Jumat, 09 Januari 2015

Puisi Maut dan Nama Besar Subagio



Puisi Maut dan Nama Besar Subagio
Darwin

Entah kenapa, namanya begitu besar dalam jagat kesusastraan Tanah Air? Sebagai orang awam dalam dunia sastra, penulis masih dibalut tanya. Susah menemukan jawabannya. Apalagi literatur tentangnya tidaklah mudah mendapatkannya. Ya, dialah Subagio Sastrowardoyo. Penyair yang selalu disebut, jika membincangkan sastra Indonesia.
Penyair kontemporer, Sitok Srengenge, bahkan “menyanjung-nyanjung” Subagio sebagai tokoh super penting dalam sastra Indonesia. Ia mengatakan, seperti ditulis Qaris Tajudin, “Ada sembilan penyair yang sangat berpengaruh pada sastra Indonesia. Seandainya sastra Indonesia hanya memiliki mereka, itu sudah cukup. Mereka adalah Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Subagio Sastrowardoyo, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Asrul Sani, dan satu lagi yang agak lain. Suka tidak suka, dia memberi warna lain pada sastra Indonesia: Remy Silado(http://koran.tempo.co 3 Maret 2014, 10.20).
Kita ungkai saja profil penyair yang juga kritikus sastra ini. Subagio lahir di Madiun, Jawa Timur, pada 1 Februari 1924. Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi tempatnya mengenal segala hal tentang sastra, dan bisa jadi membentuk kepribadiannya. Ia lulus dari jurusan Sastra Timur, Fakultas Sastra dari kampus ini pada tahun 1958. Sebagaimana kita ketahui, kampus yang berada di Yogyakarta ini menelurkan sastrawan besar yang lain, ada Umar Kayyam yang tenar dengan “Para Priyayi”-nya, atau sastrawan yang baru saja meninggal beberapa waktu lalu, Bakdi Sumanto, juga berasal dari kampus ini.
Selepas dari UGM, Subagio meneruskan pendidikannya di Amerika, tepatnya kampus Universitas Yale, selesai tahun 1963. Aktivitas hariannya tak lepas dari menulis dan mengajar. Ia selalu bersentuhan dengan para mahasiswa dengan menjadi tim pengajar di almamaternya, sempat pula mengembara hingga ke Australia, tentunya yang dilakukannya tak jauh-jauh dari mengajar. Dari semua aktivitas hariannya, ia meneguhkan hatinya pada bidang kesenian, dan puisilah yang menjadi titik-sentralnya. Puisi mengalahkan bidang kesenian lain yang juga diminatinya. Berkat kecintaannya pada permainan kata inilah sehingga lahirlah berbagai kumpulan puisi, seperti “Shimponi” (1957), “Daerah Perbatasan” (1970), “Kroncong Motinggo” (1975), “Buku Harian” (1979), “Hari dan Hara” (1982), dan “Simfoni Doa” (1990) (Korrie Layun Rampan, Horison, edisi November 2014).

Kematian ala Subagio
Yang menarik terkait sosok ini, hemat penulis adalah konten dari puisi-puisi penyair yang pernah bergiat di Balai Pustaka ini. Tema kematian sangatlah akrab bagi seorang Subagio. Entah kenapa banyak penyair kita yang “hobi” mengulas kematian dalam syair-syair mereka. Sebagai pembanding, Chairil Anwar, penyair yang tidak kita ragukan lagi itu, juga bicara kematian dalam sajak-sajaknya. Misalnya, lihat saja sajaknya yang berjudul “Nisan”. Sebuah sajak yang berkaitan dengan kematian neneknya. Bukan kematian benar menusuk kalbu/ Keridaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertakhta/.
Makna dari puisi “Nisan” ini, kata Arif Budiman (2007) adalah betapa tidak berdayanya manusia menghadapi maut. Makna lain, lanjut Budiman adalah betapa angkuhnya Sang Maut di hadapan manusia.  Puisi Chairil lain yang mengupas maut, masih menurut Budiman, adalah “Diponegoro” yang terkenal itu. Puisi yang menjelaskan detik-detik Diponegoro menghadapi kematiannya. Kita tahu, pangeran Diponegoro adalah petarung tangguh yang tak takut dengan kematian. Pemberontakannya terhadap pemerintahan kolonial disebut dengan Perang Jawa.
Seolah-olah meniru Chairil, Subagio pun “tak mau kalah”. Tengoklah puisi “Dan Kematian Makin Akrab” berikut:
Di muka pintu masih/ bergantung tanda kabung/
Seakan ia tak akan kembali/ memang ia tak kembali/
Tapi ada yang mereka tak/ mengerti – mengapa ia tinggal diam/
Waktu berpisah. Bahkan tak/ ada kesan kesedihan/
Pada muka/ dan mata itu, yang terus/
Memandang, seakan mau bilang/ dengan bangga: - matiku muda/ ada baiknya
Mati muda dan mengikut/ mereka yang gugur sebelum waktunya/....
(Dari Horison, edisi November 2014)
            Sebagai penguat, betapa Subagio ini akrab dengan kata kematian lewat puisi-puisinya, kita kutip saja tulisan sastrawan Cecep Syamsul Hari di Horison edisi November 2014 berikut: “Sulit dipungkiri bahwa maut menjadi “tema besar” sajak-sajak Subagio Sastrowardoyo.” Lebih lanjut, Cecep mengatakan, tema ajal ini juga terdapat dalam puisinya “Di Ujung Ranjang” dan “Pidato di Kubur Orang”. Kita “tafakuri” saja puisinya “Di Ujung Ranjang” berikut:
            Waktu tidur/ tak ada yang menjamin/ kau bisa bangun lagi/
            Tidur/ adalah persiapan/ buat tidur lebih lelap/
            Di ujung ranjang/ menjaga bidadari/ menyanyi nina bobo/
            Selain berjibaku dengan kematian, dalam puisi-puisinya Subagio sangat menekankan keheningan. Goenawan Mohamad membahasakannya dengan  diam. “Subagio memilih diam dan memenangkan diam. Tak memberi pada aksentuasi gerak, pada suara keras serta kesibukan di luar” (Mohamad, 2005).
            Yang jelas, apa pun penafsiran kita terhadap sosok penyair ini, ia tetap akan dikenang sebagai salah satu penyair besar di jagat sastra Indonesia. Sulit generasi kini menandinginya! Namamu akan tetap terpatri dalam dada anak negeri, Subagio, walaupun kau pergi mendahului kita pada 18 Juli 1995, hampir dua dekade lalu!
            Bagi kita, sebagai penikmat sastra, tentunya masih banyak yang merasa asing dengan sosok seorang Subagio. Paling kita cuma tahu Dian Sastrowardoyo, si bintang film nan cantik itu. Kebetulan, Dian Sastro adalah cucunya Subagio. Nah, oleh karena itulah, menjadi tugas kita bersama untuk menyebarkan gagasan-gagasannya yang termaktub di dalam puisi, esai, ataupun cerpen.  Minimal kita mengetahui profil hidupnya, alih-alih kita membaca karya-karyanya. Demikian, salam sastra! Wallahu a’lam bi al-shawab.
14 18 Desember 23.30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar