Sabtu, 12 Oktober 2013

Dilematis



Dilematis
Oleh: Nur Alam Amjar
           
           
            11 Agustus 2013, hari ini adalah hari minggu hari keempat setelah lebaran usai dilaksanakan pada tanggal 8 kemarin di sebuah masjid kecil dan sederhana. Masjid itu terletak di sebelah barat rumah Budi di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota. Desa yang indah nan sejuk karena hamparan alam hijaunya. Desa itu juga sudah cukup tekenal melalui novel yang berjudul “Cinta Anak Karaeng” yang ditulis oleh Ahmad Sahide. Penulis yang lahir di desa itu. Desa Kindang, itulah namanya. Masjid itu kini tidak terurus lagi, dinding yang dulunya terlihat kokoh kini sudah mulai rapuh karena termakan oleh usia, cat yang melindungi dinding masjid mulai luntur dan berlumut. Masjid itu tidak terurus lagi setelah meninggalnya pak Hasiin (alm) yang selama ini bertugas untuk merawatnya. Ia berpulang kerahmatullah beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2010. Orang yang selama ini banyak menghabiskan waktunya di masjid tersebut.  Matahari belum menampakan cahayanya, gemerlap cahaya lampu rumah warga masih menerangi jalan. Ayam-ayam pun belum berkokok untuk ikut bersemai bersama dinginnya pagi. Ibu Budhi beraktivitas seperti biasa. Seusai shalat subuh ia kembali menjalankan rutinitasanya sebagai seorang ibu, ibunya yang sudah berumur setengah abad itu masih mampu untuk membiayai Budhi hingga saat ini Budhi yang sudah menjadi seorang mahasiswa. Budhi adalah anak terkhir dari lima bersaudara dan hanya .dia yang masih bersekolah karena saudara-saudaranya telah menikah dan memiliki anak. Budhi masih larut dalam mimpi-mimpinya. Pisang goreng dan berbagai macam  biskuit serta seduhan kopi panas telah siap di ruang tamu rumah Budhi. Rungan yang sudah telihat sempit karena  beberapa karung padi yang tertumpuk rapi di bagian barat ruangan di belakan kursi yang biasa digunakan keluarga dan orang-orang yang datang untuk bertamu.
            Budhi yang masih terlelap dalam tidurnya di kamar yang berukuran empat kali empat meter. Di luar sana udara masih terasa dingin. Bulanpun tidak mau ketinggalan memperindah suasana. Budhi dibangunkan oleh ibunya dengan penuh kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya.
            “Budhi bangun nak, shalat subuh dulu”. Sambil mengusap rambut Budhi iya menunjukkan betapa sayangnya ia kepada Budhi.
            “Iya Bu” Budhi menjawab dengan suara yang masih terdengar serak.
            Budhi terbangun dari tempat tidur dengan selimut yang masih melilit tubuhnya. Budhi menuju wc untuk segera membasuh muka dan mengambil air wudhu.
-o0o-
            09:15 Budhi masih berdiam diri di rumah, di temani sepiring dodol buatan ibunya dan segelas jus yang dibuatnya sendiri yang di letakkannya tepat di samping kanan Budhi. Seraya menikmati dodol dan minumannya ia menyalaka televisi yang berada di ruang keluarga, televisi berukuran 21 inc yang berada di utara ruangan yang berukuran 4x6 meter itu. Budhi menyaksikan tayangan fovoritnya, yaitu spotlite yang ada di trans 7, tayangan yang menyajikan banyak hal dan menambah wawasan kita.
            Budhi tidak hanya menyaksikan spotlite saja, tapi dia sesekali mencari sinetron di stasiun tv lain. Budhi sibuk mengotak-atik remot yang di pegangnya untuk memindahkan channel satu ke channel yang lain hingga kembali lagi ke channel sebelumnya. Dalam kesibukan Budhi mengotak atik remote ia mendengar suara “twing twing twing” suara yang berasal dari handphone yang di letakka di atas meja makan. tanda pesan masuk. Budhi kemudian melihat pemberitahuan di layar hapenya 1 pesan dari Renaldy. Budhi menekan tombol ok untuk membuka apa isi  pesan dari Renaldy
“kamu ke rumah ya jalan-jalan”. Budhi di ajak oleh Renaldy teman SMAnya untuk bersilatuhrahmi kerumahnya. Kini Budhi dilematis dia harus menjawab iya atau tidak karen di lain sisi tenaganya juga dibutuhkan oleh orangtuanya untuk bantu-bantu di rumah. Tapi ia juga tidak ingin mengecewakan temannya itu karena mereka tidak akan bertemu lagi untuk 1 tahun kedepan dan tidak ingi dikatakan sebagai teman yang sombong. Budhi terdian sejenak duduk di atas kursi yang terbuat dari pelastik dengan lengan yang melilit kedua tumpuan betisnya sambil menengadahkan kepala ke langit-langit dan pandangannya hanya terfokus pada satu titik di sebuah lampu neon yang bemerek philips, untuk berpikir bagaimana cara agar ia tidak mengecewakan keduanya.
Kini  pikirannya mengarungi ruang-ruang waktu, untuk menentukan mana yang harus dia pilih. Budhi lama terdiam dan akhirnya ia memutuskan untuk memilih ibunya karena ia tidak ingin dicap sebagai anak pembangkan terhadap orangtua.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar