Senin, 30 Desember 2013

DI BAWAH KEKUASAAN MONYET



DI BAWAH KEKUASAAN MONYET
By: Enalk (D&D)

Kota itu terlihat sangat ramai dengan penduduk, terletak di tengah-tengah pulau, dikelilingi hutan yang hijau nan sejuk. Jika kita lihat dari atas, kota itu sangat unik karena letaknya yang tapat di tengah-tengah, namun sangat ramai dengan penduduk. Kota yang dipimpin seorang raja yang bijaksana, pemimpin yang yang bisa menjadi bagian dari rakyatnya. Ia tidak memposisikan dirinya sebagai seorang raja, melainkan sebagai bagian dari rakyatnya.
Selama ia memegang tanggung jawab sebagai seorang raja. Tidak pernah terdengar kabar yang miring tentang kota yang dipimpinnya. Kehidupan penduduknya damai, bagaikan di taman surgawi. Pemimpin yang sangat karismatik itu kehidupannya sederhana. Tapi, ia tetap tinggal dalam sebuah bangunan mewah, tempat bagi orang yang menjabat sebagai raja.
Pemimpin yang berperawakan tegap, alis yang indah tepat di atas matanya yang indah. Rambut yang kekuning-kuningan. Menciptakan sebuah keindahan bulan di kedua bola matanya yang bersinar. Pakaian yang sederhana. Sama dengan apa yang dikenakan rakyatnya. Namun, sebagai seorang raja ia juga tinggal di dalam istana yang besar dengan singgasana yang yang terbuat dari emas. Dengan karpet merah yang terbentang panjang di depan tangga singgasananya. Di tengah-tengah ruangan ada sebuah lampu hias yang indah. Yang senantiasa menyinari seantero ruangan.
Hari ini sang raja mengeluarkan sebuah perintah. Mengumpulkan semua rakyatnya, memerintahkan bergotong royong membersihkan balai kota.
"Prajurit! Sampaikan perkataanku ini kepada rakyatku, bahwasanya hari ini kita akan melakukan pembersihan kota!" Dengan nada suara yang lembut sambil memegang pundak sang prajurit yang sedari tadi menunndukkan kepala, sebagai rasa hormatnya kepada orang yang berbicara di hadapannya.
"Baik Raja." ia dengan tegas menjawab dan tetap menunduk serta berjalan mundur menjauh dari hadapan penguasa kota. Kemudian berbalik badan membelakangi pria karismatik itu. Raja yang sedari tadi berdiri di depan daun jendela dan melingkarkan tangan kanannya kebelakang, sedang tangan kirinya mengusap jenggot yang tumbuh panjang dan lebat, dengan sorot mata yang tajam memandang kotanya dari ketinggian. Di bawah terpaan sinar mentari dan angin sepoi-sepoi yang membuat selendang yang dikenakannya terbang mengikuti arah ke mana angin akan berhenti.
Sang prajurit kembali menghadap pemimpinnya yang masih berada di daun jendela.
"Hormat hamba Paduka." Katanya dengan nada suara tegas, sambil membunggkuk dan menagkupkan kedua tangangnya.
"Bagaimana? Kamu sudah beritahukan ke seluruh rakyat kota?"
"Seluruh rakyat telah berada di balai kota, Paduka!"
Orang yang sangat berwibawa itu berbalik dan berjalan menuju prajuritnya. "Ayo kita berangkat ke balai kota!" Katanya dengan santun sambil memegang pundak prajuritnya dan melanjutkan lankahnya. Prajurit yang berseragam lengkap ala kerajaan, dengan penutup kepala seadanya itu terbelalak mendengar perkataan pemimpinnya yang akan ikut serta dengan rakyatnya ke balai kota.
***
 Langit begitu indah pagi ini. Embun-embun masih setia berada di kelopak bunga. Kicau burung mengiringi perjalanan raja menuju balai kota yang tidak jauh dari kediamannya. Riak-riak dedaunan mengalun indah di gendang telinga raja saat di terpa angin sepoi-sepoi.
Beberapa menit perjalan menggunakan tunggangan berkaki empat, raja dan para prajuritnya sampai di balai kota, di sebuah lahan yang cukup luas untuk menampung seluruh jajaran orang-orang yang ada di sana. Rombongan raja disambut dengan gembira oleh rakyatnya. Mereka menunndukkan kepala, sebagai tanda penghormatan.
"Wahai rakyatku, janganlah kalian menundukkan kepala saat berada di hadapanku, karena aku sama seperti kalian. Aku bukan Tuhan, aku hanyalah manusia biasa." Katanya dengan suara lantang.
Tidak ada jawaban dari orang-orang yang sedang berkumpul di hadapannya. Ia hanya mendengar gumam orang-orang yang memujinya. Lama mereka terdiam salah seorang dari mereka berucap pada orang yang ada di hadapannya, sedang menunggangi kuda.
"Maaf paduka, bukannya aku lancang. Tapi, tidak seharusnya seorang raja ikut serta dengan kami!" Katanya sambil menghela napas panjang. "Kenapa Paduka raja lebih memilih ikut dengan kami dan meninggalkan singgasanamu?" Lanjutnya mempertanyakan kepada rajanya.
Raja itu hanya tersenyum dan berkata, "bagiku itu hanyalah kursi yang terbuat dari emas yang tidak ada gunanya, ketika aku cuma duduk berdiam di atasnya."
Lagi-lagi tidak ada jawaban dari orang-orang yang berkumpul bak segerembolan semut yang berparade membuat sarang mereka.
***
Lama mereka melakukan aktivitas yang diperintahkan oleh orang yang mereka hormati, sebuah musibah menimpa kota mereka. Musibah yang akan menghacurkan kelangsungan hidup mereka, akan merenggut kesejahteraan yang meraka sudah dapatkan. Keceriaan mereka akan hilang, raut wajah yang tiap harinya berseri-seri tanpa beban akan berbalik seratus delapan puluh derajat.
Misibah itu datang saat mereka sedang istirahat, mereka sibuk mencari tempat untuk menyandarkan tubuh mereka. Mereka tidak menyadari bahwa rajanya telah hilang di tengah-tengah mereka. Rajanya hilang bak ditelan bumi, menghilang begitu saja tanpa meninggalkan jejak.
Matahari menyelinap, sembunyi di balik bukit menyisakan warna kekuning-kuningan di awan putih yang lembut. Sang mentari menghilang, sang rembulan pun mulai menampakkan wujudnya di ufuk timur sana. Tapi, sang raja juga belum ditemukan. Orang-orang masih sibuk mencari ke santero kota tetapi hasilnya tetap nihil.
Orang-orang itu mencari kedalam hutan belantara. Berjibaku dengan kegelapan malam yang pekat, serta pohon-pohon yang rindang. Menjajali lumpur-lumpur. Tapi, itu tidak mengurunkan semangat mereka mencari pemimpinnya.
Semuanya berjalan mengarungi kegelapan malam di antara pohon-pohon untuk pulang, mereka akan melanjutkannya esok hari. Tapi, dalam perjalanan mereka pulang orang-orang ini dikagetkan dengan sorotan mata yang menyala dari atas pohon. Langkah mereka terhenti, kakinya bergetar, keringat dingin sudah membasahi tubuhnya. Di sinilah penderitaan mereka akan di mulai. Rakyat yang sedang mencari keberadaan pemimpinnya dibantai habis-habisan oleh makhluk misterius itu. tapi, ada satu dari mereka yang sempat meloloskan diri. Mengadukan kejadian ini pada rakyat dan prajurit kerajaan.
***
Keesokan harinya mereka kembali mencari. Namum, mereka belum berangkat sekerombolan monyet menyerang kota dan menghancurkan semua yang ada di hadapannya. Monyet-monyet itu mengambil alih kekuasaan di kota. Sang raja disangra oleh komplotan monyet itu. Rakyat disiksa, melakukan semua perintah dari raja monyet. Sekarang kota dipenuhi dengan monyet yang menjajah kota mereka.
Raja monyet mengambil alih singgasana raja, mahkota, dan menguasai istana. Raja yang kini dipenjarakan di penjara bawah tanah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, hanya bisa telengkup di sudut bangunan penjara.
"Wahai manusia-manusia yang tidak punya hati kini kalian ada dalam kekuasaanku. Siapa yang berani melawan maka ia akan kehilangan nyawanya!" Sahut sang raja monyet kepada rakyat kota. Tidak ada yang bisa berbuat apa-apa. Rakyat kota hanya diam tanpa kata, hati mereka dipenuhi dengan rasa takut.  
Lama orang-orang itu terdiam mendengar ancaman dari raja monyet. Kemudian salah satu dari gerombolan orang-orang yang ketakutan memberanikan keluar dari kerumunan manusia-manusia yang senasib dengannya, yang harus menerima kenyataan dijajah oleh monyet. Keluar menunjuk ke arah wajah garang monyet yang berbadan besar, dengan mengenakan pakaian ala manusia pada umumnya. Seraya menunjuk dan berkata.
"Kami tidak akan tunduk padamu, lebih baik kami mati dari pada harus terjajah olehmu." Ucapnya lantang.
"Door." Suara tembakan terdengar dan sebutir peluru menembus tepat di tengah-tengah kepalanya di antar kedua alisnya yang lebat. Laki-laki berkumis itu lansung tergeletak tak berdaya di hadapan orang banyak. Orang-orang yang ada di sana semakin takut, anak-anak dipeluk ibunya sambil menangis ketakutan. Lutut mereka bergetar, seakan semua sendinya kaku.
"Hahaha." Raja monyet dan prajuritnya tertawa dan berkata. "Masih ada yang ingin melawan? Maka, nasibnya akan sama dangan orang ini!" Katanya dengan mata yang melotot dan menodongkan senjata ke arah orang-orang.
***          
Bertahun-tahun mereka dalam keterpurukan, tidak pernah lagi mendapatkan kesejahteraan setelah kota mereka dikuasai oleh monyet-monyet biadap itu. Rakyat kota dipekerjakan sebagai buruh di kotanya sendiri. Mereka harus menjalani siksaan ini dari para penjajah.
Mereka merindukan kotanya yang dulu. Kota yang nyaman, tenteram, dan damai. Tapi kini semuanya telah sirna sudah, semua itu hanyalah sebuah angan-angan semata yang tidak akan terwujud lagi, karena kota menjadi kota jajahan monyet yang biadab.



Yogyakarta, 08 Desember 2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar