Selasa, 08 April 2014

Mawar di Gurun Sahara



Mawar di Gurun Sahara
By Sabil Sang Pemimpi

Rambutnya lurus. Hitam berbaur dengan warna merah. Setiap helainya tergerai sebatas telinga. Matanya sayup-sayup tapi tajam kalau menatap. Wanita itu telah matang. Hidungnya mancung dan bibirnya tipis tapi seksi. Giginya putih berderet rapih dipagari bunga plastik warna hijau. Ia suka menyimpan duka. Sebatang rokok cukup meringankan bebannya di kala sakit. Dan ia nona dari Jakarta.
                Baru sehari ia di Jogja. Tujuannya datang sebatas untuk mengikuti training penulisan progresif di sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Namanya SMI atau Social Movement Institute. Di sanalah ia dan kawan-kawannya berpetualang dengan delman yang mereka bayar sebesar seratus ribu rupiah. Seharian penuh ia kelelahan karena mengikuti semua materi. Memang pantas ia sakit karena dari sejak pagi kerjanya hanya duduk dan mendengarkan. Tak berani pula ia bertanya. Sebagai melati yang menunggu tuk dipetik. Karena banyak yang tertarik. Namun sayang ia bukan wanita seperti adanya. Kecenderungannya berbelok dari feminim ke sikap jantan sebagai lelaki pada biasanya. Kerjanya merokok dan makan snack. Gerak-geriknya terlihat layaknya pria. Meskipun aura kewanitaannya tak bisa ia sembunyikan.
                Wanita itu kelihatan aneh. Badannya penuh tato. Ada di lengan, di pundak, dan ada juga di leher. Dan tak ada yang tahu agama apa yang ia anut. Sudah seharian ini ia tidak beranjak ke kamar mandi mengambil wudhu kemudian melaksanakan salat. Padahal markas milik Komunitas Belajar Menulis itu menyediakan satu kamar kecil disertai tiga buah kran air. Barangkali ia sedang berhadas. Ataukah boleh jadi ia akan menjamak salatnya nanti. Tapi dari lagak dan penampilannya, seperti tak ada ciri-ciri kalau wanita bersikap laki-laki itu tekun mengerjakan ibadah sujud.
                Setelah forum terakhir ditutup oleh seorang pria berperawakan besar dan hitam, wanita itu bersolek di depan cermin kecil yang berteduh di balik jaketnya. Pijar lampu menyembul di keningnya. Kali ini ia duduk bersandar dengan posisi dengkul menumpu kedua lengannya. Seakan wanita dua puluh limaan itu mengalami gangguan pikiran. Anehnya ini lain dari yang biasanya. Ia nampak gembira merias wajahnya. Bibir mungil itu kini merah dibalut rencong. Tak ada yang bisa mengelak kalau wajahnya nampak seperti gadis dari kayangan. Sayangnya ia menolak kecantikannya dengan meninggalkan otentitas dirinya.
                Di antara hingar-bingar obrolan dan derai angin petang yang bersahut-sahutan, terlihat gerakan tangannya menoreh-noreh dengan pena. Setelah tulisannya jadi, bibirnya yang semakin merah mencium pelataran putih-tipis bertuliskan tiga kata, Happy Birthday Beb.Nampak dua lubang mesra di ranum pipinya. Di sudut kiri bawah, tergambarlah bentuk lekuk bibir yang menggiurkan di atas kertas yang nampak berhias—seindah rona wajah wanita itu. Awalnya, bibirnya kering akibat hisapan asap dari filter rokok berkali-kali. Dan terjadi sesuatu yang lucu, yaitu ketika yang lainnya mencoba menanggapi. Korun, nama pria berjanggut dan berkumis tipis itu menawarkan padanya agar sedikit membasahi dua belahmanis itu.Semua lalu terbahak. Suara berdesing-desing bagai peluru memantul di tembok sana-sini. Si Korun dikira meminta tuk mengecup barang sekali pun agar bibir itu mengeluarkan tinta merah yang lebih dahsyat.
Wanita itu hanya diam sembari terus menambah ketebalan pewarna yang merangsang bibirnya. Lalu si Korun lagi-lagi menyahut, “bibir engkau perlu sedikit dibasahi.” Semua lagi-lagi memekarkan mulut. Pagar-pagar putih menyelingi bibir mereka yang mekar lebar. Namun sayang beribu sayang, balaki itu samasekali tidak tertarik. Ia lebih fokus pada sehelai kertas yang bakal ia sampaikan kepada teman khususnya yang jauh di Belanda sana. Diciumnya sekali lagi setelah sebanyak tiga kali ia menancapkan rayuan pada mata-mata jenaka para pemuda di ruangan itu tanpa memilah mana balaki dan mana perempuan normal. Yang namanya perempuan tetap saja menarik meskipun sejauh itu ia mendempul dirinya menjadi dirinya yang lain. Kecupan terakhir menandakan keberhasilannya melengkapi tiga kata menjadi empat dengan satu gambar dari rekah estetika. Difotonya berkali-kali dirinya dengan gadget merahnya. Tampillah ia seelok bunga mawar yang tumbuh di gurun sahara.
Jogja, Malam Minggu Nitipuran bersama riuh pesawat, 05 April 2014. Pukul: 20.56 menyendiri dalam kamar yang setengah berantakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar