Senin, 30 Desember 2013

Membaca Konflik Sunni-Syi’ah di Timur Tengah



Membaca Konflik Sunni-Syi’ah di Timur Tengah
Ahmad Sahide

            Kabar dari Hawija, Irak Utara, terkait tewasnya lebih dari 50 orang  dari pengunjuk rasa Muslim Sunni (Kompas, 25/04/2013) menjadi bukti yang tak terbantahkan bahwa salah satu konflik yang berkepanjangan serta mewarnai di kawasan kaya minyak ini adalah perbedaan aliran Sunni dan Syi’ah. Konflik Sunni dan Syi’ah yang benih-benihnya tumbuh setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dan mulai menjadi konflik antarpemerintahan pada abad ke-X M, yaitu ketika Dinasti Fatimiah (Syi’ah) yang mulai menyerang Dinasti Umayah II (Sunni) di Spanyol. Konflik ini berkepanjangan dan berlangsung hingga sekarang, baik itu konflik antarkelompok masyarakat (Syi’ah atau Sunni) dengan pemerintah atau konflik antarpemerintahan yang menganut Sunni dan Syi’ah. Bahkan Sunni-Syi’ah turut mewarnai konflik yang terjadi di Timur Tengah pasca-The Arab Spring, yang berawal dari Tunisia, juga di awal tahun 2011 lalu.

Kelompok masyarakat dengan rezim
            Apa yang terjadi dari Hawija belum lama ini adalah akibat dari ‘kebencian lama’ yang dibangun oleh Saddam Hussein ketika berkuasa. Di era Saddam, yang menganut Islam Sunni, kelompok Syi’ah, yang jumlahnya kurang lebib 60%, dibantai habis oleh Saddam karena dianggap berpihak pada Iran dalam Perang Teluk. Bahkan pada tahun 1980, pemimpin umat Syi’ah Irak, Imam Ayatullah Baqir al-Shadr, dihukum mati bersama keluarga dan pengikutnya (Sihbudi, 1991).
            Setelah Amerika Serikat (AS) menginvasi Irak pada tahun 2003 lalu, rezim Saddam pun, yang dicap sebagai pemimpin tiran, berakhir dan bergulirlah demokratisasi. Sunni yang berkuasa penuh pada era Saddam berlahan-lahan tersingkir dari pusat kekuasaan. Hawija, yang dulunya dianakemaskan oleh Saddam, kini menghadapi alur sejarah yang berkebalikan. Hawija merasa dianaktirikan oleh PM Nouri al-Maliki yang Syi’ah (Kompas, 25/04/2013).
Tesis Jack Snyder tepat dalam melihat perkembangan demokratisasi di Irak saat ini bahwa demokratisasi sekedar mencerminkan  cita-cita kelompok rakyat  tertentu yang sudah lama terbentuk, yang tidak cocok dengan cita-cita kelompok rakyat yang lain. Argumen “kebencian lama” merupakan salah satu bentuk wawasan “persaingan antar-kelompok rakyat” (Snyder, 2003: 22-23). Perlakuan sebagai anak tiri bagi warga Hawija (yang mayoritas Sunni) oleh PM Nouri al-Maliki sepertinya tidak bisa lepas dari argumen ‘kebencian lama’ tersebut. Snyder menambahkan bahwa demokratisasi (pemilihan umum) sekedar menjadi sensus dan bukan proses permusyawaratan. Demokratisasi, dengan nasionlisme SARA, akan cenderung menghasilkan tirani mayoritas atau pertarungan hidup-mati antara kelompok SARA yang sama-sama menghendaki negara buat kelompok sendiri.
Konflik Sunni (rezim) dan Syi’ah, sebagai kelompok masyarakat ini, tidak hanya terjadi di Irak. Ia terjadi di beberapa negara Timur Tengah lainnya, seperti di Arab Saudi.

Konflik antarnegara

            Konflik Sunni dan Syi’ah ini juga turut mewarnai hubungan antarnegara yang dipimpin oleh kelompok Sunni dan negara yang dipimpin oleh kelompok Syi’ah. Sudah menjadi wacana umum bahwa Perang Teluk antara Iran dengan Irak pada tahun 1980-1988 tidak terlepas dari perbedaan aliran Sunni dan Syi’ah. Di atas telah disinggung bahwa Irak adalah negara yang mayoritas Syi’ah tetapi dipimpin oleh Saddah Hussein yang Sunni. Oleh karena itu, tidak lama setelah revolusi Islam Iran meletus pada tahun 1979, di mana Imam Khomeini dianggap akan mengekspor Islam Syi’ahnya ke negara-negara lain di kawasan tersebut, meletuslah Perang Teluk Iran-Irak. Sebagaimana seruan Khomeini yang menginginkan Islam dari Lebanon, Sudan, Aljazair, Mesir, Afganistan, Kashmir, dan dari titik penjuru dunia yang dipengaruhi oleh Revolusi Islam Iran (Lakza’i, 2010: 174).
Negara-negara yang dipimpin oleh kelompok Sunni pun berusaha menghentikan upaya tokoh spiritual Iran tersebut. Maka, dalam perang Iran-Irak, negara-negara yang dipimpin kelompok Sunni berdiri di belakang Irak, seperti Mesir, Yordania, negara-negara Gulf Cooperation Council, Yaman, dan Maroko. Hubungan diplomatik antara Iran dan Mesir (yang mayoritas Sunni, 90%) juga terputus sejak meledaknya Revolusi Islam (Syi’ah) Iran. Hubungan Iran dan Arab Saudi juga tidak harmonis, bahkan hingga sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan aliran dalam Islam (Sunni dan Syi’ah) memiliki pengaruh yang sangat besar dalam hubungan internasional di kawasan Timur Tengah.

Pasca-The Arab Spring

            Musim Semi Arab atau juga dikenal dengan istilah The Arab Spring merupakan bahasa politik baru dalam dunia Islan. Bahasa politik yang menunjukkan kejatuhan berderet pemimpin-pemimpin otoriter di dunia Arab, dimulai dari Tunisia, yang merambat ke Mesir kemudian menyeberang ke Libya. Kelanjutan sejarah konflik Sunni dan Syi’ah turut mewarnai Musim Semi Arab tersebut. Yang menarik dicermati adalah konflik Suriah yang belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Dalam konflik ini, Sunni dan Syi’ah turut mewarnai. Kita semua tahu bahwa Bashar al-Assad adalah pemimpin dari kelompok Syi’ah Alawiyah. Oleh karena itu, negara-negara yang dipimpin oleh kelompok Sunni terus menekan Assad untuk mundur, seperti Mesir, Arab Saudi, dan Negara-negara Teluk lainnya (dan mendapat dukungan politik dari Barat). Berbeda halnya dengan Iran yang Syi’ah, Iran sejauh ini selalu setia memasang badan dalam memberikan dukungan politik kepada Bashar al-Assad (juga mendapatkan dukungan dari China dan Rusia). Tekanan dan dukungan kepada Assad ini tidak lepas dari aliran Sunni dan Syi’ah. Itulah potret Sunni dan Syi’ah yang terus mewarnai konflik kawasan kilang minyak tersebut, dari dulu hingga sekarang.
Ahmad Sahide
Mahasiswa Program Doktor
Kajian Timur Tengah
Sekolah Pascasarjana, UGM
Yogyakarta, 27 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar