AIR MATA DI PELUKAN BULAN
By: Darah Mimpi
Langkahku
begitu berat. Setetes dukaku selalu bersahaja. Menari aku di atas ambang
kepedihan, merintih sendu, menanti surya cinta tiba walau hanya sesaat dalam
mimpi senja. Begitu asaku berkobar, lemah pula harapan mimpiku berkembang.
Hampa detak alunan waktuku, hanya menunggu cinta dalam angan alam kelam.
Hari
ini begitu tak bersahabat, kabut menutupi birunya langit. Awan hitam tersenyum
lebar menanti turunnya hujan. Cuaca mendung tergambar jelas. Rencana aku ingin pergi ke pantai bersama
sahabat-sahabatku. Membuang letih, usai bekerja sebulan penuh. Aku ditemani
kekasihku Putra. Dia sarjana muda yang kuliah di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta).
Pertama aku mengenalnya di warnet dekat tugu. Kami menjalani hubungan kurang
lebih sudah 3 bulan lamanya.
Keinginanku untuk pergi ke pantai bersama
sahabat-sahabatku kandas. Kekasihku malah mengajakku pergi liburan berdua, Hanya
aku dan dirinya. Awalnya aku senang, tak biar kugambarkan keromantisan yang
akan kami lakukan bersama. Sayang semuanya tak seindah penggambaranku saat
berangkat. Aku pulang dengah sejuta tetes pilu yang meraup dingin pipiku yang
lembut.
Saat sinar mentari masih nampak, aku diajak
mengelilingi kota Yogyakarta. Menyaksikan nuansa kota yang ramai dan bising.
Aku begitu senang diajaknya, tak ada perasaan curiga di hatiku. Hanya
pikiran-pikiran baik yang ada dalam benakku.
“Sayang, entar malam kita tidur di hotel ya?” pintanya
dengan nada lembut
“Ah, tidur di hotel? Pa nggak bahaya tuh Say, kalau
malam-malam tidur berdua?” aku mengerutkan dahiku. Menatapnya heran.
“Aduh Say, kamu ini kayak sama siapa aja. Kita kan
pacaran. Masak tidur berdua aja takut.”
“Nggak gitu Say, aku Cuma khawatir aja entar kamu
ngelakuin hal-hal aneh ke aku.” Kataku lirih sambil menunduk.
Ia menyentuh daguku, menaikkannya sedikit. Seakan-akan
memaksaku untuk menatapnya dalam.
“Tataplah aku. Apakah ada sorotan kebohongan di
mataku?” ia bertanya penuh antusias. Aku menggeleng sambil menyudutkan bibirku
yang mungil.
“Aku hanya ingin semalaman ini bersamamu.” Katanya
”Tapi janji ya, jangan apa-apain aku.”
“Pasti.”
* * *
Dipapahnya tubuh letih ini ke kasur. Ia matikan lampu
kamar hotel. Nuansa malam yang begitu mencekam kehormatanku. Ia buka tirai
jendela, rembulan pun menampakkan wajahnya dari balik jendela. Seakan-akan
memasang wajah muramnya. Malam itu aku tidak sadarkan diri. Sore hari sebelum
berangkat ke hotel aku dipaksanya minum teh manis, entah kenapa tubuhku
tiba-tiba serasa lemah. Kepalaku pusing, pandanganku berkunang-kunang lalu
gelap. Setelahnya aku tidak tahu kejadian yang menimpaku.
Jam menunjukkan pukul 03:00 WIB. Aku baru tersadar.
Mataku terbelalak heran dan kaget. Setelah kudapati diriku sudah telanjang
bulat di kamar. Tak ada seorang pun di sana. Hanya aku sendiri berteman dengan
rembulan yang nampak dari balik jendela. Terasa perih selakanganku. Air
mataku langsung menyembur hebat. Pahit
sekali batinku. Aku yakin Putra kekasihku lah yang telah merengut kehormatanku.
Teringat keinginannya yang mengajakku tidur di hotel. Aku mengambil selimut
untuk menutupi tubuhku. Kudekap lututku. Aku menangis, menjerit dan merintih. Namun
tak seorang pun yang tahu. Hanya rembulan yang menyaksikan kejadian itu. Hatiku
hancur. Ingin rasanya aku segera menghabiskan umurku, untuk menutupi rasa maluku
kepada dunia. Tapi entahlah, aku masih bertahan karena hati nuraniku terus
menyeru agar aku mampu bersabar.
Kuambil bajuku yang berserakan di lantai. Aku
memakainya. Sedikit kusisir rambutku dengan jari-jemariku. Setelahnya aku ke
luar dari kamar menuju pintu ke luar.
“Eh Mbak, mau ke mana?” tanya penjaga kasir.
“Mau pu..pu..pulang” kataku pelan sambil menahan isak
tangis.
“Kenapa menangis Mbak?” tanya kasir itu heran
“Saya…sa…ya… “ aku tak mampu mengatakan kejadian yang
sesunggyuhnya. Aku diam sambil menunduk.
“Ya sudah Mbak kalau memang tidak bisa menceritakannya
kepada saya. Tapi sebelum Mbak ke luar dari hotel ini Mbak harus membayarnya
terlebih dahulu. Tadi sebelum temen Mbak ke luar dia pesan kalau Mbak yang
harus membayar biaya hotel ini.”
Aku menoleh menatap kasir itu dengan ekspresi marah.
Nafasku mendengus kesal. Sudah kehormatanku ia ambil, biaya hotel pun aku yang
disuruh membayarnya. “Dasar, keparat…!!! Putra bajingan.” Umpatku dalam hati.
“Mbak nggak salah bilang?” tanyaku tidak yakin
“Ya” jawabnya singkat namun sangat bermakna.
Air mataku semakin menetes deras. Aku menyesal karena
mau dipacari oleh lelaki bajingan itu. Ngakunya anak kuliahan, tapi hati busuk.
Sebusuk kotoran anjing. Hah entahlah. Aku tak berpikir terlalu panjang lagi.
Kurogoh tasku, mencari dompetku. Sialnya lagi dompetku juga hilang dibawanya
kabur. “Brengsek” cetusku.
“Apa Mbak bilang? Brengsek?. Apa salah saya, kenapa Mbak
ngatain saya brengsek?” kata kasir itu menatapku geram.
“Maksud saya, bukan Mbak yang brengsek. Tap…tapi.. “
belum selesai aku berbicara, ia sudah memotongnya. “Sialan kamu, nggak tahu
sopan santun. Cepetan mana uangnya buat bayar hotel ini, setelah itu
pergiiiii…!”
“Mbak maaf, saya nggak punya uang! Dompet saya diambil
cowok saya.”
“Alasan ya kamu. Cepetan mana uangnya atau saya
panggilkan satpam.” Ancaman mautnya
“Saya nggak bohong Mbak. Saya saja diperkosa olehnya.” Kataku sepontan sambil menahan isak tangisku yang semakin terdengar keras. Penjaga kasir itu menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Mencoba menetralisirkan emosinya yang berkobar. Ia menatapku iba.
“Saya nggak bohong Mbak. Saya saja diperkosa olehnya.” Kataku sepontan sambil menahan isak tangisku yang semakin terdengar keras. Penjaga kasir itu menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Mencoba menetralisirkan emosinya yang berkobar. Ia menatapku iba.
“Benarkah apa yang kau katakan?”
“Yah, saya serius.” Kataku penuh antusias sambil
menatapnya tajam.
“Ya sudah tinggalkan KTPmu, besok kau kembali lagi ke
sini. Untuk membayarnya.” Katanya lembut. “Baik Mbak.”
* * *
Kutelusuri jalan kota yang kelam bersama tangisku yang
pedih. Air mata tak henti-hentinya mengalir. Penyesalan mendekap erat sukmaku.
Aku bingung, kemanakah aku harus melangkah. Balikkah aku ke tempat kerjaku
dengan rasa malu ini, atau pulang ke rumah menanti tamparan emosi melayang di
jiwaku dari kedua orang tuaku. Aku bingung aku tak menemukan arah. Aku tetap
diam bersama piluku. Aku duduk termenung di Tugu Jogja. Kutatap langit yang
datar, pandanganku samar. Angan-anganku pudar, masalalu yang indah, kini telah
kuhapus dengan kebencianku yang teramat dalam. Rasanya aku malu kepada rembulan
yang sedang membalas tatapanku.
“Bulan, hapuslah air mataku. Dekaplah aku dengan
sinarmu. Kasihi aku dengan terangnya cahayamu. Oh bulan maafkan aku, aku telah
berbuat nista di depanmu. Maafkan aku, karena aku tak bisa menampakkan
perbuatan indah di depanmu. Bulan, serasa aku menangis di pelukanmu. Bulan kuingin
terbang bersamamu, agar aku bisa menghapus rasa sedih dan maluku yang teramat
dalam kepada dunia ini. Bulan, aku ingin segera menghabisi nyawaku. Kirimkanlah
do’aku, wahai angin yang berhembus lembut mendekapku malam ini.” Celotehku,
seiring mengalirnya air mata ini. Aku terus menggumam bersama duka piluku malam
itu. Tanpa teman, tanpa ayah, tanpa ibu, bahkan kekasih. Aku menangis
sejadi-jadinya. Tak kuhiraukan orang-orang yang lewat di depanku yang terus menatapku
heran dan bertanya-tanya, kenapa aku menangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar