Timur
Tengah dalam Pemberitaan Media
Ahmad
Sahide
Beberapa minggu yang lalu, saya
diminta menjadi pembicara dalam Training Politik dan Advokasi yang
diselenggrakan oleh teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (FH UII). Tema yang diberikan kepada saya adalah “Analisis
Media”. Tema yang sudah sering kali saya sampaikan di berbagai forum dan
training. Dari hasil diskusi tanya-jawab di forum tersebut, ada pertanyaan yang
mengantarkan saya melihat peran media dalam pembentukan opini publik. Karena
saya adalah mahasiswa dari Kajian Timur Tengah (KTT) Universitas Gadjah Mada
(UGM), maka saya pun membandingkan peran media dalam pembentukan opini publik
antara Mesir dan Suriah. Dari forum training itulah terbersit niat untuk
menulis peran media dalam kisruh politik di negara-negara Arab beberapa tahun
terakhir. Dan hasilnya adalah yang anda
sedang baca ini.
Mesir dan Suriah dalam Perbandingan
Matthew Kieran menuliskan bahwa berita
tidaklah dibentuk dalam ruang hampa. Berita dibentuk dari ideologi yang dominan. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa setiap media punya ideologinya masing-masing. Ideologi
itulah yang mempengaruhi framing
dalam pemberitaan terkait bagaimana berita dibingkai dan disajikan kepada
khalayak. Sebuah berita bisa jadi dibingkai dan dimaknai secara berbeda oleh
media. Dan Peta ideologilah yang menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan
diletakkan dalam tempat-tempat tertentu.
Pemberitaan akan dunia Arab, baik
sebelum maupun setelah The Arab Spring
(Musim Semi Arab) bergejolak, tidak terlepas dari framing dan ideologi media yang hadir di sana. Apa yang terjadi
dilihat secara ideologis dengan kepentingan tertentu. Sebagaimana dalam forum
training tadi, contoh yang saya angkat dan bandingkan adalah Mesir dan Suriah.
Bagi pemerhati politik dunia Arab, Timur Tengah secara lebih luas, dengan
mengikuti pemberitaan media akan Mesir dan Suriah, maka akan terlihat dengan
jelas peran media yang framingnya
dibentuk oleh ideologi.
Sejak The Arab Spring bergejolak, yang dimulai dari Tunisia, lalu
merambah ke Mesir, Libya, dan juga Suriah, rezim Suriah (Bashar al-Assad)
adalah pihak yang paling tidak diuntungkan. Dalam setiap pemberitaan terkait
Suriah, rezim Bashar al-Assad selalu dipojokkan dan digambarkan sebagai
pemimpin yang rela membantai rakyatnya sendiri. Setiap kali terjadi pertempuran
antara rezim dengan oposisi, porsi pemberitaan negatif terhadap rezim lebih
besar, sementara pemberitaan terhadap oposisi pada umumnya positif. Di sinilah
peran media yang tidak menguntungkan bagi rezim al-Assad dan hal itu dapat
dipahami karena memang selama ini rezim al-Assad berada dalam barisan kubu
oplitik di kawasan Timur Tengah yang anti dengan Barat (Amerika Serikat). Sementara
media internasional yang kuat adalah media yang dikuasai atau dimiliki oleh
Barat. Bahkan Kompas, sebagai media cetak terbesar di Indonesia, seringkali
mengutip berita dari media-media Barat terkait Timur Tengah. Kebencian Amerika
terhadap rezim al-Assad yang sudah lama membangun aliansi politik dengan China,
Rusia, dan Iran, serta keberpihakannya terhadap oposisi mempengaruhi framing pemberitaan tersebut. Rezim
al-Assad selalu dipojokkan, sementara pihak oposisi diangkat. Tulisan ini
bukanlah bentuk keberpihakan terhadap rezim, hanya saja mencoba melihat secara
objektif peran media dalam pemberitaan.
Sekarang, mari kita bandingkan dengan
Mesir. Pada awal Juli lalu, militer yang ‘menunggangi’ massa berhasil mengambil
alih kekuasaan dari Muhammad Mursi secara tidak konstitusional (kudeta), yang
baru setahun dilantik sebagai presiden Mesir. Apa pun alasannya, mengambil alih
kekuasaan secara tidak konstitusional tidak bisa dibenarkan. Namun demikian,
Barat dan pemberitaan media tidak pernah dengan keras mengecam militer yang
membajak demokrasi di Mesir. Media-media
tidak melihat militer Mesir sama dengan melihat Bashar al-Assad. Bashar al-Assad
selalu diberitakan sebagai pemimpin yang tidak lagi memiliki legitimasi, namun
media Barat menutup mata untuk mengatakan bahwa militer yang berkuasa di Mesir
sekarang adalah pemerintahan yang tidak sah. Bahkan al-Assad dapat dikatakan
lebih memiliki legitimasi sebagai presiden karena diangkat secara
konstitusional, meskipun ada berbagai permainan politik di dalamnya, daripada
pemimpin Mesir saat ini yang mengambil alih kekuasaan secara tidak
konstitusional. Namun, keberpihakan Barat dan media terhadap militer membuat
peralihan kekuasaan yang tidak konstitusional ini tidak disorot lebih tajam.
Melihat Mesir dan Suriah membenarkan kata Matthew Kieran bahwa berita memang
tidak lahir dari ruang hampa! (Yogyakarta,
13 Oktober 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar