Minggu, 13 Oktober 2013

Jazz, Tuhan, dan Pagar yang Dilompati



Jazz, Tuhan, dan Pagar yang Dilompati
Darwin
            Berbekal tiket bronze—tiket kasta paling rendah—di tangan, malam itu (3 September) saya meluncur bersama teman menuju Taman Budaya Yogyakarta (TBY) yang terletak di samping Shopping Center. “Jazz 7 Langit” hasil kreasi Emha Ainun Nadjib (Caknun) telah ada dalam benak. Jazz yang saya nanti-nantikan karena rasa penasaran. Ya. Sebelumnya saya tidak pernah menonton konser musik jazz secara langsung.
            Setelah parkir di luar pagar TBY, kami langsung menuju bagian belakang TBY. Tiada lain yang dituju tentu saja toilet. Ini dilakukan supaya tidak ada gangguan ketika konser sedang berlangsung. Sudah menjadi kebiasaan, saya tidak mau diusik oleh hal apa pun ketika acara sedang berlangsung. Ternyata khusyuk tidak hanya dalam salat. Dalam pertunjukan musik pun dibutuhkan konsentrasi tinggi, agar merdunya suara dan dentingan serta gebukan alat musik bisa dinikmati sepenuh hati.
            Tujuan berikutnya adalah lantai atas gedung berwarna putih itu, di sanalah konser jazz dihelat. Sebuah ruang nan besar yang biasa menjadi tempat pertunjukan-pertunjukan seni. Setelah lantai atas diinjak, sebelum masuk ke ruangan, saya melihat penonton berjubel di tangga naik menuju pintu ruangan konser. Bisa jadi karena pintu ruangan belum dibuka oleh panitia pertunjukan. Tepat di bawah tangga, ada cewek-cewek cantik dengan dandanan rapi duduk di atas kursi dengan meja di hadapan mereka. Di atas meja berderet bungkus salah satu produk rokok berwarna hitam. Hmm, sponsor, itu yang ada dalam pikiran saya.
Sebelum ikut antre, saya sempatkan lebih dahulu melihat-lihat majalah sastra Sabana yang dijajakan setelah tangga naik dari lantai bawah, majalah yang malam itu dijual dengan harga miring. Saya cuma bisa melihat nama-nama penulis yang tertera di sampul depannya. Isinya tidak berhasil saya intip karena bungkus plastik yang membalut majalah itu. Tidak hanya majalah yang dijajakan, ada pula kaos yang berhubungan dengan Caknun dan Kiai Kanjeng. Harganya mencapai tujuh puluh ribuan. Setelah melihat-lihat apa yang dijajakan, saya menoleh ke arah sebelah kanan tangga. Di sana ada Caknun sedang berdiri bersama sang istri Novia Kolopaking. Caknun malam itu tampil bersahaja. Ia hanya dibalut kemeja putih dan celana katun hitam dengan sepasang sandal menjadi alas kakinya. Novia Kolopaking mengenakan jaket hitam selutut dan jins. Terlihat ada syal coklat bergaris hitam dan putih diselempangkan di lehernya. Tas berwarna putih ada dalam jinjingannya. Orang-orang yang ada di sana sibuk berfoto dengan dua orang kondang ini. Saya hanya diam memerhatikan sambil berdiri dengan jarak satu meter. Selain berfoto, pengunjung malam itu juga bersalaman dengan Caknun. Ini sudah menjadi kebiasaan para penggemar Caknun. Bahkan di acara Maiyahan yang dihelat setiap bulan di Yogyakarta, banyak dari pengikut Caknun yang mencium tangannya. Salah satu tradisi dalam masyarakat Jawa. Yakni memuliakan orang-orang besar dengan mencium tangan.
Tidak berapa lama, sekitar jam 19.30 pintu ruangan konser pun dibuka. Di sana telah menunggu seorang penjaga. Dengan berdesakan orang-orang memasuki ruangan yang sering disebut Concert Hall itu. Saya melihat penjaga berbaju kemeja berwarna hitam sampai kewalahan memeriksa setiap karcis yang disodorkan. Sampai di dalam, saya langsung duduk di kursi kasta paling rendah, paling jauh dari panggung, kursi yang ketika diduduki terasa keras. Di hadapan, kursi kasta kedua terlihat masih kosong. Tiba-tiba panitia mempersilakan saya dan teman duduk di kursi kasta kedua tadi. Ini adalah berkah. Merasakan kursi yang lebih empuk.
Konser malam itu dibuka dengan penampilan Ben Ben Jazz and Friends dengan membawakan lagu Summer Time. Beberapa lagu didendangkan oleh sang vokalis yang bernama Yudi, sebelum Inna Kamarie membawakan lagu Sad But True-nya Metallica. Suara sang vokalis ini melengking tinggi. Di sela-sela lagu, Ben Ben yang merupakan pimpinan grup, menceritakan sejarah musik jazz. Pengetahuan baru tentang jazz saya dapatkan malam itu. Selama ini saya hanya tahu tentang musik dangdut, atau pop saja. Malam itu, diceritakan mengenai awal mula musik jazz. Di mana, musik jazz semi modern bermula di Amerika Serikat pada awal tahhun 20-an. Tentu saja akarnya adalah dari Afrika.
Berikutnya musik jazz ikut berevolusi mengikuti gerak zaman. Awalnya musik jazz sempat diidentikkan dengan rumuh bordil dan perempuan-perempuan panggilan. Namun, pada akhirnya jazz adalah suatu jenis musik nan menghibur bahkan bisa dikatakan semakin mempunyai daya magis-spiritual karena menikmatinya adalah dengan penuh penghayatan, dengan hati yang tidak terjelaskan (http://www.websejarah.com, diakses 5/10/2013).
 Fase selanjutnya, jazz terus berevolusi. Tahun 30-an, misalnya, genre jazz dinamakan swing. Improvisasi melodi menjadi ciri khasnya. Pada tahun 1940-an, tempo dalam musik jazz semakin cepat, mungkin ini bersesuaian dengan dunia modern yang mengandalkan kecepatan. Orang-orang modern selalu ingin cepat, tanpa mau peduli dengan proses. Genre jazz jenis ini dinamakan bebop. Sementara di era digital saat ini, jazz semakin modern dengan genre-genre yang tak terpikirkan sebelumnya. Ada funk jazz, acid jazz, dan yang lainnya (http://www.websejarah.com, diakses 5/10/2013).
 
Ada Tuhan di dalam jazz
Jazz yang ditampilkan hingga pukul 11 malam itu di luar perkiraan saya. Sebelumnya saya menduga, hanya sekadar petikan gitar, cabikan bass, pencetan piano, dan tiupan saksofon saja yang menggema di ruangan itu. Ternyata tidak. Sesuai dengan tagline pertunjukan “More Than Jazz That You Know”, jazz malam itu dibalut dengan aura ketuhanan. Visualisasi yang dipancarkan dengan LCD menunjukkan. Kata-kata Caknun dalam bentuk tulisan filosofis berkait jazz tertera di sana sepanjang pertunjukan. Kata-kata seperti: “jazz mencari ada dalam tiada, jazz menemukan tiada dalam ada”, “jazz berpijak di satu bumi, jazz menjelajah ke tujuh langit”, dan banyak kata-kata penuh makna lainnya lagi. Unsur-unsur ketuhanan memang melebur dalam pergelaran jazz malam itu. Penampilan Inna Kamarie, penyanyi jazz eks punggawa Dewi-Dewi juga tak bisa lepas dari nuansa spritualitas. Di sela-sela lagu yang dibawakannya tak henti-hentinya ia menyebutkan nama Tuhan. Mungkin ini ada kaitannya dengan hidup Inna Kamarie di masa lalu dan tentu saja ada Caknun di belakangnya. Kita tahu Caknun selama ini adalah seorang pendakwah denagn puisi-puisinya, juga musik Kiai Kanjeng-nya.
Inna Kamarie dulunya adalah “orang aneh” seperti disebutkannya sendiri malam itu. Suaminyalah yang menyelamatkan hidupnya dari perilaku-perilaku dunia gelap yang sempat menghampirinya. Belakangan hidupnya semakin “terselamatkan” setelah bertemu Caknun, dan sering tampil satu panggung dengan Kiai Kanjeng. Sosok seorang Caknun memang selalu berbagi kebaikan dengan sesama, Inna Kamarie dan suaminya Ben Ben mendapat cipratannya. Berdakwah dengan musik. Bahkan jazz bisa menjadi ajang dakwah di tangan seorang Caknun.
Yang membuat lebih menarik pertunjukan, tentu saja aksi Kiai Kanjeng dengan gamelan khasnya. Kolaborasi jazz dan Kiai Kanjeng sungguh membuat pengunjung tersihir. Ditingkahi pula oleh ulah kocak personel Kiai Kanjeng dan Inna Kamarie. Inna Kamarie yang dibalut pakaian serba hitam itu membuat penonton sering tertawa. Tingkahnya yang sering menggoda para anggota Kiai Kanjeng  membuat pertunjukan tidak monoton. Ditambah lagi lagu-lagu daerah yang dibawakannya, seperti Gundul-gundul Pacul, Hujan Gerimis dengan logat yang dibuat-buat, yang terkadang mendesah, semakin kentallah nuansa humor di konser yang dipromotori Kun Fayakun (KFK) Management itu. Bahkan di akhir acara Inna Kamarie mengatakan: “Terima kasih kepada penonton, berkat penontonlah anak-anak kami bisa sekolah!” sontak saja derai tawa penonton membahana di seisi gedung.

Lompatan Pagar
Jazz saat ini bukan lagi monopoli kelompok borjuis seperti zaman dulu di Eropa. Visualisasi yang ada dalam sorot LCD di belakang panggung malam itu mengatakan: “Jazz melompati pagar dan menembus batas-batasan”. Ya. Inilah yang terjadi belakangan. Jazz ditampilkan di pasar-pasar becek, di jalan-jalan, dan pelosok-pelosok desa. Padahal, dulunya selalu dihelat di kota dengan ruang eksklusif, ditambah lagi tiket nan mahal.  Sebagai amsal, pertengahan September lalu, jazz diadakan di tengah-tengah pasar Gede dan Kabangan, di kota Solo, Jawa Tengah. Inilah momen dekastaisasi. Sebuah kelenturan yang luar biasa. Seni memang harus bisa dinikmati oleh semua kalangan. Estetika dalam seni seharusnya bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat tanpa mengenal kasta. Tuhan saja menyukai keindahan, kenapa pula ada hijab yang menghalangi orang-orang kecil untuk menikmati keindahan yang terejawantahkan dalam seni, khususunya musik jazz yang saya nikmati di malam Jumat kemarin itu. Wallahu a’lam bi al-shawab. ***
Yogya, Oktober 2013


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar