Selasa, 10 Februari 2015

JILBAB ITU TOPENG



JILBAB ITU TOPENG
“Tak apa  akhlak atau Budi itu Buruk yang penting berjilbab, setidaknya telah menggugurkan kewajiban”
Benarkah jilbab itu lebih utama daripada Akhlak? Pertanyaan ini muncul dalam pergulatan batin melihat fenomena Islam keseharian. Corak keberislaman yang kita dapatkan dalam cukuplah beragam. Kebaragaman dapat dilihat dari konteks sosial keberadaan Islam itu sendiri. Tak ayal corak keberislaman yang ada sekarang ini telah mengikuti hasrat kapitalisme. Model keberislaman dikonstruk sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sebagaimana yang kita dapatkan dalam model jilbab. Jilbab telah dikomodifikasi hanya bernilai materi dengan mendangkalkan nilai yang dikandungnya sebagai produk syariat. Kecenderungan tersebut hanya memperlihatkan bahwa jilbab hanya sekadar mode. Kecenderungan yang lain, pemakaian jilbab hanya sebagai peneguhan kewajiban sebagai penganut agama Islam. Penggunaan Jilbab diinterpretasikan mencegah berbuat dosa setiap saat. kedua model perilaku tersebut terjerembab pada penyederhanaan terhadap ajaran Islam khususnya pada para pemakai jilbab.
Kecenderungan pertama, jilbab sebagai trend mode memerlihatkan jilbab sebagai penampakan pesona individu. Tak pelak, jilbab hanya sebagai aksesoris untuk menampilkan kecantikan perempuan dengan menghilangkan unsur keagamaan. Tidak tanggung-tanggung para para pemakai jilbab ngeceng ke mana-mana tanpa terlihat canggung di depan publik dengan tingkah laku yang erotis. Misalnya dalam menghadiri konser perempuan tidak segan berteriak dan berbaur dalam kerumunan penonton. Bahkan, perempuan tidak segan tampil seksi dan pakaian yang transparan sementara menggunakan jilbab. Hal ini sangat kontras dengan Agama Islam yang mengenal batas toleransi dalam berjilbab. Dalam al-Quran dan Hadis cukup jelas menjelaskan tentang etika dalam berjilbab. Tapi, para pengguna jilbab tersebut ngeyel bahwa mereka telah menjalankan syariat Islam.
Kecenderungan kedua, Jilbab sebagai peneguhan kewajiban. Kecenderungan kedua ini pemakaian jilbab dimaknai sebatas pengguguran kewajiban. Persoalan akhlak atau laku manusia adalah persoalan kedua. Jilbab tidak berkorelasi langsung dengan laku manusia, tetapi persoalan peneguhan kewajiban atas risalah keberagamaan. Jadi, konsekuensi penggunaan jilbab hanyalah persoalan dosa tidaknya seseorang. Sebagai mana pendakuan seorang ustad dalam masjid mengatakan bahwa tak apa akhlak itu buruk, yang penting berjilbab atau menutup aurat setidaknya telah menggugurkan kewajibannya. Cara pandang ini diyakini oleh kalangan tertentu dalam menginterpretasikan ajaran Islam. Utamakan fiqih di atas akhlak. Kalangan ini cukup kontras dengan kecenderungan pertama di model jilbab cenderung seragam sebagaimana pemaknaannya terhadap al-Quran dan hadist yang tekstual. Sehubungan dengan persoalan ini, kerap ditemukan “memakai jilbab” ditemukan mesum dalam kamar kost dan hamil di luar nikah. Bahkan, seorang yang dianggap taat menjaga ibadah terjebak dalam lubang dekandensi akhlak. Beberapa tokoh Islam yang bergiat dalam partai politik Islam sedang di bui karena kasus korupsi.
Kedua kecenderungan perilaku pemeluk Islam terjerembab pada jebakan simplifikasi (penyederhanaan) ajaran Islam. Kecenderungan pertama terjebak pada kehidupan yang artifisial, jilbab hanya digunakan sebagai busana sebagai produk kultur. Sementara, nilai-nilai yang religius dihilangkan dalam laku sosialnya. jilbab sebagai produk kultur jilbab senantiasa mengikuti etika pergaulan manusia kontemporer. Gaya jilbab terus dikembangkan sesuai mekanisme pasar, di mana media berperan menghadirkan publik figur dengan mode (gaya) jilbab yang baru seperti model Marshanda, model Ashanty, model Syahrini, model unisex dan model Pashmina. Jilbab telah menjadi pergaulan kalangan kaum mudah untuk menampilkan perempuan yang memesona. Pergaulan tersebut tidak lepas dari gaya hidup yang telah dikomodifikasi untuk mengikuti tren mode yang berkembang dalam masyarakat. Bisa jadi, kecenderungan jilbalisasi  dalam pergaulan akan berhenti ketika tren jilbab berhenti. Sementara, kecenderungan kedua terjebak pada pengutamaan pengguguran kewajiban dibandingkan dengan konsekuensi sosialnya. Golongan ini melahirkan penganut Islam yang taat. Namun, kurang peduli dengan sesamanya kecuali dengan persoalan ibadah.
Realitas yang nampak dalam Islam keseharian menunjukkan posisi yang dilematis bagi penganutnya. Menurut Donny Gahral Adian (2013:6) bahwa situasi yang dilematis karena keduanya bertindak berdasarkan rasionalitas instrumental. Sedangkan Rasional instrumental menurut Donny (2013:98) adalah rasionlitas yang menimbang sarana untuk mencapai tujuan yang terberi. Perilaku pertama dicanangkan oleh komodifikasi pasar dan yang lain canangkan oleh agama yang murni ritualitas. Kedua laku yang ditunjukkan oleh pemeluk agama Islam mereduksi suatu ajaran untuk menjadi kepentingan pribadi. Perilaku pertama untuk kepentingan gaya hidup dan peneguhan kewajiban terhadap Tuhan. Kedua laku tersebut masing-masing mengesampingkan entitas suatu ajaran Islam.
Pengesampingan ajaran dalam Islam melahirkan budaya yang prematur, sebab penggunaan jilbab tidak bisa dibatasi pada ranah tertentu, baik ranah privat maupun ranah publik. Tapi, penggunaan jilbab harus menunjukkan kedalaman dari keyakinan seseorang yang berkorelasi dengan akhlak. Sebab, akhlak merupakan budi pekerti atau kelakuan manusia yang terintegrasi suatu ajaran. Kelakuan manusia merupakan bagian dari budaya itu sendiri. Budaya paripurna terlahir dari ajaran yang paripurna ditunjukkan oleh laku penganutnya.
Sejarah menunjukkan muncul, tenggelamnya suatu peradaban itu berdasarkan perilaku manusianya. Dalam Islam sendiri, pengadaban kaum Qurais melalui Akhlak Rasullah SAW, sebab nabi Muhammad SAW dengan Ajaran islam “al-Quran” suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bisa jadi, al-Quran tidak punya Arti apa-apa tanpa Muhammad SAW, begitu pun sebaliknya Nabi Muhammad SAW tidak punya arti apa-apa tanpa al-Quran.  Aisyah ra sendiri menekankan bahwa Akhlak Nabi adalah al-Quran. Jadi, antara peneguhan kewajiban dalam pemakaian jilbab harus berkesusaian dengan kelakuan ajaran Islam itu sendiri. sebab, para pemeluk yang terjerembab dalam jebakan Mode dan pengguguran kewajiban, jilbab tak ubahnya sebagai topeng atau kamuflase untuk bersembunyi dari borok lakunya. Seperti yang dikutip oleh Bahrul Amsal (http://alhegoria.blogspot.com/) dari Zizek mengutarakan bahwa Suatu keadaban bukan pada suatu teks, pemikiran, dan permainan bahasa tapi apa yang akan dan telah dilakukan manusia.

Yogyakarta, 1 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar