Moral Penguasa
Ahmad Sahide
Beberapa
terakhir kita dikejutkan dengan pemberitaan tertangkap basahnya Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akil
Mochtar tertangkap setelah menerima ‘tamu bermasalah’ di rumah dinasnya dengan
uang milyaran rupiah yang akan diserahkan padanya. Tentu bukan hanya Presiden
Susilo Bambang Yudoyono (SBY) yang terkejut dengan berita ini, tetapi kita
semua selaku anak bangsa terkejut dibuatnya. Betapa bangsa ini mengalami kriris
moralitas, terutama bagi kalangan pejabat tinggi negara. Terlebih lagi dengan
ditemukannya beberapa barang bukti di ruang kerja Akil Mochtar yang diduga kuat
adalah barang terlarang, ganja, plus ‘obat kuat’. Berita ini pastilah membuat
kita tertawa miris.
Peristiwa ini tentulah sangat
memalukan dan merusak citra Indonesia di dunia, terlebih penangkapan Akil
Mochtar menjelang digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi
Asia Pasifik (APEC) di Bali yang akan dihadiri oleh dua puluh pemimpin negara di
dunia. Para pemimpin yang hadir tersebut akan merekam betapa bobroknya
penegakan hukum di Indonesia, hal itu karena pimpinan lembaga yang seharusnya
menjaga konstitusi justru merusak konstitusi tersebut dengan adanya permainan
uang dalam memutuskan perkara. Kini, MK yang dulu pada periode sebelumnya
sangat disegani dan dianggap sebagai ‘malaikat’, ketika dipimpin oleh Moh.
Mahfud MD, dalam hiruk-pikuk politik Indonesia telah kehilangan wibawa.
Wibawa MK sebagai lembaga tinggi negara
yang dulu dibangun oleh Moh Mahfud MD telah hancur berkeping-keping. Dan peristiwa
ini semakin menambah pesisme kita sebagai anak bangsa akan hadirnya budaya
politik yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pesimisme itu
karena hampir semua lembaga tinggi negara selalu terkena kasus korupsi; mulai
dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kepolisian, partai politik, dan lembaga
kehakiman. SBY, walaupun segera rapat dengan sejumlah pimpinan tinggi negara,
minus MK, dalam menyikapi kasus ini, sulit menjelaskan kepada publik bahwa
dirinya bersih dari kasus korupsi. Kasus Bank Century masih menggantung dan publik
meyakini bahwa SBY terlibat skandal korupsi dalam kasus ini. Kalaupun tidak bisa
dibuktikan, itu hanyalah karena faktor politik semata.
Catatan Penting
Saya
beberapa kali mengutip kalimat dari Yudi Latif, yang rutin menulis di harian
Kompas, di mana salah satu kalimatnya yang cukup menyentuh adalah bahwa bangsa
ini diurus dengan moral yang rapuh. Saya kira kalimat dari Yudi Latif ini
berangkat dari pembacaan dia terhadap dinamika politik di Tanah Air. Pembacaan yang
berangkat dari interaksi seorang Yudi Latif dengan banyak pejabat. Dan kesimpulannya
adalah kalimat yang saya kutip di atas, kita tidak punya banyak pemimpin yang
kuat secara moral. Itu artinya bahwa proses penyeleksian pemimpin di era
sekarang, demokrasi yang dielu-elukan, belum mampu melahirkan pemimpin dengan
kualitas dan moral yang tinggi. Semestinya, daur ulang demokrasi dan proses
penyeleksian pimpinan lembaga tinggi negara adalah ajang di dalam mencari dan memberi
ruang munculnya pemimpin terbaik bangsa ini. Sayangnya, hal itu tidak terjadi.
Dalam banyak kasus yang kita sering
saksikan bersama, daur ulang demokrasi kita beserta penyeleksian pimpinan
lembaga tinggi negara banyak memunculkan pemimpin yang rapuh, baik secara moral
maupun secara kualitas. Walaupun ada satu atau dua yang muncul sebagai ‘pilihan
terbaik’ tetapi hal itu belumlah menjadi budaya dominan dalam jagat politik
kita. Atau boleh jadi, munculnya pemimpin pilihan terbaik itu dalam ajang
pemilihan pemimpin lembaga tinggi negara karena ‘setan-setan’ (mohon maaf jika
terlalu kasar) yang berkeliaran di setiap lembaga tinggi negara itu kecolongan.
Maka, dalam ajang pemilihan berikutnya, mereka, yang saya bahasakan ‘setan’,
selalu berusaha untuk tidak kecolongan lagi dengan munculnya pemimpin pilihan
terbaik. Guritanya pun harus difungsikan dengan maksimal. Lihatlah, salah satu
cara yang digunakan oleh bupati terpilih yang digugat dari Kalimantan itu ke
Akil Mochtar adalah dengan menggunakan jasa salah satu anggota DPR RI dari
partai Golkar. Partai di mana dulu Akil Mochtar pernah berkiprah.
Sebagai penutup, catatan penting buat
kita semua adalah bahwa proses penyeleksian pimpinan lembaga tinggi negara masih
sarat dengan masalah sehingga banyak melahirkan pimpinan yang juga bermasalah. Masih
ingat dengan kasus Antasari Azhar? Mantan Ketua KPK yang terkan kasus
pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnain. Ada isu yang tersebar pada saat itu,
setelah kasusnya terkuak, bahwa proses terpilihnya Antasari Azhar sebagai ketua
KPK sarat dengan masalah. Antasari pun meruntuhkan wibawa KPK sebagai salah
satu lembaga penegak hukum. Bersyukur KPK kini kembali mendapatkan kepercayaan
dari publik untuk memberantas korupsi. Sayangnya, setelah KPK kembali
mendapatkan kepercayaan itu, kini giliran MK yang kehilangan wibawa dan
kepercayaan dari publik.
Harapannya, langkah penyelematan yang
diambil oleh SBY dalam rapat yang dipimpinnya dengan sejumlah pimpinan lembaga
tinggi negara, Jum’at kemarin, 5 Oktober 2013, dapat mengembalikan wibawa MK ke
depannya mengikuti jejak KPK yang pernah kehilangan kepercayaan, namun
menemukannya kembali. Asal jangan dengan jejak kembali ‘menangkap’ KPK ke
depannya!
Yogyakarta, 6 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar