Rabu, 15 Januari 2014

INGIN MENJADI BAYI



INGIN MENJADI BAYI
By: Enalk (D&D)

Malam ini langit cerah, dengan bulan purnama nan indah, berkolaborasi dengan  bintang-gemintang yang tumpah ruah di dalamnya membentuk sebuah formasi nan menabjubkan. Rumah itu masih terlihat lengang dengan penghuninya. Hanya ada seorang gadis yang duduk di halaman rumah. Di atas ayunan yang terbuat dari besi, ia duduk menatap keindahan langit malam itu, sambil menunggu kedua orangtuanya dan seoarang adiknya yang masih bayi. Sesekali ayunan itu ia gerakkakn maju-mundur mengikuti irama siulannya yang beradu dengan suara jangkrik yang nyaring. Matanya menyipit tepat di bawah alisnya yang melengkung indah saat menatap rembulan. Kedua sudut bibir tipisnya terangkat tepat di bawah hidung mancungnya, dan membentuk sebuah lubang kecil di tengah-tengah pipinya. Kulit putihnya semakin bercahaya saat terkena sinar bulan yang cukup menyilaukan mata. Rambut setengah panjang yang dimilikinya tergerai tertiup angin sepoi-sepoi malam hari. Menambah keelokan pada wajahnya.
Salah satu lengannya ia angkat menunjuk bintang yang tumpah ruah di langit. Gadis itu menunjuk bintang yang paling terang, kemudian menarik garis menghubungkan dengan bintang yang ada di sekitarnya, hingga membentuk sebuah wajah tersenyum dan setangkai bunga mawar di dekatnya. Lagi-lagi kedua sudut bibir tipis dan merah yang di milikinya terangkat membentuk parabola yang indah, dengan gigi kelinci yang sedikit mengintip di antara lengkungan itu.
Beberapa menit gadis itu bermain dengan langit, sebuah cahaya terang menyilaukan penglihatannya dari arah pintu gerbang. Gadis itu melindungi matanya dengan kesepuluh jarinya agar ia bisa melihat siapa yang datang. Cahaya terang itu berasal dari mobil marcedes milik ayahnya.
"Ayah, Ibu. Sudah pulang," gadis dua belas tahun itu lompat kegirangan dari ayunan melihat ayah-ibunya turun dari kedua sisi pintu mobil hitam itu secara bersamaan.
"Sayang," panggil ayahnya sambil membentangkan kedua lengannya menunggu anaknya akan dipeluk. Gadis itu berlari menghapiri ayahnya.
Mereka berjalan bersama memasuki rumah mewah. Gadis itu bersama ayahnya dan ibu bersama adik laki-lakinya.
Keluarga mereka bisa dibilang keluarga bahagia. Itu terlihata dari kecerian dalam menghabiskan hari-harinya bersama keluarga.
Di dalam ruangan yang berukuran enam kali enam meter persegi, mereka berkumpul di depan teve yang berukuran 21 inch jika kita mendongak sedikit akan melihat sebuah jam dinding yang harganya lumayan mahal untuk sebuah penunjuk waktu. Gadis mungil itu duduk pada sofa yang berwarna coklat kemerah-merahan tepat di hadapan teve yang menyala. Ibu dan adiknya melantai, bermain bersama, mengajarkan adiknya berjalan. Bocah yang berumur satu tahun lebih itu terlihat lucu ketika berusaha berdiri dan berjalan menghampiri ibunya. Lalu, ia terjatuh kembali dengan posisi telengkup. Tangis pun meledak dari bocah lucu itu, dan ibunya justru menertawakannya karena tinggkahnya yang lucu saat terjatuh. Sang ibu mendekat dan merangkul anaknya yang masih merengek. Mungkin sang bayi mengerti bahwa dialah yang di tertawakan oleh ibu dan kakaknya.
Tangis sang bocah makin kencang, tawa dari ibu dan kakaknya juga makin menjadi-jadi dan sesekali ibunya menenangkannya.
"cup, cup, cup.. Anak ibu jangan nagis!" Sang ibu menggendong anaknya dan mengayungkannya agar anaknya tidak merengek lagi. Raut wajah Fitri berubah melihat perlakuan ibu terhadap adiknya. Yang tadinya ceria kini berubah menjadi masam, cemberut, mendung bagai awan hitam di langit yang ingin menumpahkan ribuan miliyar butir hujannya ke bumi. Begitulah ekspresi wajah Fitri yang seakan iri kepada adiknya. Dalam hati Fitri berucap sendu, "Ibu cuma sayang sama adik, sama aku tidak lagi." Ucapannya di iringi bulir-bulir bening yang membasahi pipinya. Ibunya yang lagi asyik menenagkan si bocah yang lagi merengek , tidak sadar diperhatikan oleh putrinya.
Gadis itu memalingkan wajahnya dari pandangan ibunya, ia menoleh ke kanan menatap dalam sebuah pas bunga yang terletak di atas meja keramik tepat di samping sofa tempat ia duduk, dengan bulir-bulir bening yang masih mengalir di pipinya. Dan sesekali ia menyeka hidungnya. Ibunya masih saja sibuk menenangkan bayinya, berdiri dan mengayungkan anaknya dalam pelukannya. Ia berdiri di depan teve, di atas permadani merah yang bergambarkan macan. Di atas permadani banyak mainan anaknya yang berserakan bersama dengan remote teve. Ayahnya sudah terlelap dalam kamarnya, mengarungi dunia mimpi setelah seharian beraktivitas, dan sekarang saatnya ia merebahkan jasadnya yang lelah di atas kasur yang empuk, lembut bagaikan awan di langit.
Fitri beralih meninggalkan ibu dan adiknya. Ia menjauh, keluar dari ruang keluarga menuju taman depan rumah. Fitri yang masih sangat belia sudah paham bagaimana ia merasa tidak di sayangi lagi setelah kehadiran adiknya di dunia ini. Seakan-akan ia tidak pernah ridha dengan kehadir si bocah mungil itu dalam kehidupannya. Fitri merasa semua kasih sayang ibunya telah direnggut darinya.
 Ia merenung di bawah hamparan sinar rembulan yang indah. Ia kembali ke ayunan besi itu, menatap dalam rembulan dengan perasaan yang sendu. Riuh angin begitu jelas mengalun di telinganya, bersama suara dedaunan kering yang bejatuhan dan saling bertubrukkan, beradu dengan datangnya angin sepoi-sepoi.
Dalam diamnya ia seakan mendengar ada seseorang yang berbisik di telinga kirinya, seakan-akan memprovokasi dirinya untuk berontak terhadap ibunya. Tapi, ia tidak bisa karena ia sayang sama ibunya. Rembulan dan bintang-gemintang masih setia menemaninya. Berusaha menghiburnya agar ia tidak harus iri pada adiknya karena ibunya juga sayang sama dia. Tapi, Fitri belum begitu paham dengan semua ini.
"Bulan, apakah aku masih bisa mendapatkan kasih sayang ibuku?" Ia menengadah dan bertanya dalam hati, "wahai bintang, aku harus berbuat apa untuk mendapatkan kasih sayang ibuku?" Lanjutnya.
Dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang menjawab pertanyaannya itu. Menjawab apa yang harus ia lakukan.
"Kamu masih bisa mendapatkannya, dan kamu akan selalu mendapatkannya. Yakinlah akan itu!" Jawaban yang entah siapa yang berucap.
"Mungkin inilah jawaban dari sang rembulan?" Katanya dalam hati. "Lalu apa jawaban engkau wahai sang bintang? Aku ingin jawaban darimu?"
"Untuk mendapatkan kembali kasih sayang ibumu kamu harus menjadi seperti adikmu!" Jawab sang bintang kepada gadis yang merenung itu. Fitri sempat bingung dengan jawaban sang bintang.
"Wahai bintang yang berkelip-kelip di langit, aku tidak mengerti dengan yang kamu maksud?". Fitri kembali bertanya sambil menengadahkan tangannya ke langit biru nan indah.
"kamu dapat mendapatkan kasih sayang ibumu dengan cara, kamu harus seperti adikmu. Kamu bisa lihat ibumu, bagaimana dia menyayangi adikmu. Perhatikanlah adikmua saat dia bertingkah lucu, maka di situlah kamu bisa melihat bagaimana ibumu memberikan kasih sayang yang lebih." Sang bintang menjelaskan panjang lebar, seraya meyakinkan gadis berambut setengah panjang itu.
Fitri yang mendengar jawaban sang bintang hanya bisa mengangguk, seakan-akan ia telah paham dengan apa yang dikatakan oleh bintang itu. " iya, sekarang aku sudah paham," Fitri kembali mengangguk dan tersenyum manis pada sang bintang yang berada jauh dari tempat ia duduk, jauh di atas langit yang biru.
Fitri yang merasa sudah paham kembali masuk rumah, menuju ruang keluarga. Di sana ia melihat masih ada ibu dan adik yang larut dalam film korea yang ceritanya cukup menyedihkan. Gadis mungil itu berjalan secara perlahan. Langkah kakinya tak terdengar oleh ibunya, ia menghampiri adiknya yang sedang asyik bermain tepat di belakang ibunya.
Pikiran konyol itu mulai timbul di kepala Fitri. Pikiran yang mungkin menurut orang-orang ini sangatlah konyol. Ia salah terka terhadap apa yang di katakan sang bintang tadi, di pikirannya ia ingin menjadi seperti adiknya. Tapi, menjadi seperti adiknya itu tidak dengan melakukan tingkah lucu seperti yang di lakukan sang bayi. Melainkan ingin seutuhnya kembali menjadi bayi.
Gadis itu duduk di hadapan adiknya seraya mengatakan, "dik kita tukaran raga yuk kamu jadi aku. Aku jadi kamu!" Adiknya hanya memukul-mukul wajah Fitri, karena tidak paham dengan pemikiran konyol Fitri itu. Bocah itu ketawa dengan lucunya melihat sang kakak yang memohon. Mungkin ia menganggap ia sedang diajak bermain oleh Fitri. Fitri terus berusaha agar dia bisa seperti adiknya dan mendapatkan kembali kasih sayang ibunya.

Yogyakarta, 30 November 2013

  
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar