Rabu, 16 Oktober 2013

Timur Tengah dalam Pemberitaan Media



Timur Tengah dalam Pemberitaan Media
Ahmad Sahide
            Beberapa minggu yang lalu, saya diminta menjadi pembicara dalam Training Politik dan Advokasi yang diselenggrakan oleh teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII). Tema yang diberikan kepada saya adalah “Analisis Media”. Tema yang sudah sering kali saya sampaikan di berbagai forum dan training. Dari hasil diskusi tanya-jawab di forum tersebut, ada pertanyaan yang mengantarkan saya melihat peran media dalam pembentukan opini publik. Karena saya adalah mahasiswa dari Kajian Timur Tengah (KTT) Universitas Gadjah Mada (UGM), maka saya pun membandingkan peran media dalam pembentukan opini publik antara Mesir dan Suriah. Dari forum training itulah terbersit niat untuk menulis peran media dalam kisruh politik di negara-negara Arab beberapa tahun terakhir.  Dan hasilnya adalah yang anda sedang baca ini.

Mesir dan Suriah dalam Perbandingan
            Matthew Kieran menuliskan bahwa berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa. Berita  dibentuk dari ideologi yang dominan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap media punya ideologinya masing-masing. Ideologi itulah yang mempengaruhi framing dalam pemberitaan terkait bagaimana berita dibingkai dan disajikan kepada khalayak. Sebuah berita bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh media. Dan Peta ideologilah yang  menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan dalam tempat-tempat tertentu.
            Pemberitaan akan dunia Arab, baik sebelum maupun setelah The Arab Spring (Musim Semi Arab) bergejolak, tidak terlepas dari framing dan ideologi media yang hadir di sana. Apa yang terjadi dilihat secara ideologis dengan kepentingan tertentu. Sebagaimana dalam forum training tadi, contoh yang saya angkat dan bandingkan adalah Mesir dan Suriah. Bagi pemerhati politik dunia Arab, Timur Tengah secara lebih luas, dengan mengikuti pemberitaan media akan Mesir dan Suriah, maka akan terlihat dengan jelas peran media yang framingnya dibentuk oleh ideologi.  
            Sejak The Arab Spring bergejolak, yang dimulai dari Tunisia, lalu merambah ke Mesir, Libya, dan juga Suriah, rezim Suriah (Bashar al-Assad) adalah pihak yang paling tidak diuntungkan. Dalam setiap pemberitaan terkait Suriah, rezim Bashar al-Assad selalu dipojokkan dan digambarkan sebagai pemimpin yang rela membantai rakyatnya sendiri. Setiap kali terjadi pertempuran antara rezim dengan oposisi, porsi pemberitaan negatif terhadap rezim lebih besar, sementara pemberitaan terhadap oposisi pada umumnya positif. Di sinilah peran media yang tidak menguntungkan bagi rezim al-Assad dan hal itu dapat dipahami karena memang selama ini rezim al-Assad berada dalam barisan kubu oplitik di kawasan Timur Tengah yang anti dengan Barat (Amerika Serikat). Sementara media internasional yang kuat adalah media yang dikuasai atau dimiliki oleh Barat. Bahkan Kompas, sebagai media cetak terbesar di Indonesia, seringkali mengutip berita dari media-media Barat terkait Timur Tengah. Kebencian Amerika terhadap rezim al-Assad yang sudah lama membangun aliansi politik dengan China, Rusia, dan Iran, serta keberpihakannya terhadap oposisi mempengaruhi framing pemberitaan tersebut. Rezim al-Assad selalu dipojokkan, sementara pihak oposisi diangkat. Tulisan ini bukanlah bentuk keberpihakan terhadap rezim, hanya saja mencoba melihat secara objektif peran media dalam pemberitaan.
            Sekarang, mari kita bandingkan dengan Mesir. Pada awal Juli lalu, militer yang ‘menunggangi’ massa berhasil mengambil alih kekuasaan dari Muhammad Mursi secara tidak konstitusional (kudeta), yang baru setahun dilantik sebagai presiden Mesir. Apa pun alasannya, mengambil alih kekuasaan secara tidak konstitusional tidak bisa dibenarkan. Namun demikian, Barat dan pemberitaan media tidak pernah dengan keras mengecam militer yang membajak demokrasi di Mesir.  Media-media tidak melihat militer Mesir sama dengan melihat Bashar al-Assad. Bashar al-Assad selalu diberitakan sebagai pemimpin yang tidak lagi memiliki legitimasi, namun media Barat menutup mata untuk mengatakan bahwa militer yang berkuasa di Mesir sekarang adalah pemerintahan yang tidak sah. Bahkan al-Assad dapat dikatakan lebih memiliki legitimasi sebagai presiden karena diangkat secara konstitusional, meskipun ada berbagai permainan politik di dalamnya, daripada pemimpin Mesir saat ini yang mengambil alih kekuasaan secara tidak konstitusional. Namun, keberpihakan Barat dan media terhadap militer membuat peralihan kekuasaan yang tidak konstitusional ini tidak disorot lebih tajam. Melihat Mesir dan Suriah membenarkan kata Matthew Kieran bahwa berita memang tidak lahir dari ruang hampa!    (Yogyakarta, 13 Oktober 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar