Jumat, 24 Oktober 2014

Pelantikan Jokowi-JK



Pelantikan Jokowi-JK
Ahmad Sahide
            Entah mengapa saya merasa perlu untuk ikut mengabadikan momen pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) pada hari Senin kemarin, 20 Oktober 2014. Tentu saja mengabadikannya dengan catatan harian politik. Meskipun di luar sana bertebaran tulisan menghiasi jagat kehidupan Tanah Air, saya tetap merasa perlu untuk mengabadikan momen pergantian tampuk kepemimpinan nasional tersebut. Hari itu, Jokowi resmi menjadi Presiden Republik Indonesia dan sejak saat itu pulalah Susilo Bambang Yudoyono (SBY) resmi mengakhiri masa jabatannya selama dua periode. SBY kembali ke Cikeas, kediaman  pribadinya.
            Ada satu hal yang membuat saya merasa perlu untuk mendokumentasikan momen politik tersebut yaitu antusiasme masyarakat bawah menyambut pemimpin baru di negeri ini. Ini yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk dua kali pelantikan SBY sebagai presiden. Kita tahu bahwa jauh hari sebelum pelantikan Jokowi-JK sebagai pasangan pemimpan nasional, rakyat di beberapa tempat bersiap menyambut dengan pesta yang mereka buat sendiri. Puncak dari pesta rakyat tersebut adalah pesta Senin malam di Bundaran HI yang dihadiri langsung oleh presiden baru kita tersebut, Jokowi.
            Inilah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pertama yang mendapatkan sambutan hangat dari seluruh rakyat Indonesia. Jokowi-JK seolah tidak hanya dilantik oleh Majelis Permusyawaratn Rakyat (MPR), tetapi oleh seluruh rakyat Indonesia. Hemat saya, inilah demokrasi arus bawah, demokrasi yang mampu melahirkan pemimpin dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jika kita mengikuti perkembangan politik di Tanah Air dari waktu ke waktu, maka Jokowilah yang mampu menghadirkan iklim demokrasi demikian. Demokrasi di mana rakyat merasa memiliki bahwa presiden dan wakil presiden yang dilantik adalah pemimpin mereka yang akan berjuang untuk mereka. Bukan pemimpin oleh mereka yang akan bekerja bukan untuk mereka.
            Saya kira selama ini rakyat Indonesia pada umumnya berpandangan bahwa pemimpin negeri ini adalah pemimpin untuk para elite, bukan untuk mereka, sehingga mereka tidak menyambut antusias kehadiran (pelantikan) pemimpin baru mereka. SBY dua kali dilantik sebagai presiden tetapi tidak mendapatkan sambutan sebagaimana yang didapatkan oleh Jokowi pada hari pelantikannya. SBY, dan juga presiden-presiden sebelumnya, hanya dilantik oleh MPR, bukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Rakyat di seluruh Indonesia, pada momen-momen pelantikan sebelumnya, hanya berpartisipasi dengan menyaksikan pidato, yang kadang membosankan dan tidak dipercaya, melalui layar kaca televisi mereka. Kali ini, dalam moemen pelantikan Jokowi-JK, berbeda. Ribuan, bahkan jutaan, rakyat Indonesia berpartisipasi dengan ikut memeriahkan pesta untuk menyambut pemimpin baru mereka. Bahkan , dalam berbagai berita di media massa, banyak warga dari seluruh Indonesia rela datang ke Jakarta hanya untuk ikut berpartisipasi memeriahkan pesta rakyat yang berlangsung di bundaran HI.
Inilah presiden yang berada di hati dan dicintai rakyat. Oleh karena itu, jika demokrasi sesungguhnya berbicara legitimasi politik yang kuat, maka Jokowi memiliki hal tersebut. meskipun Jokowi hanya dipilih oleh 53,15 persen suara pada pemilihan presiden dan wakil presiden 9 Juli lalu. Legitimasi politik yang diperoleh Jokowi sebagai pemimpin jauh di atas angka-angka yang ada. SBY memang dipilih oleh rakyat dengan 60 persen suara lebih, dua kali pemilihan, tetapi SBY tidak mendapatkan legitimasi politik sekuat Jokowi. SBY tidak dicintai sebagaimana rakyat mencintai Jokowi. SBY tidak dekat dengan rakyat sebagaimana dekatnya Jokowi dengan rakyat, terutama di hati rakyat yang dipimpinnya.
Hal itu terlihat dengan banyaknya warga yang rela menunggu dan menyapa Jokowi di luar pagar istana pada malam hari setelah pelantikan. Jokowi yang sadar banyak rakyat menunggunya di depan istana menyempatkan diri untuk membalas sapaan dan menjabat tangan merea di balik pagar istana kemudian dengan bahasa hangat, seolah antara orangtua dan anak, mengatakan “Ayo pulang. Sudah malam. Besok kerja.” Di situ tidak ada bahasa politik. Yang ada adalah bahasa kasih yang terbangun dengan adanya kedekatan di antara keduanya. Begitulah rakyat menyambut pemimin baru mereka, Jokowi!
Yogyakarta, 23 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar