Puisi Maut dan Nama Besar Subagio
Darwin
Entah kenapa, namanya begitu besar dalam jagat
kesusastraan Tanah Air? Sebagai orang awam dalam dunia sastra, penulis masih
dibalut tanya. Susah menemukan jawabannya. Apalagi literatur tentangnya
tidaklah mudah mendapatkannya. Ya, dialah Subagio Sastrowardoyo. Penyair yang
selalu disebut, jika membincangkan sastra Indonesia.
Penyair kontemporer, Sitok Srengenge, bahkan “menyanjung-nyanjung”
Subagio sebagai tokoh super penting dalam sastra Indonesia. Ia mengatakan, seperti
ditulis Qaris Tajudin, “Ada sembilan penyair
yang sangat berpengaruh pada sastra Indonesia. Seandainya sastra Indonesia
hanya memiliki mereka, itu sudah cukup. Mereka adalah Amir Hamzah, Chairil
Anwar, Sitor Situmorang, Subagio Sastrowardoyo, Rendra, Sapardi Djoko Damono,
Sutardji Calzoum Bachri, Asrul Sani, dan satu lagi yang agak lain. Suka tidak
suka, dia memberi warna lain pada sastra Indonesia: Remy Silado” (http://koran.tempo.co 3 Maret 2014, 10.20).
Kita ungkai saja profil penyair yang juga kritikus sastra ini. Subagio
lahir di Madiun, Jawa Timur, pada 1 Februari 1924. Kampus Universitas Gadjah Mada
(UGM) menjadi tempatnya mengenal segala hal tentang sastra, dan bisa jadi membentuk
kepribadiannya. Ia lulus dari jurusan Sastra Timur, Fakultas Sastra dari kampus
ini pada tahun 1958. Sebagaimana kita ketahui, kampus yang berada di Yogyakarta
ini menelurkan sastrawan besar yang lain, ada Umar Kayyam yang tenar dengan “Para
Priyayi”-nya, atau sastrawan yang baru saja meninggal beberapa waktu lalu,
Bakdi Sumanto, juga berasal dari kampus ini.
Selepas dari UGM, Subagio meneruskan pendidikannya di Amerika, tepatnya
kampus Universitas Yale, selesai tahun 1963. Aktivitas hariannya tak lepas dari
menulis dan mengajar. Ia selalu bersentuhan dengan para mahasiswa dengan
menjadi tim pengajar di almamaternya, sempat pula mengembara hingga ke
Australia, tentunya yang dilakukannya tak jauh-jauh dari mengajar. Dari semua
aktivitas hariannya, ia meneguhkan hatinya pada bidang kesenian, dan puisilah
yang menjadi titik-sentralnya. Puisi mengalahkan bidang kesenian lain yang juga
diminatinya. Berkat kecintaannya pada permainan kata inilah sehingga lahirlah
berbagai kumpulan puisi, seperti “Shimponi” (1957), “Daerah Perbatasan” (1970),
“Kroncong Motinggo” (1975), “Buku Harian” (1979), “Hari dan Hara” (1982), dan “Simfoni
Doa” (1990) (Korrie Layun Rampan, Horison, edisi November 2014).
Kematian ala Subagio
Yang menarik terkait sosok ini, hemat penulis adalah konten dari
puisi-puisi penyair yang pernah bergiat di Balai Pustaka ini. Tema kematian
sangatlah akrab bagi seorang Subagio. Entah kenapa banyak penyair kita yang “hobi”
mengulas kematian dalam syair-syair mereka. Sebagai pembanding, Chairil Anwar, penyair
yang tidak kita ragukan lagi itu, juga bicara kematian dalam sajak-sajaknya.
Misalnya, lihat saja sajaknya yang berjudul “Nisan”. Sebuah sajak yang
berkaitan dengan kematian neneknya. Bukan kematian benar menusuk kalbu/ Keridaanmu
menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertakhta/.
Makna dari puisi “Nisan” ini, kata Arif Budiman (2007) adalah betapa tidak
berdayanya manusia menghadapi maut. Makna lain, lanjut Budiman adalah betapa angkuhnya
Sang Maut di hadapan manusia. Puisi
Chairil lain yang mengupas maut, masih menurut Budiman, adalah “Diponegoro”
yang terkenal itu. Puisi yang menjelaskan detik-detik Diponegoro menghadapi
kematiannya. Kita tahu, pangeran Diponegoro adalah petarung tangguh yang tak
takut dengan kematian. Pemberontakannya terhadap pemerintahan kolonial disebut
dengan Perang Jawa.
Seolah-olah meniru Chairil, Subagio pun “tak mau kalah”. Tengoklah puisi “Dan
Kematian Makin Akrab” berikut:
Di muka pintu masih/ bergantung tanda kabung/
Seakan ia tak akan kembali/ memang ia tak kembali/
Tapi ada yang mereka tak/ mengerti – mengapa ia tinggal diam/
Waktu berpisah. Bahkan tak/ ada kesan kesedihan/
Pada muka/ dan mata itu, yang terus/
Memandang, seakan mau bilang/ dengan bangga: - matiku muda/ ada baiknya
Mati muda dan mengikut/ mereka yang gugur sebelum waktunya/....
(Dari Horison, edisi November 2014)
Sebagai penguat, betapa Subagio ini
akrab dengan kata kematian lewat puisi-puisinya, kita kutip saja
tulisan sastrawan Cecep Syamsul Hari di Horison edisi November 2014
berikut: “Sulit dipungkiri bahwa maut menjadi “tema besar” sajak-sajak
Subagio Sastrowardoyo.” Lebih lanjut, Cecep mengatakan, tema ajal ini juga
terdapat dalam puisinya “Di Ujung Ranjang” dan “Pidato di Kubur Orang”. Kita “tafakuri”
saja puisinya “Di Ujung Ranjang” berikut:
Waktu tidur/ tak ada yang
menjamin/ kau bisa bangun lagi/
Tidur/ adalah persiapan/ buat tidur
lebih lelap/
Di ujung ranjang/ menjaga bidadari/ menyanyi
nina bobo/
Selain berjibaku dengan kematian,
dalam puisi-puisinya Subagio sangat menekankan keheningan. Goenawan Mohamad
membahasakannya dengan diam. “Subagio
memilih diam dan memenangkan diam. Tak memberi pada aksentuasi gerak, pada
suara keras serta kesibukan di luar” (Mohamad, 2005).
Yang jelas, apa pun penafsiran kita
terhadap sosok penyair ini, ia tetap akan dikenang sebagai salah satu penyair
besar di jagat sastra Indonesia. Sulit generasi kini menandinginya! Namamu akan
tetap terpatri dalam dada anak negeri, Subagio, walaupun kau pergi mendahului
kita pada 18 Juli 1995, hampir dua dekade lalu!
Bagi kita, sebagai penikmat sastra,
tentunya masih banyak yang merasa asing dengan sosok seorang Subagio. Paling kita cuma
tahu Dian Sastrowardoyo, si bintang film nan cantik itu. Kebetulan, Dian Sastro
adalah cucunya Subagio. Nah, oleh karena itulah, menjadi tugas kita bersama untuk menyebarkan gagasan-gagasannya yang
termaktub di dalam puisi, esai, ataupun cerpen. Minimal kita mengetahui profil hidupnya,
alih-alih kita membaca karya-karyanya. Demikian, salam sastra! Wallahu a’lam bi al-shawab.
14 18 Desember 23.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar