Cerpen
Pengemis
Aneh
By
: Darah Mimpi
Keramaian mengusik
ketenangan kota. Langkah kendaraan berasap berirama menghiasi kebisingan kota
pula. Terik mentari membakar dahaga aspal. Kendaraan melaju lalu lalang.
Seorang pengemis mengusap keringat yang mengalir di dahinya. Ia duduk di
pinggir trotoar, menengadahkan tangannya ke atas. Berharap seserpih logam dapat
digenggamnya, syukur-syukur uang kertas yang didapatnya.
Dahaga telah mengeringkan kerongkongannya. Ia pun
bangkit, berdiri. Menapakkan kakinya yang tak beralas menyusuri jalan trotoar
pinggiran kota yang panas. Ia ingin mencari air untuk menghapus kekeringan di
tenggorokannya. Dihampirinya warung angkringan yang ada di tepi jalan, untuk
meminta segelas air mineral yang bisa mengusir rasa hausnya yang teramat sangat
menyiksa.
“
Mbak, berilah saya segelas air putih, saya haus” katanya dengan nada memelas.
Penjual itu memerhatikan pengemis tersebut. Mulai dari ujung rambut sampai
ujung kakinya. Baju compang-camping, rambut
kumal, kotor dan kusam, wajah pucat berdebu, bibir yang kering. Melengkapi
penampilannya. Sungguh dia benar-benar pengemis jalanan. Sorotan mata yang
tajam, penuh dengan harapan dan keinginan yang pudar.
“Tak
ada yang gratis, kau harus membayarnya seribu” ucap penjual angkringan itu
dengan nada ketus.
“Apa?
Hanya air putih doang seribu rupiah, mahal sekali.” Tutur pengemis itu
terkejut.
“Kan
saya sudah bilang, di dunia ini tidak ada yang gratis” penjual angkringan itu
menegaskan kalimatnya.
“Tapi
saya sangat haus, dan tak ada sepersen pun uang di kantong saya, tolonglah,
berilah saya segelas air putih” kata pengemis itu tidak menyerah, ia terus
memohon. Berharap segelas air putih ia terima dengan gratis.
“Tidak
bisa!”
Pengemis
itu mengerutkan dahi, menatapnya geram. Nafasnya menderu cepat. Dahaga semakin
menggerogoti akal pikirnya, hingga
emosilah akibatnya.
“Cepat...!
Kasih saya minum, atau saya obrak-abrik angkringan jelek ini.” Katanya dengan
nada tinggi.
“Heh...
kau, pergiiiiiiiiiiiiiiii... dasar pengemis jalanan.” Caci penjual angkringan
tersebut.
“Baru
jadi penjual angkringan saja sudah sombong, apalagi jadi presiden. Huft, dasar
hati batu, tidak bisa melihat penderitaan orang lain.” Ujar pengemis itu dengan
nada sedikit merendah, ia coba menetralisir emosinya.
“Sekali
lagi saya bilang, pengemis jalanan pergiii...! Tempatmu tidak di sini. Kau
pantas berteman dengan tumpukan sampah yang bau dan kumal sepertimu” kata-kata
pahit yang diucapkan oleh penjual angkringan yang sombong itu, benar-benar
menusuk relung hatinya.
“Pergiiiiiii....!”
tukas penjual angkringan itu geram sambil melotot, ia meletakkan kedua
tangannya di pinggangnya.
Mau
tidak mau, pengemis itu harus pergi. Ia berjalan dengan langkah gontai. Dahaga
masih tetap menguasainya. Setelah beberapa meter ia melangkah, dilihatnya air
selokan yang tergenang. Rasanya segar sekali air itu, sayang banyak sampah di
sekitarnya. Diusap-usap lehernya dengan pelan sembari mengamati air yang ada di
selokan itu, seolah-olah air itu menyeru kepadanya “Ayo minum aku, aku segar
loh.” Mungkin ungkapan itu yang akan dikatakan jika air itu memiliki pita
suara.
“Biarlah
aku meminumnya” ucapnya sambil mencakup air selokan itu dengan tangannya lalu
meminumnya. Bau tak sedap tercium oleh hidungnya, tapi ia tak menghiraukannya,
yang penting hausnya hilang.
“Nikmatnya
jadi orang tak punya, bagaimana pun bentuknya masih bisa dirasa enak” ungkapnya
sambil duduk di tepi trotoar usai meminum air tersebut. Ia menatap langit
datar, matanya menitikkan butir-butir pilu. Tiba-tiba ia melipat celananya yang
panjang sebelah kiri sampai atas lutut, sementara celana kanannya tak ia lipat.
Entah apa maksudnya. Setelah itu, ia pergi menuju lampu merah untuk mengemis
kembali.
* * *
*
Langit
tertutupi kabut hitam. Mentari terlihat samar-samar. Angin dingin telah
menguasai kota, bertiup riang membunuh aktivitas dunia. Duka angkasa mulai
terjatuh merembas ke bumi. Pengemis itu
lari terbirit-birit mencari tempat untuk berteduh. Gemuruh suara petir
menggetarkan gendang telinganya. Butir-butir hujan membasahi tubuhnya. Ia
berteduh di samping halte. Seorang pemulung yang berpakaian compang-camping
juga ikut berteduh di sana.
“Makan...!”
perintah pemulung itu, sambil mengulurkan pisang goreng yang sedikit basah
terkena butiran hujan. Pengemis itu tersenyum lalu menerima pemberian pisang
goreng tersebut.
“Tau
saja kau, kalau aku lapar.”
“Kita
kan senasib seperjuangan.” Kata pemulung itu tanggap dengan nada datar. Mereka
duduk berdampingan menunggu hujan reda.
“Eh,
turunkan celanamu yang kiri, biar enak dipandang mata dan tidak kedinginan…”
Pengemis
itu tak menggagas perkataan pemulung, ia tetap diam memandang titik-titik hujan
dengan sorotan mata tajam.
“Kenapa
diam saja?” kata pemulung itu penuh tanda tanya.
Pengemis
tersebut menoleh ke arah pemulung menyudutkan bibirnya untuk tersenyum. Mereka
saling bertatapan. Namun si pemulung tetap diam dalam kebingungannya.
“Kenapa?”
ia bertanya lagi usai diam beberapa saat.
“Inilah
alasannya kita duduk berdua bersampingan di sini.” Jawabnya dengan nada datar
sambil memalingkan wajahnya.
“Hahaha…
Gila kamu, masak kita diumpamakan seperti celanamu yang cancut.”
“Di
dunia ini ada dua hal, ada baik dan ada buruk. Ada yang di atas, ada pula yang
di bawah. Dan kita menduduki posisi yang di bawah seperti celana aku ini
(memegang kaki kanannya).” Pemulung yang berpakaian compang-camping, dan
bermuka kusam itu mengerutkan dahi, ia tidak bisa menangkap maksud perkataan
pengemis tersebut.
“Maksudmu?”
Dengan
tanggap pengemis melanjutkan perkataannya.
“Celana
yang kulipat sampai atas lutut itu aku umpamakan sebagai orang kaya. Orang kaya
itu tidak punya malu, sombong, merasa dirinya selalu di atas. Tidak bisa
melihat yang di bawahnya, seperti celana kiriku ini, tak punya malu walau
bawahnya tak tertutupi kain. Celana yang di atas tak mau tahu kakiku yang
dibawah, ia kepanasan dan kedinginan setiap waktu, walau ia tahu tapi ia tak
mempedulikannya.”
“
Lihatlah celana kananku yang tak kulipat, dia mengayumi kulit kakiku dari atas
sampai bawah, selalu merendah dan punya sopan santun, enak pula di pandang
mata. Begitupun dengan orang bawah seperti kita, tidak sombong dan bisa
merasakan penderitaan teman. Kaulah contohnya, saat kau mau makan, kau mau
membaginya kepadaku.”
“Kau
juga menyuruhku menurunkan celanaku yang kiri, karena kau merasakan apa yang
kurasa. Lihatlah orang yang ada di dalam halte itu, sedari tadi mereka melihat
penampilanku yang ceroboh seperti ini, tapi mereka tak mau tahu, nggak ada satu
pun dari mereka yang mau menegurku, mungkin mereka memandang diriku terlalu
rendah dan hina. Mereka tahu kalau dari tadi kita kedinginan di sini menunggu
hujan reda, tapi apakah mereka menyuruh kita bergabung bersama mereka? Berteduh
di dalam sana? Tidak kan? Mungkin mereka risih bahkan jijik dengan kita. Itulah
sebabnya mengapa aku memakai celana seperti ini.” Terangnya sambil menatap
jalan raya yang basah.
“Hey,
tapi tak semua orang kaya dan orang miskin seperti itu semua. Ada juga orang
kaya yang baik hatinya. Misal seperti Pak Wawan pemilik toko seberang jalan
sana itu, dia sangat baik juga dermawan. Tak semua pemulung, pengemis,
orang-orang miskin, dan orang jalanan, berjiwa samudera, serta bisa merasakan
penderitaan temannya. Nyatanya banyak orang seperti kita yang berhati keras dan
tak mau tahu.” Pemulung itu tak mau kalah.
“Yah,
tentu. Karena yang memakai celana cancut seperti ini tak semua orang. Aku hanya
mengisyaratkan arti kehidupan di dunia ini.”
“Hmm,,,
kau benar. Dan mayoritas orang di atas seperti itu, sombong dan tak mau
menengok ke bawah” kata pemulung memperkuat pendapat pengemis. Ia berhenti
sejenak mengatur nafasnya, lalu
melanjutkan kalimatnya kembali. “Kau pintar sekali, tempatmu tidak di sini.
Seharusnya kau di gedung-gedung mewah.”
“Hahaha,
aku lebih bangga menjadi pengemis ketimbang jadi orang yang tinggal di
gedung-gedung tinggi itu.”
“Kenapa?”
“Jadi
orang bawah bisa melihat orang yang atas dan merasakan jati dirinya sebagai
orang bawah, tapi jadi orang atas tak bisa memperhatinkan kehidupan di
bawahnya. Sebenarnya mereka tahu, tapi mereka saja yang tak mau tahu. Mereka
terlalu dipersibuk oleh segala macam urusannya.”
Pemulung
itu mengangguk paham. Ia menatap langit yang mulai terang. Hujan telah reda,
awan hitam telah pulang ke asalnya. Orang-orang yang menunggu di dalam halte telah
lama naik ke bus Trans Jogja, tanpa sepengetahuan mereka berdua karena terlalu
menikmati obrolannya.
“Eh,
ngomong-ngomong pisang gorengnya tadi dari mana?” tanya si pengemis memalingkan
topik pembicaraan.
“Tadi
aku nemu di tong sampah, hehehe.” Ia meringis
“Ups…”
mata pengemis melotot, lalu meringis memaksa menyudutkan bibirnya
untuk tersenyum, walau kecut. ”Tak masalah, yang penting perut kita terisi”
lanjutnya.
“Hahaha”
mereka tertawa bersama.
Pemulung
itu pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Mereka pun berpisah. Pengemis itu
tetap duduk di samping halte dengan mendongakkan tangannya ke atas, menanti
logam jatuh ke dalam genggamannya.
Biodata
Penulis
Ayah
Bunda memberiku tanda pengenal dengan sebutan TITIN WIDIYAWATI, kusapa indahnya
mentari mulai tanggal 16 JULI 1995, tepatnya di bumi MAGELANG kota sejuta
bunga. Sejak kecil kubersemayam di istana duniaku, yang berdiri di kota
MAGELANG, kecamatan KALIANGKRIK, dusun KAUMAN.
.
Anganku selalu terbayang di masa depan... Kuingin meraih mimpiku menjadi
PENULIS sejati yang bisa menghibur dunia. Tak pernah lupa keseharianku, kuisi
dengan merangkai melodi jiwa, hingga menjadi runtutan kalimat, yang padu
menjadi puisi, ataupun cerita, bahkan novel, itulah HOBIKU yang kucinta,
sembari jalan-jalan mengelilingi cakrawala. Motto hidupku, bagiku tercepat,
tertepat, itu hebat. Kuarungi samudera PENDIDIKAN mulai dari MI Al-ISLAM
Muhammadiyah Kaliangkrik Magelang, Mts Al-Abror Kapuhan Sawangan Magelang, dan
MA Ma'arif Kaliangkrik Magelang. Siapa pun yang hendak menghubungiku, silahkan
kirim rangkaian kata ke nomer HPku 089 938 824 86, ataupun melalui jejaring
sosial facebookku WIDIYAWATIJERMAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar