Selasa, 08 April 2014

KAHAYA



KAHAYA
N.A.A

Semburat cahaya pagi menyinsing dari ufuk timur. Lumut-lumut hijau yang licin melekat menghiasi pohon dan bebatuan. Tak lupa ganggang-ganggang hijau mengapung menampakkan wujudnya di tengah-tengah danau. Ikan-ikan yang juga mendiami danau tersebut tak mau ketinggalan menyambut matahari. Ikan kecil, sedang hingga yang paling besar ke permukaan mangap-mangap, bagaikan orang yang tenggelam.
~{0}~

Desa itu bernama Kahaya, sebuah desa kecil yang terletak di sebelah barat Kabupaten Bulukumba, Sulaweai Selatan. Yang jika kita telusuru tau mencarinya di peta Bulukumba kita akan menemukannya di kaki gunung Lompo Battang, di perbatasan antara Kabupaten Sinjai. Desa yang memiliki keindahan alam yang sangat luar biasa nan memposona ini juga masih menyimpan beragam keunikan lainnya. Kahaya juga baru mengalami pemekaran beberapa tahun silam, yang dulunya masih termasuk dalam desa Kindang.

Kesejukan udara yang dihembuskan oleh udara pagi desa tersebut memebuat bulu kuduk kita merinding. Ketenangan jiwa saat menikmati panorama hijau alam Kahaya akan mengalir dalam darah dan menyejukkan jiwa. Menikmati pohon- pohon berlumut dan anggek yang masih melekat di beberapa pohon.

Jarak tempuh yang harus kita lalui dari pertigaan desa Kindang, desa Borong Rappoa, dan desa Kahaya sekitar dua jam lamanya dengan cara jalan kaki. Hanya ada satu akses yang sering dilalui orang-orang yang berkunjung ke sana, yaitu: Jalan yang berbatu. Menguras tenaga saat mendaki jalan menanjak. Lewat di sekitar jurang yang dalam, namun sangat indah bila kita memandanginya, suara berisik sungai dari dasar jurang bagaikan instrumen musik yang saling beradu bunyi.

Lelah, capek, pegal. Semua itu sangat identik dengan pendakian dan perjalanan penjang serta menanjak. Tapi semua itu akan terbayarkan oleh pemandangan atau panorama alam Kahaya. Ada satu tempat yang menurut saya juga paling menabjubkan saat berada di sana. Saat kita melewati medan yang sangat berat dan dapat menguras tenaga. Tempat yang kadang dijadikan sebagai tempat peristirahatan bagi para pencinta alam atau para anak sekolahan yang sedang mengisi liburan ke sana. Penduduk asli sana atau pun warga desa Kindang menyebutnya Lianga.[1] di sanalah mereka beristirahat untuk mengumpulkan kembali energi sambil memandangi aliran sungai yang berada di dasar jurang, dan beberapa air terjun kecil di barat sungai. Dan jika kita alihkan pandangan ke barat tepatnya ke arah gunung, kita akan melihat penampakan pahatan gunung yang menyerupai kelelawar mengepakkan sayap. Banyak orang menyebutnya gunung kelelawar. Tidak salah kita mengatakan Allah adalah seniman yang luar biasa.

Tak sampai di sini saja, ini adalah awal dari sebuah perjalanan menuju tempat yang dipahat dan dilukis dengan warna hijau yang dominan, oleh Yang Maha Indah dengan sejuta keindahannya. Ada banyak suntikan-suntikan nilai estetis yang diberikan oleh seniman bumi Kahaya. Sekitar satu kilometer dari Lianga kita akan menemukan sebuah danau. Danau yang tak jauh dari pemukiman warga. Tapi, untuk menuju danau tersebut kita harus melelui jalan setapak yang juga lumayan menantang. Tak jauh dari genangan beribu atau bahkan berjuta-juta liter air, ada sebuah pohon raksasa berjenis beringin. 

Danau yang terletak di pegunungan ini banyak menyimpan bebagai jadis satwa air. Danau yang menurut cerita warga atau juru kunci yang tinggal di sekitar danau itu mengatakan, bahwa air dari danau ini terhubung langsung dengan lautan. Bukan hanya itu, di dasar danau terdapat sebuah makhluk raksasa. Warga setempat menamainya sebagai pakkammi[2].

Suara berisik dari dedaunan pohon beringin besar yang saling beradu karena angin sepoi-sepoi, menjadi istrumen musik yang indah. Menari-nari ke dalam gendang telinga. Bak suara gendang yang berdendang. Akar-akar menyeruak dari dalam tanah membentuk pola yang unik. Dari bawah pohon ada sebuah mata air yang mengalir deras. Aliran air tersebut akan bermuara pada danau itu. Di sana bukan hanya ada satu pohon tapi ada dua pohon berigin. Kedua pohon ini dijadikan tempat sakral bagi warga sekitar dan kebanyakan warga Kindang. Itu terlihat dari seringnya mereka datang dengan membawa berupa bungkusan dalam rantang, yang isinya ada ayam dan segala macam jenis beras yang diolah menjadi nasi dengan dipandu oleh orang yang dituakan atau sesepu dari desa. Semua sesajen yang dibawa akan di berikan pada yang berhak menerimanya yaitu, belut yang menghuni di bawah pohon, karena belut ini dianggap sebagai titisan makhluk halus. Tujuan mereka datang ke bawah pohon beringin itu bermacam-macam, ada yang minta ke kayaan, ada yang minta jodoh dan ingin mengabadikan cinta, mobil, dan masih banyak lagi permintaan yang aneh-aneh. Seakan-akan tradisi yang sudah mengarah ke arah kemusyrikan ini tak diindahkan lagi. Dianggapnya bukan sebua kemusyrikan melaikan sebuah usaha untuk mengubah nasib. Katanya!

Dari sekian cerita yang pernah saya dengar. Ada yang mengatakan bahwa ketika kita mengambil foto di bawah pohon hanya ada dua kemungkinan, yaitu; Pertama, hasil gambar tidak akan muncul atau yang nampak hanya gelap, bahkan orang yang berfoto tidak akan muncul hanya gambar pohannya saja yang tampil. Kedua, kamera yang kita gunakan akan tiba-tiba mengalami kerusakan atau mati saat akan memulai mengambil gambar. Ini juga yang meyakinkan orang-orang bahwa tempat itu benar-benar menyeramkan dan ada penunggunya, sehingga mereka menjadikan tempat tersebut sebagai tempat mengadu nasib. Saya mengatakan demikian karena banyaknya iakatan-ikatan tali atau tulisan-tulisan yang ada di pohon tersebut. Semua orang juga tau hal ini adalah perbuatan dosa, tapi sebagai orang awam ini dianggapnya sebagai tradisi nenek moyang.

Dari semua isu seram dan sakral dari pohon beringin dan belutnya perlahan-lahan ingin dihilangkan dari benak orang-orang seiring dengan berkembangnya zaman. Dan benar adanya karena beberapa tahun silam ada seorang yang yang tidak meyakini akan kekuatan dari sang belut. Seorang pemuda yang taat akan agama, berasalan dari desa Kindang, orang-orang sering menyapanya Pak Syamsul, nekat datang dan menangkap belut yang dianggap sakral itu. Tidak sampai di sana pemuda yang berpenampilan ustad ini memotong tubuh belut dan dimasaknya, kemudian dijadikan sebagai hidangan makam malam yang sangat menggiurkan.

Pada 2013 lalu, paradigma masyarakan akan kesakralan pohon tersebut kembali diruntuhkan. Kali bukan lagi seorang ustad, melaikan pencipta dari pohon itu sendiri, Allah. Allah menurunkan sebuah bencana berupa angin ribut atau kita kenal dengan puting beliung, merobohkan pohon beringin yang berdiri kokoh itu. Semua kesakralan sirna dalam satu tiupan angin ribut saja. Mungkin tradisi yang mengarah kemusyrikan di desa Kahaya ini sudah hilang.

Selanjutnya, perjalanan akan kita lanjutkan ke tempat yang sering di jadikan para muda-mudi untuk merayakan sebuah hari yang diistimewakan, seperti hari jadian mereka, malam tahun baru, malam valentine. Mereka akan menghabiskan waktu mereka semalam suntuk di tempat tersebut. Dengan tenda yang mereka dirikan dan api unggung yang menemani malam mereka yang dingin. Lampu disko yang abadi dan bola raksasa yang selalu menghiasi langit malam juga tak ketinggalan menerangi. Suara jangkrit berdesing di mana-mana, mereka akan menganggapnya sebuah alunan musik yang indah karena cinta telah mengubah semuanya menjadi indah. Kerlap-kerlip lampu di kejauhan sana, di tengah hiruk pikuk keramian kota tak lagi mereka hiraukan. Mereka larut dalam keindahan alam Kahaya di malam. Capek, lelah. Kini semuanya telah terbayar habis dengan posona alam yang menabjubkan. Maka di sana mereka akan mengatakan sungguh luar biasa tempat ini. Tapi bai saya bukan tempatnya yang luar biasa tapi seniman di balik keluarbiasaan tempat tersebut.

Tanjung, inilah nama yang terlontar dari sekian orang yang pernah menginjakkan kaki di pemberhentian terakhir saat menuju tanah subur bumi Kahaya. Tanjung sendir adalah nama sebuah bukit kicil, yang dianggap bukit paling istimewa di desa Kahaya. Tempat wisata yang tak pernah tersentuh oleh tangan dan perhatian pemerintah. Tapi, dengan keasliannya itu, menjadi daya tarik tersnediri bagi kebanyakan orang, terlebih bagi yang hobby camping. Tanjung, tempat terindah Kahaya yang di kelilingi gunung-gunung yang menjulang tinggi. Yang mampu menghipnotis bagi yang menjejakkan kikinya di sana. Jika ada niat berkunjung ke tanah Panrita Lopi Bulukumba, tak lengkap rasanya bila belum menjejakan kaki ke tanah Kahaya, tepatnya di Tanjung. Orang kindang mengatakannya sebagai desa markisah.


Yogyakarta, 05 April 2014





[1] Lianga maksudnya adalah sebuah lubang raksasa yang disakralkan di daerah tersebut
[2] Pakkammi adalah penunggu/yang menjaga danau atau sungai yang memiliki kedalaman yang tak wajar, dan pakkammi di desa Kahaya atau Kindang itu diidentikkan dengan air. Menurut kepercayaan orang-orang dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar