Selasa, 07 April 2015

Mengelola Keberagaman Kita



Mengelola Keberagaman Kita
Oleh ; Wira Prakasa Nurdia


 Setelah 75 tahun merdeka, kita (masih juga) mempertanyakan nasionalisme dan patriotisme kita: cukupkah basis kekuatan (nasionalisme) yang dibangun oleh founding fathers bangsa dan negara melalui kebangkitan nasional serta kesungguhan dan komitmen mereka dengan sumpah pemuda? Apakah kesungguhan tersebut dilaksanakan secara gradual?
 Indonesia merupakan kesepakatan kita bersama. Negeri yang merupakan idaman dan belakangan dilegitimasi secara kolektif oleh berbagai Suku Bangsa; Bangsa Jawa, Bangsa Sunda, Bangsa Bali, Bangsa Ambon dll, atau dalam bahasa ilmiah disebut sebagai nation state. Atas dasar kemajemukan itulah, kemudian melahirkan suatu identitas baru, yakni identitas nasional.
Robert de Ventos, sebagaimana dikutip dalam bukunya (Suryo, 2002) mengemukakan teori tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil dialektika dan kesepakatan historis antara empat faktor, yaitu faktor primer, faktor pendorong, faktor penarik dan faktor reaktif.
Faktor pertama mencakup etnisitas, teritorial, bahasa, agama dan sejenisnya. Bagi bangsa Indonesia yang tersusun atas berbagai macam etnis, bahasa, agama serts bahasa daerah, merupakan suatu kesatuan meskipun berbeda-beda dengan ciri khas masing-masing.
Faktor kedua meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan lainnya dalam kehidupan suatu Negara.
Faktor ketiga mencakup tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional.
Faktor keempat yaitu penindasan, dominasi dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat.
Dari keempat faktor diatas, faktor yang dominan terjadi dan diduga kuat sebagai ancaman stabilitas dan identitas nasional adalah Faktor pertama. Khususnya cakupan etnisitas dan agama.
Masyarakat majemuk yang tersusun oleh keragaman kelompok etnis serta Agama, tidak hanya berpeluang menjadikan Indonesia sebagai negara yang kuat di masa yang akan datang, tetapi juga berpotensi mendorong timbulnya konflik sosial yang dapat mengancam kedaulatan negara, jika kemajemukan masyarakat tersebut tidak dijaga dan dikelola dengan optimal. Benturan horizontal di Sampit, Kalimantan Tengah yang melibatkan suku Madura dan Dayak pada tahun 2001 silam, merupakan konsekuensi atas kegagalan negara dalam mengelola keberagaman
.


-Keragaman Sebagai Kekayaan Bangsa
  Kita sadar bahwa Kepulauan Nusantara terdiri atas warna Kebudayaan serta corak bahasa. Keragaman dalam konteks Nusantara menjadi konsep kesetaraan sesuai dengan falsafah negara yaitu Bhineka Tunggal Ika yang artinya Bhina = pecah, ika = tunggal = satu, sehingga kurang lebih arti Bhineka Tunggal Ika yakni “terpecah itu satu”.
 Namun, kerapkali Bhineka Tunggal Ika hanya menjadi simbol “kering-kerontang” tanpa ada pemakna’an yang mendalam serta realisasi nyata di tengah-tengah masyarakat. Kurangnya pemaknaan dan realisasi yang begitu minim inilah belakangan menjadi cikal bakal terciptanya konflik tingkat lokal sampai nasional yang menyebabkan terganggunya integrasi bangsa sebagai cita-cita bangsa.
Kebudayaan tertentu sering disebut dengan kebudayaan daerah, merupakan suatu sistem nilai yang menuntun sikap, perilaku dan gaya hidup (Lemhanas, SUSCADOSWAR,2000). Kurang lebih menurut penulis, sifat dan gaya hidup individu adalah merupakan cerminan suatu budaya yang dianutnya. Yang tiap-tiap daerah mempunyai karakter dan ciri khasnya masing-masing. sayangnya kemudian, cara pandang orang melihat kebudayaan seringkali subjektif dan terjebak dalam sifat chauvinism, yakni membanggakan kebudayaannya sendiri dan menganggap rendah kebudayaan lain. Contoh sikap chauvinisme seperti yang dikemukakan oleh Adolf Hitler misalnya, dengan kalimat Jerman di atas segala-galanya dalam dunia. Demikian juga Inggris dengan slogan ; Right or Wrong is My Country.
 Padahal dalam setiap kebudayaan daerah terdapat nilai-nilai budaya yang tidak dapat dipengaruhi budaya asing, sering disebut local genius. local genius (kearifan lokal) adalah segala sesuatu yang dimiliki daerah tertentu yang merupakan ciri khas daerah tersebut dan memiliki nilai-nilai luhur, estetika serta sandaran moralitas.
 Local genius inilah kemudian  yang menjadi “jimat penangkal “ kebudayaan daerah untuk menetralisir pengaruh negatif budaya asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar