Minggu, 13 Oktober 2013

Tentang Orang Gila



Tentang Orang Gila
Darwin
Jujur saja, disingkiri orang banyak membuatku senang, membusung rasa bangga
di hatiku.Bagaimana tidak! Setiap orang yang bertemu denganku
pasti menghindar. Presiden saja kalau bepergian harus dikawal guna membuka jalan
dari keramaian lalu lintas. Lha aku? Jalan depanku membuka dengan sendirinya. Apa tidak hebat? Jalanku bagai tol bebas hambatan.”
(Kutipan cerpen Han Gagas, Horison, edisi Agustus 2013)
ORANG gila sering dianggap sepele. Ia hanyalah seonggok tulang yang dibalut daging. Tidak ada akal sebagai pelengkap seperti manusia-manusia “sempurna” lainnya. Meskipun manusia sempurna yang berakal pun terkadang juga seperti orang gila juga kelakuannya. Ini yang menimpa orang-orang seperti Akil Mochtar, Rudi Rubiandini, Andi Mallarangeng, Luthfi Hasan, Nazaruddin, Gayus, dan bertumpuk-bertumpuk koruptor lainnya.
            Orang gila memang selalu menjadi objek dalam interaksi sosial  masyarakat kita. Diolok-olok anak-anak yang usil, jadi korban penggusuran ala Satpol PP karena dianggap mengganggu ketentraman, dan lain-lain persoalan yang ditimbulkan orang gila. Berbeda dengan orang gila jenis kedua di atas tadi yang selalu mendapat tempat istimewa dalam ruang publik keindonesiaan. Mereka terkadang dipuja bak selebritas karena sering muncul di TV dengan senyuman mengembang tanpa ada rasa bersalah atau malu, terlihat dari mimik wajah dan bahasa tubuh yang ditampilkan. Ketika dalam penjara pun, mereka tidak merasakan penderitaan laiknya orang gila jenis pertama yang dipukuli oleh Satpol PP. Mereka malah tidur nyaman, makan enak, plus hiburan yang menyenangkan hati. Tidak cukup hingga di sini, fasilitas perawatan tubuh juga sudah menanti.
            Jika orang gila sering diperlakukan secara tidak manusiawi oleh pemerintah dan masyarakat kita, tidak demikian dengan pemikir Michel Foucault. Orang gilalah yang membuat Foucault melahirkan pemikiran-pemikiran cerlang di masa lalu. Kita tentu ingat dengan karyanya “Disciplin and Funish”. Karya ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari orang gila yang diamati Foucault. Tubuh (orang gila) didisiplinkan sedemikian rupa, ia dianggap normal/tidak normal, membahayakan masyarakat atau tidak, adalah dengan pembenaran ilmu psikiatri. Ilmu psikiatri pada abad 18-an itu tampil bak “Tuhan” yang bebas memperlakukan tubuh, memanipulasinya, bahkan juga menundukkannya. Ilmu pengetahuan ternyata tidak hanya sekadar sebuah disiplin, tetapi ia adalah alat kekuasaan untuk menentukan baik/buruk, benar/salah, normal/abnormal, atau kriminal/tidaknya seseorang demi kelangsungan kuasa sebuah rezim. Tentu saja yang diharapkan adalah sebuah kepatuhan.

Orang gila di dalam cerpen
Masih seputar orang gila, menarik juga apa yang ditulis oleh Han Gagas dalam cerpennya “Gila” di majalah Horison edisi Agustus 2013 lalu. Ia mengatakan orang gila sering dianggap virus di tengah-tengah masyarakat. Ia tidak bisa diterima kehadirannnya karena sifatnya yang mengganggu ketentraman. Padahal, lanjut Han Gagas, mall, pasar swalayan, supermarket, dan toserba-lah virus yang sebenarnya.  Ia bisa mematikan ekonomi masyarakat kecil.
            Dalam cerpen ini digambarkan juga tentang tokoh orang gila yang berbagi makanan dengan seekor anjing. Anjing yang diberi makan oleh orang gila tersebut menerima dengan ikhlas, meskipun sedikit, tanpa ada protes sedikit pun dari anjing itu. Berbeda sekali dengan manusia-manusia serakah yang selalu merasa kurang. Meskipun telah dilimpahi riski tak terhingga oleh Tuhan. Ya, tokoh MK yang diciduk KPK beberapa waktu lalulah salah satu contohnya.
            Sekarang ini semakin banyak saja orang gila. Terutama yang gila kekuasaan, gila harta, juga tentunya gila wanita. Ketiganya selalu berkelindan. Ahmad Fatanah menjadikan para wanita bak mainan. Ia bebas mengencani mereka karena harta yang dimiliki entah dari mana itu. Ia juga berkolaborasi dengan kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki orang nomor satu di PKS. Ini yang terungkap. Kita tidak tahu lagi permainan-permainan busuk para orang gila ini di belakang. Orang yang kelihatannya suci, selalu dekat dengan Tuhan seperti Luthfi Hasan saja ikut mencuri, atau orang yang gelarnya berderet di belakang namanya juga tidak kalah busuknya, lagi-lagi si Akil Mochtar sebagai contoh, hehe.
            Demikian sejumput catatan tentang orang gila. Benar juga apa yang dikatakan oleh pemikir Postmodernisme Jean Baudrillard, di mana saat ini antara yang nyata dan fiksi, benar- salah, baik-buruk, susah dibedakan. Terkadang citra lebih dipercaya daripada fakta. Koruptor di depan kamera TV berubah menjadi artis ketika digelandang, kelihatan mereka tersenyum riang. Semuanya kini serbah seolah-olah. Teman seolah-olah, agama seolah-olah, Tuhan seolah-olah, hingga istri juga seolah-olah. Begitu juga dengan orang gila, kita susah membedakan siapa sebenarnya yang gila. Orang gila di jalanan atau para elite kita di pemerintahan. Entahlah! Wallahu a’lam bi al-shawab. ***
Jogja, 11 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar