Selasa, 20 Mei 2014

Momentum Politik PDI-P dan Jokowi



Momentum Politik PDI-P dan Jokowi
Ahmad Sahide
                Dari film-film China kita banyak belajar bahwa kekalahan dan kemenangan sebenarnya tergantung pada diri kita masing-masing. Kekalahan datang karena ketidakmampuan menguasai ego dalam diri setiap individu, terutama individu yang berpengaruh. Sebaliknya, kemenangan akan menghampiri karena kemampuan menguasai diri dan ego. Itulah yang dinanti oleh publik dari sikap politik Megawati Soekarno Putri (Bu Mega), Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), beberapa bulan terakhir dalam menghadapi daur ulang demokrasi tahun 2014 ini.
                Kemunculan Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, sebagai salah satu figur yang mempunyai elektabilitas tertinggi untuk Indonesia Satu menjadi perbincangan yang menarik dari waktu ke waktu. Publik, selama ini, diperhadakan dengan pertanyaan-pertanyaan terkait sikap politik Bu Mega. Akankah ia meleburkan ego dan hasrat untuk berkuasanya demi merebut momentum politik PDI-P dengan memberikan ruang bagi Jokowi sebagai calon presiden (capres) 2014? Banyak kalangan menilai bahwa tingginya elektabilitas partai Banteng itu karena kehadiran Jokowi yang menjadi magnet tersendiri. Dari semua survei yang pernah dilakukan oleh lembaga survei untuk calon presiden 2014, Jokowi selalu jauh di atas dari calon-calon lain dan juga ketua umumnya, Bu Mega. Namun demikian, ‘takdir politik’ mantan Wali Kota Solo itu untuk menjadi orang nomor satu di republik ini ada di tangan Bu Mega. Hal itu karena Jokowi adalah kader dari partai yang dipimpin oleh Bu Mega yang selama ini menunjukkan sikap patuh seratus persen kepada ketua umumnya. Dalam banyak kesempatan, Jokowi sering kali mengatakan “terserah kepada Bu Mega” jika ditanya terkait elektabilitasnya yang terus menanjak untuk kursi RI-1.

Jawaban Bu Mega
                Pertanyaan-pertanyaan yang hadir di benak publik selama kemunculan Jokowi itu pun akhirnya dijawab oleh Bu Mega. Melalui suratnya, yang tertanggal 14 Maret 2014 dan ditulis tangan langsung olehnya, Bu Mega memberikan mandat kepada kader fenomenalnya itu untuk menjadi calon presiden 2014 ini. Inilah kemenangan politik pertama dari PDI-P, kemenangan yang datang dari ketua umumnya yang mampu meleburkan ego dan hasrat berkuasanya. Seandainya Bu Mega tidak mampu meleburkan ego dan tetap ngotot untuk menjadi capres 2014, sebagaimana dugaan-dugaan sebelumnya, maka ini pun akan menjadi awal dari kekalahan politik partainya. Momentum politik pun sepertinya berada di tangan PDI-P dan Jokowi dengan kemampuan Bu Mega memenangkan pertarungan politik dalam dirinya, sebelum bertarung dengan partai pesaingnya; Golkar, Gerindra, dan lain-lain. Kerelaannya untuk memberikan mandat kepada Jokowi sebagai capres dari partainya. Dengan mandat tersebut, Bu Mega pun akan memosisikan diri sebagai senior citizen (warga negara senior) dari republik tercinta ini.
                Harus diakui bahwa mandat yang diberikan kepada Jokowi itu mencerminkan kebesaran jiwa dari Bu Mega. Sebagai politisi senior dan ucapannya tidak terbantahkan di internal PDI-P, ditambah dengan pengalamannya yang pernah mengenyam nikmatnya menjadi penguasa (presiden), tentulah Bu Mega masih ada pikiran untuk kembali ke posisi yang pernah ia duduki itu. Namun karena melihat ekspektasi publik terhadap Jokowi yang begitu tinggi serta memperlihatkan kemenangan di depan mata jika diberikan mandat untuk maju sebagai capres. Bu Mega pun akhirnya legowo (bersedia) memberikan jalan kepada Jokowi. Kekalahan dua kali dari Susilo Bambang Yudoyono (SBY), 2004 dan 2009, tentulah akan dicatat oleh Bu Mega sebagai pengalaman politik yang pahit dan ia tentu tidak ingin pengalaman itu terulang lagi bagi diri dan partainya. Bu Mega sepertinya tidak ingin momentum kemenangan bagi partainya dan juga Jokowi itu terlewatkan begitu saja, sebelum direbut oleh partai lain. Sebagai politisi senior yang sarat pengalaman, Bu Mega sadar bahwa momentum kemenangan politik terkadang tidak datang dua kali, makanya tidak boleh disia-siakan. Sepertinya dengan pertimbangan itulah sehingga putri proklamator itu, dengan jiwa besarnya, memberikan jalan bagi Jokowi untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Kini, Jokowi pun resmi menjadi capres tahun 2014 ini. Dan kemenangan sepertinya di depan mata kalau tidak ada aral melintang. Kalau pemilihan umum 2004 dan 2009, SBY muncul sebagai figur yang tidak mendapatkan pesaing kuat, maka di tahun 2014 adalah tahun milik Jokowi, figur yang tidak mendapatkan pesaing sepadan dengannnya.
                Kini, PDI-P harus mempersiapkan dan menyusun strategi untuk kemenangan selanjutnya. Menghadapi pemilihan legislatif April nanti dan kemudian pemilihan presiden pada bulan Juli nanti. Selain itu, PDI-P harus ekstra hati-hati membangun benteng pertahanan politik dalam menghadapi serangan politik dari lawan-lawannya. Hari ini, PDI-P dan Jokowi memang berada di atas angin, namun dalam dunia politik pertarungan akan selesai ketika sampai pada garis finis (pemilihan presiden). Yang pasti, PDI-P sudah berhasil memenangkan pertarungan dengan dirinya sendiri (Bu Mega). Ini tentu menjadi modal penting untuk bertarung pada pemilihan legislatif dan presiden nantinya. Di mana kemenangan dan modal ini tidak dimiliki oleh beberapa partai lainnya. Golkar harus mengakui bahwa elite-elitenya, terutama Aburizal Bakri (ARB), ketua umumnya, belum berhasil memenangakan pertarungan dengan dirinya sendiri. Aburizal Bakri tentu tahu bahwa dari banyak survei yang dilakukan oleh lembaga survei, elektabilitasnya tidak pernah memberikan harapan politik. Namun demikian, Bang Ical, sapaan akrabnya, tetap ngotot untuk maju sebagai capres 2014 ini.
Di satu sisi, Akbar Tanjung, politisi senior Partai Golkar yang sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Partai, selalu mewacanakan untuk meninjau kembali keputusan partainya untuk mencalonkan ARB. Selain mewacanakan peninjauan kembali pencalonan ARB, Akbar Tanjung juga masih punya hasrat untuk menduduki kursi RI-1 atau RI-2. Bahkan tersiar kabar bahwa Akbar Tanjung bersedia menjadi calon wakil presiden Jokowi jika diminta. Ini menjadi sinyal politik bahwa Golkar belum berhasil memenangkan pertarungan dengan dirinya sendiri (melawan ego dari tokoh-tokohnya). Jika pada pertarungan ini Golkar kalah, maka partai pohon Beringin ini pun sepertinya akan kembali menelan kekalahan pada pemilu 2014 ini, mengulang kekalahan pada 2004 dan 2009. Gerindra, yang berpotensi menjadi saingan berat Jokowi, tentu tidak menghadapi pertarungan ini karena tidak diperhadapkan dengan situasi yang sama.
Akhirnya, tulisan ini penulis akhiri dengan bermaksud mengatakan kepada para elite-elite partai untuk melawan pertarungan dengan dirinya sendiri sebelum ia bertarung dengan partai dan kandidat lain. Apa yang dilakukan oleh Bu Mega adalah pelajaran penting bagi semua. Bu Mega mengalahkan dirinya dirinya sendiri untuk memenangkan partainya. Seandainya Bu Mega tidak mengalahkan dirinya sendiri dan hanya memenangkan dirinya, maka ini pun akan membawa pada kekalahan pada partainya sendiri. Salut buat Bu Mega yang berhasil memenangkan pertarungan dengan dirinya sendiri; bertarung melawan ego dan gengsi politiknya!
Ahmad Sahide
Mahasiswa Program Doktor
Agama dan Lintas Budaya, Minat Kajian Timur Tengah
Sekolah Pascasarjana, UGM
Yogyakarta, 15 Maret 2014
Alamat penulis                  : Jln. Nitipuran No. 313 Yogyakarta
Nomor kontak                   : 085292039650
Email                                     : ahmadsahidie@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar