Sabtu, 05 Oktober 2013

Moral Penguasa



Moral Penguasa
Ahmad Sahide

            Beberapa terakhir kita dikejutkan dengan pemberitaan tertangkap basahnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akil Mochtar tertangkap setelah menerima ‘tamu bermasalah’ di rumah dinasnya dengan uang milyaran rupiah yang akan diserahkan padanya. Tentu bukan hanya Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang terkejut dengan berita ini, tetapi kita semua selaku anak bangsa terkejut dibuatnya. Betapa bangsa ini mengalami kriris moralitas, terutama bagi kalangan pejabat tinggi negara. Terlebih lagi dengan ditemukannya beberapa barang bukti di ruang kerja Akil Mochtar yang diduga kuat adalah barang terlarang, ganja, plus ‘obat kuat’. Berita ini pastilah membuat kita tertawa miris.
Peristiwa ini tentulah sangat memalukan dan merusak citra Indonesia di dunia, terlebih penangkapan Akil Mochtar menjelang digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali yang akan dihadiri oleh dua puluh pemimpin negara di dunia. Para pemimpin yang hadir tersebut akan merekam betapa bobroknya penegakan hukum di Indonesia, hal itu karena pimpinan lembaga yang seharusnya menjaga konstitusi justru merusak konstitusi tersebut dengan adanya permainan uang dalam memutuskan perkara. Kini, MK yang dulu pada periode sebelumnya sangat disegani dan dianggap sebagai ‘malaikat’, ketika dipimpin oleh Moh. Mahfud MD, dalam hiruk-pikuk politik Indonesia telah kehilangan wibawa.
Wibawa MK sebagai lembaga tinggi negara yang dulu dibangun oleh Moh Mahfud MD telah hancur berkeping-keping. Dan peristiwa ini semakin menambah pesisme kita sebagai anak bangsa akan hadirnya budaya politik yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pesimisme itu karena hampir semua lembaga tinggi negara selalu terkena kasus korupsi; mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kepolisian, partai politik, dan lembaga kehakiman. SBY, walaupun segera rapat dengan sejumlah pimpinan tinggi negara, minus MK, dalam menyikapi kasus ini, sulit menjelaskan kepada publik bahwa dirinya bersih dari kasus korupsi. Kasus Bank Century masih menggantung dan publik meyakini bahwa SBY terlibat skandal korupsi dalam kasus ini. Kalaupun tidak bisa dibuktikan, itu hanyalah karena faktor politik semata.

Catatan Penting
            Saya beberapa kali mengutip kalimat dari Yudi Latif, yang rutin menulis di harian Kompas, di mana salah satu kalimatnya yang cukup menyentuh adalah bahwa bangsa ini diurus dengan moral yang rapuh. Saya kira kalimat dari Yudi Latif ini berangkat dari pembacaan dia terhadap dinamika politik di Tanah Air. Pembacaan yang berangkat dari interaksi seorang Yudi Latif dengan banyak pejabat. Dan kesimpulannya adalah kalimat yang saya kutip di atas, kita tidak punya banyak pemimpin yang kuat secara moral. Itu artinya bahwa proses penyeleksian pemimpin di era sekarang, demokrasi yang dielu-elukan, belum mampu melahirkan pemimpin dengan kualitas dan moral yang tinggi. Semestinya, daur ulang demokrasi dan proses penyeleksian pimpinan lembaga tinggi negara adalah ajang di dalam mencari dan memberi ruang munculnya pemimpin terbaik bangsa ini. Sayangnya, hal itu tidak terjadi.
Dalam banyak kasus yang kita sering saksikan bersama, daur ulang demokrasi kita beserta penyeleksian pimpinan lembaga tinggi negara banyak memunculkan pemimpin yang rapuh, baik secara moral maupun secara kualitas. Walaupun ada satu atau dua yang muncul sebagai ‘pilihan terbaik’ tetapi hal itu belumlah menjadi budaya dominan dalam jagat politik kita. Atau boleh jadi, munculnya pemimpin pilihan terbaik itu dalam ajang pemilihan pemimpin lembaga tinggi negara karena ‘setan-setan’ (mohon maaf jika terlalu kasar) yang berkeliaran di setiap lembaga tinggi negara itu kecolongan. Maka, dalam ajang pemilihan berikutnya, mereka, yang saya bahasakan ‘setan’, selalu berusaha untuk tidak kecolongan lagi dengan munculnya pemimpin pilihan terbaik. Guritanya pun harus difungsikan dengan maksimal. Lihatlah, salah satu cara yang digunakan oleh bupati terpilih yang digugat dari Kalimantan itu ke Akil Mochtar adalah dengan menggunakan jasa salah satu anggota DPR RI dari partai Golkar. Partai di mana dulu Akil Mochtar pernah berkiprah.
Sebagai penutup, catatan penting buat kita semua adalah bahwa proses penyeleksian pimpinan lembaga tinggi negara masih sarat dengan masalah sehingga banyak melahirkan pimpinan yang juga bermasalah. Masih ingat dengan kasus Antasari Azhar? Mantan Ketua KPK yang terkan kasus pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnain. Ada isu yang tersebar pada saat itu, setelah kasusnya terkuak, bahwa proses terpilihnya Antasari Azhar sebagai ketua KPK sarat dengan masalah. Antasari pun meruntuhkan wibawa KPK sebagai salah satu lembaga penegak hukum. Bersyukur KPK kini kembali mendapatkan kepercayaan dari publik untuk memberantas korupsi. Sayangnya, setelah KPK kembali mendapatkan kepercayaan itu, kini giliran MK yang kehilangan wibawa dan kepercayaan dari publik.
Harapannya, langkah penyelematan yang diambil oleh SBY dalam rapat yang dipimpinnya dengan sejumlah pimpinan lembaga tinggi negara, Jum’at kemarin, 5 Oktober 2013, dapat mengembalikan wibawa MK ke depannya mengikuti jejak KPK yang pernah kehilangan kepercayaan, namun menemukannya kembali. Asal jangan dengan jejak kembali ‘menangkap’ KPK ke depannya!
Yogyakarta, 6 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar