Momentum Politik PDI-P
dan Jokowi
Ahmad Sahide
Dari
film-film China kita banyak belajar bahwa kekalahan dan kemenangan sebenarnya
tergantung pada diri kita masing-masing. Kekalahan datang karena ketidakmampuan
menguasai ego dalam diri setiap individu, terutama individu yang berpengaruh.
Sebaliknya, kemenangan akan menghampiri karena kemampuan menguasai diri dan
ego. Itulah yang dinanti oleh publik dari sikap politik Megawati Soekarno Putri
(Bu Mega), Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), beberapa
bulan terakhir dalam menghadapi daur ulang demokrasi tahun 2014 ini.
Kemunculan
Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, sebagai salah satu figur yang mempunyai
elektabilitas tertinggi untuk Indonesia Satu menjadi perbincangan yang menarik
dari waktu ke waktu. Publik, selama ini, diperhadakan dengan
pertanyaan-pertanyaan terkait sikap politik Bu Mega. Akankah ia meleburkan ego
dan hasrat untuk berkuasanya demi merebut momentum politik PDI-P dengan
memberikan ruang bagi Jokowi sebagai calon presiden (capres) 2014? Banyak
kalangan menilai bahwa tingginya elektabilitas partai Banteng itu karena
kehadiran Jokowi yang menjadi magnet tersendiri. Dari semua survei yang pernah
dilakukan oleh lembaga survei untuk calon presiden 2014, Jokowi selalu jauh di
atas dari calon-calon lain dan juga ketua umumnya, Bu Mega. Namun demikian,
‘takdir politik’ mantan Wali Kota Solo itu untuk menjadi orang nomor satu di
republik ini ada di tangan Bu Mega. Hal itu karena Jokowi adalah kader dari
partai yang dipimpin oleh Bu Mega yang selama ini menunjukkan sikap patuh
seratus persen kepada ketua umumnya. Dalam banyak kesempatan, Jokowi sering
kali mengatakan “terserah kepada Bu Mega” jika ditanya terkait elektabilitasnya
yang terus menanjak untuk kursi RI-1.
Jawaban Bu Mega
Pertanyaan-pertanyaan
yang hadir di benak publik selama kemunculan Jokowi itu pun akhirnya dijawab
oleh Bu Mega. Melalui suratnya, yang tertanggal 14 Maret 2014 dan ditulis
tangan langsung olehnya, Bu Mega memberikan mandat kepada kader fenomenalnya
itu untuk menjadi calon presiden 2014 ini. Inilah kemenangan politik pertama
dari PDI-P, kemenangan yang datang dari ketua umumnya yang mampu meleburkan ego
dan hasrat berkuasanya. Seandainya Bu Mega tidak mampu meleburkan ego dan tetap
ngotot untuk menjadi capres 2014, sebagaimana dugaan-dugaan sebelumnya, maka
ini pun akan menjadi awal dari kekalahan politik partainya. Momentum politik
pun sepertinya berada di tangan PDI-P dan Jokowi dengan kemampuan Bu Mega
memenangkan pertarungan politik dalam dirinya, sebelum bertarung dengan partai
pesaingnya; Golkar, Gerindra, dan lain-lain. Kerelaannya untuk memberikan
mandat kepada Jokowi sebagai capres dari partainya. Dengan mandat tersebut, Bu
Mega pun akan memosisikan diri sebagai senior
citizen (warga negara senior) dari republik tercinta ini.
Harus
diakui bahwa mandat yang diberikan kepada Jokowi itu mencerminkan kebesaran
jiwa dari Bu Mega. Sebagai politisi senior dan ucapannya tidak terbantahkan di
internal PDI-P, ditambah dengan pengalamannya yang pernah mengenyam nikmatnya
menjadi penguasa (presiden), tentulah Bu Mega masih ada pikiran untuk kembali
ke posisi yang pernah ia duduki itu. Namun karena melihat ekspektasi publik
terhadap Jokowi yang begitu tinggi serta memperlihatkan kemenangan di depan
mata jika diberikan mandat untuk maju sebagai capres. Bu Mega pun akhirnya legowo (bersedia) memberikan jalan
kepada Jokowi. Kekalahan dua kali dari Susilo Bambang Yudoyono (SBY), 2004 dan
2009, tentulah akan dicatat oleh Bu Mega sebagai pengalaman politik yang pahit dan
ia tentu tidak ingin pengalaman itu terulang lagi bagi diri dan partainya. Bu
Mega sepertinya tidak ingin momentum kemenangan bagi partainya dan juga Jokowi
itu terlewatkan begitu saja, sebelum direbut oleh partai lain. Sebagai politisi
senior yang sarat pengalaman, Bu Mega sadar bahwa momentum kemenangan politik
terkadang tidak datang dua kali, makanya tidak boleh disia-siakan. Sepertinya
dengan pertimbangan itulah sehingga putri proklamator itu, dengan jiwa
besarnya, memberikan jalan bagi Jokowi untuk menjadi orang nomor satu di negeri
ini. Kini, Jokowi pun resmi menjadi capres tahun 2014 ini. Dan kemenangan
sepertinya di depan mata kalau tidak ada aral melintang. Kalau pemilihan umum
2004 dan 2009, SBY muncul sebagai figur yang tidak mendapatkan pesaing kuat,
maka di tahun 2014 adalah tahun milik Jokowi, figur yang tidak mendapatkan
pesaing sepadan dengannnya.
Kini,
PDI-P harus mempersiapkan dan menyusun strategi untuk kemenangan selanjutnya.
Menghadapi pemilihan legislatif April nanti dan kemudian pemilihan presiden
pada bulan Juli nanti. Selain itu, PDI-P harus ekstra hati-hati membangun
benteng pertahanan politik dalam menghadapi serangan politik dari
lawan-lawannya. Hari ini, PDI-P dan Jokowi memang berada di atas angin, namun
dalam dunia politik pertarungan akan selesai ketika sampai pada garis finis
(pemilihan presiden). Yang pasti, PDI-P sudah berhasil memenangkan pertarungan
dengan dirinya sendiri (Bu Mega). Ini tentu menjadi modal penting untuk
bertarung pada pemilihan legislatif dan presiden nantinya. Di mana kemenangan
dan modal ini tidak dimiliki oleh beberapa partai lainnya. Golkar harus
mengakui bahwa elite-elitenya, terutama Aburizal Bakri (ARB), ketua umumnya, belum
berhasil memenangakan pertarungan dengan dirinya sendiri. Aburizal Bakri tentu
tahu bahwa dari banyak survei yang dilakukan oleh lembaga survei,
elektabilitasnya tidak pernah memberikan harapan politik. Namun demikian, Bang
Ical, sapaan akrabnya, tetap ngotot untuk maju sebagai capres 2014 ini.
Di satu sisi,
Akbar Tanjung, politisi senior Partai Golkar yang sekaligus Ketua Dewan
Pertimbangan Partai, selalu mewacanakan untuk meninjau kembali keputusan
partainya untuk mencalonkan ARB. Selain mewacanakan peninjauan kembali
pencalonan ARB, Akbar Tanjung juga masih punya hasrat untuk menduduki kursi
RI-1 atau RI-2. Bahkan tersiar kabar bahwa Akbar Tanjung bersedia menjadi calon
wakil presiden Jokowi jika diminta. Ini menjadi sinyal politik bahwa Golkar
belum berhasil memenangkan pertarungan dengan dirinya sendiri (melawan ego dari
tokoh-tokohnya). Jika pada pertarungan ini Golkar kalah, maka partai pohon
Beringin ini pun sepertinya akan kembali menelan kekalahan pada pemilu 2014
ini, mengulang kekalahan pada 2004 dan 2009. Gerindra, yang berpotensi menjadi
saingan berat Jokowi, tentu tidak menghadapi pertarungan ini karena tidak
diperhadapkan dengan situasi yang sama.
Akhirnya,
tulisan ini penulis akhiri dengan bermaksud mengatakan kepada para elite-elite
partai untuk melawan pertarungan dengan dirinya sendiri sebelum ia bertarung
dengan partai dan kandidat lain. Apa yang dilakukan oleh Bu Mega adalah
pelajaran penting bagi semua. Bu Mega mengalahkan dirinya dirinya sendiri untuk
memenangkan partainya. Seandainya Bu Mega tidak mengalahkan dirinya sendiri dan
hanya memenangkan dirinya, maka ini pun akan membawa pada kekalahan pada
partainya sendiri. Salut buat Bu Mega yang berhasil memenangkan pertarungan
dengan dirinya sendiri; bertarung melawan ego dan gengsi politiknya!
Ahmad Sahide
Mahasiswa Program Doktor
Agama dan Lintas Budaya, Minat Kajian Timur Tengah
Sekolah Pascasarjana, UGM
Yogyakarta, 15 Maret 2014
Alamat penulis : Jln. Nitipuran No. 313
Yogyakarta
Nomor kontak : 085292039650
Email :
ahmadsahidie@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar