-Syiah, pengusiran Jama’ah
Ahmadiyah dan lain-lain.
-Konflik Agama
Konflik yang akhir-akhir ini terjadi di
Indonesia justru berlatarbelakang Agama. Meskipun kita tidak bisa menampik tragedi maut terbesar pernah terjadi di
Sampit yang saat itu dipicu oleh permasalahan etnis. Namun penulis meyakini,
tragedi etnis-suku, masih bisa dibendung dengan kearifan lokal yang menjadi
ciri khas suatu daerahserta inklusifitas masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana
dengan agama?
Beberapa
tahun lalu, media massa disibukan dengan pemberitaan konflik besar yang
melibatkan sebagian besar masyarakat Maluku Tenggara dan Maluku Tengah (Ambon).
Konflik berdarah yang menelan ribuan korban dan hampir menghanguskan 10.000
rumah. Peristiwa tersebut meninggalkan bekas mendalam bagi warga di sana. Belum
jelas apa yang melatarbelakangi konflik tersebut, kuat dugaan ditunggangi isu
Agama.
Pesan
perdamaian yang dibawa oleh kitab suci difahami secara keliru dan malah
terkesan serampangan,hal tersebut diperparah dengan minimnya realisasi di
tengah-tengah masyarakat. Agama seolah-olah menjadi segala-galanya, sehingga
demi agama orang bisa melakukan apa saja, termasuk tindak kekerasan,
ketidakadilan, pembunuhan dan seterusnya.
Agama juga
dijadikan seperti stempel untuk menghakimi orang lain salah dan menilai diri
sendiri paling benar. Padahal, menurut Jurgen Habermas, cita-cita kemanusiaan
universal secara potensial sudah termuat dalam agama-agama besar. Bisa
dikatakan agamalah yang membuka wawasan martabat manusia sebagai manusia, bukan
hanya sebagai warga suku.
Kerusuhan
berlatarbelakang Agama memberi gambaran bahwa keberagaman Agama bila tidak
dikelola dengan bijak sangat berpotensi menimbulkan konflik horizontal antar
pemeluk Agama. Konflik antar pemeluk Agama merupakan salah satu ancaman
terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang selayaknya dihindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar