Selasa, 14 Oktober 2014

Adat, Cinta, dan Takdir



Adat, Cinta, dan Takdir
(Resensi Titisan Cinta Leluhur)
Ahmad Sahide
                Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menulis sebuah karya sastra, termasuk novel. Kedua hal itu adalah kekuatan ide dan kekuatan cara menceritakan ide tersebut. Terkadang ada karya sastra yang idenya bagus, tetapi cara menceritakannya kurang mampu menyentuh daya imajinasi pembaca. Ataupun juga dengan sebaliknya.
                Membaca kritis (resensi) novel dari Atte Shernylia Maladevi yang diberinya judul Titisan Cinta Leluhur, hemat saya, perlu dilihat dari dua aspek tersebut. Pada aspek ide dan cara menuliskannya. Pertama, sebagai penulis yang aktif menggerakkan anak-anak muda untuk mencintai dunia tulis-menulis, saya tentu sangat mengapresiasi novel yang tebalnya 144 halaman ini. Kita tentu berharap bahwa novel ini menjadi pemantik lahirnya penulis-penulis berbakat dari Bantaeng, kota kelahiran penulis novel tersebut. Kedua, ide cerita dari novel ini juga menarik, setidaknya bagi saya pribadi karena novel ini mencoba mengangkat kisah ‘biasa’ dari kehidupan anak muda kelahiran Bantaeng yang bernama Arung Basunu. Namun dalam kisah keseharian yang biasa itu, ada budaya yang penting untuk diabadikan. Karena Atte menuliskannya, maka kisah yang biasa itu pun menjadi luar biasa.
                Arung Basunu dalam novel ini dikisahkan sebagai anak muda yang sukses menapaki karirnya pada usia yang masih sangat muda (di bawah 30-an). Arung adalah anak muda yang sedikit beruntung dan menjaga keburuntungannya itu. Ia membuka usaha bengkel dan mendapatkan bantuan dari Haji Sakka, yang memiliki gadis perempuan bernama Zulaekha. Kesuksesan Arung dalam usaha bengkelnya berbanding terbalik dengan perjalanan cintanya. Satu hal yang mengganggu kesuksesan Arung dalam usahanya adalah ia tak kunjung mengenali siapa perempuan yang akan menjadi tuan rumah hatinya.
                Usia yang sudah mendekati kepala tiga, ditambah dengan desakan seorang ibu yang berharap segera melihat anaknya bahagia dengan mempersunting perempuan pendamping hidupnya, semakin menambah kerisauan hati anak muda sukses tersebut. Arung mencoba melakukan ikhtiar untuk menguak misteri takdir ilahi itu akan perempuan yang ia bayangkan setiap hari menyuguhkan segelas teh atau kopi, kemudian saling berbagi cerita. Arung bertemu dengan perempuan yang menghadirkan rasa dan cinta, tetapi takdir berkata lain. Ada Djarina yang tiba-tiba menjaga jarak dengannya. Setelah Djarina jauh dari kehidupannya, Arung bertemu dengan perempuan cantik dan juga berkelas tentunya. Perempuan itu adalah Shadiqa Kinanti, biasa dipanggil Diqa. Diqa, tentu adalah perempuan yang berbeda, sekali lagi, ia punya kelas sebagai perempuan. Profesinya adalah dosen di kampus ternama dan favorit yang juga akan segera mengambil program magisternya di Bandung.
                Di hadapan anak keturunan Adam pada umumnya, Diqa adalah perempuan idaman dan banyak laki-laki yang berharap akan cintanya. Arung termasuk salah satu dari laki-laki itu. Sejak dari pertemuan pertama, pada suatu pertunjukan, Diqa sudah berhasil ‘mengganggu’ pikiran Arung sebagai anak keturunan Adam. Pertemuan demi pertemuan, rasa pun hadir menyelimuti kedua insan tersebut. sayang, Arung datang terlambat. Diqa sudah terlanjur diikat oleh lelaki lain secara adat. Tentulah Diqa, terlebih dia seorang terdidik, tidak berani melangkahi adat itu sekalipun ia ada rasa cinta pada Arung. Di dalam rasa, ada rasio yang kadang harus kompromi dengan adat. Arung lalu memberanikan diri mendatangi kedua orangtua  Diqa demi maksud baiknya. Namun tertolak. Bintang yang selama ini hadir menjadikan hidup Arung penuh cahaya mulai redup. Tidak ada lagi bintang dan purnama dalam hidupnya. Arung kembali menapaki jejaknya tanpa kepastian dalam hal cintanya.
                Kegagalan demi kegagalan yang selalu hadir merebut senyumnya membuatnya memberi ruang hadirnya seorang ibu untuk kehidupan cintanya. Fatimah, gadis cantik dan sholehah yang selama ini hidup satu atap dan menjaga ibunya, adalah perempuan pilihan ibunya. Arung masih mencoba untuk mengelak. Ia masih menganggap Fatimah sebagai adiknya, sekalipun ia adalah adik angkatnya. Arung, dalam perjalanan dan petualangan cintanya, akhirnya menyerah dan menerima Fatimah sebagai istrinya. Fatimah dan Arung pun lalu menikah. Bahagia pun hadir dalam hari-harinya. Sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama menemani kehidupan keluarga Arung. Tidak lama setelah menikah, Haji Sakka meninggal dan pada hari yang bersamaan Fatimah, istrinya, juga menghembuskan nafas terkahirnya. Belakangan, Arung mengetahui bahwa Fatimah pergi membawa janin dalam rahimnya. Itu membuat kesedihan Arung semakin lengkap. Tawa, canda, dan bahagia pergi bersama kepergian tiga orang yang dicintainya.
                Di tengah cobaan yang berat bagi Arung dan ibunya itu. Hadirlah kembali Zulaekha untuk menghadirkan senyum dalam hidupnya. Mengembalikan tawa, canda, dan bahagia yang hilang bersama kehilangan tiga orang yang dicintainya. Namun pada akhirnya Shadiqa Kinantilah yang berhasil hadir dalam tahujud cintanya dan menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah hatinya. Arung lalu memberanikan diri mempersunting Diqa, pengganti Fatimah, dalam kehidupan cintanya. Tuhan memberi jalan keduanya untuk menyatukan cinta yang pernah bermekaran beberapa tahun sebelumnya. Cinta yang sempat layu karena terhalang oleh adat. Kini adat telah membuka jalan baginya untuk bersatu setelah Arung hidup menduda dan Diqa menjanda.
Ide dan Cara Bercerita
                Seperti itulah kisah yang dituliskan oleh Atte dalam novelnya tersebut. Hemat saya sebagai pembaca, novel ini tidak sekadar menyuguhkan kisah percintaan anak muda bernama Arung, tetapi novel ini juga menyelipkan aspek-aspek budaya di dalamnya. Ahmad Thohari, Hamka, Andrea Hirata, dan sejumlah novelis lainnya, kuat dalam menyelipkan unsur-unsur budaya dalam karya-karyanya. Pada aspek itulah, novel ini mempunyai kekuatan. Sebuah novel yang bertendens. Ide ceritanya pun juga termasuk ide yang banyak kita temukan dalam budaya orang-orang Bugis-Makassar. Artinya bahwa novel ini menjadi artefak untuk merepsentasikan budaya kehidupan masyarakat Bugis-Makassar. Kita, orang Bugis-Makassar, yang membaca novel ini akan terbawa dalam imajinasi bahwa ide cerita dari novel ini berangkat dari kisah nyata. Ada fakta yang difiktifkan oleh Atte. Sastra memang adalah media untuk menyampaikan ‘kebenaran’ dengan cara berbohong. Saya menduga, Atte melakukan itu, terlepas dia mau mengakuinya atau tidak. Itu tentulah urusan dia.
                Selain pada aspek budaya, novel ini juga ingin menyampaikan kepada pembaca akan adanya takdir Tuhan di balik usaha manusia yang terkadang tidak mampu diterka, bahkan sulit diterima. Atte, dalam novel Titisan Cinta Leluhur, kuat menyampaikan pesan tersebut. Ada tadkdir yang bermain di balik usaha Arung untuk menemukan jodohnya, walaupun pada awalnya sulit untuk menerima garis Tuhan tersebut.
Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan, terutama dikembangkan bagi Atte dalam menulis karya-karya sastra berikutnya, yaitu penguatan cara bercerita. Saya sering mengatakan kepada teman-teman bahwa novel (termasuk cerpen) yang baik adalah novel yang dalam ceritanya mampu menyentuh daya imajinasi pembaca. Dunia yang diceritakannya seolah-olah hadir di depan pembaca. Cara berceritanya harus kuat pada pendeskripsian tentang segala hal; tempat, tokoh,  waktu, dan lain sebagainya. Pada bagian ini yang perlu dikembangkan bagi Atte.
Sebagai contoh, dapat kita lihat pada dialog yang berlangsung antara Arung dan Diqa, pada halaman 77-78, ketika Arung menyampaikan secara lisan perasaannya pada Diqa. Di sini, Atte seharusnya memperkuat deskripsi suasana, seperti apa gerak-gerik Arung, gerakan tangan dan lain sebagainya, ketika kata-kata yang keluar dari mulutnya merepresentasikan perasaan yang berkecambah dalam dadanya. Demikian pula bagi Diqa. Di sini kurang kuat, padahal pembaca dapat dibuat terharu atau ikut sedih dalam membaca bagian ini seandainya Atte memperkuat hal tersebut. Demikian halnya ketika Atte membawa kita pada perjalanan Arung kembali ke Bantaeng dan singgah di daerah Jeneponto, Taman Roya. Atte seharusnya menggambarkan tempat ini dengan detail sehingga pembaca, setidaknya, punya gambaran akan tempat tersebut; seperti apa dan bagaimana serta tepatnya di mana.
Cara mengisahkan perjalanan tokoh yang kurang kuat pada deskripsinya banyak kita temukan dalam dialog-dialog yang dibangun oleh Atte, seperti dalam dialog antara Arung dan ibunya yang memintanya untuk menikah dengan Fatimah, adik angkatnya. Pada bagian ini, Atte semestinya mampu membuat pembaca menangis, atau paling tidak sedih, dengan kemampuannya memainkan bahasa dalam dialog-dialognya dengan deskripsi yang sangat kuat. Bahkan pada halaman 110-111, ada kisah yang terlewatkan. Atte tidak memasukkan proses lamaran dan berlangsungnya pesta pernikahan antara Arung dan Fatimah. Padahal, hemat saya, bagian itu penting untuk diangkat karena ia adalah budaya sehingga orang luar yang membaca karya Atte akan menambah wawasan kebangsaannya akan kehidupan orang-orang Bantaeng, khususnya. Sayang sekali, Atte melewati bagian tersebut. Begitupun juga ketika Fatimah akhirnya berpulang ke pangkuan Ilahi dan hadir kembali Shadiqa Kinanti dalam hidup Arung. Atte seharusnya banyak bercerita akan proses budaya yang berlangsung dalam pertemuan Arung dan Diqa yang akhirnya bersanding ke pelaminan. Sekali lagi, itu ekspektasi saya sebagai pembaca dari karya tersebut, Atte boleh merenungkannya dan juga tidak masalah jika pembacaan kritis saya ini dianggap angin berlalu.
Yang pasti, saya ucapkan selamat buat Atte atas keberaniannya menulis novel yang mengangkat narasi-narasi lokal menjadi konsumsi publik. Buku ini, hemat saya, perlu dibaca oleh semua pihak, termasuk orang luar Bugis-Makassar, karena dari novel inilah mereka mendapatkan gambaran akan kehidupan dan budaya orang Bugis-Makassar. Itu nilai yang sangat berharga dari novel ini. Dan semoga Atte tetap melahirkan karya-karya berikutnya. Ahmad Thohari mengatakan bahwa kematangan dalam menulis itu sambil jalan. Jika Anda membaca karya-karya Andrea Hirata, dan novelis-novelis lain tentunya, akan terlihat bahwa cara Andrea bercerita dari novel pertamanya (Laskar Pelangi) hingga novel-novel berikutnya mengalami perkembangan. Semoga Atte melakukan hal yang sama!
Ahmad Sahide
Pegiat Komunitas Belajar Menulis Yogyakarta
Novel terbarunya berjudul “Hilang”.
Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar