INGIN MENJADI BAYI
By: Enalk (D&D)
Malam ini langit cerah, dengan bulan purnama nan indah,
berkolaborasi dengan bintang-gemintang
yang tumpah ruah di dalamnya membentuk sebuah formasi nan menabjubkan. Rumah
itu masih terlihat lengang dengan penghuninya. Hanya ada seorang gadis yang
duduk di halaman rumah. Di atas ayunan yang terbuat dari besi, ia duduk menatap
keindahan langit malam itu, sambil menunggu kedua orangtuanya dan seoarang
adiknya yang masih bayi. Sesekali ayunan itu ia gerakkakn maju-mundur mengikuti
irama siulannya yang beradu dengan suara jangkrik yang nyaring. Matanya
menyipit tepat di bawah alisnya yang melengkung indah saat menatap rembulan.
Kedua sudut bibir tipisnya terangkat tepat di bawah hidung mancungnya, dan
membentuk sebuah lubang kecil di tengah-tengah pipinya. Kulit putihnya semakin
bercahaya saat terkena sinar bulan yang cukup menyilaukan mata. Rambut setengah
panjang yang dimilikinya tergerai tertiup angin sepoi-sepoi malam hari.
Menambah keelokan pada wajahnya.
Salah satu lengannya ia angkat menunjuk bintang yang
tumpah ruah di langit. Gadis itu menunjuk bintang yang paling terang, kemudian
menarik garis menghubungkan dengan bintang yang ada di sekitarnya, hingga
membentuk sebuah wajah tersenyum dan setangkai bunga mawar di dekatnya.
Lagi-lagi kedua sudut bibir tipis dan merah yang di milikinya terangkat
membentuk parabola yang indah, dengan gigi kelinci yang sedikit mengintip di
antara lengkungan itu.
Beberapa menit gadis itu bermain dengan langit, sebuah
cahaya terang menyilaukan penglihatannya dari arah pintu gerbang. Gadis itu
melindungi matanya dengan kesepuluh jarinya agar ia bisa melihat siapa yang
datang. Cahaya terang itu berasal dari mobil marcedes milik ayahnya.
"Ayah, Ibu. Sudah pulang," gadis dua belas
tahun itu lompat kegirangan dari ayunan melihat ayah-ibunya turun dari kedua
sisi pintu mobil hitam itu secara bersamaan.
"Sayang," panggil ayahnya sambil membentangkan
kedua lengannya menunggu anaknya akan dipeluk. Gadis itu berlari menghapiri
ayahnya.
Mereka berjalan bersama memasuki rumah mewah. Gadis itu
bersama ayahnya dan ibu bersama adik laki-lakinya.
Keluarga mereka bisa dibilang keluarga bahagia. Itu
terlihata dari kecerian dalam menghabiskan hari-harinya bersama keluarga.
Di dalam ruangan yang berukuran enam kali enam meter
persegi, mereka berkumpul di depan teve yang berukuran 21 inch jika kita
mendongak sedikit akan melihat sebuah jam dinding yang harganya lumayan mahal
untuk sebuah penunjuk waktu. Gadis mungil itu duduk pada sofa yang berwarna
coklat kemerah-merahan tepat di hadapan teve yang menyala. Ibu dan adiknya
melantai, bermain bersama, mengajarkan adiknya berjalan. Bocah yang berumur
satu tahun lebih itu terlihat lucu ketika berusaha berdiri dan berjalan
menghampiri ibunya. Lalu, ia terjatuh kembali dengan posisi telengkup. Tangis
pun meledak dari bocah lucu itu, dan ibunya justru menertawakannya karena
tinggkahnya yang lucu saat terjatuh. Sang ibu mendekat dan merangkul anaknya
yang masih merengek. Mungkin sang bayi mengerti bahwa dialah yang di tertawakan
oleh ibu dan kakaknya.
Tangis sang bocah makin kencang, tawa dari ibu dan
kakaknya juga makin menjadi-jadi dan sesekali ibunya menenangkannya.
"cup, cup, cup.. Anak ibu jangan nagis!" Sang
ibu menggendong anaknya dan mengayungkannya agar anaknya tidak merengek lagi.
Raut wajah Fitri berubah melihat perlakuan ibu terhadap adiknya. Yang tadinya
ceria kini berubah menjadi masam, cemberut, mendung bagai awan hitam di langit
yang ingin menumpahkan ribuan miliyar butir hujannya ke bumi. Begitulah
ekspresi wajah Fitri yang seakan iri kepada adiknya. Dalam hati Fitri berucap
sendu, "Ibu cuma sayang sama adik, sama aku tidak lagi." Ucapannya di
iringi bulir-bulir bening yang membasahi pipinya. Ibunya yang lagi asyik
menenagkan si bocah yang lagi merengek , tidak sadar diperhatikan oleh
putrinya.
Gadis itu memalingkan wajahnya dari pandangan ibunya, ia
menoleh ke kanan menatap dalam sebuah pas bunga yang terletak di atas meja
keramik tepat di samping sofa tempat ia duduk, dengan bulir-bulir bening yang
masih mengalir di pipinya. Dan sesekali ia menyeka hidungnya. Ibunya masih saja
sibuk menenangkan bayinya, berdiri dan mengayungkan anaknya dalam pelukannya.
Ia berdiri di depan teve, di atas permadani merah yang bergambarkan macan. Di
atas permadani banyak mainan anaknya yang berserakan bersama dengan remote
teve. Ayahnya sudah terlelap dalam kamarnya, mengarungi dunia mimpi setelah
seharian beraktivitas, dan sekarang saatnya ia merebahkan jasadnya yang lelah
di atas kasur yang empuk, lembut bagaikan awan di langit.
Fitri beralih meninggalkan ibu dan adiknya. Ia menjauh,
keluar dari ruang keluarga menuju taman depan rumah. Fitri yang masih sangat
belia sudah paham bagaimana ia merasa tidak di sayangi lagi setelah kehadiran
adiknya di dunia ini. Seakan-akan ia tidak pernah ridha dengan kehadir si bocah
mungil itu dalam kehidupannya. Fitri merasa semua kasih sayang ibunya telah
direnggut darinya.
Ia merenung di
bawah hamparan sinar rembulan yang indah. Ia kembali ke ayunan besi itu,
menatap dalam rembulan dengan perasaan yang sendu. Riuh angin begitu jelas
mengalun di telinganya, bersama suara dedaunan kering yang bejatuhan dan saling
bertubrukkan, beradu dengan datangnya angin sepoi-sepoi.
Dalam diamnya ia seakan mendengar ada seseorang yang
berbisik di telinga kirinya, seakan-akan memprovokasi dirinya untuk berontak
terhadap ibunya. Tapi, ia tidak bisa karena ia sayang sama ibunya. Rembulan dan
bintang-gemintang masih setia menemaninya. Berusaha menghiburnya agar ia tidak
harus iri pada adiknya karena ibunya juga sayang sama dia. Tapi, Fitri belum
begitu paham dengan semua ini.
"Bulan, apakah aku masih bisa mendapatkan kasih
sayang ibuku?" Ia menengadah dan bertanya dalam hati, "wahai bintang,
aku harus berbuat apa untuk mendapatkan kasih sayang ibuku?" Lanjutnya.
Dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang menjawab
pertanyaannya itu. Menjawab apa yang harus ia lakukan.
"Kamu masih bisa mendapatkannya, dan kamu akan
selalu mendapatkannya. Yakinlah akan itu!" Jawaban yang entah siapa yang
berucap.
"Mungkin inilah jawaban dari sang rembulan?"
Katanya dalam hati. "Lalu apa jawaban engkau wahai sang bintang? Aku ingin
jawaban darimu?"
"Untuk mendapatkan kembali kasih sayang ibumu kamu
harus menjadi seperti adikmu!" Jawab sang bintang kepada gadis yang
merenung itu. Fitri sempat bingung dengan jawaban sang bintang.
"Wahai bintang yang berkelip-kelip di langit, aku
tidak mengerti dengan yang kamu maksud?". Fitri kembali bertanya sambil
menengadahkan tangannya ke langit biru nan indah.
"kamu dapat mendapatkan kasih sayang ibumu dengan
cara, kamu harus seperti adikmu. Kamu bisa lihat ibumu, bagaimana dia
menyayangi adikmu. Perhatikanlah adikmua saat dia bertingkah lucu, maka di
situlah kamu bisa melihat bagaimana ibumu memberikan kasih sayang yang
lebih." Sang bintang menjelaskan panjang lebar, seraya meyakinkan gadis
berambut setengah panjang itu.
Fitri yang mendengar jawaban sang bintang hanya bisa
mengangguk, seakan-akan ia telah paham dengan apa yang dikatakan oleh bintang
itu. " iya, sekarang aku sudah paham," Fitri kembali mengangguk dan
tersenyum manis pada sang bintang yang berada jauh dari tempat ia duduk, jauh
di atas langit yang biru.
Fitri yang merasa sudah paham kembali masuk rumah, menuju
ruang keluarga. Di sana ia melihat masih ada ibu dan adik yang larut dalam film
korea yang ceritanya cukup menyedihkan. Gadis mungil itu berjalan secara
perlahan. Langkah kakinya tak terdengar oleh ibunya, ia menghampiri adiknya
yang sedang asyik bermain tepat di belakang ibunya.
Pikiran konyol itu mulai timbul di kepala Fitri. Pikiran
yang mungkin menurut orang-orang ini sangatlah konyol. Ia salah terka terhadap
apa yang di katakan sang bintang tadi, di pikirannya ia ingin menjadi seperti
adiknya. Tapi, menjadi seperti adiknya itu tidak dengan melakukan tingkah lucu
seperti yang di lakukan sang bayi. Melainkan ingin seutuhnya kembali menjadi
bayi.
Gadis itu duduk di hadapan adiknya seraya mengatakan,
"dik kita tukaran raga yuk kamu jadi aku. Aku jadi kamu!" Adiknya
hanya memukul-mukul wajah Fitri, karena tidak paham dengan pemikiran konyol
Fitri itu. Bocah itu ketawa dengan lucunya melihat sang kakak yang memohon.
Mungkin ia menganggap ia sedang diajak bermain oleh Fitri. Fitri terus berusaha
agar dia bisa seperti adiknya dan mendapatkan kembali kasih sayang ibunya.
Yogyakarta, 30 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar