NIIS dan Nasionalisme Paksaan
Darwin
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kita
kenal dengan konsep negara khilafahnya. Negara berideologi Islam berbentuk
khilafah yang merujuk pada kejayaan Islam di masa silam. Menurut organisasi
ini, jika ide negara khilafah terwujud, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan
akan dirasakan umat, khususnya Islam di seantero Bumi. HTI dalam setiap aksi dan
diskusinya selalu berpucuk pada konsep ini. Dengan kata lain, mereka
mati-matian mengumandangkan ide ini hingga kelak peradaban khilafah islamiyah
bisa terpacak.
Nah, berkaitan dengan konsep HTI ini,
ada yang menarik belakangan, yakni apa yang terjadi pada akhir Juni lalu di
Irak. Pada tanggal 29 Juni 2014 didirikanlah Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS)
atau dalam bahasa Inggris Islamic States
of Iraq and Syria (ISIS) di dua negara bertetangga, yakni sebagian Irak dan
Suriah, tepatnya Aleppo (Suriah) hingga Diyala di Irak. Kekhalifaan ini berada
di bawah Abu Bakar al-Baghdadi. Ia dibaiat sebagai khalifah atau pemimpin umat Islam
seluruh dunia.
Apakah cita-cita HTI yang kita
anggap selama ini sebagai utopia itu sudah mewujud dalam NIIS ini? Entahlah! Tapi yang pasti negara
khilafah a la NIIS ini secara ideologi ada kesamaan dengan HTI, yakni sama-sama
beraliran Sunni. Ditilik dari syarat pembentukan sebuah negara dalam tataran
dunia modern, NIIS pun telah mendekati sebuah negara. Mereka mempunyai wilayah
geografis, penduduk, dan penghasilan. Mereka hanya butuh pengakuan saja dari
eksternal (dunia internasional). Tapi, apakah pengakuan itu dibutuhkan?
Berkaitan dengan pengakuan ini,
hemat penulis, selama ini kita dikendalikan sedemikian rupa oleh aturan yang
diciptakan dunia modern. Konsep negara bangsa, misalnya, ia hanyalah
akal-akalan sebagian orang saja, dalam hal ini penulis membuat oposisi biner.
Baratlah yang mengonstruk segala hal (ide yang termanifestasikan dalam budaya
global, politik (liberal), ekonomi (kapitalisme), dan segala tetek bengek
kehidupan manusia lainnnya. Makanya, teori modern yang mengharuskan sebuah
negara mendapatkan pengakuan itu tidaklah wajib. Dengan kata lain, silakan
bikin negara dengan syarat ringan, misalnya mempunyai kesamaan nasib, seperti
lumrahnya sebuah negara dibentuk. Karena bagaimanapun, senasib-sepenanggungan
itu sudah mensyaratkan sebuah komunitas (negara) bisa ditegakkan.
Kembali ke NIIS. Syarat yang ada
pada negara NIIS sudah lebih dari cukup untuk dikatakan ia sebagai negara.
Bahkan negara (bangsa) pun bagi penulis, tak bisa lepas dari fenomena Eropa
abad 19, yakni munculnya negara-bangsa yang pada akhirnya mengonstruk imaji dunia
modern hingga hari ini. Baiknya kita bahas dulu ihwal negara dan hal-hal yang
melekat padanya sebelum kita kembali ke NIIS.
Ada yang namnya negara (bangsa),
nasionalisme, dan etnis yang menjadi komunitas kecil yang berpadu di bawahnya. Yang
menjadi masalah adalah konsep nasionalisme yang dipaksakan dalam suatu negara.
Etnis-etnis tertentu—yang pastinya minoritas—dipaksa masuk (mengakui) ke dalam
ideologi nasionalisme sebuah negara. Ini tidaklah tepat! Bagaimanapun, kesamaan
nasib (budaya/pandangan hidup, ciri fisik) adalah kata kunci. Kesamaan nasib
dalam lingkup etnis tidak bisa dipaksakan untuk melebur ke dalam satu ideologi
yang perwujudannya adalah negara. Dalam konteks Indonesia, hal ini bisa saja
diterapkan, meskipun tetap saja ada kecemburuan dari etnis atau suku-suku
tertentu terhadap perlakuan negara yang tidak adil. Kita merasa sebagai suatu
bangsa yang direkat oleh bendera, Burung Garuda, dan kesamaan nasib karena kita
sama-sama dijajah oleh kolonial. Di negara kita, tidak ada persoalan berarti
kait-mengait antara etnis dan konsep nasionalisme ini karena rasa senasib
sepenanggungan yang masih bergelora dalam hati setiap penduduk. Dan, hari ini
negara Indonesia Raya tetap utuh dari Sabang sampai Merauke.
Namun, tengoklah negara-negara
jiran, negara-negara Timur-Tengah, Afrika, hingga Eropa yang sudah maju pun,
semua bergolak karena adanya nasionalisme yang dipaksakan tadi. Di Filipina Selatan
ada suku minoritas Moro, di Thailand ada orang-orang Melayu Pattani, di Myanmar
berhimpun orang Rohingnya yang selalu ditindas oleh Junta. Beranjak sedikit ke
Timur-Tengah, tidak ada bedanya. Bahkan di sini lebih serius lagi persoalannya.
Irak, misalnya, negara ini terbagi ke dalam tiga aliran besar, Sunni, Syiah, dan
Kurdi, ditambah lagi dengan deklarasi NIIS, semakin runyamlah persoalaan negara
yang pernah menjadi pusat peradaban Islam itu.
Aliran juga membelah negara seperti Suriah,
Lebanon, dan lainnya. Di Eropa ada pemaksaan terhadap kelompok Chech-nya supaya
masuk secara kaffah ke dalam negara
Rusia, padahal orang-orang Chechnya jauh sekali perbedaannya dengan orang-orang
Rusia secara fisik dan non fisik (kebudayaan). Atau di Balkan pun demikian
adanya, sehingga lahirlah negara-negara baru setelah tahun 1992. Suku/etnis
minoritas di atas dipaksa bergabung dengan yang mayoritas dengan dalih
nasionalisme. Padahal hemat penulis, nasionalisme sesungguhnya itu adalah
nasionalisme yang tanpa paksaan.
Dalam kasus NIIS, bisa jadi mereka
selama ini tidak sehati dengan pemerintah Irak di Baghdad yang dikuasai
kelompok Syiah. Secara ideologi mereka sulit disatukan. Baghdad adalah Islam
sekuler yang “jauh” dari nilai-nilai illahi, sementara kelompok NIIS
menginginkan tegaknya negara yang fondasinya adalah Al-Quran dan Hadis.
Sungguh, penulis tidak setuju dengan
sebuah paksaan yang juga merembet kepada pejabat-pejabat Indonesia. Menteri
Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, NIIS adalah organisasi berpaham
radikal, dan barang siapa yang mendukung NIIS ini bisa berakibat pada
pencabutan kewarganegaraan (Kompas,
2/8/2014). Sebelumnya ada fatwa Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
seperti diberitakan Kompas edisi
1/8/2014, di mana setiap warga negara yang memberikan dukungan terhadap NIIS
terancam hukuman pencabutan status sebagai warga negara. Di sini terlihat
betapa Menteri Agama kita dan BNPT tidak menguasai persoalan. Sudah seharusnya
sesuatu itu dilihat secara menyeluruh supaya tidak reduktif. Pendirian NIIS itu
tidak hanya sekadar ujug-ujug
mendirikan sebuah negara, tetapi ada yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini
tentu saja ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Irak selama ini.
Kemiskinan, kebodohan, dan konflik aliran masih mendera negeri yang pernah dipimpin
diktator Saddam Husein ini.
Melihat masalah secara parsial ini
bisalah disamakan dengan tuduhan radikal/teroris yang menimpah sebagian
orang-orang Islam. Tuduhan yang membuat Islam terpojok. Padahal, ada ideologi
besar yang membuat gerakan radikal itu lahir. Ya, ekonomi kapitalisme dan
demokrasi liberal yang diusung Barat penuh dengan manipulasi. Secara ekonomi,
negara-negara Barat mengeksploitasi dengan sangat hebat negara-negara Dunia
Ketiga. Sementara dalam lapangan politik, Demokrasi Barat penuh dengan paradoks.
Dalih demokrasi a la Barat memakan korban rakyat kecil di negara-negara yang
dianggap Barat tidak demokratis.
Jadi, kita harus mempertanyakan
ulang konsep nasionalisme. Nasionalisme bisa jadi relevan di negara seperti
Indonesia, walaupun sangat heterogen penduduknya. Namun, di negara-negara
tertentu nasionalisme sungguh harus ditinjau ulang. Banyak nasionalisme di
negara-negara itu yang dipaksakan, kalau perlu dengan jalan kekerasan. Yang
lain, kita jangan terburu-buru mencap sebuah kelompok sebagai gerakan radikal,
dalam hal ini pendirian NIIS, karena banyak faktor yang harus kita telaah
terlebih dahulu. Demikian! Wallahu a’lam bi al-shawab.
31
jul 3Agust 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar