Bulukumba;
Menjaga ‘Trah’ Keilmuan
(Catatan
hari jadi Bulukumba ke-55)
Ahmad
Sahide
Merayakan
hari jadi/lahir sudah menjadi bagian dari budaya yang cukup masif
diselenggarakan oleh masyarakat Indonesia, dari Sabah sampai Merauke. Hari
jadi/lahir selalu dirayakan sebagai bagian dari upaya untuk melakukan refleksi
kedirian. Membaca apa hal yang pernah dan belum dilakukan. Perayaan ini
tentunya sebagai upaya memberikan makna lebih positif atas hidup dan kehadiran
kita. Sebagai momentum menuju titik kehidupan yang lebih baik. Momentum dalam
menjaga spirit kehidupan untuk dapat bersaing dengan yang lainnya.
Kabupaten
Bulukumba tidak luput dari budaya tersebut. Pemerintah dan masyarakat Bulukumba
merayakan hari jadi Bulukumba setiap tahunnya, yaitu setiap tanggal 4
Februari. Berbagai macam kegiatan yang
diselenggarakan untuk memeriahkan hari jadi Butta
Panrita Lopi tersebut. Dalam perayaan tahun hari jadi Bulukumba ke-55 tahun
ini, kesadaran apa yang perlu dan akan dibangun oleh masyarakat Bulukumba?
Trah Keilmuan
Dalam
sejarahnya, Bulukumba sebenarnya termasuk salah satu kabupaten yang mempunyai
trah keilmuan yang sangat penting untuk dijaga oleh setiap generasi penerus Butta Panrita Lopi tersebut. Sederet
nama telah lahir dari tanah Bulukumba yang berhasil mencatatkan namanya sebagai
ilmuwan yang cukup dihormati di masanya dan dalam skala nasional. Ada almarhum
Prof. Dr. Mattulada yang telah melahirkan banyak karya keintelektualan dari
jari-jarinya yang mengantarkannya sebagai ilmuwan yang patut diabadikan. Banyak
karya-karyanya yang menjadi rujukan para peneliti dan ilmuwan dari berbagai
daerah, bahkan dunia internasional. Salah satu karyanya yang penting untuk kita
baca adalah Menyusuri Jejak Kehadiran
Makassar Dalam Sejarah (1510-1700).
Universitas
Hasanuddin (Unhas) Makassar, sebagai tempat almarhum mendedikasikan hidupnya
sebagai ilmuwan, mengabadikan namanya dengan meresmikan Aula Prof. Mattulada
beberapa tahun silam. Masyarakat Bulukumba tentu patut berbangga bahwa Tuhan
menakdirkan almarhum Prof. Mattulada lahir di tanah Bulukumba.
Setelah kepergian Prof. Mattulada ke
pangkuan Ilahi (2010), bukan berarti Bulukumba kehilangan generasi yang dapat
menjaga trah keilmuan tersebut. Ada nama lagi yang cukup terpandang dalam jagat
keilmuan Indonesia. Dia adalah Mochtar Pabottingi. Mochtar Pabottingi saat ini
adalah Professor riset (Ahli Peneliti Utama) dan tokoh penting di Lembaga Ilmu
Pengatahuan Indonesia (LIPI) yang sering diundang menjadi narasumber di
forum-forum nasional, bahkan internasional. Selain itu, pengamat dan kolumnis politik kelahiran
Bulukumba, 17 Juli 1945 ini aktif menulis buku dan menulis di berbabagi media
nasional, seperti Kompas, Prisma, dan berbagai media lainnya. Mochtar
Pabottingi, selain menulis artikel tentang politik, juga aktif menulis
karya-karya sastra. Beberapa puisinya diterbitkan dalam Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 3 (1987), buku kumpulan
puisinya adalah Dalam Rimba Bayang-bayang
(2003). Pada tahun 2013, mengeluarkan karya “novel non-fiksi” dengan judul Burung-burung Cakrawala.
Selain Prof. Mattulada dan Mochtar
Pabottingi, ada lagi satu nama yang cukup menarik perhatian dan menjadi
kebanggaan Bulukumba. Tokoh itu adalah Imam Shamsi Ali yang menjadi Imam Besar
di masjid Islamic Center di New York. Imam Shamsi Ali menjadi tokoh Islam
ternama di Amerika sejak berdirinya Indonesia
Mouslim Society in America pada tahun 1998.
Tentu masih banyak nama-nama
tersohor yang pernah dan masih hadir saat ini yang mencatatkan namanya sebagai
anak kelahiran Bulukumba yang mampu mengharumkan nama daerahnya di manapun
mereka tumbuh. Setidaknya, dari tiga nama yang penulis hadirkan ini dapat
menyadarkan kita semua, terutama warga Bulukumba, bahwa Bulukumba sebenarnya
mempunyai darah keilmuwan yang megalir dari hulu leluhurnya. Dalam perayaan
hari jadi tahun ini, generasi muda Bulukumba perlu menyadari bahwa mereka punya
warisan keilmuan yang harus dijaga dari generasi ke generasi. Jangan biarkan
warisan itu direbut oleh kelompok lain. Wahai anak muda Bulukumba, saatnya
ujung penamu bicara dalam menegakkan Siri’,
bukan (lagi) ujung Badik’!
Ahmad Sahide
Putra kelahiran
Kindang, Bulukumba
Kandidat Doktor
Sekolah Pascasarjana, UGM
Dan Staf
Pengajar Fakultas Pendidikan Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar