Gerakan
Literasi dari Cafe
Ahmad
Sahide
Hari ini saya kembali menginjakkan
kaki di kota Makassar, kota di mana saya menamatkan studi sekolah menengah
sepuluh tahun lalu sebelum akhirnya memilih untuk hijrah ke tanah Jawa.
Sebenarnya agenda utama saya kembali ke Makassar (Bulukumba) pada hari ini
adalah dalam rangka acara keluarga, namun karena saya dikenal oleh beberapa
teman sebagai anak muda yang bergerak dalam dunia literasi (tulis-menulis) maka
saya pun ‘dibajak’ (dalam istilah Sulhan Yusuf) oleh teman-teman Pemuda
Muslimin Cabang Takalar untuk sharing terkait dunia kepenulisan yang dia beri
tema “Darah Kepenulisan” dalam “Obrolan Cikalia”.
Udangan untuk hadir berbicara dan sharing
banyak terkait dengan dunia tulis-menulis dalam forum tersebut adalah sebuah
kehormatan tersendiri bagi saya. Itu pun saya apresiasi dengan tinggi. Oleh
karena itu, tidak lama mendarat di bandara Sultan Hasanuddin Makassar, saya pun
segera meluncur ke Takalar tadi siang, setelah menunaikan ibadah salat Jum’at
di wilayah Mannuruki II. Agenda ke Bulukumba, ke kampung halaman, terpaksa saya
tunda satu atau dua hari. Saya pun tiba di tempat yang dimaksud jam dua kurang
beberapa menit Waktu Indonesia Tengah (WITA).
Café Tua-Muda
Hal yang menarik perhatian saya dari “Obrolan Cikalia” ini adalah dengan diadakannya
di café Tua-Muda. Ini tentu menjadi momentum untuk melahirkan budaya literasi
dari café ke café. Jika café selama ini selalu diidentikkan dengan tempat yang
hanya berurusan dengan perut semata, maka diskusi serius yang dikemas ringan
ini akan menjadi budaya baru dengan divermaknya café menjadi tempat untuk
urusan perut sekaligus sebagai tempat memassifkannya gerakan literasi. Sisi
itulah yang menarik bagi saya di samping bahwa yang menggerakkan gerakan
literasi ini adalah guru-guru yang mengabdi di kabupaten. Ini menarik untuk
dicontoh untuk melakukan hal yang sama di daerah-daerah lain. Melakukan gerakan
literasi dari sekolah ke sekolah dan dari daerah ke daerah. Jika hal itu
dilakukan oleh banyak guru di Indonesia, tentulah kita bisa bermimpi
tinggi-tinggi akan terciptanya bangsa Indonesia yang berperadaban tinggi kelak.
Sebagaimana juga saya paparkan tadi di forum tersebut bahwa tulisan adalah ciri
khas dari setiap peradaban yang ada dan yang pernah ada.
Ini memang bukanlah pekerjaan yang
mudah. Terlebih kita berbicara dunia tulis-menulis. Dunia yang hanya digeluti
oleh sekelompok orang. Jangankan menulis, membangun gerakan membaca saja di
beberapa daerah dianggap berbahaya oleh sebagian besar guru. Banyak guru, terutama
yang cara berpikirnya sempit dan pendek (maaf) berpikiran bahwa membaca
buku-buku selain mata pelajaran tidak ada kaitannya dengan tingkat kecerdasan
anak. Inilah rintangan terbesar yang harus dihadapi oleh kelompok-kelompok
orang yang bergerak dalam dunia literasi. Dimulai dengan membangun kesadaran
dari guru akan pentingnya membaca dan menulis bagi setiap orang. Dan juga
membangun kesadaran para guru (pendidik) untuk membaca, kalau memang tidak bisa
menulis.
Diskusi
tadi sore tentu menjadi pengalaman yang bisa dijadikan inspirasi oleh siapa pun
itu. Membangun bangsa dan negara dengan melakukan gerakan literasi dari
kabupaten ke kabupaten. Tempatnya tidak harus mewah, seperti hotel, tetapi bisa
dari café ke café. Hassan al-Banna juga pada awalnya melakukan gerakan dakwah
dari café ke café sampai pada akhirnya mendirikan Ikhwanul Muslimin. Oleh
karena itu, janganlah mengaburkan kehadiran café sebagai bagian dari pergerakan
sosial. Liriklah café sebagai tempat untuk membangun gerakan perubahan, termasuk
gerakan literasi.
Itulah
pesan penting yang bisa saya abadikan dari hasil diskusi tadi sore. Dan
ternyata saya dikagetkan oleh pengunjung café yang duduk di sebelah, tidak
masuk dalam hitungan peserta, yang mengangkat tangannya dan bertanya. Ternyata
diam-diam dia memperhatikan diskusi yang membahas panjang lebar terkait dunia
tulis-menulis. Itulah salah satu manfaatnya menjadikan café sebagai wadah
pergerakan literasi. Kita mendekatkan gerakan ini kepada orang-orang yang
mungkin pada awalnya hanya berpikir perut semata. Dari sanalah gerakan
kesadaran itu dimulai!
Makassar, 18 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar