Dunia Oral Idrus Tintin
Darwin
Di
abad media ini, untuk menjadi bintang media orang tak perlu sehebat
Gandhi,
Soekarno, Churchill. Untuk menjadi hero atau heroin orang tak selalu
harus
melakukan hal-hal yang luar biasa atau menciptakan karya besar.
Orang-orang
yang dianggap besar kini adalah orang-orang biasa (mediocre) yang tenar dan ditenarkan oleh/dan di
media: selebriti menurut media.
(Ibrahim:
2007, 143)
“Dunia pemujaan” (baca: pesohor) kita
sepertinya berganti wajah. Kalau dulu orang-orang kagum dengan pidato-pidato
Soekarno, tulisan-tulisan Hamka, atau kebersahajaan Hatta, saat ini orang lebih
terpesona dengan liukan Cherrybelle di atas panggung, jilbab modis ala Fatin “Indonesian
Idol”, atau politisi-penyanyi ala SBY. Sungguh tragis! Ini adalah tanda sedang
berlangsungnya degradasi berpikir masyarakat Indonesia.
Dari dunia yang seperti inilah orang-orang
besar yang mengitari jagat keindonesiaan mudah dilupakan, diketepikan ke
pinggir peradaban. Ini, misalnya, yang menimpa sastrawan besar kita Pramoedya
Ananta Toer, sang revolusioner Tan Malaka, dan tokoh pergerakan Tirto Adhi
Soerjo, untuk menyebut amsal. Pramoedya, sosok satu ini dilupakan oleh anak
bangsa, terutama era pemerintahan Soeharto. Alih-alih karya-karyanya bisa
dibaca, malah dimusnahkan oleh kerefresifan rezim dengan cara dibakar. Padahal,
di luar negeri seperti di Malaysia, novelnya Keluarga Gerilya menjadi bacaan wajib di sekolah menengah di sana.
Nah, salah satu tokoh besar bangsa
yang dilupakan dan patut diungkai seluk beluk kehidupannya adalah Idrus Tintin
(selanjutnya Idrus). Seniman agung yang lahir di Riau, tepatnya Rengat, Indragiri
Hulu—kota ini juga menjadi tempat kelahiran Sutardji Calzoum Bachri, penyair
berpengaruh dalam jagat sastra Indonesia—80 tahun yang lalu ini adalah penerima
Bintang Budaya Parama Dharma yang diserahkan langsung oleh Presiden Republik Indonesia,
pada tahun 2011. Ini adalah penghargaan tertinggi di bidang seni dan budaya yang
diberikan bersempena Hari Pahlawan saban tahunnya. Tercatat pada tahun 2011 itu
Idrus menyisihkan seniman-seniman besar lainnya, salah satunya Benjamin Sueb
dari Betawi. Sebuah penghargaan yang pantas bagi Idrus karena dedikasinya pada
seni budaya terutama teater dan sastra. Dan, tentunya sebuah kebanggan juga
bagi masyarakat Riau karena eksistensi seni budaya yang melekat erat di Negeri
Melayu ini diakui.
Kilas balik kehidupan Idrus tidaklah
mulus. Masa kecilnya dihabiskan dengan hidup berpindah-pindah. Ia lahir di
Rengat, 10 November 1932. Hanya puluhan hari saja, setelah itu ia pindah ke
tepian Laut Cina Selatan, tepatnya Tarempa, Kepulauan Riau, mengikuti tugas
sang ayah. Tintin, ayahnya hanyalah seorang nakhoda kapal patroli milik
pemerintah. Ketika menjalankan tugas negara di Tarempa inilah sang ayah
meninggal. Peristiwanya sungguh tragis. Ketika itu angka di almanak menunjukkan
tahun 1941. Masa pendudukan Jepang. Wilayah Tarempa dijatuhi bom, ratusan
masyarakat Tarempa meninggal. Dari ratusan itu, salah satunya adalah ayah Idrus
sendiri.
Akibat pedihnya hidup inilah, pada
akhirnya ibundanya menitipkan Idrus di beberapa asrama penampungan milik
Jepang. Di asrama inilah bakat seninya mulai diasah. Bermain teater adalah
aktivitasnya di asrama yang diisi para yatim piatu itu. Hingga tahun, 1949,
beberapa kota dijadikan tempat tinggal oleh Idrus. Kota-kota seperti Rengat,
Tarempa, Tanjungpinang, Tembilahan, menjadi saksi perjalanan hidupnya. Perjalanan
hidup yang tentunya tidak mudah. Beberapa sekolah yang dimasuki di beberapa
kota ini tidak diselesaikannya. Tetapi kegiatan teaternyalah yang terus mekar,
sehingga berdampak di kehidupannya kelak.
Beberapa naskah drama yang pernah
ditampilkannnya adalah: Buih dan Kasih
Sayang Orang Lain, Bunga Rumah Makan, Awal dan Mira, Pasien, Tanda Silang, Harimau
Tingkis, dan masih banyak lagi yang lain. Ia tampil di beberapa kota
seperti Jakarta, Pekanbaru, Solo, Tanjungpinang, hingga merambah kota-kota di
negara jiran. Di Pekanbaru ia mendedikasikan hidupnya pada teater. Dari tahun
1975 hingga 1990 ia mengajarkan anak-anak muda bermain teater. Sebelumnya sosok
yang sering disapa Derus ini mendirikan
grup teater “Bahana”. Tentu saja kota-kota yang dilaluinya ini adalah kota-kota
yang tidak memberi kesenangan laiknya anak muda alay masa kini yang dimanjakan mal, gedung bioskop, dan lainnya,
tetapi ia hidup pontang-panting untuk menghidupi diri. Dari sinilah ia belajar
memaknai hidup. Kota-kota di Jawa mempertemukannya dengan teaterwan kondang semacam
Rendra, Motinggo Busye, Asrul Sani, Soekarno M Noor dan lainnya. Di rumah Motinggo Busye ia sempat berlatih
menggali ilmu teater dari teaterwan yang penulis novel ini.
Pendobrak Teater
Di
dunia perteateran Riau, lelaki yang mempunyai abang bernama Boya ini—Boya juga
meninggal secara heroik dalam sebuah pertempuran di Kuala Enok, Riau, saat
Belanda melancarkan Agresi Militer II tahun 1948—adalah pendobrak gaya
berteater. Menurut Taufik Ikram Jamil dalam artikelnya di majalah Horison (edisi Oktober 2003), Idrus
memperkenalkan teater modern di Bumi Melayu. Sebagaimana diketahui, dulu Riau
identik dengan teater klasik ala para bangsawan. Maka datanglah Idrus yang
mengubah semuanya.
Inilah setumpuk kontribusi seni
seorang Idrus. Hidupnya hanya dihabiskan di jalan seni. Pekerjaannya yang lain
seperti wartawan, politikus, birokrat hanya dianggap sampingan saja. Maka tidak
heran budayawan Riau Tenas Effendy berucap, ''Secara umum Idrus Tintin menjadi
contoh bagi seniman dan budayawan lain di Riau dari segi kegigihannya dalam
berkarya. Ia memang sahabat dan seniman yang luar biasa.'' (Http://www.tokohindonesia.com, akses
2/11/2013). Setakat ini, berbagai penghargaan telah didapatkan lelaki yang
tidak menamatkan sekolah formal ini. Tahun 1996, ia diganjar Anugrah Sagang
(penghargaan seni bergengsi di Riau), kemudian tahun 2001 ia beroleh Seniman
Pemangku Negeri bidang teater dari Dewan Kesenian Riau. Namanya juga diabadikan
menjadi nama Anjungan Seni di Kota Pekanbaru, “Anjung Seni Idrus Tintin”,
tempat dihelatnya Festival Film Indonesia pada tahun 2007. Puncaknya adalah
penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Republik Indonesia tahun
2011, dua tahun lalu.
Tidak hanya di dunia pentas, di
ranah sastra Idrus juga sudah menghasilkan buku puisi. Yang populer adalah Luput (1986) dan Burung Waktu (1990). Tapi dunia oral-lah yang menonjol dalam diri
Idrus. Dunia oral yang dulu adalah ciri khas nenek moyang kita. Kita tahu, para
seniman kita terdahulu identik dengan kelisanan, hingga lahirlah sastra lisan,
tonil di kalangan bangsawan, pantun di ritual pernikahan, dan lain sebagainya.
Agaknya, Idrus ingin meneruskan tradisi itu. Ada adagium mengatakan, “Yang
lisan akan berlalu bersama angin, sedang tulisan tetap mengabadi”. Hal ini
tidak sepenuhnya benar, setidaknya Idrus membuktikannya dengan tetap abadinya
naskah-naskah drama yang didedahkannya dalam kanvas kehidupan sebelum ia
dijemput oleh Sang Pemilik Semesta pada 14 Juli 2003, satu dekade lalu. Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Jogja, November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar