DI BAWAH KEKUASAAN
MONYET
By: Enalk (D&D)
Kota itu terlihat sangat ramai dengan penduduk, terletak
di tengah-tengah pulau, dikelilingi hutan yang hijau nan sejuk. Jika kita lihat
dari atas, kota itu sangat unik karena letaknya yang tapat di tengah-tengah,
namun sangat ramai dengan penduduk. Kota yang dipimpin seorang raja yang
bijaksana, pemimpin yang yang bisa menjadi bagian dari rakyatnya. Ia tidak
memposisikan dirinya sebagai seorang raja, melainkan sebagai bagian dari
rakyatnya.
Selama ia memegang tanggung jawab sebagai seorang raja.
Tidak pernah terdengar kabar yang miring tentang kota yang dipimpinnya.
Kehidupan penduduknya damai, bagaikan di taman surgawi. Pemimpin yang sangat
karismatik itu kehidupannya sederhana. Tapi, ia tetap tinggal dalam sebuah
bangunan mewah, tempat bagi orang yang menjabat sebagai raja.
Pemimpin yang berperawakan tegap, alis yang indah tepat
di atas matanya yang indah. Rambut yang kekuning-kuningan. Menciptakan sebuah
keindahan bulan di kedua bola matanya yang bersinar. Pakaian yang sederhana.
Sama dengan apa yang dikenakan rakyatnya. Namun, sebagai seorang raja ia juga
tinggal di dalam istana yang besar dengan singgasana yang yang terbuat dari
emas. Dengan karpet merah yang terbentang panjang di depan tangga
singgasananya. Di tengah-tengah ruangan ada sebuah lampu hias yang indah. Yang
senantiasa menyinari seantero ruangan.
Hari ini sang raja mengeluarkan sebuah perintah.
Mengumpulkan semua rakyatnya, memerintahkan bergotong royong membersihkan balai
kota.
"Prajurit! Sampaikan perkataanku ini kepada
rakyatku, bahwasanya hari ini kita akan melakukan pembersihan kota!"
Dengan nada suara yang lembut sambil memegang pundak sang prajurit yang sedari
tadi menunndukkan kepala, sebagai rasa hormatnya kepada orang yang berbicara di
hadapannya.
"Baik Raja." ia dengan tegas menjawab dan tetap
menunduk serta berjalan mundur menjauh dari hadapan penguasa kota. Kemudian
berbalik badan membelakangi pria karismatik itu. Raja yang sedari tadi berdiri
di depan daun jendela dan melingkarkan tangan kanannya kebelakang, sedang
tangan kirinya mengusap jenggot yang tumbuh panjang dan lebat, dengan sorot
mata yang tajam memandang kotanya dari ketinggian. Di bawah terpaan sinar
mentari dan angin sepoi-sepoi yang membuat selendang yang dikenakannya terbang
mengikuti arah ke mana angin akan berhenti.
Sang prajurit kembali menghadap pemimpinnya yang masih berada
di daun jendela.
"Hormat hamba Paduka." Katanya dengan nada
suara tegas, sambil membunggkuk dan menagkupkan kedua tangangnya.
"Bagaimana? Kamu sudah beritahukan ke seluruh rakyat
kota?"
"Seluruh rakyat telah berada di balai kota,
Paduka!"
Orang yang sangat berwibawa itu berbalik dan berjalan
menuju prajuritnya. "Ayo kita berangkat ke balai kota!" Katanya
dengan santun sambil memegang pundak prajuritnya dan melanjutkan lankahnya.
Prajurit yang berseragam lengkap ala kerajaan, dengan penutup kepala seadanya
itu terbelalak mendengar perkataan pemimpinnya yang akan ikut serta dengan
rakyatnya ke balai kota.
***
Langit begitu
indah pagi ini. Embun-embun masih setia berada di kelopak bunga. Kicau burung
mengiringi perjalanan raja menuju balai kota yang tidak jauh dari kediamannya.
Riak-riak dedaunan mengalun indah di gendang telinga raja saat di terpa angin
sepoi-sepoi.
Beberapa menit perjalan menggunakan tunggangan berkaki
empat, raja dan para prajuritnya sampai di balai kota, di sebuah lahan yang
cukup luas untuk menampung seluruh jajaran orang-orang yang ada di sana.
Rombongan raja disambut dengan gembira oleh rakyatnya. Mereka menunndukkan
kepala, sebagai tanda penghormatan.
"Wahai rakyatku, janganlah kalian menundukkan kepala
saat berada di hadapanku, karena aku sama seperti kalian. Aku bukan Tuhan, aku
hanyalah manusia biasa." Katanya dengan suara lantang.
Tidak ada jawaban dari orang-orang yang sedang berkumpul
di hadapannya. Ia hanya mendengar gumam orang-orang yang memujinya. Lama mereka
terdiam salah seorang dari mereka berucap pada orang yang ada di hadapannya,
sedang menunggangi kuda.
"Maaf paduka, bukannya aku lancang. Tapi, tidak
seharusnya seorang raja ikut serta dengan kami!" Katanya sambil menghela
napas panjang. "Kenapa Paduka raja lebih memilih ikut dengan kami dan
meninggalkan singgasanamu?" Lanjutnya mempertanyakan kepada rajanya.
Raja itu hanya tersenyum dan berkata, "bagiku itu
hanyalah kursi yang terbuat dari emas yang tidak ada gunanya, ketika aku cuma
duduk berdiam di atasnya."
Lagi-lagi tidak ada jawaban dari orang-orang yang
berkumpul bak segerembolan semut yang berparade membuat sarang mereka.
***
Lama mereka melakukan aktivitas yang diperintahkan oleh
orang yang mereka hormati, sebuah musibah menimpa kota mereka. Musibah yang
akan menghacurkan kelangsungan hidup mereka, akan merenggut kesejahteraan yang
meraka sudah dapatkan. Keceriaan mereka akan hilang, raut wajah yang tiap harinya
berseri-seri tanpa beban akan berbalik seratus delapan puluh derajat.
Misibah itu datang saat mereka sedang istirahat, mereka
sibuk mencari tempat untuk menyandarkan tubuh mereka. Mereka tidak menyadari
bahwa rajanya telah hilang di tengah-tengah mereka. Rajanya hilang bak ditelan
bumi, menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak.
Matahari menyelinap, sembunyi di balik bukit menyisakan
warna kekuning-kuningan di awan putih yang lembut. Sang mentari menghilang,
sang rembulan pun mulai menampakkan wujudnya di ufuk timur sana. Tapi, sang
raja juga belum ditemukan. Orang-orang masih sibuk mencari ke santero kota
tetapi hasilnya tetap nihil.
Orang-orang itu mencari kedalam hutan belantara.
Berjibaku dengan kegelapan malam yang pekat, serta pohon-pohon yang rindang.
Menjajali lumpur-lumpur. Tapi, itu tidak mengurunkan semangat mereka mencari
pemimpinnya.
Semuanya berjalan mengarungi kegelapan malam di antara
pohon-pohon untuk pulang, mereka akan melanjutkannya esok hari. Tapi, dalam
perjalanan mereka pulang orang-orang ini dikagetkan dengan sorotan mata yang
menyala dari atas pohon. Langkah mereka terhenti, kakinya bergetar, keringat
dingin sudah membasahi tubuhnya. Di sinilah penderitaan mereka akan di mulai.
Rakyat yang sedang mencari keberadaan pemimpinnya dibantai habis-habisan oleh
makhluk misterius itu. tapi, ada satu dari mereka yang sempat meloloskan diri.
Mengadukan kejadian ini pada rakyat dan prajurit kerajaan.
***
Keesokan harinya mereka kembali mencari. Namum, mereka
belum berangkat sekerombolan monyet menyerang kota dan menghancurkan semua yang
ada di hadapannya. Monyet-monyet itu mengambil alih kekuasaan di kota. Sang
raja disangra oleh komplotan monyet itu. Rakyat disiksa, melakukan semua
perintah dari raja monyet. Sekarang kota dipenuhi dengan monyet yang menjajah
kota mereka.
Raja monyet mengambil alih singgasana raja, mahkota, dan
menguasai istana. Raja yang kini dipenjarakan di penjara bawah tanah tidak bisa
berbuat apa-apa lagi, hanya bisa telengkup di sudut bangunan penjara.
"Wahai manusia-manusia yang tidak punya hati kini
kalian ada dalam kekuasaanku. Siapa yang berani melawan maka ia akan kehilangan
nyawanya!" Sahut sang raja monyet kepada rakyat kota. Tidak ada yang bisa
berbuat apa-apa. Rakyat kota hanya diam tanpa kata, hati mereka dipenuhi dengan
rasa takut.
Lama orang-orang itu terdiam mendengar ancaman dari raja
monyet. Kemudian salah satu dari gerombolan orang-orang yang ketakutan
memberanikan keluar dari kerumunan manusia-manusia yang senasib dengannya, yang
harus menerima kenyataan dijajah oleh monyet. Keluar menunjuk ke arah wajah
garang monyet yang berbadan besar, dengan mengenakan pakaian ala manusia pada
umumnya. Seraya menunjuk dan berkata.
"Kami tidak akan tunduk padamu, lebih baik kami mati
dari pada harus terjajah olehmu." Ucapnya lantang.
"Door." Suara tembakan terdengar dan
sebutir peluru menembus tepat di tengah-tengah kepalanya di antar kedua alisnya
yang lebat. Laki-laki berkumis itu lansung tergeletak tak berdaya di hadapan
orang banyak. Orang-orang yang ada di sana semakin takut, anak-anak dipeluk
ibunya sambil menangis ketakutan. Lutut mereka bergetar, seakan semua sendinya
kaku.
"Hahaha." Raja monyet dan prajuritnya
tertawa dan berkata. "Masih ada yang ingin melawan? Maka, nasibnya akan
sama dangan orang ini!" Katanya dengan mata yang melotot dan menodongkan
senjata ke arah orang-orang.
***
Bertahun-tahun mereka dalam keterpurukan, tidak pernah
lagi mendapatkan kesejahteraan setelah kota mereka dikuasai oleh monyet-monyet
biadap itu. Rakyat kota dipekerjakan sebagai buruh di kotanya sendiri. Mereka
harus menjalani siksaan ini dari para penjajah.
Mereka merindukan kotanya yang dulu. Kota yang nyaman,
tenteram, dan damai. Tapi kini semuanya telah sirna sudah, semua itu hanyalah
sebuah angan-angan semata yang tidak akan terwujud lagi, karena kota menjadi
kota jajahan monyet yang biadab.
Yogyakarta, 08 Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar