Pelantikan
Jokowi-JK
Ahmad
Sahide
Entah mengapa saya merasa perlu
untuk ikut mengabadikan momen pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pada hari Senin kemarin, 20 Oktober 2014. Tentu
saja mengabadikannya dengan catatan harian politik. Meskipun di luar sana
bertebaran tulisan menghiasi jagat kehidupan Tanah Air, saya tetap merasa perlu
untuk mengabadikan momen pergantian tampuk kepemimpinan nasional tersebut. Hari
itu, Jokowi resmi menjadi Presiden Republik Indonesia dan sejak saat itu
pulalah Susilo Bambang Yudoyono (SBY) resmi mengakhiri masa jabatannya selama
dua periode. SBY kembali ke Cikeas, kediaman
pribadinya.
Ada satu hal yang membuat saya
merasa perlu untuk mendokumentasikan momen politik tersebut yaitu antusiasme
masyarakat bawah menyambut pemimpin baru di negeri ini. Ini yang belum pernah
terjadi sebelumnya, termasuk dua kali pelantikan SBY sebagai presiden. Kita
tahu bahwa jauh hari sebelum pelantikan Jokowi-JK sebagai pasangan pemimpan
nasional, rakyat di beberapa tempat bersiap menyambut dengan pesta yang mereka
buat sendiri. Puncak dari pesta rakyat tersebut adalah pesta Senin malam di
Bundaran HI yang dihadiri langsung oleh presiden baru kita tersebut, Jokowi.
Inilah pelantikan Presiden dan Wakil
Presiden Indonesia pertama yang mendapatkan sambutan hangat dari seluruh rakyat
Indonesia. Jokowi-JK seolah tidak hanya dilantik oleh Majelis Permusyawaratn
Rakyat (MPR), tetapi oleh seluruh rakyat Indonesia. Hemat saya, inilah
demokrasi arus bawah, demokrasi yang mampu melahirkan pemimpin dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jika kita mengikuti perkembangan politik di
Tanah Air dari waktu ke waktu, maka Jokowilah yang mampu menghadirkan iklim
demokrasi demikian. Demokrasi di mana rakyat merasa memiliki bahwa presiden dan
wakil presiden yang dilantik adalah pemimpin mereka yang akan berjuang untuk
mereka. Bukan pemimpin oleh mereka yang akan bekerja bukan untuk mereka.
Saya kira selama ini rakyat
Indonesia pada umumnya berpandangan bahwa pemimpin negeri ini adalah pemimpin
untuk para elite, bukan untuk mereka, sehingga mereka tidak menyambut antusias
kehadiran (pelantikan) pemimpin baru mereka. SBY dua kali dilantik sebagai
presiden tetapi tidak mendapatkan sambutan sebagaimana yang didapatkan oleh Jokowi
pada hari pelantikannya. SBY, dan juga presiden-presiden sebelumnya, hanya
dilantik oleh MPR, bukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Rakyat di seluruh
Indonesia, pada momen-momen pelantikan sebelumnya, hanya berpartisipasi dengan
menyaksikan pidato, yang kadang membosankan dan tidak dipercaya, melalui layar
kaca televisi mereka. Kali ini, dalam moemen pelantikan Jokowi-JK, berbeda.
Ribuan, bahkan jutaan, rakyat Indonesia berpartisipasi dengan ikut memeriahkan
pesta untuk menyambut pemimpin baru mereka. Bahkan , dalam berbagai berita di
media massa, banyak warga dari seluruh Indonesia rela datang ke Jakarta hanya
untuk ikut berpartisipasi memeriahkan pesta rakyat yang berlangsung di bundaran
HI.
Inilah
presiden yang berada di hati dan dicintai rakyat. Oleh karena itu, jika
demokrasi sesungguhnya berbicara legitimasi politik yang kuat, maka Jokowi
memiliki hal tersebut. meskipun Jokowi hanya dipilih oleh 53,15 persen suara
pada pemilihan presiden dan wakil presiden 9 Juli lalu. Legitimasi politik yang
diperoleh Jokowi sebagai pemimpin jauh di atas angka-angka yang ada. SBY memang
dipilih oleh rakyat dengan 60 persen suara lebih, dua kali pemilihan, tetapi
SBY tidak mendapatkan legitimasi politik sekuat Jokowi. SBY tidak dicintai
sebagaimana rakyat mencintai Jokowi. SBY tidak dekat dengan rakyat sebagaimana
dekatnya Jokowi dengan rakyat, terutama di hati rakyat yang dipimpinnya.
Hal
itu terlihat dengan banyaknya warga yang rela menunggu dan menyapa Jokowi di
luar pagar istana pada malam hari setelah pelantikan. Jokowi yang sadar banyak
rakyat menunggunya di depan istana menyempatkan diri untuk membalas sapaan dan
menjabat tangan merea di balik pagar istana kemudian dengan bahasa hangat,
seolah antara orangtua dan anak, mengatakan “Ayo pulang. Sudah malam. Besok
kerja.” Di situ tidak ada bahasa politik. Yang ada adalah bahasa kasih yang
terbangun dengan adanya kedekatan di antara keduanya. Begitulah rakyat
menyambut pemimin baru mereka, Jokowi!
Yogyakarta, 23 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar