Kamis, 11 September 2014

Memuja Tuhan ala Heidegger



Memuja Tuhan ala Heidegger
Darwin
            Banyak yang beranggapan bahwa seorang filsuf itu jauh dari Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang memuja akal secara membabibuta. Dengan dinomorsatukannya akal, maka segala sesuatunya tergantung pada akal—Cogito ergo sum-nya Descartes di sini berlaku. Bahkan, Tuhan pun terkadang dipelintir demi ‘kebesaran’ peran akal ini. Serangan terhadap peran akal yang itu mewujud pada para filsuf yang paling populer adalah diskursus yang dilontarkan al-Ghazali lewat Tahafut al-Falasifah. Ghazali beranggapan pikiran-pikiran Ibnu Sina dan para filsuf lain telah menyimpang jauh dari Islam. Penyengkalan terhadap “tuduhan” Ghazali ini di kemudian hari dilakukan oleh Ibnu Rusyd dalam karyanya Tahafut at-Tahafut.
            Anggapan filsuf jauh dari Tuhan sepenuhnya tidaklah benar. Setidaknya kita bisa melihat pemikiran bernas seorang filsuf besar Martin Heidegger. Bagi saya, Heidegger adalah filsuf sekaligus mistisisme. Bahkan Heidegger mengatakan seperti dibahasakan Goenawan Mohamad (2005): “di dunia ini manusia sekadar berperan sebagai penggembala yang memelihara misteri dari Ada.”Satu pernyataan yang seakan-akan memberi pandangan mistis bagi pandangan hidupnya,” lanjut Goenawan Mohamad.
Atau dalam bagian lain Goenawan Mohamad menulis dalam bukunya Teks dan Iman (2011), “Heidegger menjauhi pengetahuan ilmu dan epistemologi rasional, dan mendekatkan diri kepada pengalaman pekerja kriya, perupa, penyair dan manusia dalam permenungan”. Ya begitulah Heidegger. Terkait pandangannya yang sangat berbau transendental ini (meskipun Heidegger tidak mengakui pengada transendental/Tuhan) akan kita ungkai di paragraf-paragraf berikutnya. Baiknya kita jelajahi dulu secara pelan-pelan pemikiran filsuf yang sangat berpengaruh dalam sejarah filsafat ini.
Guru para filsuf Posmo, begitulah sebutan yang pantas bagi Heidegger. Hampir semua filsuf posmodernisme dipengaruhi oleh filsuf yang juga muridnya Edmund Husserl ini. Tentu saja kebesaran Heidegger tidak saja terletak di titik ini, tetapi ia juga moncer karena meruntuhkan bangunan filsafat yang ditorehkan filsuf sebelumnya. Misalnya, ia menyerang pemikiran Rene Descartes, Nietzsche, juga Kant. Sebagai amsal, jika Descartes populer dengan konsep akal adalah segalanya, Heidegger mengedepankan aspek ontologinya. Dengan kata lain, ada dulu, baru berpikir. Keberadaan atau yang Ada lebih utama daripada aspek berpikir. Seperti dijelaskan Fahrudin Faiz, kesadaran bukanlah segala-galanya, ia hanya salah satu pengungkapan Ada. Aspek metafisika, juga epistemologi, itu tidak akan ada tanpa adanya ontologi. Dengan kata lain, Saya berada, jadi saya berpikir (membalik tesis Descartes).
Heidegger lahir di Messkirch, Jerman, pada 26 September 1889. Keluarga Katolik membesarkannya, hingga ia mendalami teologi sebelum tenar namanya berkat filsafat. Orang yang memengaruhi Heidegger adalah gurunya sendiri, yakni fenomenolog Edmund Husserl. Yang lain ada Friedrich Nietzsche dan Soren Kierkegaard. Ada yang mengatakan Heidegger adalah filsuf terbesar setelah Immanuel Kant. Pemikirannya berkisar pada fenomenologi dan eksistensialisme, dua ranah filsafat yang penting, terutama dalam perdebatan filsafat termutakhir (posmo).
Hingga di sini kiranya kupasan tokoh yang pernah masuk partai Nazi-nya Hitler ini. Tapi hemat saya, yang paling keren dari hidup seorang Heidegger adalah saat ia menyepi di pinggiran hutan dalam sebuah gubuk bersama sang istri, Elfride Petri, di daerah Todtnauberg. Kesehariannya di gubuk ini tak jauh dari membaca, menulis, membalas surat-surat. Dan yang membuat hidup Heidegger semakin keren, hemat saya, adalah aktivitasnya di sore hari. Apa itu? Tak lain tak bukan, membaca puisi (Arif Rahman, 2013). Agaknya, gaya hidup seperti inilah yang membuatnya merenungi kehidupan, dan lahirlah ‘pikiran keilahian’ yang sangat fenomenal itu.
Mari kita telusuri isi kepala filsuf yang pernah pacaran dengan Hannah Arendt ini. Terkait dengan “Ada”, Heidegger berbeda dengan sang guru, Edmund Husserl. Jika pada Husserl objeknya tampil di kesadaran orang secara berbeda-beda, dan yang menentukan tetap si subjek. Sementara pada Heidegger, objeklah yang menampakkan diri pada si subjek. Sebagai contoh seperti dijelaskan Fahrudin Faiz, yakni objek palu/martil. Palu bagi tukang bangunan adalah sebagai alat pertukangan, sementara bagi penjahat adalah alat untuk membunuh, dan bagi anak kecil, palu adalah sebagai mainan. Di sini jelas palu tampil berbeda-beda pada pada setiap orang. Jika memakai logika Heidegger, palunyalah yang menampakkan diri pada setiap orang, dalam bahasa Fahrudin, objek yang mengungkapkan dirinya.
Ada beberapa kata kunci dalam pemikiran Heidegger, yakni “Ada” (Seinde), “Pengada”, “Mengada” (Seinde), “Dasein”, dan “das Man” (Yang Satu). ”Ada” itu bisalah dikatakan eksis, sementara pengada adalah hal atau sesuatu yang membuat Ada itu eksis. Contoh: adanya bunga mawar itu karena ada pupuk, air yang disemprotkan oleh tukang kebun, sinar matahari, tanah yang subur dan lain sebagainya. Inilah yang disebut dengan pengada. Sementara Mengada adalah berkait dengan adanya masnusia itu sendiri. Ia berbeda dengan adanya yang selain manusia (benda). Manusia berada di dunia itu aktif, beraktivitas, otentik, tak dipengaruhi siapa pun, mempunyai kehendak bebas dan lain sebagainya, inilah yang disebut Dasein dalam bahasanya Heidegger. Anti-tesis dari Dasein ini adalah das Man. Dasman adalah tipe manusia yang tidak otentik, gampang dipengaruhi. Fahrudin Faiz menyebutnya dengan tenggelam dalam fakta. Tidak mempunyai kepribadian. Peribahasa baling-baling di atas bukit bisalah menjadi perumpamaan orang yang disebut das Man ini.
Manusia bertipe Dasein ini tentu saja terus mencari kesempurnaannya dalam rangka mencapai (menjadi) “Ada”. Titik final pencarian “Ada” ini adalah kematian. Inilah mengapa saya mengatakan di awal tulisan, Heidegger ini sebagai mistikus. Bandingkan misalnya, dengan sufi dalam Islam yang tenar Ibnu Arabi, atau Syekh Siti Jenar di Indonesia. Dua sufi besar ini mengatakan, kehidupan yang sesungguhnya adalah setelah mati. Dunia hanyala permainan dan senda gurau kata al-Quran.
Demikian kisah filsuf, yang bagi saya sangat “misterius” ini. Misterius karena pikiran-pikirannya di atas tadi sekaligus ada paradoks dalam hidupnya. Di satu sisi, pikirannya masih penuh dengan tanda tanya. Ya, pikiran Heidegger sungguh sangat menakjubkan. Ia bicara tentang yang illahi dengan caranya sendiri, yakni filsafat “Ada”-nya yang berbau mistisisme itu. Begirtu pun juga ketika berbicara ihwal kematian. Gayanya berbicara kematian sangat dekat dengan doktrin-doktrin dalam agama samawi. 
Sisi lain, Heidegger melakukan perselingkuhan dengan filsuf yang juga sangat tenar, yakni Hannah Arendt. Dan tentu saja yang membuat paradoks dalam hidupnya semakin memuncak adalah afiliasinya dengan partai Nazi Jerman. Partai yang identik dengan intimidasi dan pandangan kontroversinya. Ingat tragedi Holocaust yang banyak memakan korban jiwa itu! Tapi bagi saya, semua ini tidak mengurangi kebesaran seorang Heidegger. Luar biasa! Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar