Adat, Cinta, dan Takdir
(Resensi Titisan Cinta Leluhur)
Ahmad Sahide
Ada dua hal yang perlu
diperhatikan dalam menulis sebuah karya sastra, termasuk novel. Kedua hal itu
adalah kekuatan ide dan kekuatan cara menceritakan ide tersebut. Terkadang ada
karya sastra yang idenya bagus, tetapi cara menceritakannya kurang mampu
menyentuh daya imajinasi pembaca. Ataupun juga dengan sebaliknya.
Membaca kritis (resensi) novel
dari Atte Shernylia Maladevi yang diberinya judul Titisan Cinta Leluhur, hemat saya, perlu dilihat dari dua aspek
tersebut. Pada aspek ide dan cara menuliskannya. Pertama, sebagai penulis yang
aktif menggerakkan anak-anak muda untuk mencintai dunia tulis-menulis, saya
tentu sangat mengapresiasi novel yang tebalnya 144 halaman ini. Kita tentu
berharap bahwa novel ini menjadi pemantik lahirnya penulis-penulis berbakat
dari Bantaeng, kota kelahiran penulis novel tersebut. Kedua, ide cerita dari
novel ini juga menarik, setidaknya bagi saya pribadi karena novel ini mencoba
mengangkat kisah ‘biasa’ dari kehidupan anak muda kelahiran Bantaeng yang
bernama Arung Basunu. Namun dalam kisah keseharian yang biasa itu, ada budaya
yang penting untuk diabadikan. Karena Atte menuliskannya, maka kisah yang biasa
itu pun menjadi luar biasa.
Arung Basunu dalam novel ini
dikisahkan sebagai anak muda yang sukses menapaki karirnya pada usia yang masih
sangat muda (di bawah 30-an). Arung adalah anak muda yang sedikit beruntung dan
menjaga keburuntungannya itu. Ia membuka usaha bengkel dan mendapatkan bantuan
dari Haji Sakka, yang memiliki gadis perempuan bernama Zulaekha. Kesuksesan
Arung dalam usaha bengkelnya berbanding terbalik dengan perjalanan cintanya.
Satu hal yang mengganggu kesuksesan Arung dalam usahanya adalah ia tak kunjung
mengenali siapa perempuan yang akan menjadi tuan rumah hatinya.
Usia yang sudah mendekati kepala
tiga, ditambah dengan desakan seorang ibu yang berharap segera melihat anaknya
bahagia dengan mempersunting perempuan pendamping hidupnya, semakin menambah
kerisauan hati anak muda sukses tersebut. Arung mencoba melakukan ikhtiar untuk
menguak misteri takdir ilahi itu akan perempuan yang ia bayangkan setiap hari
menyuguhkan segelas teh atau kopi, kemudian saling berbagi cerita. Arung
bertemu dengan perempuan yang menghadirkan rasa dan cinta, tetapi takdir
berkata lain. Ada Djarina yang tiba-tiba menjaga jarak dengannya. Setelah
Djarina jauh dari kehidupannya, Arung bertemu dengan perempuan cantik dan juga
berkelas tentunya. Perempuan itu adalah Shadiqa Kinanti, biasa dipanggil Diqa.
Diqa, tentu adalah perempuan yang berbeda, sekali lagi, ia punya kelas sebagai
perempuan. Profesinya adalah dosen di kampus ternama dan favorit yang juga akan
segera mengambil program magisternya di Bandung.
Di hadapan anak keturunan Adam
pada umumnya, Diqa adalah perempuan idaman dan banyak laki-laki yang berharap
akan cintanya. Arung termasuk salah satu dari laki-laki itu. Sejak dari
pertemuan pertama, pada suatu pertunjukan, Diqa sudah berhasil ‘mengganggu’
pikiran Arung sebagai anak keturunan Adam. Pertemuan demi pertemuan, rasa pun
hadir menyelimuti kedua insan tersebut. sayang, Arung datang terlambat. Diqa
sudah terlanjur diikat oleh lelaki lain secara adat. Tentulah Diqa, terlebih
dia seorang terdidik, tidak berani melangkahi adat itu sekalipun ia ada rasa
cinta pada Arung. Di dalam rasa, ada rasio yang kadang harus kompromi dengan
adat. Arung lalu memberanikan diri mendatangi kedua orangtua Diqa demi maksud baiknya. Namun tertolak.
Bintang yang selama ini hadir menjadikan hidup Arung penuh cahaya mulai redup.
Tidak ada lagi bintang dan purnama dalam hidupnya. Arung kembali menapaki
jejaknya tanpa kepastian dalam hal cintanya.
Kegagalan demi kegagalan yang
selalu hadir merebut senyumnya membuatnya memberi ruang hadirnya seorang ibu
untuk kehidupan cintanya. Fatimah, gadis cantik dan sholehah yang selama ini
hidup satu atap dan menjaga ibunya, adalah perempuan pilihan ibunya. Arung
masih mencoba untuk mengelak. Ia masih menganggap Fatimah sebagai adiknya,
sekalipun ia adalah adik angkatnya. Arung, dalam perjalanan dan petualangan
cintanya, akhirnya menyerah dan menerima Fatimah sebagai istrinya. Fatimah dan
Arung pun lalu menikah. Bahagia pun hadir dalam hari-harinya. Sayang,
kebahagiaan itu tidak berlangsung lama menemani kehidupan keluarga Arung. Tidak
lama setelah menikah, Haji Sakka meninggal dan pada hari yang bersamaan
Fatimah, istrinya, juga menghembuskan nafas terkahirnya. Belakangan, Arung
mengetahui bahwa Fatimah pergi membawa janin dalam rahimnya. Itu membuat
kesedihan Arung semakin lengkap. Tawa, canda, dan bahagia pergi bersama
kepergian tiga orang yang dicintainya.
Di tengah cobaan yang berat bagi
Arung dan ibunya itu. Hadirlah kembali Zulaekha untuk menghadirkan senyum dalam
hidupnya. Mengembalikan tawa, canda, dan bahagia yang hilang bersama kehilangan
tiga orang yang dicintainya. Namun pada akhirnya Shadiqa Kinantilah yang
berhasil hadir dalam tahujud cintanya dan menawarkan diri untuk menjadi tuan
rumah hatinya. Arung lalu memberanikan diri mempersunting Diqa, pengganti
Fatimah, dalam kehidupan cintanya. Tuhan memberi jalan keduanya untuk
menyatukan cinta yang pernah bermekaran beberapa tahun sebelumnya. Cinta yang
sempat layu karena terhalang oleh adat. Kini adat telah membuka jalan baginya
untuk bersatu setelah Arung hidup menduda dan Diqa menjanda.
Ide dan Cara Bercerita
Seperti itulah kisah yang
dituliskan oleh Atte dalam novelnya tersebut. Hemat saya sebagai pembaca, novel
ini tidak sekadar menyuguhkan kisah percintaan anak muda bernama Arung, tetapi
novel ini juga menyelipkan aspek-aspek budaya di dalamnya. Ahmad Thohari,
Hamka, Andrea Hirata, dan sejumlah novelis lainnya, kuat dalam menyelipkan
unsur-unsur budaya dalam karya-karyanya. Pada aspek itulah, novel ini mempunyai
kekuatan. Sebuah novel yang bertendens. Ide ceritanya pun juga termasuk ide
yang banyak kita temukan dalam budaya orang-orang Bugis-Makassar. Artinya bahwa
novel ini menjadi artefak untuk merepsentasikan budaya kehidupan masyarakat
Bugis-Makassar. Kita, orang Bugis-Makassar, yang membaca novel ini akan terbawa
dalam imajinasi bahwa ide cerita dari novel ini berangkat dari kisah nyata. Ada
fakta yang difiktifkan oleh Atte. Sastra memang adalah media untuk menyampaikan
‘kebenaran’ dengan cara berbohong. Saya menduga, Atte melakukan itu, terlepas
dia mau mengakuinya atau tidak. Itu tentulah urusan dia.
Selain pada aspek budaya, novel
ini juga ingin menyampaikan kepada pembaca akan adanya takdir Tuhan di balik
usaha manusia yang terkadang tidak mampu diterka, bahkan sulit diterima. Atte,
dalam novel Titisan Cinta Leluhur,
kuat menyampaikan pesan tersebut. Ada tadkdir yang bermain di balik usaha Arung
untuk menemukan jodohnya, walaupun pada awalnya sulit untuk menerima garis
Tuhan tersebut.
Namun
demikian, ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan, terutama dikembangkan
bagi Atte dalam menulis karya-karya sastra berikutnya, yaitu penguatan cara
bercerita. Saya sering mengatakan kepada teman-teman bahwa novel (termasuk
cerpen) yang baik adalah novel yang dalam ceritanya mampu menyentuh daya
imajinasi pembaca. Dunia yang diceritakannya seolah-olah hadir di depan
pembaca. Cara berceritanya harus kuat pada pendeskripsian tentang segala hal;
tempat, tokoh, waktu, dan lain
sebagainya. Pada bagian ini yang perlu dikembangkan bagi Atte.
Sebagai
contoh, dapat kita lihat pada dialog yang berlangsung antara Arung dan Diqa,
pada halaman 77-78, ketika Arung menyampaikan secara lisan perasaannya pada
Diqa. Di sini, Atte seharusnya memperkuat deskripsi suasana, seperti apa
gerak-gerik Arung, gerakan tangan dan lain sebagainya, ketika kata-kata yang
keluar dari mulutnya merepresentasikan perasaan yang berkecambah dalam dadanya.
Demikian pula bagi Diqa. Di sini kurang kuat, padahal pembaca dapat dibuat
terharu atau ikut sedih dalam membaca bagian ini seandainya Atte memperkuat hal
tersebut. Demikian halnya ketika Atte membawa kita pada perjalanan Arung
kembali ke Bantaeng dan singgah di daerah Jeneponto, Taman Roya. Atte
seharusnya menggambarkan tempat ini dengan detail sehingga pembaca, setidaknya,
punya gambaran akan tempat tersebut; seperti apa dan bagaimana serta tepatnya
di mana.
Cara
mengisahkan perjalanan tokoh yang kurang kuat pada deskripsinya banyak kita
temukan dalam dialog-dialog yang dibangun oleh Atte, seperti dalam dialog
antara Arung dan ibunya yang memintanya untuk menikah dengan Fatimah, adik
angkatnya. Pada bagian ini, Atte semestinya mampu membuat pembaca menangis,
atau paling tidak sedih, dengan kemampuannya memainkan bahasa dalam
dialog-dialognya dengan deskripsi yang sangat kuat. Bahkan pada halaman
110-111, ada kisah yang terlewatkan. Atte tidak memasukkan proses lamaran dan
berlangsungnya pesta pernikahan antara Arung dan Fatimah. Padahal, hemat saya,
bagian itu penting untuk diangkat karena ia adalah budaya sehingga orang luar
yang membaca karya Atte akan menambah wawasan kebangsaannya akan kehidupan
orang-orang Bantaeng, khususnya. Sayang sekali, Atte melewati bagian tersebut.
Begitupun juga ketika Fatimah akhirnya berpulang ke pangkuan Ilahi dan hadir
kembali Shadiqa Kinanti dalam hidup Arung. Atte seharusnya banyak bercerita
akan proses budaya yang berlangsung dalam pertemuan Arung dan Diqa yang
akhirnya bersanding ke pelaminan. Sekali lagi, itu ekspektasi saya sebagai
pembaca dari karya tersebut, Atte boleh merenungkannya dan juga tidak masalah
jika pembacaan kritis saya ini dianggap angin berlalu.
Yang
pasti, saya ucapkan selamat buat Atte atas keberaniannya menulis novel yang
mengangkat narasi-narasi lokal menjadi konsumsi publik. Buku ini, hemat saya,
perlu dibaca oleh semua pihak, termasuk orang luar Bugis-Makassar, karena dari
novel inilah mereka mendapatkan gambaran akan kehidupan dan budaya orang
Bugis-Makassar. Itu nilai yang sangat berharga dari novel ini. Dan semoga Atte
tetap melahirkan karya-karya berikutnya. Ahmad Thohari mengatakan bahwa
kematangan dalam menulis itu sambil jalan. Jika Anda membaca karya-karya Andrea
Hirata, dan novelis-novelis lain tentunya, akan terlihat bahwa cara Andrea
bercerita dari novel pertamanya (Laskar Pelangi) hingga novel-novel berikutnya
mengalami perkembangan. Semoga Atte melakukan hal yang sama!
Ahmad Sahide
Pegiat Komunitas Belajar Menulis Yogyakarta
Novel terbarunya berjudul “Hilang”.
Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar