Selasa, 07 April 2015

“Kebutaan” Pemirsa Demokrasi




“Kebutaan” Pemirsa Demokrasi
Wira Prakasa Nurdia

 Salah satu persyaratan masyarakat yang Demokratis adalah pers yang bebas. Pers yang bebas tanpa adanya suatu mekanisme kontrol dari pemerintah. Prasyaratan tersebut memungkinkan para pegiat media massa secara lepas dan leluasa untuk menuliskan dan memilah peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah-tengah publik. Setiap aktivitas tidak bisa dianggap berkembang dan maju ketika tidak mengikuti arus informasi.
 Sebab itu, pengamat Demokrasi kenamaan seperti Edmund burke (1729-1797) memasukan media massa sebagai pilar keempat menambahkan gagasan Montesquieo (1689-1755) yang terkenal dengan teori Trias Politica. Mereka berdua sepakat menyebutnya dengan istilah “Wilayah Demokrasi”.
 Sayangnya, fakta yang disajikan oleh media tidak sepenuhnya sama dengan apa yang menjadi realita di lapangan. Fakta di media massa hanyalah hasil konsep dan rekonstruksi para awak media di meja redaksi. meskipun mereka bekerja dengan teknik-teknik yang sudah dipatenkan dalam kode etik media, baca : wartawan, tetap saja kita tidak bisa sepenuhnya membenarkan apa yang mereka tampilkan.
 Salah satu pemikir yang menyumbangkan gagasan mengenai media kontemporer adalah Noam Chomsky. Ia mengatakan seperti itu dengan menyitir sebuah percakapan bajak laut dan armada pasukan laut  di zaman abad pertengahan. Suatu ketika, bajak laut dapat ditangkap oleh armada pasukan laut. Bajak laut yang tertangkap ngotot tidak mau ditangkap oleh armada. Ini yang dikatakannya : “mengapa saya yang kecil disebut sebagai perampok, sementara kalian yang mengambil upeti dalam jumlah besar disebut pahlawan”. Kisah ini adalah ilustrasi yang bagus untuk melihat bagaiumana peristiwa yang kurang lebih sama dapat dimaknai secara berbeda.
 Pemaparan chomsky di atas menunjukan bahwasanya media massa dapat dijadikan alat sebagai perebutan suatu makna, dalam artian Siapa yang dapat membangun citra (image) maka akan mendapat legitimasi atau simpati oleh publik.
  Mc.Luhan, yang menulis buku Understanding Media: The Extensive of Man, Di dalam kesempatannya menyebutkan bahwa media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Dengan media massa kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan media massa adalah realitas yang sudah diseleksi
  Sebagai contoh adalah kesuksesan W,Wilson memenangkan pemilihan presiden pada tahun 1916. Kondisi rakyat Amerika pada waktu itu sangat anti perang dan merasa tidak ada alasan untuk terlibat dalam perang eropa. Sementara itu wilson memiliki andil dalam perang tersebut. Wilson akhirnya membentuk komisi propaganda resmi pemerintah, Crell Commision. Dalam waktu enam bulan tim ini berhasil mengubah masyarakat anti perang menjadi massa yang haus perang, dan bernafsu menghancurkan semua yang berbau jerman.
  Di Indonesia mungkin contoh yang paling dominan dan kentara adalah persaingan dua kanal Televisi Tv One dan Metro tv. Dua media ini sama-sama mengusung tema News dalam paradigma redaksi nya. Namun kerapkali bersinggungan dalam memaknai suatu peristiwa. Contohnya  pesta demokrasi 5 tahunan yang diselenggarakan juli tahun lalu, Perbedaan ini tak bisa dipisahkan dari sikap politik para pemilik kedua stasiun televisi. Pemilik MetroTV, Surya Paloh dikenal sebagai ketua umum Partai NasDem yang mendukung Jokowi- Jusuf Kalla Sementara pemilik Tv One, Aburizal Bakrie memberikan dukungan kepada Prabowo. Bahkan ada juga pemilik televisi yang mendukung Prabowo yaitu Harry Tanoe yang dikenal menguasai tiga televisi RCTI, GlobalTV, dan MNC TV.
 Jika prediksi dan analisis Chomski benar maka setiap hari, bahkan menit dan detik, kita sedang menyaksikan pertempuran berbagai kepentingan di media massa. Objektivitas yang diperjuangkan pegiat media massa pada kenyataannya tidak mudah disepakati. Oleh karenanya, ada baiknya kita merenungkan ucapan Chomsky bahwa informasi  di media hanyalah rekonstruksi atas suatu realitas di masyarakat. Tentunya sangat tergantung dengan orang di balik media dan pemangku kepentingan.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar