Rezim
dan Reproduksi Bahasa
Ahmad
Sahide
Orang-orang yang mempelajari budaya
tentu akan memahami bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat
erat. Dalam teorinya, bahasa termasuk salah satu dari tujuh unsur kebudayaan
universal. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan adalah hubungan yang
timbal-balik, saling memengaruhi, ataupun hubungan yang lebih menentukan yang
bersifat satu arah (Ahimsa-Putra, 2009).
Oleh
karena itu, perkembangan kebudayaan (politik salah satu unsur budaya) akan
memengaruhi perkembagan bahasa. Lazim dikatakan bahwa kemajuan suatu kebudayaan
dapat dilihat dari kemajuan bahasanya. Semakin kaya suatu kelompok masyarakat
akan bahasa, maka semakin maju kebudayaan yang dimilikinya. Demikianlah teori
hubungan antara bahasa dan budaya yang telah diutarakan oleh banyak pakar di
bidang ini.
Melihat
eratnya hubungan antara bahasa dan budaya, maka saya lalu tertarik untuk
melihat bahasa-bahasa politik yang dilahirkan oleh setiap rezim sejak presiden
pertama Soekarno hingga Joko Widodo, presiden ketujuh. Bahasa yang dilahirkan
oleh setiap rezim itulah yang menjadi cermin atau ciri khas ataupun karakter
politik (kepemimpinan) yang dibangunnya. Di samping itu, pergantian rezim yang terus
melahirkan bahasa berkontribusi memperkaya kebahasaan nasional.
Melahirkan Bahasa
Insinyur
Soekarno adalah presiden pertama Republik Indonesia. Bung Karno, demikian ia
dikenal luas, mendapatkan reward, menjadi
presiden, dari masyarakat Indonesia setelah bertahun-tahun memperjuangkan
kemerdekaan yang terkadang dilaluinya dengan penangkapan dan pengasingan.
Proses yang dilaluinya itulah yang membentuk karakter pribadi Bung Karno dan
juga pandangan politik yang dimilikinya. Penangkapan dan pembuangan dialamatkan
pada Bung Karno semasa berjuang itulah yang membuatnya anti-terhadap Barat yang
terkenal kapitalis itu. Maka dari itu, bahasa yang dipopulerkan oleh Bung
Karno, yang terkenal hingga hari ini, adalah seperti Revolusi, Kontra-revolusi, Nekolim, Antek-antek Kapitalis-imperialis,
dan Nasakom. Era kepemimpinan Bung
Karno juga diistilahkan (bahasa) dengan Orde Lama.
Berakhirnya era kepemimpinan
Soekarno karena dikudeta, demikian keyakinan di benak sebagian besar rakyat
Indonesia, oleh Jenderal Soeharto. Era Soeharto diistilahkan dengan Orde Baru.
Latar belakang Soeharto berbeda dari Soekarno. Soeharto dari militer, Angkatan
Darat, yang bertugas untuk melindungi dan menjaga keamanan negara. Di samping
itu, Soeharto mengambil-alih kepemimpinan nasional pada saat negara dalam
situasi krisis (ekonomi). Maka bahasa yang dipopulerkan oleh rezim Soeharto
adalah Pembangunan, Anti pembangunan,
Gerakan Pengacau Keamanan, Penataran, dan lain sebagainya (Rakhmat, 1996:
51). Sementara istilah lainnya yang cukup populer pada era Soeharto adalah
Demokrasi Pancasila serta Asas Tunggal Pancasila. Berbeda dengan Bung Karno
yang memomulerkan istilah Demokrasi Terpimpin. Kediaman Soeharto, Cendana, juga
menjadi kamus politik yang cukup populer semasa ia berkuasa.
Kekuasaan Soeharto yang otoriter
berakhir pada tahun 1998 saat Indonesia dihantam badai krisis ekonomi dan
moneter. Berakhirlah sudah rezim Orde Baru Soeharto dalam memproduksi bahasa
yang menjadi bagian dari rezim kekuasaannya. Pasca Soeharto, Indonesia memasuki
fase baru yang diistilahkan era reformasi.
Kata reformasi pun, sejak saat itu, menjadi bahasa yang sangat populer bagi
rakyat Indonesia.
Era BJ. Habibie dan Abdurrahman
Wahid memang tidak banyak melahirkan bahasa yang mengidentikkan kekuasaannya
mengingat era kepemimpinan kedua tokoh tidak berlangsung lama. Bahasa yang
dipopulerkan oleh Habibie hanyalah istilah teknokrat, sementara Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) memomulerkan “Gitu ja kok
repot!”
Gaya Gus Dur yang nyeleneh dan kontroversial membuatnya
hanya berkuasa kurang dari dua tahun. Akhirnya Megawati Soekarno Putri naik ke
puncak kekuasaan nasional. Munculnya Megawati ke panggung politik nasional
membuat istilah Wong Cilik terkenal
ke seluruh rakyat Indonesia. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P)
pimpinan Megawati pun selalu diidentikkan sebagai partainya Wong Cilik, rakyat kecil. Wong Cilik adalah bahasa yang secara
ideologis dekat dengan bahasa Marhaenisme
yang dipopulerkan Bung Karno, bapaknya. Pada era Megawati, Menteng, alamat
kediamannya, juga menjadi sangat populer dalam kancah politik nasional.
Megawati juga menyebut kabinetnya dengan Kabinet
Gotong Royong.
Megawati hanya berkuasa kurang lebih
tiga tahun lamanya. Ia dikalahkan oleh anak buahnya sendiri, Susilo Bambang
Yudoyono (SBY) dalam daur ulang demokrasi 2004. Munculnya SBY sebagai pimpinan
puncak nasional menggeser beberapa bahasa politik yang dipopulerkan oleh
Megawati. Menteng, yang populer pada zaman Megawati perlahan-lahan tergantikan
oleh Cikeas, kediaman SBY di Bogor. SBY juga menyebut kabinetnya dengan istilah
Kabinet Indonesia Bersatu (jilid satu dan dua).
Selama sepuluh tahun berkuasa, SBY
tidak melahirkan bahasa politik yang kuat secara ideologis. Misalnya Bung Karno
dengan Nasakom dan Marhaennya, Soeharto dengan Demokrasi Pancasilanya, dan
Megawati dengan Wong Cilik-nya.
Sejak 20 Oktober lalu, SBY resmi
meninggalkan istana tanpa melahirkan dan meninggalkan bahasa ideologis yang
menjadi ciri khas dari zamannya. Dan sejak 20 Oktober itu pula, Joko Widodo
(Jokowi) masuk istana. Yang perlu dicatat adalah bahwa jauh sebelum Jokowi
masuk istana, presiden dari kaum pinggiran ini telah memomulerkan bahasa
politik yang kuat secara ideologis dan menjadi cerminan dari karakter
kepemimpinannya. Kemunculan Jokowilah yang memomulerkan bahasa “blusukan” dan revolusi mental yang menjadi bagian dari kampanyenya menjelang 9
Juli lalu. Setelah dilantik menjadi orang nomor satu di negeri ini, Jokowi
melantik anggota kabinetnya satu minggu kemudian dan ia memberinya nama Kabinet Kerja. Jokowi juga, dalam pidato
pelantikannya, 20 Oktober, kembali memomulerkan istilah Jiwa Cakrawati Samudera (jiwa pelaut yang berani menghadapi samudra
dan ombak yang menggulung). Istilah lainnya yang dipopulerkan oleh Jokowi dalam
pidato kenegaraan perdananya tersebut adalah Jalesveva Jayamahe, di laut kita jaya (Kompas, 21/10/2014).
Begitulah reproduksi bahasa dari
rezim ke rezim. Dan mari kita menanti bahasa politik yang kuat secara ideologis
yang lahir dari kepemimpinan Jokowi- JK (Jusuf Kalla) hingga lima tahun ke
depan.
Ahmad
Sahide
Yogyakarta,
1 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar