Mawar
di Gurun Sahara
By Sabil Sang Pemimpi
Rambutnya lurus. Hitam berbaur dengan warna merah.
Setiap helainya tergerai sebatas telinga. Matanya sayup-sayup tapi tajam kalau
menatap. Wanita itu telah matang. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis tapi
seksi. Giginya putih berderet rapih
dipagari bunga plastik warna hijau. Ia suka menyimpan duka. Sebatang rokok
cukup meringankan bebannya di kala sakit. Dan ia nona dari Jakarta.
Baru
sehari ia di Jogja. Tujuannya datang sebatas untuk mengikuti training penulisan
progresif di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Namanya SMI atau Social
Movement Institute. Di sanalah ia dan kawan-kawannya berpetualang dengan delman
yang mereka bayar sebesar seratus ribu rupiah. Seharian penuh ia kelelahan
karena mengikuti semua materi. Memang pantas ia sakit karena dari sejak pagi kerjanya
hanya duduk dan mendengarkan. Tak berani pula ia bertanya. Sebagai melati yang
menunggu tuk dipetik. Karena banyak yang tertarik. Namun sayang ia bukan wanita
seperti adanya. Kecenderungannya berbelok dari feminim ke sikap jantan sebagai
lelaki pada biasanya. Kerjanya merokok dan makan snack. Gerak-geriknya terlihat layaknya pria. Meskipun aura
kewanitaannya tak bisa ia sembunyikan.
Wanita
itu kelihatan aneh. Badannya penuh tato. Ada di lengan, di pundak, dan ada juga
di leher. Dan tak ada yang tahu agama apa yang ia anut. Sudah seharian ini ia
tidak beranjak ke kamar mandi mengambil wudhu kemudian melaksanakan salat.
Padahal markas milik Komunitas Belajar Menulis itu menyediakan satu kamar kecil
disertai tiga buah kran air. Barangkali ia sedang berhadas. Ataukah boleh jadi
ia akan menjamak salatnya nanti. Tapi dari lagak dan penampilannya, seperti tak
ada ciri-ciri kalau wanita bersikap laki-laki itu tekun mengerjakan ibadah
sujud.
Setelah
forum terakhir ditutup oleh seorang pria berperawakan besar dan hitam, wanita
itu bersolek di depan cermin kecil yang berteduh di balik jaketnya. Pijar lampu
menyembul di keningnya. Kali ini ia duduk bersandar dengan posisi dengkul
menumpu kedua lengannya. Seakan wanita dua puluh limaan itu mengalami gangguan
pikiran. Anehnya ini lain dari yang biasanya. Ia nampak gembira merias
wajahnya. Bibir mungil itu kini merah dibalut rencong. Tak ada yang bisa mengelak kalau wajahnya nampak seperti
gadis dari kayangan. Sayangnya ia menolak kecantikannya dengan meninggalkan
otentitas dirinya.
Di
antara hingar-bingar obrolan dan derai angin petang yang bersahut-sahutan,
terlihat gerakan tangannya menoreh-noreh dengan pena. Setelah tulisannya jadi,
bibirnya yang semakin merah mencium pelataran putih-tipis bertuliskan tiga
kata, Happy Birthday Beb.Nampak dua lubang mesra di
ranum pipinya. Di sudut kiri bawah,
tergambarlah bentuk lekuk bibir yang menggiurkan di atas kertas yang nampak
berhias—seindah rona wajah wanita itu. Awalnya, bibirnya kering akibat hisapan asap dari filter rokok
berkali-kali. Dan terjadi sesuatu yang lucu, yaitu ketika yang lainnya mencoba
menanggapi. Korun, nama pria berjanggut dan berkumis tipis itu menawarkan
padanya agar sedikit membasahi dua belahmanis itu.Semua lalu terbahak. Suara berdesing-desing
bagai peluru memantul di tembok sana-sini. Si Korun dikira meminta tuk mengecup
barang sekali pun agar bibir itu mengeluarkan tinta merah yang lebih dahsyat.
Wanita itu hanya diam sembari terus
menambah ketebalan pewarna yang merangsang bibirnya. Lalu si Korun lagi-lagi
menyahut, “bibir engkau perlu sedikit dibasahi.” Semua lagi-lagi memekarkan
mulut. Pagar-pagar putih menyelingi bibir mereka yang mekar lebar. Namun sayang
beribu sayang, balaki itu samasekali
tidak tertarik. Ia lebih fokus pada sehelai kertas yang bakal ia sampaikan
kepada teman khususnya yang jauh di Belanda sana. Diciumnya sekali lagi setelah
sebanyak tiga kali ia menancapkan rayuan pada mata-mata jenaka para pemuda di
ruangan itu tanpa memilah mana balaki dan
mana perempuan normal. Yang namanya perempuan tetap saja menarik meskipun
sejauh itu ia mendempul dirinya menjadi dirinya yang lain. Kecupan terakhir
menandakan keberhasilannya melengkapi tiga kata menjadi empat dengan satu
gambar dari rekah estetika. Difotonya berkali-kali dirinya dengan gadget merahnya. Tampillah ia seelok
bunga mawar yang tumbuh di gurun sahara.
Jogja, Malam Minggu Nitipuran bersama riuh
pesawat, 05 April 2014. Pukul: 20.56 menyendiri dalam kamar yang setengah
berantakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar