Martabak dan Komersialisasi Cinta
Oleh: Sabil Bin Bakri
Kamis malam, 18 April 2013. Suara riuh
kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya kota Bulukumba[1] membisingkan daun telinga
Zul dan sahabatnya, Accank, yang sedang duduk di belakangnya dengan posisi
tangan melingkar di perut Zul. Mereka sedang berbagi canda di atas punggung
Kakatuanya. Nama Kakatua dipilihnya sebagai panggilan dari motor Mio J yang dipeliharanya
dengan tekun hingga sayap-sayapnya tampak mengkilap bin memikat. Banyak hal
yang mereka bicarakan, utamanya tentang status mereka yang telah lama dibilur
sepi tanpa kekasih. Keduanya juga banyak share masalah cewek-cewek
cantik yang mereka temui di sekolah selama berlangsungnya proses ujian nasional
yang masih tersisa tiga hari lagi sebelum sampai di titik akhir perjamuan
dengan kertas-kertas yang menyeramkan itu. Pertemuan dengan banyak gadis cantik
di sekolah merupakan masalah rumit bagi mereka yang tak mampu berkata-kata di
hadapan orang yang diincar-incarnya. Zul dan Accank adalah pemuda-pemuda kalem
dari desa Kindang.[2]
Kamis malam, ya, suatu malam yang telah
lama dinanti-nanti oleh Zul dan Accank beserta beberapa orang kawan lainnya. Di
tengah malam yang ramai itu, mereka akan mengadakan party di rumah bibi
dari Zul yang baru saja mendirikan rumah baru di belakang stadion sepak bola di
Jl. Samratulangi. Stadion itu berdiri di sebelah timur, menghadap ke rumah bibi
Ainun. Rumah bibi Ainun sendiri terletak di sebelah barat dari arah stadion.
Acaranya akan digelar malam itu juga. Berbagai perlengkapan yang memungkinkan
untuk dibutuhkan selama berjalannya acara dipersiapkan sedapat mungkin.
Naya, seorang remaja berperawakan tinggi
tapi kurus. Parasnya sederhana, aneh, tapi memikat. Entah apa yang membius hati
para pemuda kampung setiapkali melihat mukanya yang bening itu. Mungkin saja
karena sikap Naya yang selalu polos kepada siapa saja yang ia temui. Ia sedikit
menanamkan isme komunis dalam kehidupan sehari-harinya. Sama rata sama rasa.
Bahkan preman saja bisa ia taklukkan dalam sekejap kedipan mata. Siapa saja
akan merasa sok akrab bila bertatap muka dengannya. Di balik kepolosan
tingkahnya, setiap orang akan membangun asumsi kalau perempuan yang satu ini
merupakan satu dari beberapa perempuan unik di dunia. Namun, di balik semua
itu, tersimpan satu hal yang tak mampu ia taklukkan. Cinta.
Isran, kisah cinta yang ia bangun bersama Naya
selama bertahun-tahun bertahan dalam ketidakresmian. Hubungan mereka dipagari
oleh adat bangsa Bugis dan agama. Sesuai kaidah adat Bugis, keturunan bangsawan
harus dikawinkan dengan keturunan bangsawan, orang biasa dengan orang biasa,
kaum agamis juga musti hidup bersama kaum yang berpegang teguh pada ajaran agama.
Masyarakat yang hidup di kampung Naya adalah mayoritas penganut agama Islam.
Termasuk ayah Naya, seorang aktivis Islam. Kerjaan sehari-seharinya, selain
bertani, adalah nongkrong di masjid atau mushollah.
Dalam ketulusan, cinta mereka dipisahkan
oleh jarak dan kondisi batiniah yang tak pernah menyatu sampai akhir waktu.
Konsep Siri' na Pacce[3]
telah membuyarkan harapan yang mereka bina dalam jangka waktu yang tidak
sebentar. Agama di satu sisi menjadi penopang dari argumentasi yang seringkali
didengungkan oleh kedua orangtua Naya dalam memandang hubungan anak gadisnya
dengan pemuda yang tidak jelas identitasnya itu.
Sebagai resiko yang jelas-jelas mereka
paham hingga ke akar serabut hubungan terlarang yang mereka jalani, mereka
terpaksa harus menempuh jalur pacaran secara sembunyi-sembunyi. Jauh dari
lapisan penglihatan kedua orangtua Naya berserta anggota keluarga lainnya.
"Nay, kamu masih di kota ya, sayang?
Rencananya saya juga akan berangkat ke sana."
"Iya Ran, besok saya masih ujian.
Tapi itu udah hari terakhir kok ... oya,, kalo emang kamu mau ke sini, saya
akan tunggu kamu asal kamu hati-hati ... banyak keluarga yang mengawasi saya di
sini." Naya membalas sms dari kekasihnya dengan sangat hati-hati. Takut
ketahuan oleh Zul dan Accank yang lagi duduk di sofa yang berhadapan dengan
posisi duduknya.
"Baiklah, saya paham akan maksudmu
sayang ... saya akan mencari celah untuk mengajakmu jalan-jalan malam ini.
Tenang aja, saya sudah mengatur semuanya kok.." Sekilas Naya tersenyum.
Tapi senyum itu ditangkap langsung oleh antena yang tertancap di kepala Zul,
sang detektif evolusi dari Conan.
Bersama udara hatinya yang segar,
walaupun hawa panas menyesaki rumah yang baru saja dibangun itu, Naya tetap
saja bersemangat untuk membalas sms bermotif cerlang dari Isran. "Sip,,
sip,, sayang ... hati-hati ya..”
"Siap boss, dahh.."
"Dah.." Naya memeluk hp yang
digenggamnya, kepalanya menengadah ke atas langit-langit rumah. Sambil
tersenyum ia berucap, "Ran, kamu memang lelaki yang pengertian."
Mendengar itu, Zul dan Accank saling
beradu muka, lalu sepakat untuk menggeleng-geleng.
"Ya ampun, ni anak sukanya ngigau di
tengah keramaian yang kayak gini. Benar-benar aneh. Kenapa sih kamu Naya?"
"Nggak apa-apa kok, cuma ... saya
lagi senang aja." Sisa senyum masih melekat di sekitar wajahnya. Lesung
pipitnya terlihat manis saat ia membuka senyum. Itulah mungkin salah satu
alasan mengapa banyak pemuda yang tergila-gila padanya.
Terurai ombak kerutan di kening Accank,
"Eh malah senang, acara juga belum dimulai udah menikmati duluan. Nggak
adil kamu Nay.."
"Kamu kenapa sih? Bawel amat ...
Kayak nggak bisa liat orang senang aja kamu ini." Refleks kepala Naya
tergerak untuk menggeleng, "Accaaaaank .....
Accak."
Menanggapi ejekan halus Naya, Accank
hanya menjawab dengan diam. Terkadang diam adalah jawaban yang paling spesifik
bagi pertanyaan yang muncul dari rekaman alam bawah sadar manusia. Karena
pikiran bawah sadar memiliki potensi yang luar biasa. Ia selalu hadir apa
adanya. Kejujuran adalah kepribadiannya sebab ia tak akan mampu menampung apa
saja yang tidak sesuai dengan kenyataan. Alam bawah sadar selalu bercermin dari
esensi kebenaran.
* * *
Di tengah keramaian party dengan skala yang kecil, orang-orang yang datang ke rumah ibu
Ainun bersorak-sorai dengan perbincangan masing-masing. Ibu-ibu yang datang
jauh-jauh dari desa Kindang memang suka menggunjing atau bercerita tentang
pengalaman mereka yang saling berbeda-beda tapi dalam satu topik, yakni
data-data tentang keburukan tetangga.
Bagi mereka tiada pembicaraan paling
menarik selain gosip-gosip hangat tentang tetangga yang sedang jatuh miskin,
ekonomi tetangga yang sedang meningkat. Bila salah seorang tetangga membeli
kipas angin, mereka yang merasa berputar-putar. Bila tetangga membeli lemari
es, mereka yang merasa kedinginan. Dan jika ada di antara tetangga yang hendak
membeli motor atau mobil, yang lebih dulu kepanasan adalah mesin pikiran
mereka.
Beberapa jam sudah acara berlangsung,
tapi dari awal perasaan Zul mulai terganggu dan sekarang semakin mengusik
pikirannya. Tampaknya ada sesuatu yang kurang. Batang hidung Naya tidak pernah
kelihatan lagi setelah perbincangan hangat di ruang tamu satu jam yang lalu.
"Cank, si Lesung Pipit di mana sih?
Kok dari tadi saya tidak melihat rambut hitamnya yang tergurai halus dan lurus
itu?" Mata Zul menelikung ke segala arah, "kamu tau nggak kemana dia
pergi?"
"Nah, itu dia yang nggak saya
pahami." Kedua bola mata Accank juga mulai memeriksa setiap kepala yang
berjejer di hadapannya, "Naya di mana ya?" Intonasi suaranya lemah.
Dari bibir pintu ia tak melihat sosok yang dicarinya.
"Kak,, kak Zul ... kak Accank ...
Kak Naya dibawa kabur sama orang itu.." Fikri mengangkat telunjuknya ke
arah jalan yang menggaris di sayap kiri stadion, tepat di depan rumah yang
ditempai berpesta.
Zul terkesiap melihat ekspresi adik
bungsu dari Naya itu. Matanya terbelalak, "orang yang mana maksud kamu
Fik?" Hanya butuh waktu beberapa detik, bayangan Naya bersama seorang
pemuda berseragam biru campur hitam itu--lenyap bersama kepulan asap motor
Yamaha Rx-King yang dikendarainya.
* * *
Di daun pintu, tubuh seorang bujang
tersandar layu. Matanya meneduh, raut mukanya seperti kehilangan darah, pucat.
Amarahnya bertarung bersama detak jantungnya yang sesekali melompat-lompat.
Bujang itu berusaha berdiri dengan segala kekesalannya. Ujung jari-jarinya
berselimut di balik saku celana jeans merk levisnya. Kerisauannya tergambar
lewat pemandangan yang cukup aneh dan mencemaskan oleh mata setiap orang yang
meliatnya.
"Zul, kamu nggak apa-apa kan?"
"Nggak, saya cuma kesal aja. Selain
itu saya juga khawatir jangan sampai lelaki brengsek itu bersikap kurang ajar
kepada Naya ..." ia menghela nafasnya perlahan,
lalu melepasnya secara terpaksa, "Kalau sampai itu terjadi, saya tidak
akan memberi ampun untuknya. Naya adalah sepupu saya Cank!" Ia memberi penekanan pada
kalimatnya yang terakhir.
"Betul Zul, saya juga kesal ...
lagian kita kan orang yang diberi kepercayaan oleh orangtua Naya untuk
memantaunya dari kejaran laki-laki tidak jelas itu ..." Ujar Accank sambil mengepalkan
jemarinya.
"Cank, gimana kalo kita mengikuti
mereka dari belakang? Kita pantau ke mana mereka akan pergi?" Kilah Zul
sembari meletakaan ujung telunjuk di dasar keningnya.
"Saya setuju Zul ... Kalo begitu,
kita berangkat sekarang juga"
Mereka akhirnya memutuskan untuk
meninggalkan keramaian menuju entah ke mana, mereka juga tidak tahu arah mana
yang dituju oleh Naya dan pemuda itu. Di depan pintu masuk stadion, terdapat
sebuah gerobak martabak yang didampingi oleh pemiliknya, seorang tua dengan
peci hitam di kepalanya. Di pinggiran jalan yang membatasi stadion dengan
trotoar, terparkir sebuah motor Yamaha RX-King warna biru.
"Kak, coba liat motor itu ..."
Fikri mengarahkan pandangan dua orang di sampingnya. "Bukannya itu motor
laki-laki yang membonceng kak Naya tadi?"
Kedua bola mata Zul menelikung, lalu
tiba-tiba membelalak. "Iya benar ... itu dia orangnya. Ayo kita ke sana
.."
"Zul, tunggu dulu, tidak usah
terburu-buru ..." Accank menarik pergelangan tangan Zul yang sigap
mengangkat telapak kakinya, "sebaiknya kita selidiki dulu apa yang
mereka lakukan ..."
"Ya udah." Tubuh Zul secepat
kilat melemah, emosinya tertahan.
"Atau begini, gimana kalo Fikri saja
yang duluan menghampiri mereka ... nanti kalo ada
apa-apa kita yang akan bertindak. Fikri kan adiknya, jadi otomatis laki-laki
itu akan segan." Accank menuangkan ide cemerlangnya.
"Sepakat!" Zul bersikap tegas.
"Tapi kak ..."
"Ayo buruan Fik ... Nggak usah
risau, nanti kalo ada apa-apa biar kami yang membantu.." Accank meyakinkan
Fikri sembari mengulurkan tangan kanannya. Membuka jalan agar anak ingusan itu
segera melangkah.
Fikri akhirnya meninggalkan kedua
bujangan itu. Langkahnya tergopoh-gopoh, keningnya dijatuhi keringat dingin.
Pipinya yang tembam berurai cemas, diiringi dengan badannya yang gemuk yang
berat untuk ia gerakkan. Sementara Zul dan Accank menunggunya di sebuah warung
kopi dengan segelas kopi hangat di atas meja. Sluuuurp--Accank
menyeruput kopinya yang masih hangat.
* * *
Kening Zul berkerut menatapi jam yang
meliliti pergelangannya. Sudah setengah jam selama kepergian Fikri tapi mereka
masih asyik membaca koran sambil sesekali menyeduh air kopi yang tinggal
seperempat gelas. Melihat itu, mereka pun akhirnya keluar dari kediaman yang
membuat mereka benar-benar menunggu dalam jangka waktu yang cukup lama.
"Kak Zul,,, kak Accank ..."
tiba-tiba Fikri muncul di hadapan mereka dengan menjinjing tiga porsi martabak
hangat yang dikemas dengan tiga kresek warna hitam. "Nih coba liat nih apa
yang saya bawa .." Sambungnya dengan suara mengambang sambil mengunyah.
Kedua sisi pipinya menggelembung.
Serentak mata dua bujangan itu melempar
pandangan ke tangan Fikri dan tiga bingkisan martabak di pangkal
jari-jemarinya.
"Fik, kamu dapat dari mana martabak
itu?" Accank bertanya penuh penasaran, sedangkan Zul hanya diam
memandangi.
Fikri agak kesulitan menjawab, mulutnya
tertanggul oleh sobekan martabak yang masih tersisan di mulutnya. "Eh, kak
Accank tau aja kalo ini martabak ... Nih, satu buat kak Accank, satu buat mama
dan papa di rumah, dan satunya lagi buat kak Zul." Fikri mengulurkan tangannya, lalu
membagikan satu per satu bingkisan ke tangan kedua pemuda yang sedang
kebingungan.
Setelah lama terdiam, Zul akhirnya angkat
bicara. "Fik, kamu belum menjawab pertanyaan kak Accank tadi. Saya
perjelas lagi yah!" terlintas senyum yang dipaksakan dari rona wajahnya, "Fikri dapat ini dari mana?"
Jelas Zul sembari meninggikan tangannya bersama bingkisan martabak misteri di
telunjuknya yang melengkung seperti kail.
"Da...da..da ... dari kakak yang
tadi ..." jawabnya terbata-bata, lantas membuat bibirnya kemudian cemberut, "dari pemuda yang membawa pergi kak
Naya."
Sontak Zul dan Accank terperanjat dari
tempat mereka berdiri. Sorot mata mereka menegang, trotoar jalan seperti mau
pecah. Mobil yang lalu lalang terlihat seperti saling bertabrakan. Amarah Zul
semakin membara.
"Bedebah—"
"Tapi dia baik kok kak ... tadi
Fikri diajari tentang cara-cara menghajar musuh dalam game Kunfu Panda ..." Fikri mengurai senyum sembari memelas, "buktinya dia menitip bingkisan martabak
untuk kak Zul, kak Accank, dan mama-papa di rumah.." Pelupuk matanya
tenggelam bersama gelembung pipinya yang ditutup bersama senyum lebar, hingga
bola matanya mengecil. Sayup-sayup dangkal.
"Astagfirullahalazim Fikri."
Zul menggeleng lemas, "itu tandanya kamu menukar kakakmu dengan
martabak dek ... Huuhhh ..." Zul dan Accank serentak
melepaskan nafas hingga meliuk-liuk di atas udara—
“Semurah itukah
cinta?” Fikri tetap tersenyum dengan santainya.
"Martabak dan komersialisasi
cinta." Accank ikut bergumam.
Jogja, 24 Oktober 13,
kamar belajar, 02.19 AM
[1] Kota
Bulukumba merupakan kota kabupaten yang terletak di provinsi Sulawesi Selatan,
tidak jauh dari kota Makassar.
[2] Desa
Kindang, sebuah desa yang terletak di sebelah barat Kota Bulukumba. Desa yang
banyak terdapat pohon cengkih, kopi, dan kakao.
[3]
Siri' menurut makna harfiahnya adalah malu atau perasaan
malu. Sedangkan makna kulturalnya, kata ini berkaitan dengan hal kehidupan
budaya masyarakat suku bangsa Bugis-Makassar. Ia adalah sistem nilai
sosiokultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan
martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Adapun konsep
pacce selalu dipandang sebagai perpaduan dengan konsep siri'. Ada
yang mengatakan pacce merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari siri'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar