Kamis, 28 November 2013

Pengemis Aneh




Cerpen
Pengemis Aneh
By : Darah Mimpi
            Keramaian mengusik ketenangan kota. Langkah kendaraan berasap berirama menghiasi kebisingan kota pula. Terik mentari membakar dahaga aspal. Kendaraan melaju lalu lalang. Seorang pengemis mengusap keringat yang mengalir di dahinya. Ia duduk di pinggir trotoar, menengadahkan tangannya ke atas. Berharap seserpih logam dapat digenggamnya, syukur-syukur uang kertas yang didapatnya.
            Dahaga telah mengeringkan kerongkongannya. Ia pun bangkit, berdiri. Menapakkan kakinya yang tak beralas menyusuri jalan trotoar pinggiran kota yang panas. Ia ingin mencari air untuk menghapus kekeringan di tenggorokannya. Dihampirinya warung angkringan yang ada di tepi jalan, untuk meminta segelas air mineral yang bisa mengusir rasa hausnya yang teramat sangat menyiksa.
“ Mbak, berilah saya segelas air putih, saya haus” katanya dengan nada memelas. Penjual itu memerhatikan pengemis tersebut. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Baju compang-camping,  rambut kumal, kotor dan kusam, wajah pucat berdebu, bibir yang kering. Melengkapi penampilannya. Sungguh dia benar-benar pengemis jalanan. Sorotan mata yang tajam, penuh dengan harapan dan keinginan yang pudar.
“Tak ada yang gratis, kau harus membayarnya seribu” ucap penjual angkringan itu dengan nada ketus.
“Apa? Hanya air putih doang seribu rupiah, mahal sekali.” Tutur pengemis itu terkejut.
“Kan saya sudah bilang, di dunia ini tidak ada yang gratis” penjual angkringan itu menegaskan kalimatnya.
“Tapi saya sangat haus, dan tak ada sepersen pun uang di kantong saya, tolonglah, berilah saya segelas air putih” kata pengemis itu tidak menyerah, ia terus memohon. Berharap segelas air putih ia terima dengan gratis.
“Tidak bisa!”
Pengemis itu mengerutkan dahi, menatapnya geram. Nafasnya menderu cepat. Dahaga semakin menggerogoti akal pikirnya,  hingga emosilah akibatnya.
“Cepat...! Kasih saya minum, atau saya obrak-abrik angkringan jelek ini.” Katanya dengan nada tinggi.
“Heh... kau, pergiiiiiiiiiiiiiiii... dasar pengemis jalanan.” Caci penjual angkringan tersebut.
“Baru jadi penjual angkringan saja sudah sombong, apalagi jadi presiden. Huft, dasar hati batu, tidak bisa melihat penderitaan orang lain.” Ujar pengemis itu dengan nada sedikit merendah, ia coba menetralisir emosinya.
“Sekali lagi saya bilang, pengemis jalanan pergiii...! Tempatmu tidak di sini. Kau pantas berteman dengan tumpukan sampah yang bau dan kumal sepertimu” kata-kata pahit yang diucapkan oleh penjual angkringan yang sombong itu, benar-benar menusuk relung hatinya.
“Pergiiiiiii....!” tukas penjual angkringan itu geram sambil melotot, ia meletakkan kedua tangannya di pinggangnya.
Mau tidak mau, pengemis itu harus pergi. Ia berjalan dengan langkah gontai. Dahaga masih tetap menguasainya. Setelah beberapa meter ia melangkah, dilihatnya air selokan yang tergenang. Rasanya segar sekali air itu, sayang banyak sampah di sekitarnya. Diusap-usap lehernya dengan pelan sembari mengamati air yang ada di selokan itu, seolah-olah air itu menyeru kepadanya “Ayo minum aku, aku segar loh.” Mungkin ungkapan itu yang akan dikatakan jika air itu memiliki pita suara.
“Biarlah aku meminumnya” ucapnya sambil mencakup air selokan itu dengan tangannya lalu meminumnya. Bau tak sedap tercium oleh hidungnya, tapi ia tak menghiraukannya, yang penting hausnya hilang.
“Nikmatnya jadi orang tak punya, bagaimana pun bentuknya masih bisa dirasa enak” ungkapnya sambil duduk di tepi trotoar usai meminum air tersebut. Ia menatap langit datar, matanya menitikkan butir-butir pilu. Tiba-tiba ia melipat celananya yang panjang sebelah kiri sampai atas lutut, sementara celana kanannya tak ia lipat. Entah apa maksudnya. Setelah itu, ia pergi menuju lampu merah untuk mengemis kembali.
                                                                 *     *     *     *
Langit tertutupi kabut hitam. Mentari terlihat samar-samar. Angin dingin telah menguasai kota, bertiup riang membunuh aktivitas dunia. Duka angkasa mulai terjatuh  merembas ke bumi. Pengemis itu lari terbirit-birit mencari tempat untuk berteduh. Gemuruh suara petir menggetarkan gendang telinganya. Butir-butir hujan membasahi tubuhnya. Ia berteduh di samping halte. Seorang pemulung yang berpakaian compang-camping juga ikut berteduh di sana.
“Makan...!” perintah pemulung itu, sambil mengulurkan pisang goreng yang sedikit basah terkena butiran hujan. Pengemis itu tersenyum lalu menerima pemberian pisang goreng tersebut.
“Tau saja kau, kalau aku lapar.”
“Kita kan senasib seperjuangan.” Kata pemulung itu tanggap dengan nada datar. Mereka duduk berdampingan menunggu hujan reda.
“Eh, turunkan celanamu yang kiri, biar enak dipandang mata dan tidak kedinginan…”
Pengemis itu tak menggagas perkataan pemulung, ia tetap diam memandang titik-titik hujan dengan sorotan mata tajam.
“Kenapa diam saja?” kata pemulung itu penuh tanda tanya.
Pengemis tersebut menoleh ke arah pemulung menyudutkan bibirnya untuk tersenyum. Mereka saling bertatapan. Namun si pemulung tetap diam dalam kebingungannya.
“Kenapa?” ia bertanya lagi usai diam beberapa saat.
“Inilah alasannya kita duduk berdua bersampingan di sini.” Jawabnya dengan nada datar sambil memalingkan wajahnya.
“Hahaha… Gila kamu, masak kita diumpamakan seperti celanamu yang cancut.”
“Di dunia ini ada dua hal, ada baik dan ada buruk. Ada yang di atas, ada pula yang di bawah. Dan kita menduduki posisi yang di bawah seperti celana aku ini (memegang kaki kanannya).” Pemulung yang berpakaian compang-camping, dan bermuka kusam itu mengerutkan dahi, ia tidak bisa menangkap maksud perkataan pengemis tersebut.
“Maksudmu?”
Dengan tanggap pengemis melanjutkan perkataannya.
“Celana yang kulipat sampai atas lutut itu aku umpamakan sebagai orang kaya. Orang kaya itu tidak punya malu, sombong, merasa dirinya selalu di atas. Tidak bisa melihat yang di bawahnya, seperti celana kiriku ini, tak punya malu walau bawahnya tak tertutupi kain. Celana yang di atas tak mau tahu kakiku yang dibawah, ia kepanasan dan kedinginan setiap waktu, walau ia tahu tapi ia tak mempedulikannya.”
“ Lihatlah celana kananku yang tak kulipat, dia mengayumi kulit kakiku dari atas sampai bawah, selalu merendah dan punya sopan santun, enak pula di pandang mata. Begitupun dengan orang bawah seperti kita, tidak sombong dan bisa merasakan penderitaan teman. Kaulah contohnya, saat kau mau makan, kau mau membaginya kepadaku.”
“Kau juga menyuruhku menurunkan celanaku yang kiri, karena kau merasakan apa yang kurasa. Lihatlah orang yang ada di dalam halte itu, sedari tadi mereka melihat penampilanku yang ceroboh seperti ini, tapi mereka tak mau tahu, nggak ada satu pun dari mereka yang mau menegurku, mungkin mereka memandang diriku terlalu rendah dan hina. Mereka tahu kalau dari tadi kita kedinginan di sini menunggu hujan reda, tapi apakah mereka menyuruh kita bergabung bersama mereka? Berteduh di dalam sana? Tidak kan? Mungkin mereka risih bahkan jijik dengan kita. Itulah sebabnya mengapa aku memakai celana seperti ini.” Terangnya sambil menatap jalan raya yang basah.
“Hey, tapi tak semua orang kaya dan orang miskin seperti itu semua. Ada juga orang kaya yang baik hatinya. Misal seperti Pak Wawan pemilik toko seberang jalan sana itu, dia sangat baik juga dermawan. Tak semua pemulung, pengemis, orang-orang miskin, dan orang jalanan, berjiwa samudera, serta bisa merasakan penderitaan temannya. Nyatanya banyak orang seperti kita yang berhati keras dan tak mau tahu.” Pemulung itu tak mau kalah.
“Yah, tentu. Karena yang memakai celana cancut seperti ini tak semua orang. Aku hanya mengisyaratkan arti kehidupan di dunia ini.”
“Hmm,,, kau benar. Dan mayoritas orang di atas seperti itu, sombong dan tak mau menengok ke bawah” kata pemulung memperkuat pendapat pengemis. Ia berhenti sejenak  mengatur nafasnya, lalu melanjutkan kalimatnya kembali. “Kau pintar sekali, tempatmu tidak di sini. Seharusnya kau di gedung-gedung mewah.”
“Hahaha, aku lebih bangga menjadi pengemis ketimbang jadi orang yang tinggal di gedung-gedung tinggi itu.”
“Kenapa?”
“Jadi orang bawah bisa melihat orang yang atas dan merasakan jati dirinya sebagai orang bawah, tapi jadi orang atas tak bisa memperhatinkan kehidupan di bawahnya. Sebenarnya mereka tahu, tapi mereka saja yang tak mau tahu. Mereka terlalu dipersibuk oleh segala macam urusannya.”
Pemulung itu mengangguk paham. Ia menatap langit yang mulai terang. Hujan telah reda, awan hitam telah pulang ke asalnya. Orang-orang yang menunggu di dalam halte telah lama naik ke bus Trans Jogja, tanpa sepengetahuan mereka berdua karena terlalu menikmati obrolannya.
“Eh, ngomong-ngomong pisang gorengnya tadi dari mana?” tanya si pengemis memalingkan topik pembicaraan.
“Tadi aku nemu di tong sampah, hehehe.” Ia meringis
Ups…”  mata pengemis melotot, lalu meringis memaksa menyudutkan bibirnya untuk tersenyum, walau kecut. ”Tak masalah, yang penting perut kita terisi” lanjutnya.
“Hahaha” mereka tertawa bersama.
Pemulung itu pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Mereka pun berpisah. Pengemis itu tetap duduk di samping halte dengan mendongakkan tangannya ke atas, menanti logam jatuh ke dalam genggamannya.




Biodata Penulis

Ayah Bunda memberiku tanda pengenal dengan sebutan TITIN WIDIYAWATI, kusapa indahnya mentari mulai tanggal 16 JULI 1995, tepatnya di bumi MAGELANG kota sejuta bunga. Sejak kecil kubersemayam di istana duniaku, yang berdiri di kota MAGELANG, kecamatan KALIANGKRIK, dusun KAUMAN.
. Anganku selalu terbayang di masa depan... Kuingin meraih mimpiku menjadi PENULIS sejati yang bisa menghibur dunia. Tak pernah lupa keseharianku, kuisi dengan merangkai melodi jiwa, hingga menjadi runtutan kalimat, yang padu menjadi puisi, ataupun cerita, bahkan novel, itulah HOBIKU yang kucinta, sembari jalan-jalan mengelilingi cakrawala. Motto hidupku, bagiku tercepat, tertepat, itu hebat. Kuarungi samudera PENDIDIKAN mulai dari MI Al-ISLAM Muhammadiyah Kaliangkrik Magelang, Mts Al-Abror Kapuhan Sawangan Magelang, dan MA Ma'arif Kaliangkrik Magelang. Siapa pun yang hendak menghubungiku, silahkan kirim rangkaian kata ke nomer HPku 089 938 824 86, ataupun melalui jejaring sosial facebookku WIDIYAWATIJERMAN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar