Minggu, 01 Februari 2015

NIIS dan Nasionalisme Paksaan



NIIS dan Nasionalisme Paksaan
Darwin
            Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kita kenal dengan konsep negara khilafahnya. Negara berideologi Islam berbentuk khilafah yang merujuk pada kejayaan Islam di masa silam. Menurut organisasi ini, jika ide negara khilafah terwujud, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan akan dirasakan umat, khususnya Islam di seantero Bumi. HTI dalam setiap aksi dan diskusinya selalu berpucuk pada konsep ini. Dengan kata lain, mereka mati-matian mengumandangkan ide ini hingga kelak peradaban khilafah islamiyah bisa terpacak.
            Nah, berkaitan dengan konsep HTI ini, ada yang menarik belakangan, yakni apa yang terjadi pada akhir Juni lalu di Irak. Pada tanggal 29 Juni 2014 didirikanlah Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau dalam bahasa Inggris Islamic States of Iraq and Syria (ISIS) di dua negara bertetangga, yakni sebagian Irak dan Suriah, tepatnya Aleppo (Suriah) hingga Diyala di Irak. Kekhalifaan ini berada di bawah Abu Bakar al-Baghdadi. Ia  dibaiat sebagai khalifah atau pemimpin umat Islam seluruh dunia.
            Apakah cita-cita HTI yang kita anggap selama ini sebagai utopia itu sudah mewujud dalam  NIIS ini? Entahlah! Tapi yang pasti negara khilafah a la NIIS ini secara ideologi ada kesamaan dengan HTI, yakni sama-sama beraliran Sunni. Ditilik dari syarat pembentukan sebuah negara dalam tataran dunia modern, NIIS pun telah mendekati sebuah negara. Mereka mempunyai wilayah geografis, penduduk, dan penghasilan. Mereka hanya butuh pengakuan saja dari eksternal (dunia internasional). Tapi, apakah pengakuan itu dibutuhkan?
            Berkaitan dengan pengakuan ini, hemat penulis, selama ini kita dikendalikan sedemikian rupa oleh aturan yang diciptakan dunia modern. Konsep negara bangsa, misalnya, ia hanyalah akal-akalan sebagian orang saja, dalam hal ini penulis membuat oposisi biner. Baratlah yang mengonstruk segala hal (ide yang termanifestasikan dalam budaya global, politik (liberal), ekonomi (kapitalisme), dan segala tetek bengek kehidupan manusia lainnnya. Makanya, teori modern yang mengharuskan sebuah negara mendapatkan pengakuan itu tidaklah wajib. Dengan kata lain, silakan bikin negara dengan syarat ringan, misalnya mempunyai kesamaan nasib, seperti lumrahnya sebuah negara dibentuk. Karena bagaimanapun, senasib-sepenanggungan itu sudah mensyaratkan sebuah komunitas (negara) bisa ditegakkan.
            Kembali ke NIIS. Syarat yang ada pada negara NIIS sudah lebih dari cukup untuk dikatakan ia sebagai negara. Bahkan negara (bangsa) pun bagi penulis, tak bisa lepas dari fenomena Eropa abad 19, yakni munculnya negara-bangsa yang pada akhirnya mengonstruk imaji dunia modern hingga hari ini. Baiknya kita bahas dulu ihwal negara dan hal-hal yang melekat padanya sebelum kita kembali ke NIIS.
            Ada yang namnya negara (bangsa), nasionalisme, dan etnis yang menjadi komunitas kecil yang berpadu di bawahnya. Yang menjadi masalah adalah konsep nasionalisme yang dipaksakan dalam suatu negara. Etnis-etnis tertentu—yang pastinya minoritas—dipaksa masuk (mengakui) ke dalam ideologi nasionalisme sebuah negara. Ini tidaklah tepat! Bagaimanapun, kesamaan nasib (budaya/pandangan hidup, ciri fisik) adalah kata kunci. Kesamaan nasib dalam lingkup etnis tidak bisa dipaksakan untuk melebur ke dalam satu ideologi yang perwujudannya adalah negara. Dalam konteks Indonesia, hal ini bisa saja diterapkan, meskipun tetap saja ada kecemburuan dari etnis atau suku-suku tertentu terhadap perlakuan negara yang tidak adil. Kita merasa sebagai suatu bangsa yang direkat oleh bendera, Burung Garuda, dan kesamaan nasib karena kita sama-sama dijajah oleh kolonial. Di negara kita, tidak ada persoalan berarti kait-mengait antara etnis dan konsep nasionalisme ini karena rasa senasib sepenanggungan yang masih bergelora dalam hati setiap penduduk. Dan, hari ini negara Indonesia Raya tetap utuh dari Sabang sampai Merauke.
            Namun, tengoklah negara-negara jiran, negara-negara Timur-Tengah, Afrika, hingga Eropa yang sudah maju pun, semua bergolak karena adanya nasionalisme yang dipaksakan tadi. Di Filipina Selatan ada suku minoritas Moro, di Thailand ada orang-orang Melayu Pattani, di Myanmar berhimpun orang Rohingnya yang selalu ditindas oleh Junta. Beranjak sedikit ke Timur-Tengah, tidak ada bedanya. Bahkan di sini lebih serius lagi persoalannya. Irak, misalnya, negara ini terbagi ke dalam tiga aliran besar, Sunni, Syiah, dan Kurdi, ditambah lagi dengan deklarasi NIIS, semakin runyamlah persoalaan negara yang pernah menjadi pusat peradaban Islam itu.
            Aliran juga membelah negara seperti Suriah, Lebanon, dan lainnya. Di Eropa ada pemaksaan terhadap kelompok Chech-nya supaya masuk secara kaffah ke dalam negara Rusia, padahal orang-orang Chechnya jauh sekali perbedaannya dengan orang-orang Rusia secara fisik dan non fisik (kebudayaan). Atau di Balkan pun demikian adanya, sehingga lahirlah negara-negara baru setelah tahun 1992. Suku/etnis minoritas di atas dipaksa bergabung dengan yang mayoritas dengan dalih nasionalisme. Padahal hemat penulis, nasionalisme sesungguhnya itu adalah nasionalisme yang tanpa paksaan.
            Dalam kasus NIIS, bisa jadi mereka selama ini tidak sehati dengan pemerintah Irak di Baghdad yang dikuasai kelompok Syiah. Secara ideologi mereka sulit disatukan. Baghdad adalah Islam sekuler yang “jauh” dari nilai-nilai illahi, sementara kelompok NIIS menginginkan tegaknya negara yang fondasinya adalah Al-Quran dan Hadis.
            Sungguh, penulis tidak setuju dengan sebuah paksaan yang juga merembet kepada pejabat-pejabat Indonesia. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, NIIS adalah organisasi berpaham radikal, dan barang siapa yang mendukung NIIS ini bisa berakibat pada pencabutan kewarganegaraan (Kompas, 2/8/2014). Sebelumnya ada fatwa Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) seperti diberitakan Kompas edisi 1/8/2014, di mana setiap warga negara yang memberikan dukungan terhadap NIIS terancam hukuman pencabutan status sebagai warga negara. Di sini terlihat betapa Menteri Agama kita dan BNPT tidak menguasai persoalan. Sudah seharusnya sesuatu itu dilihat secara menyeluruh supaya tidak reduktif. Pendirian NIIS itu tidak hanya sekadar ujug-ujug mendirikan sebuah negara, tetapi ada yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini tentu saja ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Irak selama ini. Kemiskinan, kebodohan, dan konflik aliran masih mendera negeri yang pernah dipimpin diktator Saddam Husein ini.
            Melihat masalah secara parsial ini bisalah disamakan dengan tuduhan radikal/teroris yang menimpah sebagian orang-orang Islam. Tuduhan yang membuat Islam terpojok. Padahal, ada ideologi besar yang membuat gerakan radikal itu lahir. Ya, ekonomi kapitalisme dan demokrasi liberal yang diusung Barat penuh dengan manipulasi. Secara ekonomi, negara-negara Barat mengeksploitasi dengan sangat hebat negara-negara Dunia Ketiga. Sementara dalam lapangan politik, Demokrasi Barat penuh dengan paradoks. Dalih demokrasi a la Barat memakan korban rakyat kecil di negara-negara yang dianggap Barat tidak demokratis.
            Jadi, kita harus mempertanyakan ulang konsep nasionalisme. Nasionalisme bisa jadi relevan di negara seperti Indonesia, walaupun sangat heterogen penduduknya. Namun, di negara-negara tertentu nasionalisme sungguh harus ditinjau ulang. Banyak nasionalisme di negara-negara itu yang dipaksakan, kalau perlu dengan jalan kekerasan. Yang lain, kita jangan terburu-buru mencap sebuah kelompok sebagai gerakan radikal, dalam hal ini pendirian NIIS, karena banyak faktor yang harus kita telaah terlebih dahulu. Demikian!  Wallahu a’lam bi al-shawab.
31 jul 3Agust 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar