Memuja Tuhan ala Heidegger
Darwin
Banyak yang beranggapan bahwa seorang
filsuf itu jauh dari Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang memuja akal secara
membabibuta. Dengan dinomorsatukannya akal, maka segala sesuatunya tergantung
pada akal—Cogito ergo sum-nya
Descartes di sini berlaku. Bahkan, Tuhan pun terkadang dipelintir demi ‘kebesaran’
peran akal ini. Serangan terhadap peran akal yang itu mewujud pada para filsuf
yang paling populer adalah diskursus yang dilontarkan al-Ghazali lewat Tahafut al-Falasifah. Ghazali
beranggapan pikiran-pikiran Ibnu Sina dan para filsuf lain telah menyimpang
jauh dari Islam. Penyengkalan terhadap “tuduhan” Ghazali ini di kemudian hari
dilakukan oleh Ibnu Rusyd dalam karyanya Tahafut
at-Tahafut.
Anggapan filsuf jauh dari Tuhan
sepenuhnya tidaklah benar. Setidaknya kita bisa melihat pemikiran bernas
seorang filsuf besar Martin Heidegger. Bagi saya, Heidegger adalah filsuf
sekaligus mistisisme. Bahkan Heidegger mengatakan seperti dibahasakan Goenawan
Mohamad (2005): “di dunia ini manusia
sekadar berperan sebagai penggembala yang memelihara misteri dari Ada.” “Satu pernyataan yang seakan-akan memberi
pandangan mistis bagi pandangan hidupnya,” lanjut Goenawan Mohamad.
Atau
dalam bagian lain Goenawan Mohamad menulis dalam bukunya Teks dan Iman (2011), “Heidegger
menjauhi pengetahuan ilmu dan epistemologi rasional, dan mendekatkan diri
kepada pengalaman pekerja kriya, perupa, penyair dan manusia dalam permenungan”.
Ya begitulah Heidegger. Terkait pandangannya yang sangat berbau transendental
ini (meskipun Heidegger tidak mengakui pengada transendental/Tuhan) akan kita
ungkai di paragraf-paragraf berikutnya. Baiknya kita jelajahi dulu secara
pelan-pelan pemikiran filsuf yang sangat berpengaruh dalam sejarah filsafat
ini.
Guru
para filsuf Posmo, begitulah sebutan yang pantas bagi Heidegger. Hampir semua
filsuf posmodernisme dipengaruhi oleh filsuf yang juga muridnya Edmund Husserl
ini. Tentu saja kebesaran Heidegger tidak saja terletak di titik ini, tetapi ia
juga moncer karena meruntuhkan bangunan filsafat yang ditorehkan filsuf
sebelumnya. Misalnya, ia menyerang pemikiran Rene Descartes, Nietzsche, juga
Kant. Sebagai amsal, jika Descartes populer dengan konsep akal adalah segalanya,
Heidegger mengedepankan aspek ontologinya. Dengan kata lain, ada dulu, baru
berpikir. Keberadaan atau yang Ada lebih utama daripada aspek berpikir. Seperti
dijelaskan Fahrudin Faiz, kesadaran bukanlah segala-galanya, ia hanya salah
satu pengungkapan Ada. Aspek metafisika, juga epistemologi, itu tidak akan ada
tanpa adanya ontologi. Dengan kata lain, Saya berada, jadi saya berpikir
(membalik tesis Descartes).
Heidegger
lahir di Messkirch, Jerman, pada 26 September 1889. Keluarga Katolik
membesarkannya, hingga ia mendalami teologi sebelum tenar namanya berkat filsafat.
Orang yang memengaruhi Heidegger adalah gurunya sendiri, yakni fenomenolog Edmund
Husserl. Yang lain ada Friedrich
Nietzsche dan Soren Kierkegaard. Ada yang mengatakan
Heidegger adalah filsuf terbesar setelah Immanuel Kant. Pemikirannya berkisar pada
fenomenologi dan eksistensialisme, dua ranah filsafat yang penting, terutama
dalam perdebatan filsafat termutakhir (posmo).
Hingga
di sini kiranya kupasan tokoh yang pernah masuk partai Nazi-nya Hitler ini.
Tapi hemat saya, yang paling keren dari hidup seorang Heidegger adalah saat ia
menyepi di pinggiran hutan dalam sebuah gubuk bersama sang istri, Elfride Petri,
di daerah Todtnauberg. Kesehariannya di gubuk ini tak jauh dari membaca,
menulis, membalas surat-surat. Dan yang membuat hidup Heidegger semakin keren,
hemat saya, adalah aktivitasnya di sore hari. Apa itu? Tak lain tak bukan,
membaca puisi (Arif Rahman, 2013). Agaknya, gaya hidup seperti inilah yang
membuatnya merenungi kehidupan, dan lahirlah ‘pikiran keilahian’ yang sangat
fenomenal itu.
Mari
kita telusuri isi kepala filsuf yang pernah pacaran dengan Hannah Arendt ini. Terkait
dengan “Ada”, Heidegger berbeda dengan sang guru, Edmund Husserl. Jika pada
Husserl objeknya tampil di kesadaran orang secara berbeda-beda, dan yang
menentukan tetap si subjek. Sementara pada Heidegger, objeklah yang menampakkan
diri pada si subjek. Sebagai contoh seperti dijelaskan Fahrudin Faiz, yakni
objek palu/martil. Palu bagi tukang bangunan adalah sebagai alat pertukangan,
sementara bagi penjahat adalah alat untuk membunuh, dan bagi anak kecil, palu
adalah sebagai mainan. Di sini jelas palu tampil berbeda-beda pada pada setiap
orang. Jika memakai logika Heidegger, palunyalah yang menampakkan diri pada
setiap orang, dalam bahasa Fahrudin, objek yang mengungkapkan dirinya.
Ada
beberapa kata kunci dalam pemikiran Heidegger, yakni “Ada” (Seinde), “Pengada”,
“Mengada” (Seinde), “Dasein”, dan “das Man” (Yang Satu). ”Ada” itu bisalah dikatakan eksis, sementara pengada adalah hal
atau sesuatu yang membuat Ada itu eksis. Contoh: adanya bunga mawar itu karena
ada pupuk, air yang disemprotkan oleh tukang kebun, sinar matahari, tanah yang
subur dan lain sebagainya. Inilah yang disebut dengan pengada. Sementara
Mengada adalah berkait dengan adanya masnusia itu sendiri. Ia berbeda dengan
adanya yang selain manusia (benda). Manusia berada di dunia itu aktif,
beraktivitas, otentik, tak dipengaruhi siapa pun, mempunyai kehendak bebas dan
lain sebagainya, inilah yang disebut Dasein dalam bahasanya Heidegger. Anti-tesis
dari Dasein ini adalah das Man. Dasman adalah tipe manusia yang tidak otentik,
gampang dipengaruhi. Fahrudin Faiz menyebutnya dengan tenggelam dalam fakta.
Tidak mempunyai kepribadian. Peribahasa baling-baling
di atas bukit bisalah menjadi perumpamaan orang yang disebut das Man ini.
Manusia
bertipe Dasein ini tentu saja terus mencari kesempurnaannya dalam rangka
mencapai (menjadi) “Ada”. Titik final pencarian “Ada” ini adalah kematian.
Inilah mengapa saya mengatakan di awal tulisan, Heidegger ini sebagai mistikus.
Bandingkan misalnya, dengan sufi dalam Islam yang tenar Ibnu Arabi, atau Syekh
Siti Jenar di Indonesia. Dua sufi besar ini mengatakan, kehidupan yang sesungguhnya
adalah setelah mati. Dunia hanyala permainan dan senda gurau kata al-Quran.
Demikian
kisah filsuf, yang bagi saya sangat “misterius” ini. Misterius karena pikiran-pikirannya
di atas tadi sekaligus ada paradoks dalam hidupnya. Di satu sisi, pikirannya
masih penuh dengan tanda tanya. Ya, pikiran Heidegger sungguh sangat
menakjubkan. Ia bicara tentang yang illahi dengan caranya sendiri, yakni
filsafat “Ada”-nya yang berbau mistisisme itu. Begirtu pun juga ketika
berbicara ihwal kematian. Gayanya berbicara kematian sangat dekat dengan
doktrin-doktrin dalam agama samawi.
Sisi
lain, Heidegger melakukan perselingkuhan dengan filsuf yang juga sangat tenar,
yakni Hannah Arendt. Dan tentu saja yang membuat paradoks dalam hidupnya semakin
memuncak adalah afiliasinya dengan partai Nazi Jerman. Partai yang identik dengan
intimidasi dan pandangan kontroversinya. Ingat tragedi Holocaust yang banyak
memakan korban jiwa itu! Tapi bagi saya, semua ini tidak mengurangi kebesaran
seorang Heidegger. Luar biasa! Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar