Membaca Konflik
Sunni-Syi’ah di Timur Tengah
Ahmad Sahide
Kabar dari Hawija, Irak Utara,
terkait tewasnya lebih dari 50 orang
dari pengunjuk rasa Muslim Sunni (Kompas, 25/04/2013) menjadi
bukti yang tak terbantahkan bahwa salah satu konflik yang berkepanjangan serta
mewarnai di kawasan kaya minyak ini adalah perbedaan aliran Sunni dan Syi’ah.
Konflik Sunni dan Syi’ah yang benih-benihnya tumbuh setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW, dan mulai menjadi konflik antarpemerintahan pada abad ke-X M,
yaitu ketika Dinasti Fatimiah (Syi’ah) yang mulai menyerang Dinasti Umayah II
(Sunni) di Spanyol. Konflik ini berkepanjangan dan berlangsung hingga sekarang,
baik itu konflik antarkelompok masyarakat (Syi’ah atau Sunni) dengan pemerintah
atau konflik antarpemerintahan yang menganut Sunni dan Syi’ah. Bahkan
Sunni-Syi’ah turut mewarnai konflik yang terjadi di Timur Tengah pasca-The
Arab Spring, yang berawal dari Tunisia, juga di awal tahun 2011 lalu.
Kelompok
masyarakat dengan rezim
Apa yang terjadi dari Hawija belum
lama ini adalah akibat dari ‘kebencian lama’ yang dibangun oleh Saddam Hussein
ketika berkuasa. Di era Saddam, yang menganut Islam Sunni, kelompok Syi’ah,
yang jumlahnya kurang lebib 60%, dibantai habis oleh Saddam karena dianggap
berpihak pada Iran dalam Perang Teluk. Bahkan pada tahun 1980, pemimpin umat
Syi’ah Irak, Imam Ayatullah Baqir al-Shadr, dihukum mati bersama keluarga dan
pengikutnya (Sihbudi, 1991).
Setelah Amerika Serikat (AS)
menginvasi Irak pada tahun 2003 lalu, rezim Saddam pun, yang dicap sebagai
pemimpin tiran, berakhir dan bergulirlah demokratisasi. Sunni yang berkuasa
penuh pada era Saddam berlahan-lahan tersingkir dari pusat kekuasaan. Hawija,
yang dulunya dianakemaskan oleh Saddam, kini menghadapi alur sejarah yang
berkebalikan. Hawija merasa dianaktirikan oleh PM Nouri al-Maliki yang Syi’ah (Kompas,
25/04/2013).
Tesis Jack Snyder tepat dalam melihat perkembangan demokratisasi di
Irak saat ini bahwa demokratisasi sekedar mencerminkan cita-cita kelompok rakyat tertentu yang sudah lama terbentuk, yang
tidak cocok dengan cita-cita kelompok rakyat yang lain. Argumen “kebencian
lama” merupakan salah satu bentuk wawasan “persaingan antar-kelompok rakyat”
(Snyder, 2003: 22-23). Perlakuan sebagai anak tiri bagi warga Hawija (yang
mayoritas Sunni) oleh PM Nouri al-Maliki sepertinya tidak bisa lepas dari
argumen ‘kebencian lama’ tersebut. Snyder menambahkan bahwa demokratisasi
(pemilihan umum) sekedar menjadi sensus dan bukan proses permusyawaratan.
Demokratisasi, dengan nasionlisme SARA, akan cenderung menghasilkan tirani
mayoritas atau pertarungan hidup-mati antara kelompok SARA yang sama-sama
menghendaki negara buat kelompok sendiri.
Konflik Sunni (rezim) dan Syi’ah, sebagai kelompok masyarakat ini,
tidak hanya terjadi di Irak. Ia terjadi di beberapa negara Timur Tengah
lainnya, seperti di Arab Saudi.
Konflik antarnegara
Konflik Sunni dan Syi’ah ini juga
turut mewarnai hubungan antarnegara yang dipimpin oleh kelompok Sunni dan
negara yang dipimpin oleh kelompok Syi’ah. Sudah menjadi wacana umum bahwa
Perang Teluk antara Iran dengan Irak pada tahun 1980-1988 tidak terlepas dari
perbedaan aliran Sunni dan Syi’ah. Di atas telah disinggung bahwa Irak adalah
negara yang mayoritas Syi’ah tetapi dipimpin oleh Saddah Hussein yang Sunni.
Oleh karena itu, tidak lama setelah revolusi Islam Iran meletus pada tahun
1979, di mana Imam Khomeini dianggap akan mengekspor Islam Syi’ahnya ke
negara-negara lain di kawasan tersebut, meletuslah Perang Teluk Iran-Irak.
Sebagaimana seruan Khomeini yang menginginkan Islam dari Lebanon, Sudan,
Aljazair, Mesir, Afganistan, Kashmir, dan dari titik penjuru dunia yang
dipengaruhi oleh Revolusi Islam Iran (Lakza’i, 2010: 174).
Negara-negara yang dipimpin oleh kelompok Sunni pun berusaha
menghentikan upaya tokoh spiritual Iran tersebut. Maka, dalam perang Iran-Irak,
negara-negara yang dipimpin kelompok Sunni berdiri di belakang Irak, seperti
Mesir, Yordania, negara-negara Gulf Cooperation Council, Yaman,
dan Maroko. Hubungan diplomatik antara Iran dan Mesir (yang mayoritas Sunni,
90%) juga terputus sejak meledaknya Revolusi Islam (Syi’ah) Iran. Hubungan Iran
dan Arab Saudi juga tidak harmonis, bahkan hingga sekarang. Hal ini menunjukkan
bahwa perbedaan aliran dalam Islam (Sunni dan Syi’ah) memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam hubungan internasional di kawasan Timur Tengah.
Pasca-The Arab Spring
Musim Semi Arab atau juga dikenal
dengan istilah The Arab Spring merupakan bahasa politik baru dalam dunia
Islan. Bahasa politik yang menunjukkan kejatuhan berderet pemimpin-pemimpin
otoriter di dunia Arab, dimulai dari Tunisia, yang merambat ke Mesir kemudian
menyeberang ke Libya. Kelanjutan sejarah konflik Sunni dan Syi’ah turut
mewarnai Musim Semi Arab tersebut. Yang menarik dicermati adalah konflik Suriah
yang belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Dalam konflik ini, Sunni dan
Syi’ah turut mewarnai. Kita semua tahu bahwa Bashar al-Assad adalah pemimpin
dari kelompok Syi’ah Alawiyah. Oleh karena itu, negara-negara yang dipimpin
oleh kelompok Sunni terus menekan Assad untuk mundur, seperti Mesir, Arab
Saudi, dan Negara-negara Teluk lainnya (dan mendapat dukungan politik dari
Barat). Berbeda halnya dengan Iran yang Syi’ah, Iran sejauh ini selalu setia
memasang badan dalam memberikan dukungan politik kepada Bashar al-Assad (juga
mendapatkan dukungan dari China dan Rusia). Tekanan dan dukungan kepada Assad
ini tidak lepas dari aliran Sunni dan Syi’ah. Itulah potret Sunni dan Syi’ah
yang terus mewarnai konflik kawasan kilang minyak tersebut, dari dulu hingga
sekarang.
Ahmad
Sahide
Mahasiswa
Program Doktor
Kajian
Timur Tengah
Sekolah
Pascasarjana, UGM
Yogyakarta,
27 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar