KAHAYA
N.A.A
Semburat
cahaya pagi menyinsing dari ufuk timur. Lumut-lumut hijau yang licin melekat
menghiasi pohon dan bebatuan. Tak lupa ganggang-ganggang hijau mengapung
menampakkan wujudnya di tengah-tengah danau. Ikan-ikan yang juga mendiami danau
tersebut tak mau ketinggalan menyambut matahari. Ikan kecil, sedang hingga yang
paling besar ke permukaan mangap-mangap, bagaikan orang yang tenggelam.
~{0}~
Desa
itu bernama Kahaya, sebuah desa kecil yang terletak di sebelah barat Kabupaten
Bulukumba, Sulaweai Selatan. Yang jika kita telusuru tau mencarinya di peta
Bulukumba kita akan menemukannya di kaki gunung Lompo Battang, di perbatasan
antara Kabupaten Sinjai. Desa yang memiliki keindahan alam yang sangat luar
biasa nan memposona ini juga masih menyimpan beragam keunikan lainnya. Kahaya
juga baru mengalami pemekaran beberapa tahun silam, yang dulunya masih termasuk
dalam desa Kindang.
Kesejukan
udara yang dihembuskan oleh udara pagi desa tersebut memebuat bulu kuduk kita
merinding. Ketenangan jiwa saat menikmati panorama hijau alam Kahaya akan
mengalir dalam darah dan menyejukkan jiwa. Menikmati pohon- pohon berlumut dan
anggek yang masih melekat di beberapa pohon.
Jarak
tempuh yang harus kita lalui dari pertigaan desa Kindang, desa Borong Rappoa,
dan desa Kahaya sekitar dua jam lamanya dengan cara jalan kaki. Hanya ada satu
akses yang sering dilalui orang-orang yang berkunjung ke sana, yaitu: Jalan
yang berbatu. Menguras tenaga saat mendaki jalan menanjak. Lewat di sekitar
jurang yang dalam, namun sangat indah bila kita memandanginya, suara berisik
sungai dari dasar jurang bagaikan instrumen musik yang saling beradu bunyi.
Lelah,
capek, pegal. Semua itu sangat identik dengan pendakian dan perjalanan penjang
serta menanjak. Tapi semua itu akan terbayarkan oleh pemandangan atau panorama
alam Kahaya. Ada satu tempat yang menurut saya juga paling menabjubkan saat
berada di sana. Saat kita melewati medan yang sangat berat dan dapat menguras
tenaga. Tempat yang kadang dijadikan sebagai tempat peristirahatan bagi para
pencinta alam atau para anak sekolahan yang sedang mengisi liburan ke sana.
Penduduk asli sana atau pun warga desa Kindang menyebutnya Lianga.[1]
di sanalah mereka beristirahat untuk mengumpulkan kembali energi sambil
memandangi aliran sungai yang berada di dasar jurang, dan beberapa air terjun
kecil di barat sungai. Dan jika kita alihkan pandangan ke barat tepatnya ke
arah gunung, kita akan melihat penampakan pahatan gunung yang menyerupai
kelelawar mengepakkan sayap. Banyak orang menyebutnya gunung kelelawar. Tidak
salah kita mengatakan Allah adalah seniman yang luar biasa.
Tak
sampai di sini saja, ini adalah awal dari sebuah perjalanan menuju tempat yang
dipahat dan dilukis dengan warna hijau yang dominan, oleh Yang Maha Indah
dengan sejuta keindahannya. Ada banyak suntikan-suntikan nilai estetis yang
diberikan oleh seniman bumi Kahaya. Sekitar satu kilometer dari Lianga
kita akan menemukan sebuah danau. Danau yang tak jauh dari pemukiman warga.
Tapi, untuk menuju danau tersebut kita harus melelui jalan setapak yang juga
lumayan menantang. Tak jauh dari genangan beribu atau bahkan berjuta-juta liter
air, ada sebuah pohon raksasa berjenis beringin.
Danau
yang terletak di pegunungan ini banyak menyimpan bebagai jadis satwa air. Danau
yang menurut cerita warga atau juru kunci yang tinggal di sekitar danau itu
mengatakan, bahwa air dari danau ini terhubung langsung dengan lautan. Bukan
hanya itu, di dasar danau terdapat sebuah makhluk raksasa. Warga setempat
menamainya sebagai pakkammi[2].
Suara
berisik dari dedaunan pohon beringin besar yang saling beradu karena angin
sepoi-sepoi, menjadi istrumen musik yang indah. Menari-nari ke dalam gendang
telinga. Bak suara gendang yang berdendang. Akar-akar menyeruak dari dalam
tanah membentuk pola yang unik. Dari bawah pohon ada sebuah mata air yang
mengalir deras. Aliran air tersebut akan bermuara pada danau itu. Di sana bukan
hanya ada satu pohon tapi ada dua pohon berigin. Kedua pohon ini dijadikan
tempat sakral bagi warga sekitar dan kebanyakan warga Kindang. Itu terlihat
dari seringnya mereka datang dengan membawa berupa bungkusan dalam rantang,
yang isinya ada ayam dan segala macam jenis beras yang diolah menjadi nasi
dengan dipandu oleh orang yang dituakan atau sesepu dari desa. Semua sesajen
yang dibawa akan di berikan pada yang berhak menerimanya yaitu, belut yang
menghuni di bawah pohon, karena belut ini dianggap sebagai titisan makhluk
halus. Tujuan mereka datang ke bawah pohon beringin itu bermacam-macam, ada
yang minta ke kayaan, ada yang minta jodoh dan ingin mengabadikan cinta, mobil,
dan masih banyak lagi permintaan yang aneh-aneh. Seakan-akan tradisi yang sudah
mengarah ke arah kemusyrikan ini tak diindahkan lagi. Dianggapnya bukan sebua
kemusyrikan melaikan sebuah usaha untuk mengubah nasib. Katanya!
Dari
sekian cerita yang pernah saya dengar. Ada yang mengatakan bahwa ketika kita
mengambil foto di bawah pohon hanya ada dua kemungkinan, yaitu; Pertama, hasil
gambar tidak akan muncul atau yang nampak hanya gelap, bahkan orang yang
berfoto tidak akan muncul hanya gambar pohannya saja yang tampil. Kedua, kamera
yang kita gunakan akan tiba-tiba mengalami kerusakan atau mati saat akan
memulai mengambil gambar. Ini juga yang meyakinkan orang-orang bahwa tempat itu
benar-benar menyeramkan dan ada penunggunya, sehingga mereka menjadikan tempat
tersebut sebagai tempat mengadu nasib. Saya mengatakan demikian karena
banyaknya iakatan-ikatan tali atau tulisan-tulisan yang ada di pohon tersebut.
Semua orang juga tau hal ini adalah perbuatan dosa, tapi sebagai orang awam ini
dianggapnya sebagai tradisi nenek moyang.
Dari
semua isu seram dan sakral dari pohon beringin dan belutnya perlahan-lahan
ingin dihilangkan dari benak orang-orang seiring dengan berkembangnya zaman.
Dan benar adanya karena beberapa tahun silam ada seorang yang yang tidak
meyakini akan kekuatan dari sang belut. Seorang pemuda yang taat akan agama,
berasalan dari desa Kindang, orang-orang sering menyapanya Pak Syamsul, nekat
datang dan menangkap belut yang dianggap sakral itu. Tidak sampai di sana
pemuda yang berpenampilan ustad ini memotong tubuh belut dan dimasaknya,
kemudian dijadikan sebagai hidangan makam malam yang sangat menggiurkan.
Pada
2013 lalu, paradigma masyarakan akan kesakralan pohon tersebut kembali
diruntuhkan. Kali bukan lagi seorang ustad, melaikan pencipta dari pohon itu
sendiri, Allah. Allah menurunkan sebuah bencana berupa angin ribut atau kita
kenal dengan puting beliung, merobohkan pohon beringin yang berdiri kokoh itu.
Semua kesakralan sirna dalam satu tiupan angin ribut saja. Mungkin tradisi yang
mengarah kemusyrikan di desa Kahaya ini sudah hilang.
Selanjutnya,
perjalanan akan kita lanjutkan ke tempat yang sering di jadikan para muda-mudi
untuk merayakan sebuah hari yang diistimewakan, seperti hari jadian mereka, malam
tahun baru, malam valentine. Mereka akan menghabiskan waktu mereka
semalam suntuk di tempat tersebut. Dengan tenda yang mereka dirikan dan api
unggung yang menemani malam mereka yang dingin. Lampu disko yang abadi dan bola
raksasa yang selalu menghiasi langit malam juga tak ketinggalan menerangi.
Suara jangkrit berdesing di mana-mana, mereka akan menganggapnya sebuah alunan
musik yang indah karena cinta telah mengubah semuanya menjadi indah.
Kerlap-kerlip lampu di kejauhan sana, di tengah hiruk pikuk keramian kota tak
lagi mereka hiraukan. Mereka larut dalam keindahan alam Kahaya di malam. Capek,
lelah. Kini semuanya telah terbayar habis dengan posona alam yang menabjubkan.
Maka di sana mereka akan mengatakan sungguh luar biasa tempat ini. Tapi bai
saya bukan tempatnya yang luar biasa tapi seniman di balik keluarbiasaan tempat
tersebut.
Tanjung,
inilah nama yang terlontar dari sekian orang yang pernah menginjakkan kaki di
pemberhentian terakhir saat menuju tanah subur bumi Kahaya. Tanjung sendir
adalah nama sebuah bukit kicil, yang dianggap bukit paling istimewa di desa
Kahaya. Tempat wisata yang tak pernah tersentuh oleh tangan dan perhatian
pemerintah. Tapi, dengan keasliannya itu, menjadi daya tarik tersnediri bagi
kebanyakan orang, terlebih bagi yang hobby camping. Tanjung, tempat
terindah Kahaya yang di kelilingi gunung-gunung yang menjulang tinggi. Yang
mampu menghipnotis bagi yang menjejakkan kikinya di sana. Jika ada niat
berkunjung ke tanah Panrita Lopi Bulukumba, tak lengkap rasanya bila belum menjejakan
kaki ke tanah Kahaya, tepatnya di Tanjung. Orang kindang mengatakannya sebagai
desa markisah.
Yogyakarta,
05 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar