Selasa, 10 Februari 2015

MERAYAKAN AUTISME SOSIAL



MERAYAKAN AUTISME SOSIAL
Bagi anak-anak zaman digital, dunia Robinson Crusoe memang tidak masuk akal Karena teknologi komunikasi masa kini memungkinkan kita tersambung kemana pun setiap saat. (Slamet Syukur, 2005:26)
New media, era tanpa tapal batas” (baca: media sosial, dunia maya), manusia berarah ke gelombang teknologi dan informasi. Manusia tercengang dengan kemampuan teknologi yang meluruhkan territorial (Batas wilayah) dan melampui waktu. Kegagapan melanda manusia dari heroisme teknologi, manusia pun bunuh diri kelas, dari kelas cerdas menuju kelas kebodohan. Manusia menempatkan kediriannya di kelas inferior dengan menyematkan kata “smart” pada “handphone”. Jadinya, Smartphone (telepon pintar) atau gadget. Smartphone ini terdiri dari berbagai merek dan fitur yang canggih, seperti Blackberry, Samsung, Apple, Oppo, Sony, Nokia dan lain-lain. Boleh dikata, generasi sekarang adalah generasi smartphone, di mana anak mudah merasa canggung dalam bergaul tanpa kepemilikan smartphone. Di mana-mana ditemukan generasi yang tuli, genarasi yang tunduk, generasi senyum sendiri dan generasi sibuk sendiri.
Dunia ditekuk dengan gesekan, tangan menari dilayar datar dengan megaduk informasi, hoax (kabar bohong) dirayakan tiap hari, menebar kabar dengan kekhawatiran dan ketakutan berlebih. Padahal, realitasnya tak jua ada. Generasi ini betul betul gamang. Benar dianggap salah, fiktif dianggap nyata. Sebagian besar anak mudah dihabiskan di dunia maya dengan menggunakan Smartphone.
Berdasarkan data yang dikeluarkan UNICEF (United Nations International Children’s Emeregency Fund) 80 % anak Indonesia menggunakan Internet. Internet diakses melalui computer (69%), Laptop (32%) dan Smartphone (52%). Sementara, Penggunaan Smartphone terus beranjak dua kali lipat antara antara 2012-2013 atau bertambah sekitar 24% (Sumber: unicef.org). Dari Riset Indonesia Smartphone Consumer Insight merilis data pada tahun 2013, Smartphone digunakan untuk Chating (90%), Pencarian (71%), jejaring sosial (64%), dan Blogging forum (41%). Sementara, waktu yang dihabiskan dalam dunia penggunaan internet Komputer 5-6 jam sehari. sedangkan, penggunaan Smartphone lebih dari 2 jam sehari. Ketika melihat data ini, sebagian besar waktu, tenaga dan pikiran dihabiskan di Internet (Dunia Maya).
Lain pula, anak berumuran empat tahun ke atas keranjingan bermain Smartphone dengan main game, orang tua mereka sudah lupa mengajari mereka bermain tanah dan bergumul dengan teman sebayanya.  Jangankan anak-anak yang berubah, tata laku orang dewasa pun sibuk mengamini kecanggihan teknologi. Apa jadinya generasi yang akan datang!

Berharap-haraplah cemas?
“berubahnya mo !” ungkapan sarkastik anak Makassar ditujukan kepada seseorang yang mengalami perubahan perilaku, entah itu efek dari kepemilikan Smartphone dan perilaku yang tak lazim. Smartphone betul-betul mengakuisisi (memperoleh) keceriaan dengan menepikan kebahagiaan yang nyata. Bayangkan, ketika kita berada dalam satu kamar sekitar tujuh orang, kesemuannya menggunakan Smartphone, dalam waktu yang bersamaan semuanya tertawa, tapi objek tertawaan yang berbeda. Satu tertawa karena ulah temannya tergila-gila dengan batu mulia, ada pula sibuk bergurau dengan pacarnya, ada pula sibuk dengan game online-nya dan yang lain sibuk dengan dunianya masing-masing. Ketujuh orang tersebut hanya sesekali bertanya, lalu senyap dan kembali ke gadget-nya masing-masing. Apa yang terjadi ketika tujuh orang tersebut tidak memiliki gadget? tentunya mereka akan bencengkrama satu sama lain. Bisa jadi, mereka menghasilkan gagasan yang besar.
Apa jadinya, ketika Anda bertanya kepada orang yang sedang menyumpal telinganya dengan headset. Dia hanya menganga lalu membisu Dia pun berlalu menggeleng-geleng kepalanya sesuai irama musik. Pertanyaan pun tak terjawab, semua berlalu begitu saja walau mata beradu pandangan. Anda pun harus menepi untuk memperoleh jawaban, tapi jangan khawatir ada google maps, aplikasi ini akan mengantarkan Anda ke tempat tujuan. Hiraukan saja yang lain, Anda tak sendirian (baca: Smartphone).
Bagaimana pula, ketika Anda bertamu, menemukan keluarga sedang sibuk dengan handphone-nya masing-masing. Mereka duduk di ruang tamu dengan keluarga yang lengkap, bapak, ibu dan memiliki dua orang anak. Sang Ayah sibuk menelepon rekan bisnisnya, sementara ibu sedang sibuk sms-an dengan teman pengajiannya, anaknya yang perempuan cemberut melototi layar ipad-nya dan anak yang lain hebo dengan permainan gamenya. Sementara, Anda duduk dikursi tamu, cuma mendengar kalimat “tunggu sebentar yah”. Tentunya peristiwa ini langka dan sulit diketemukan, tapi kerap kali disaksikan dalam restoran.
Saya kira, Frans Margo begitu cermat mengurai si tulisannya berjudul “salah kaprah tren digital” di kolom opini analisadaily.com, bagaimana gadget menidurkan kenyataan. Anak yang merontah kepada orang tuanya, untuk mengisi waktu yang lowong untuk berinterakasi kembali dengan gamenya. Begitu, sepinya hidup anak ini. Di tempat yang lain, anak yang bawel, lincah dan antraktif ditundukkan dengan game online, kini anak itu hanya terpaku di layar datar. Sementara, ibunya sibuk BBM-an dengan ayahnya diluar kota. Lain orang, lain pula kejadiannya. alih-alih ingin mencerdaskan anaknya dengan kata “smart” yang dilekatkan pada handphone, seorang ibu memberikan hadia ulang tahun kepada anaknya dengan dalih sang anak hebat bermain musik. Tapi, nyatanya anaknya hanya berselancar di dunia maya, seperti Facebook, Wechat, Whatsup, Twitter dan Instagram. Peristiwa-peristiwa seperti ini senantiasa berkelindang dalam masyarakat.
Merangkak lagi ke dunia pelajar, ternyata kehidupannya cukup tragis. Di mana handphone telah menjadi pertaruhan kelas, lihat saja para mahasiswa, dosen dan pegawai menjadi Simbol status sosial. Diterima atau tidak, itulah kenyataan. Tak salah lagi, jika tingkah laku mereka disadur oleh dunia maya. Rahasianya dibeberkan di dunia maya, kecantikan dan kegagahan dimanipulasi dari aplikasi olah gambar seperti Photoshop, Corel Draw dan aplikasi yang lain. Lalu, diunggah ke dunia maya. Akhirnya banyak yang tertipu.  
Berita hoax menjadi sarapan setiap saat, tak jarang seseorang mendapatkan 2-6 broadcast berita hoax dalam sejam di BBM. Parahnya lagi, media online pun terkadang tersulut dengan informasi yang tak benar. Seperti yang pernah terjadi di Gowa Sulawesi Selatan, salah satu media menyebarkan dua versi informasi yang bersamaan di tempat dan waktu yang sama. Berita pertama tentang letusan Gunung dan versi kedua Jet Tempur F-16 dengan kecepatan rendah. Tentunya masyarakat bingung pemberitaan berita ini. Tragis bukan?

Selamat Datang Kaum Autis
Selamat datang dunia riuh yang senyap, gempar lalu lenyap. Asyik dengan dunianya sendiri. Itulah Kehidupan yang autis. Autisme ini, bukanlah cacat mental sebagaimana tinjauan psikologis dan kesehatan. Kehidupan autis ini tak  ubahnya sebagai gejala sosial yang melempeng dari dunia maya. Dunia yang dicipta dari kemajuan teknologi dan informasi. Dunia yang terkoneksi seluruh penjuru yang meluruhkan hubungan sosial, komunikasi, dan jalinan emosi. Kehidupan sosial dicekat dengan kebiasaan menggesek layar, menyumbat telinga dengan headset, bermain dengan fantasi game, dan bercengkrama dengan sahabat yang jauh dan bertutur dengan seseorang tanpa tahu muasalnya. Ruang itu begitu imajinatif, dicipta untuk tertawa sendiri, girang dengan sendiri, bahagia sendiri, galau sendiri, merontah sendiri. Inilah dunia autis, hidup dengan kesendirian.
Seturut dengan David Collmen (kompasiana.com) autisme sosial merupakan fenomena gaya hidup yang sedang bermasalah. Menurut dia, autisme sosial sebagai akibat dari teknologi yang memperpanjang konsekuensinya, teknologi senantiasa tercipta merajuk asa untuk mengasingkan manusia kehidupan yang nyata dan bergantung pada teknologi. Inilah Era “New media”, perayaan kedangkalan kehidupan nyata sebagai pencipta kaum autis. Jangan-jangan, kitalah yang autis itu, sedang menjaga jarak dengan orang yang terdekat. Lalu sibuk merajuk asa terhadap yang jauh. kita pun sinis terhadap laku mereka, sementara aktor utamanya adalah kita. Sebagaimana teknologi dicipta manusia, teknologi pula yang mendamparkannya dari kehidupan nyata.
Berharap-haraplah cemas!  walau autisme sosial bukanlah kecacatan neurologi (baca; Austisme) yang sulit disembuhkan. Autisme sosial tak lain dari bentuk penyimpangan sosial. Penyimpangan ini bisa dihindari dengan beranjak keluar dari dunia maya dengan mengembalikan interaksi sosial yang nyata. Sebab, produksitivitas kreasi manusia berasal dari dunia yang nyata. Sebab, dunia maya tak akan pernah menciptakan sensasi berjabat tangan, pelukan hangat dari seorang sahabat dan juga mendapatkan gelegar suara emosi dari teman Anda. Ingatlah, seorang sahabat jauh disana hanya bisa iba, bahkan dia tidak merasakan apa yang dirasakan orang lain. Tapi, dunia nyata seseorang bisa menangis bersama. Sambutlah dunia yang nyata? tinggalkanlah pesta dunia maya, dengan berpesta di dunia nyata “sekiranya, itu lebih asyik”.

Oleh; Sampean

 Yogyakarta, 07 Februari 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar