Catatan
Gerakan LIterasi
Ahmad
Sahide
Tulisan ini mengajak para pembaca
untuk melihat, syukur-syukur bisa menginspirasi, gerakan literasi di provinsi
kelahiran saya, Sulawesi-Selatan. Ini adalah catatan yang kembali bisa saya
dokumentasikan setelah berinteraksi dengan teman-teman (pada umumnya adalah
senior saya) yang bergiat di dunia gerakan literasi di Indonesia Timur,
Sulawesi-Selatan pada khususnya. Interaksi yang belum lama ini kembali terjalin
dengan sharing langsung terkait dengan dunia literasi (membaca dan menulis).
Interaksi dengan beberapa komunitas
yang bergiat di dunia literasi itu cukup membakar semangat saya secara pribadi
untuk memassifkan gerakan tersebut, kemudian menularkannya ke daerah-daerah
lain di manapun itu, tidak hanya di provinsi kelahiran saya tersebut. Dan
tulisan ini adalah bagian kecil dari upaya tersebut.
Titik LIterasi
Catatan pertama adalah ketika saya
berkunjung ke Takalar pada tanggal 18 Oktober lalu, memenuhi undangan Pemuda
Muslimin Indonesia Cabang Takalar. Pertemuan singkat, kurang lebih tiga jam
lamanya itu, di forum diskusi yang mereka adakan di cafe sedikit memberi
gambaran kepada saya bahwa organisasi ini intens membangun gerakan literasi di
Kabupaten Takalar. Terlebih orang-orang yang bergabung di dalamnya adalah
mantan aktivis yang memang punya ketertarikan kuat dalam dunia literasi. Dan
jangan lupa, juga punya kemampuan dalam memobilisasi massa (kader). Bakat dan
ketertarikannya itulah yang mereka coba tularkan dengan berbagai macam forum
dan komunitas yang mereka selenggarakan. Muhammad Kasman, misalnya, adalah
mantan aktivis di Makassar yang kini menjadi guru muncul sebagai salah satu
figur utama yang menggerakkan gerakan literasi tersebut. Itu pembacaan saya,
mohon maaf jika keliru. Selain menjadi guru yang aktif di Pemuda Muslimin
Indonesia Cabang Takalar, mantan aktivis HMI-MPO Cabang Makassar ini juga
menggawangi Komunitas Pena Hijau Takalar.
Setelah forum diskusi literasi di
café selesai, saya pun diberi kenang-kenangan dua buah buku, keduanya berjudul
“You Can Do It” sebuah kumpulan
cerpen dan “Rindu Sepasang Purnama,” juga kumpulan cerpen. Tanpa bermaksud
apa-apa, tetapi saya lebih tertarik pada cerpen yang pertama. Bukan karena
isinya, tetapi karena para penulisnya yang semuanya masih duduk di bangku SMA.
Itu menarik bagi saya karena komunitas literasi di Takalar banyak membina
anak-anak SMA untuk menulis. Dan ketika mereka dibina untuk menulis, tentu
secara tidak langsung mereka akan dirangsang untuk membaca. Dengan banyak
membaca, mereka akan menjadi anak didik cerdas dan berkualitas. Saya percaya
akan hal itu. Kehadiran saya pun di forum tersebut, yang juga banyak dihadiri
oleh anak-anak SMA, banyak memprovokasi untuk membaca dan menulis. Sederhananya
saya mengatakan begini, “Jika ingin menjadi penulis yang hebat, maka jadilah
pembaca yang hebat!”. Mudah-mudahan mereka merekam kalimat saya tersebut dengan
baik.
Catatak kedua adalah kunjungan saya
ke Boetta Ilmoe, Kabupaten Bantaeng pada tanggal 27 Oktober 2013. Di Boetta
ilmoe, saya juga diminta sharing terkait dengan dunia literasi. Setahu saya,
Boetta Ilmoe, yang digawangi oleh Sulhan Yusuf, sudah beberapa tahun aktif
menggerakan gerakan membaca dan menulis di kabupaten tersebut. dan menurut
cerita ringan dari Sulhan Yusuf, pemerintah Kabupaten Bantaeng sangat
mensupport gerakan tersebut. Boleh jadi, dukungan baik dari pemerintah itu
karena bupatinya, Nurdin Abdullah, berasal dari dunia kampus (Universitas
Hasanuddin) yang sangat mencintai dunia keilmuan sehingga melihat arti
pentingnya gerakan yang kini digawangi oleh Sulhan Yusuf di Bantaeng tersebut.
Di Boetta Ilmoe, yang juga punya
taman baca di samping toko bukunya, saya juga diberi kenang-kenangan berupa
buku puisi yang berjudul “Putih Abu-Abu” dan “Dari 12 Menjadi 127”. Buku puisi
yang pertama juga ditulis oleh anak-anak SMA, sesuai dengan judulnya, abu-abu
yang identik dengan warna pakaian seragam anak-anak SMA.
Apa yang dilakukan oleh Muhammad
Kasman, dan teman-teman, di Takalar dan Sulhan Yusuf di Bantaeng adalah dua
titik gerakan literasi yang sekiranya perlu menjadi inspirasi bagi kita semua.
Jika banyak aktivis, guru, atau tokoh masyarakat melakukan hal yang sama di
banyak daerah (provinsi dan kabupaten), maka Indonesia ke depan akan menjadi bangsa yang memiliki martabat
yang tinggi. Perlu dicatat bahwa bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang
cerdas. Oleh karena itu, membangun gerakan literasi di berbabagi titik di
seluruh Indonesia adalah gerakan untuk mencerdaskan anak bangsa dengan terus
merangsang untuk membaca dan menulis. Semoga tulisan ini berperan sebagai
penyambung lidah!
Yogyakarta,
8 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar