Jazz,
Tuhan, dan Pagar yang Dilompati
Darwin
Berbekal
tiket bronze—tiket kasta paling
rendah—di tangan, malam itu (3 September) saya meluncur bersama teman menuju
Taman Budaya Yogyakarta (TBY) yang terletak di samping Shopping Center. “Jazz 7
Langit” hasil kreasi Emha Ainun Nadjib (Caknun) telah ada dalam benak. Jazz
yang saya nanti-nantikan karena rasa penasaran. Ya. Sebelumnya saya tidak
pernah menonton konser musik jazz secara langsung.
Setelah
parkir di luar pagar TBY, kami langsung menuju bagian belakang TBY. Tiada lain
yang dituju tentu saja toilet. Ini dilakukan supaya tidak ada gangguan ketika
konser sedang berlangsung. Sudah menjadi kebiasaan, saya tidak mau diusik oleh
hal apa pun ketika acara sedang berlangsung. Ternyata khusyuk tidak hanya dalam
salat. Dalam pertunjukan musik pun dibutuhkan konsentrasi tinggi, agar merdunya
suara dan dentingan serta gebukan alat musik bisa dinikmati sepenuh hati.
Tujuan
berikutnya adalah lantai atas gedung berwarna putih itu, di sanalah konser jazz
dihelat. Sebuah ruang nan besar yang biasa menjadi tempat
pertunjukan-pertunjukan seni. Setelah lantai atas diinjak, sebelum masuk ke
ruangan, saya melihat penonton berjubel di tangga naik menuju pintu ruangan
konser. Bisa jadi karena pintu ruangan belum dibuka oleh panitia pertunjukan.
Tepat di bawah tangga, ada cewek-cewek cantik dengan dandanan rapi duduk di
atas kursi dengan meja di hadapan mereka. Di atas meja berderet bungkus salah
satu produk rokok berwarna hitam. Hmm,
sponsor, itu yang ada dalam pikiran saya.
Sebelum ikut antre, saya sempatkan lebih dahulu
melihat-lihat majalah sastra Sabana yang
dijajakan setelah tangga naik dari lantai bawah, majalah yang malam itu dijual
dengan harga miring. Saya cuma bisa melihat nama-nama penulis yang tertera di
sampul depannya. Isinya tidak berhasil saya intip karena bungkus plastik yang
membalut majalah itu. Tidak hanya majalah yang dijajakan, ada pula kaos yang
berhubungan dengan Caknun dan Kiai Kanjeng. Harganya mencapai tujuh puluh
ribuan. Setelah melihat-lihat apa yang dijajakan, saya menoleh ke arah sebelah
kanan tangga. Di sana ada Caknun sedang berdiri bersama sang istri Novia
Kolopaking. Caknun malam itu tampil bersahaja. Ia hanya dibalut kemeja putih
dan celana katun hitam dengan sepasang sandal menjadi alas kakinya. Novia
Kolopaking mengenakan jaket hitam selutut dan jins. Terlihat ada syal coklat
bergaris hitam dan putih diselempangkan di lehernya. Tas berwarna putih ada
dalam jinjingannya. Orang-orang yang ada di sana sibuk berfoto dengan dua orang
kondang ini. Saya hanya diam memerhatikan sambil berdiri dengan jarak satu
meter. Selain berfoto, pengunjung malam itu juga bersalaman dengan Caknun. Ini
sudah menjadi kebiasaan para penggemar Caknun. Bahkan di acara Maiyahan yang
dihelat setiap bulan di Yogyakarta, banyak dari pengikut Caknun yang mencium
tangannya. Salah satu tradisi dalam masyarakat Jawa. Yakni memuliakan
orang-orang besar dengan mencium tangan.
Tidak berapa lama, sekitar jam 19.30 pintu
ruangan konser pun dibuka. Di sana telah menunggu seorang penjaga. Dengan
berdesakan orang-orang memasuki ruangan yang sering disebut Concert Hall itu.
Saya melihat penjaga berbaju kemeja berwarna hitam sampai kewalahan memeriksa
setiap karcis yang disodorkan. Sampai di dalam, saya langsung duduk di kursi
kasta paling rendah, paling jauh dari panggung, kursi yang ketika diduduki
terasa keras. Di hadapan, kursi kasta kedua terlihat masih kosong. Tiba-tiba
panitia mempersilakan saya dan teman duduk di kursi kasta kedua tadi. Ini
adalah berkah. Merasakan kursi yang lebih empuk.
Konser malam itu dibuka dengan penampilan Ben Ben
Jazz and Friends dengan membawakan lagu Summer
Time. Beberapa lagu didendangkan oleh sang vokalis yang bernama Yudi,
sebelum Inna Kamarie membawakan lagu Sad
But True-nya Metallica. Suara sang vokalis ini melengking tinggi. Di
sela-sela lagu, Ben Ben yang merupakan pimpinan grup, menceritakan sejarah
musik jazz. Pengetahuan baru tentang jazz saya dapatkan malam itu. Selama ini
saya hanya tahu tentang musik dangdut, atau pop saja. Malam itu, diceritakan
mengenai awal mula musik jazz. Di mana, musik jazz semi modern bermula di
Amerika Serikat pada awal tahhun 20-an. Tentu saja akarnya adalah dari Afrika.
Berikutnya musik jazz ikut berevolusi mengikuti
gerak zaman. Awalnya musik jazz sempat diidentikkan dengan rumuh bordil dan
perempuan-perempuan panggilan. Namun, pada akhirnya jazz adalah suatu jenis
musik nan menghibur bahkan bisa dikatakan semakin mempunyai daya
magis-spiritual karena menikmatinya adalah dengan penuh penghayatan, dengan
hati yang tidak terjelaskan (http://www.websejarah.com, diakses 5/10/2013).
Fase
selanjutnya, jazz terus berevolusi. Tahun 30-an, misalnya, genre jazz dinamakan
swing. Improvisasi melodi menjadi
ciri khasnya. Pada tahun 1940-an, tempo dalam musik jazz semakin cepat, mungkin
ini bersesuaian dengan dunia modern yang mengandalkan kecepatan. Orang-orang
modern selalu ingin cepat, tanpa mau peduli dengan proses. Genre jazz jenis ini
dinamakan bebop. Sementara di era
digital saat ini, jazz semakin modern dengan genre-genre yang tak terpikirkan
sebelumnya. Ada funk jazz, acid jazz, dan yang lainnya (http://www.websejarah.com, diakses 5/10/2013).
Ada
Tuhan di dalam jazz
Jazz yang ditampilkan hingga pukul 11 malam itu
di luar perkiraan saya. Sebelumnya saya menduga, hanya sekadar petikan gitar,
cabikan bass, pencetan piano, dan tiupan saksofon saja yang menggema di ruangan
itu. Ternyata tidak. Sesuai dengan tagline
pertunjukan “More Than Jazz That You Know”, jazz malam itu dibalut dengan aura
ketuhanan. Visualisasi yang dipancarkan dengan LCD menunjukkan. Kata-kata
Caknun dalam bentuk tulisan filosofis berkait jazz tertera di sana sepanjang
pertunjukan. Kata-kata seperti: “jazz
mencari ada dalam tiada, jazz menemukan tiada dalam ada”, “jazz berpijak di
satu bumi, jazz menjelajah ke tujuh langit”, dan banyak kata-kata penuh
makna lainnya lagi. Unsur-unsur ketuhanan memang melebur dalam pergelaran jazz
malam itu. Penampilan Inna Kamarie, penyanyi jazz eks punggawa Dewi-Dewi juga
tak bisa lepas dari nuansa spritualitas. Di sela-sela lagu yang dibawakannya
tak henti-hentinya ia menyebutkan nama Tuhan. Mungkin ini ada kaitannya dengan
hidup Inna Kamarie di masa lalu dan tentu saja ada Caknun di belakangnya. Kita
tahu Caknun selama ini adalah seorang pendakwah denagn puisi-puisinya, juga
musik Kiai Kanjeng-nya.
Inna Kamarie dulunya adalah “orang aneh” seperti
disebutkannya sendiri malam itu. Suaminyalah yang menyelamatkan hidupnya dari
perilaku-perilaku dunia gelap yang sempat menghampirinya. Belakangan hidupnya
semakin “terselamatkan” setelah bertemu Caknun, dan sering tampil satu panggung
dengan Kiai Kanjeng. Sosok seorang Caknun memang selalu berbagi kebaikan dengan
sesama, Inna Kamarie dan suaminya Ben Ben mendapat cipratannya. Berdakwah
dengan musik. Bahkan jazz bisa menjadi ajang dakwah di tangan seorang Caknun.
Yang membuat lebih menarik pertunjukan, tentu
saja aksi Kiai Kanjeng dengan gamelan khasnya. Kolaborasi jazz dan Kiai Kanjeng
sungguh membuat pengunjung tersihir. Ditingkahi pula oleh ulah kocak personel
Kiai Kanjeng dan Inna Kamarie. Inna Kamarie yang dibalut pakaian serba hitam
itu membuat penonton sering tertawa. Tingkahnya yang sering menggoda para
anggota Kiai Kanjeng membuat pertunjukan
tidak monoton. Ditambah lagi lagu-lagu daerah yang dibawakannya, seperti Gundul-gundul Pacul, Hujan Gerimis
dengan logat yang dibuat-buat, yang terkadang mendesah, semakin kentallah
nuansa humor di konser yang dipromotori Kun Fayakun (KFK) Management itu.
Bahkan di akhir acara Inna Kamarie mengatakan: “Terima kasih kepada penonton, berkat penontonlah anak-anak kami bisa
sekolah!” sontak saja derai tawa penonton membahana di seisi gedung.
Lompatan
Pagar
Jazz saat ini bukan lagi monopoli kelompok
borjuis seperti zaman dulu di Eropa. Visualisasi yang ada dalam sorot LCD di
belakang panggung malam itu mengatakan: “Jazz
melompati pagar dan menembus batas-batasan”. Ya. Inilah yang terjadi
belakangan. Jazz ditampilkan di pasar-pasar becek, di jalan-jalan, dan pelosok-pelosok
desa. Padahal, dulunya selalu dihelat di kota dengan ruang eksklusif, ditambah
lagi tiket nan mahal. Sebagai amsal,
pertengahan September lalu, jazz diadakan di tengah-tengah pasar Gede dan
Kabangan, di kota Solo, Jawa Tengah. Inilah momen dekastaisasi. Sebuah
kelenturan yang luar biasa. Seni memang harus bisa dinikmati oleh semua
kalangan. Estetika dalam seni seharusnya bisa dirasakan oleh semua lapisan
masyarakat tanpa mengenal kasta. Tuhan saja menyukai keindahan, kenapa pula ada
hijab yang menghalangi orang-orang kecil untuk menikmati keindahan yang
terejawantahkan dalam seni, khususunya musik jazz yang saya nikmati di malam
Jumat kemarin itu. Wallahu a’lam bi
al-shawab. ***
Yogya,
Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar