Tentang Orang Gila
Darwin
“Jujur saja, disingkiri orang banyak membuatku senang, membusung rasa
bangga
di
hatiku.Bagaimana tidak! Setiap orang yang bertemu denganku
pasti
menghindar. Presiden saja kalau bepergian harus dikawal guna membuka jalan
dari
keramaian lalu lintas. Lha aku? Jalan depanku membuka dengan sendirinya. Apa
tidak hebat? Jalanku bagai tol bebas hambatan.”
(Kutipan
cerpen Han Gagas, Horison, edisi
Agustus 2013)
ORANG
gila sering dianggap sepele. Ia hanyalah seonggok tulang yang dibalut daging.
Tidak ada akal sebagai pelengkap seperti manusia-manusia “sempurna” lainnya.
Meskipun manusia sempurna yang berakal pun terkadang juga seperti orang gila
juga kelakuannya. Ini yang menimpa orang-orang seperti Akil Mochtar, Rudi
Rubiandini, Andi Mallarangeng, Luthfi Hasan, Nazaruddin, Gayus, dan
bertumpuk-bertumpuk koruptor lainnya.
Orang gila memang selalu menjadi
objek dalam interaksi sosial masyarakat
kita. Diolok-olok anak-anak yang usil, jadi korban penggusuran ala Satpol PP
karena dianggap mengganggu ketentraman, dan lain-lain persoalan yang
ditimbulkan orang gila. Berbeda dengan orang gila jenis kedua di atas tadi yang
selalu mendapat tempat istimewa dalam ruang publik keindonesiaan. Mereka terkadang
dipuja bak selebritas karena sering muncul di TV dengan senyuman mengembang
tanpa ada rasa bersalah atau malu, terlihat dari mimik wajah dan bahasa tubuh yang
ditampilkan. Ketika dalam penjara pun, mereka tidak merasakan penderitaan
laiknya orang gila jenis pertama yang dipukuli oleh Satpol PP. Mereka malah
tidur nyaman, makan enak, plus hiburan yang menyenangkan hati. Tidak cukup
hingga di sini, fasilitas perawatan tubuh juga sudah menanti.
Jika orang gila sering diperlakukan
secara tidak manusiawi oleh pemerintah dan masyarakat kita, tidak demikian
dengan pemikir Michel Foucault. Orang gilalah yang membuat Foucault melahirkan
pemikiran-pemikiran cerlang di masa lalu. Kita tentu ingat dengan karyanya “Disciplin and Funish”. Karya ini tentu
saja tidak bisa dilepaskan dari orang gila yang diamati Foucault. Tubuh (orang
gila) didisiplinkan sedemikian rupa, ia dianggap normal/tidak normal,
membahayakan masyarakat atau tidak, adalah dengan pembenaran ilmu psikiatri. Ilmu
psikiatri pada abad 18-an itu tampil bak “Tuhan” yang bebas memperlakukan
tubuh, memanipulasinya, bahkan juga menundukkannya. Ilmu pengetahuan ternyata tidak
hanya sekadar sebuah disiplin, tetapi ia adalah alat kekuasaan untuk menentukan
baik/buruk, benar/salah, normal/abnormal, atau kriminal/tidaknya seseorang demi
kelangsungan kuasa sebuah rezim. Tentu saja yang diharapkan adalah sebuah
kepatuhan.
Orang gila di dalam cerpen
Masih
seputar orang gila, menarik juga apa yang ditulis oleh Han Gagas dalam
cerpennya “Gila” di majalah Horison edisi Agustus 2013 lalu. Ia
mengatakan orang gila sering dianggap virus di tengah-tengah masyarakat. Ia
tidak bisa diterima kehadirannnya karena sifatnya yang mengganggu ketentraman.
Padahal, lanjut Han Gagas, mall, pasar swalayan, supermarket, dan toserba-lah
virus yang sebenarnya. Ia bisa mematikan
ekonomi masyarakat kecil.
Dalam cerpen ini digambarkan juga
tentang tokoh orang gila yang berbagi makanan dengan seekor anjing. Anjing yang
diberi makan oleh orang gila tersebut menerima dengan ikhlas, meskipun sedikit,
tanpa ada protes sedikit pun dari anjing itu. Berbeda sekali dengan
manusia-manusia serakah yang selalu merasa kurang. Meskipun telah dilimpahi
riski tak terhingga oleh Tuhan. Ya, tokoh MK yang diciduk KPK beberapa waktu
lalulah salah satu contohnya.
Sekarang ini semakin banyak saja
orang gila. Terutama yang gila kekuasaan, gila harta, juga tentunya gila
wanita. Ketiganya selalu berkelindan. Ahmad Fatanah menjadikan para wanita bak
mainan. Ia bebas mengencani mereka karena harta yang dimiliki entah dari mana
itu. Ia juga berkolaborasi dengan kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki orang
nomor satu di PKS. Ini yang terungkap. Kita tidak tahu lagi permainan-permainan
busuk para orang gila ini di belakang. Orang yang kelihatannya suci, selalu
dekat dengan Tuhan seperti Luthfi Hasan saja ikut mencuri, atau orang yang
gelarnya berderet di belakang namanya juga tidak kalah busuknya, lagi-lagi si
Akil Mochtar sebagai contoh, hehe.
Demikian sejumput catatan tentang
orang gila. Benar juga apa yang dikatakan oleh pemikir Postmodernisme Jean
Baudrillard, di mana saat ini antara yang nyata dan fiksi, benar- salah,
baik-buruk, susah dibedakan. Terkadang citra lebih dipercaya daripada fakta. Koruptor
di depan kamera TV berubah menjadi artis ketika digelandang, kelihatan mereka
tersenyum riang. Semuanya kini serbah seolah-olah. Teman seolah-olah, agama
seolah-olah, Tuhan seolah-olah, hingga istri juga seolah-olah. Begitu juga
dengan orang gila, kita susah membedakan siapa sebenarnya yang gila. Orang gila
di jalanan atau para elite kita di pemerintahan. Entahlah! Wallahu a’lam bi al-shawab. ***
Jogja,
11 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar