Kamis, 07 November 2013

Dunia Oral Idrus Tintin



Dunia Oral Idrus Tintin
Darwin
Di abad media ini, untuk menjadi bintang media orang tak perlu sehebat
Gandhi, Soekarno, Churchill. Untuk menjadi hero atau heroin orang tak selalu
harus melakukan hal-hal yang luar biasa atau menciptakan karya besar.
Orang-orang yang dianggap besar kini adalah orang-orang biasa (mediocre) yang tenar dan ditenarkan oleh/dan di media: selebriti menurut media.
(Ibrahim: 2007, 143)  
            “Dunia pemujaan” (baca: pesohor) kita sepertinya berganti wajah. Kalau dulu orang-orang kagum dengan pidato-pidato Soekarno, tulisan-tulisan Hamka, atau kebersahajaan Hatta, saat ini orang lebih terpesona dengan liukan Cherrybelle di atas panggung, jilbab modis ala Fatin “Indonesian Idol”, atau politisi-penyanyi ala SBY. Sungguh tragis! Ini adalah tanda sedang berlangsungnya degradasi berpikir masyarakat Indonesia.  
            Dari dunia yang seperti inilah orang-orang besar yang mengitari jagat keindonesiaan mudah dilupakan, diketepikan ke pinggir peradaban. Ini, misalnya, yang menimpa sastrawan besar kita Pramoedya Ananta Toer, sang revolusioner Tan Malaka, dan tokoh pergerakan Tirto Adhi Soerjo, untuk menyebut amsal. Pramoedya, sosok satu ini dilupakan oleh anak bangsa, terutama era pemerintahan Soeharto. Alih-alih karya-karyanya bisa dibaca, malah dimusnahkan oleh kerefresifan rezim dengan cara dibakar. Padahal, di luar negeri seperti di Malaysia, novelnya Keluarga Gerilya menjadi bacaan wajib di sekolah menengah di sana.
            Nah, salah satu tokoh besar bangsa yang dilupakan dan patut diungkai seluk beluk kehidupannya adalah Idrus Tintin (selanjutnya Idrus). Seniman agung yang lahir di Riau, tepatnya Rengat, Indragiri Hulu—kota ini juga menjadi tempat kelahiran Sutardji Calzoum Bachri, penyair berpengaruh dalam jagat sastra Indonesia—80 tahun yang lalu ini adalah penerima Bintang Budaya Parama Dharma yang diserahkan langsung oleh Presiden Republik Indonesia, pada tahun 2011. Ini adalah penghargaan tertinggi di bidang seni dan budaya yang diberikan bersempena Hari Pahlawan saban tahunnya. Tercatat pada tahun 2011 itu Idrus menyisihkan seniman-seniman besar lainnya, salah satunya Benjamin Sueb dari Betawi. Sebuah penghargaan yang pantas bagi Idrus karena dedikasinya pada seni budaya terutama teater dan sastra. Dan, tentunya sebuah kebanggan juga bagi masyarakat Riau karena eksistensi seni budaya yang melekat erat di Negeri Melayu ini diakui.
            Kilas balik kehidupan Idrus tidaklah mulus. Masa kecilnya dihabiskan dengan hidup berpindah-pindah. Ia lahir di Rengat, 10 November 1932. Hanya puluhan hari saja, setelah itu ia pindah ke tepian Laut Cina Selatan, tepatnya Tarempa, Kepulauan Riau, mengikuti tugas sang ayah. Tintin, ayahnya hanyalah seorang nakhoda kapal patroli milik pemerintah. Ketika menjalankan tugas negara di Tarempa inilah sang ayah meninggal. Peristiwanya sungguh tragis. Ketika itu angka di almanak menunjukkan tahun 1941. Masa pendudukan Jepang. Wilayah Tarempa dijatuhi bom, ratusan masyarakat Tarempa meninggal. Dari ratusan itu, salah satunya adalah ayah Idrus sendiri.
            Akibat pedihnya hidup inilah, pada akhirnya ibundanya menitipkan Idrus di beberapa asrama penampungan milik Jepang. Di asrama inilah bakat seninya mulai diasah. Bermain teater adalah aktivitasnya di asrama yang diisi para yatim piatu itu. Hingga tahun, 1949, beberapa kota dijadikan tempat tinggal oleh Idrus. Kota-kota seperti Rengat, Tarempa, Tanjungpinang, Tembilahan, menjadi saksi perjalanan hidupnya. Perjalanan hidup yang tentunya tidak mudah. Beberapa sekolah yang dimasuki di beberapa kota ini tidak diselesaikannya. Tetapi kegiatan teaternyalah yang terus mekar, sehingga berdampak di kehidupannya kelak.
            Beberapa naskah drama yang pernah ditampilkannnya adalah: Buih dan Kasih Sayang Orang Lain, Bunga Rumah Makan, Awal dan Mira, Pasien, Tanda Silang, Harimau Tingkis, dan masih banyak lagi yang lain. Ia tampil di beberapa kota seperti Jakarta, Pekanbaru, Solo, Tanjungpinang, hingga merambah kota-kota di negara jiran. Di Pekanbaru ia mendedikasikan hidupnya pada teater. Dari tahun 1975 hingga 1990 ia mengajarkan anak-anak muda bermain teater. Sebelumnya sosok yang sering disapa Derus ini  mendirikan grup teater “Bahana”. Tentu saja kota-kota yang dilaluinya ini adalah kota-kota yang tidak memberi kesenangan laiknya anak muda alay masa kini yang dimanjakan mal, gedung bioskop, dan lainnya, tetapi ia hidup pontang-panting untuk menghidupi diri. Dari sinilah ia belajar memaknai hidup. Kota-kota di Jawa mempertemukannya dengan teaterwan kondang semacam Rendra, Motinggo Busye, Asrul Sani, Soekarno M Noor dan lainnya.  Di rumah Motinggo Busye ia sempat berlatih menggali ilmu teater dari teaterwan yang penulis novel ini.

Pendobrak Teater
            Di dunia perteateran Riau, lelaki yang mempunyai abang bernama Boya ini—Boya juga meninggal secara heroik dalam sebuah pertempuran di Kuala Enok, Riau, saat Belanda melancarkan Agresi Militer II tahun 1948—adalah pendobrak gaya berteater. Menurut Taufik Ikram Jamil dalam artikelnya di majalah Horison (edisi Oktober 2003), Idrus memperkenalkan teater modern di Bumi Melayu. Sebagaimana diketahui, dulu Riau identik dengan teater klasik ala para bangsawan. Maka datanglah Idrus yang mengubah semuanya.
            Inilah setumpuk kontribusi seni seorang Idrus. Hidupnya hanya dihabiskan di jalan seni. Pekerjaannya yang lain seperti wartawan, politikus, birokrat hanya dianggap sampingan saja. Maka tidak heran budayawan Riau Tenas Effendy berucap, ''Secara umum Idrus Tintin menjadi contoh bagi seniman dan budayawan lain di Riau dari segi kegigihannya dalam berkarya. Ia memang sahabat dan seniman yang luar biasa.'' (Http://www.tokohindonesia.com, akses 2/11/2013). Setakat ini, berbagai penghargaan telah didapatkan lelaki yang tidak menamatkan sekolah formal ini. Tahun 1996, ia diganjar Anugrah Sagang (penghargaan seni bergengsi di Riau), kemudian tahun 2001 ia beroleh Seniman Pemangku Negeri bidang teater dari Dewan Kesenian Riau. Namanya juga diabadikan menjadi nama Anjungan Seni di Kota Pekanbaru, “Anjung Seni Idrus Tintin”, tempat dihelatnya Festival Film Indonesia pada tahun 2007. Puncaknya adalah penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Republik Indonesia tahun 2011, dua tahun lalu.
            Tidak hanya di dunia pentas, di ranah sastra Idrus juga sudah menghasilkan buku puisi. Yang populer adalah Luput (1986) dan Burung Waktu (1990). Tapi dunia oral-lah yang menonjol dalam diri Idrus. Dunia oral yang dulu adalah ciri khas nenek moyang kita. Kita tahu, para seniman kita terdahulu identik dengan kelisanan, hingga lahirlah sastra lisan, tonil di kalangan bangsawan, pantun di ritual pernikahan, dan lain sebagainya. Agaknya, Idrus ingin meneruskan tradisi itu. Ada adagium mengatakan, “Yang lisan akan berlalu bersama angin, sedang tulisan tetap mengabadi”. Hal ini tidak sepenuhnya benar, setidaknya Idrus membuktikannya dengan tetap abadinya naskah-naskah drama yang didedahkannya dalam kanvas kehidupan sebelum ia dijemput oleh Sang Pemilik Semesta pada 14 Juli 2003, satu dekade lalu.  Wallahu a’lam bi al-shawab.
Jogja, November 2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar