Rabu, 25 September 2013

Matinya Dunia Pemikiran dalam Jagat Keindonesiaan



Matinya Dunia Pemikiran dalam Jagat Keindonesiaan
Darwin
Karya besar tidak akan lahir
dari jiwa yang kerdil (Ernest Hemingway)
            Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, suatu ketika pernah merasa gelisah melihat organisasi sebesar Muhammadiyah yang hanya disibukkan dengan amal usaha, yang itu “mematikan” aspek lain semacam filsafat dan karya-karya besar dalam hal pemikiran. “Muhammadiyah sibuk dengan amal sosial dan kemanusiaan, saatnya sisi filosofi dan pemikiran mendalam dijadikan agenda besar,” kata Syafii dalam tulisannya di harian Republika (4 Desember 2012).
            Ada apa dengan Muhammadiyah? Sebenarnya ini sedikit saja kegelisahan dari banyaknya kritik terhadap organisasi yang didirikan seabad lalu ini. Orang melihat orientasi pimpinan terpilih Muhammadiyah kini hanyalah berkutat pada ranah ekonomi saja. Sementara pendidikan hanyalah kedok dari persyarikatan sebagai pengalih perhatian. Di balik pendidikan ada uang yang menggiurkan. Bisa kita cek berapa uang yang beredar di kampus-kampus mahal Muhammadiyah yang bertebaran di seluruh Indonesia. Sisi lain, misalnya kesehatan, di balik tabung infus yang menggantung, ada pundi-pundi yang dikumpulkan.
            Kita bisa melihat, di Muhammadiyah aras pemikiran tidak mendapat tempat maksimal. Hal ini misalnya dibuktikan dengan penyempitan ruang gerak terhadap para kadernya yang berpikiran nyeleneh. Ini menimpa pemikir seperti Dawam Rahardjo, Abdul Munir Mulkhan, hingga para generasi Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) beberapa waktu lalu.  Bahkan, di antara mereka ada yang dikucilkan, misalnya, salah satunya, menimpa pemikir muda Moh. Shofan. Ia dikeluarkan dari institusi tempat ia menghasilkan karya-karya berupa tulisan yang menghentak, yakni Universitas Muhammadiyah Gresik, hanya karena pikiran-pikiran terbukanya. Persoalannya sangatlah sepeleh, dalam tulisannya, Moh. Shofan ketika itu memercikkan pemikiran terkait dibolehkannya pengucapan selamat hari Natal kepada umat Kristiani. Inilah yang membuat ia harus pergi dari institusi yang memberinya makan selama ini. Di kemudian hari, ia akhirnya ditarik oleh Dawam Rahardjo—aktivis Muhammadiyah yang mendapat perlakuan sama—ke kampus Paramadina Jakarta. Tentu saja di sini ia mendapatkan keleluasaan memekarkan pemikiran-pemikiran segar yang tidak ia dapatkan selama di Gresik.
            Hemat penulis, persoalan pengabaian wilayah pemikiran di lingkup Muhammadiyah ini adalah representasi dari Indonesia hari ini. Kita hari ini menjadi gelisah dengan cara berpikir (orientasi) masyarakat. Masyarakat Indonesia terlalu dijejali pikiran dangkal, instan, dan bersifat sementara. Dunia digital memengaruhi cara kita berpikir. Karya-karya besar yang dihasilkan pemikir-pemikir ulung sepertinya enggan lagi lahir dari bangsa ini. Tidak ada lagi orang sekaliber Nurcholish Madjid atau Gus Dur dalam hal pemikiran. Di level kepemimpinan, tidak lahir pemimpin dan pemikir seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka atau Sjahrir. Orientasi anak bangsa saat ini adalah hal-hal yang bersifat materi. Sementara isi kepala cenderung diabaikan.
Kegelisahan ini belakangan menyeruak lagi ke permukaan. Tulisan Suwidi Tono di Kompas, 19 September 2013, beberapa hari lalu adalah salah satunya. Di awal tulisannya, ia mengutip Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Airlangga, Profesor Soetandyo Wignjosoebroto, di mana beliau mengatakan, “Mengapa aku merasa aneh dan asing di kampus? Pembicaraan di mana-mana kok hanya menyangkut pekerjaan teknis, bukan perburuan meningkatkan harkat ilmu dan martabat ilmuwan….”. Intinya, Suwidi Tono prihatin dengan kecenderungan para intelektual yang mengedepankan prestise (baca: jabatan), sementara karya kemanusiaan terabaikan.
Matinya wilayah pemikiran juga diperbincangkan oleh Social Movement Institute (SMI) lewat diskusinya yang menghadirkan sejarawan Hilmar Farid, Kamis, 19 September malam. Diskusi ini menekankan dunia pemikiran kampus yang dibunuh secara perlahan. Politik ideologis ala Orde Baru (Orba) mempraktikkannya di lapangan keindonesiaan ketika itu. Masyarakat Indonesia seolah-olah menerimanya begitu saja. Inilah politik diskursif—meminjam istilah Michel Foucault—yang dilakukan Orba. Sebuah preseden mengapa dunia pemikiran menjadi asing di dunia kampus saat ini. Kampus-kampus kita lebih mengedepankan skor akreditasi daripada menghasilkan ilmuwan-ilmuwan mumpuni, kampus lebih sibuk menciptakan teknisi daripada pemikir. Saat ini tentunya sudah sulit menemukan dosen-dosen berlevel Ali Syariati, seorang cendekiawan propokatif asal Iran tahun 70-an. Dosen lebih sibuk di lab daripada menularkan pemikiran-pemikiran kritis kepada para mahasiswanya. Jadi, kebekuan sedang melanda wilayah pemikiran di kampus-kampus kita saat ini.
Kekuatan Puisi dan Daya Kata
Sebenarnya masih banyak sudut-sudut negeri yang dilanda matinya dunia pemikiran ini. Namun, tidak perlu kiranya dijelaskan detail karena akan menambah beban kita saja. Cukup introspeksi saja bagi kita yang masih peduli dengan dunia pemikiran (mendalam). Kita mungkin bisa becermin pada sejarah  Indonesia ketika masih dalam perangkap penjajah. Menurut Partha Chatterje, pemikir India, sebagaimana dikutip Yudi Latif, bahwa tumbuhnya nasionalisme adalah bukan karena mesiu (perlawanan terhadap penjajah), perundingan, kognisi Barat, dan kapitalisme percetakan, melainkan pada emosi yang dipancarkan puisi dan daya kata (Latif: 2009, 3). Terlihat, masih kata Yudi Latif, dari bertumbuhnya ruang publik yang mengetengahkan wacana yang terekspresikan dalam kegiatan-kegiatan intelektual (hal. 4).
Sebelum mencetuskan kemerdekaan, para tokoh bangsa kita adalah pemikir dan pendidik handal yang penuh dengan perdebatan bernas. Wacana di seputar dunia filsafat, sosial, budaya, agama, juga politik mereka ungkai dan hadirkan ke tengah publik. Mereka adalah pembaca filsafat, sastra,  dan berbagai kearifan Nusantara. Lembaga-lembaga studi, kampus, juga media massa, seperti surat kabar dan jurnal selalu bergairah dengan perdebatan-perdebatan intelektual. Setiap tokoh pergerakan ketika itu mempunyai jurnal tempat lahirnya ide-ide progresif, ide-ide penyelesai masalah bangsa. Salah satunya, misalnya Soekarno aktif menulis di jurnal Indonesia Moeda (Latif: 2009, 13). Dengan kondisi inilah, negara bangsa yang bernama Indonesia merecup menjadi antitesis negara imperialis.  
Kini, keprihatinan yang melanda kita berkait tidak mekarnya bunga-bunga pemikiran malah dijawab oleh negara dengan ketidakpedulian. Kurikulum pendidikan kita hanya memunculkan generasi terdidik yang bak mesin. Mereka dijejali ilmu yang berorientasi ekonomi (kerja), bukan generasi yang berkarakter. Buku yang sangat erat kaitannya dengan kaum terpelajar, malah diabaikan oleh negara. Penerbit di Indonesia banyak yang sekarat karena tidak adanya subsidi. Jadi, sistem bernegara kita sepertinya memang didesain sedemikian rupa untuk mematikan dunia pemikiran. Sungguh tragis!
Akhirnya, kita menjadi kerdil di tengah sistem yang mendangkalkan pemikiran. Makanya karya besar akan sulit bertumbuh di negeri ini, seperti dikatakan novelis Ernest Hemingway di awal tulisan. Yang bisa kita lakukan, sekali lagi, adalah introspeksi dengan menghadirkan pemikiran-pemikiran alternatif, melakukan hal di luar kebiasaan, seperti dikatakan Hilmar Farid di halaman SMI kemarin malam. ***
Yogya, 2192013, 4.56 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar