Matinya Dunia Pemikiran dalam Jagat
Keindonesiaan
Darwin
Karya besar tidak akan
lahir
dari jiwa yang kerdil
(Ernest Hemingway)
Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah, suatu ketika pernah merasa gelisah melihat organisasi sebesar
Muhammadiyah yang hanya disibukkan dengan amal usaha, yang itu “mematikan”
aspek lain semacam filsafat dan karya-karya besar dalam hal pemikiran. “Muhammadiyah sibuk dengan amal sosial dan
kemanusiaan, saatnya sisi filosofi dan pemikiran mendalam dijadikan agenda
besar,” kata Syafii dalam tulisannya di harian Republika (4 Desember 2012).
Ada apa dengan Muhammadiyah?
Sebenarnya ini sedikit saja kegelisahan dari banyaknya kritik terhadap
organisasi yang didirikan seabad lalu ini. Orang melihat orientasi pimpinan
terpilih Muhammadiyah kini hanyalah berkutat pada ranah ekonomi saja. Sementara
pendidikan hanyalah kedok dari persyarikatan sebagai pengalih perhatian. Di
balik pendidikan ada uang yang menggiurkan. Bisa kita cek berapa uang yang beredar
di kampus-kampus mahal Muhammadiyah yang bertebaran di seluruh Indonesia. Sisi
lain, misalnya kesehatan, di balik tabung infus yang menggantung, ada
pundi-pundi yang dikumpulkan.
Kita bisa melihat, di Muhammadiyah
aras pemikiran tidak mendapat tempat maksimal. Hal ini misalnya dibuktikan
dengan penyempitan ruang gerak terhadap para kadernya yang berpikiran nyeleneh. Ini menimpa pemikir seperti
Dawam Rahardjo, Abdul Munir Mulkhan, hingga para generasi Jaringan Intelektual
Muda Muhammadiyah (JIMM) beberapa waktu lalu. Bahkan, di antara mereka ada yang dikucilkan,
misalnya, salah satunya, menimpa pemikir muda Moh. Shofan. Ia dikeluarkan dari institusi
tempat ia menghasilkan karya-karya berupa tulisan yang menghentak, yakni Universitas
Muhammadiyah Gresik, hanya karena pikiran-pikiran terbukanya. Persoalannya
sangatlah sepeleh, dalam tulisannya, Moh. Shofan ketika itu memercikkan
pemikiran terkait dibolehkannya pengucapan selamat hari Natal kepada umat
Kristiani. Inilah yang membuat ia harus pergi dari institusi yang memberinya
makan selama ini. Di kemudian hari, ia akhirnya ditarik oleh Dawam
Rahardjo—aktivis Muhammadiyah yang mendapat perlakuan sama—ke kampus Paramadina
Jakarta. Tentu saja di sini ia mendapatkan keleluasaan memekarkan
pemikiran-pemikiran segar yang tidak ia dapatkan selama di Gresik.
Hemat penulis, persoalan pengabaian
wilayah pemikiran di lingkup Muhammadiyah ini adalah representasi dari Indonesia
hari ini. Kita hari ini menjadi gelisah dengan cara berpikir (orientasi)
masyarakat. Masyarakat Indonesia terlalu dijejali pikiran dangkal, instan, dan
bersifat sementara. Dunia digital memengaruhi cara kita berpikir. Karya-karya
besar yang dihasilkan pemikir-pemikir ulung sepertinya enggan lagi lahir dari
bangsa ini. Tidak ada lagi orang sekaliber Nurcholish Madjid atau Gus Dur dalam
hal pemikiran. Di level kepemimpinan, tidak lahir pemimpin dan pemikir seperti
Soekarno, Hatta, Tan Malaka atau Sjahrir. Orientasi anak bangsa saat ini adalah
hal-hal yang bersifat materi. Sementara isi kepala cenderung diabaikan.
Kegelisahan
ini belakangan menyeruak lagi ke permukaan. Tulisan Suwidi Tono di Kompas, 19 September 2013, beberapa hari
lalu adalah salah satunya. Di awal tulisannya, ia mengutip Guru Besar Emeritus
Sosiologi Hukum Universitas Airlangga, Profesor Soetandyo Wignjosoebroto, di
mana beliau mengatakan, “Mengapa aku
merasa aneh dan asing di kampus? Pembicaraan di mana-mana kok hanya menyangkut
pekerjaan teknis, bukan perburuan meningkatkan harkat ilmu dan martabat ilmuwan….”.
Intinya, Suwidi Tono prihatin dengan kecenderungan para intelektual yang
mengedepankan prestise (baca: jabatan), sementara karya kemanusiaan terabaikan.
Matinya
wilayah pemikiran juga diperbincangkan oleh Social Movement Institute (SMI) lewat
diskusinya yang menghadirkan sejarawan Hilmar Farid, Kamis, 19 September malam.
Diskusi ini menekankan dunia pemikiran kampus yang dibunuh secara perlahan.
Politik ideologis ala Orde Baru (Orba) mempraktikkannya di lapangan
keindonesiaan ketika itu. Masyarakat Indonesia seolah-olah menerimanya begitu
saja. Inilah politik diskursif—meminjam istilah Michel Foucault—yang dilakukan
Orba. Sebuah preseden mengapa dunia pemikiran menjadi asing di dunia kampus
saat ini. Kampus-kampus kita lebih mengedepankan skor akreditasi daripada menghasilkan
ilmuwan-ilmuwan mumpuni, kampus lebih sibuk menciptakan teknisi daripada
pemikir. Saat ini tentunya sudah sulit menemukan dosen-dosen berlevel Ali Syariati,
seorang cendekiawan propokatif asal Iran tahun 70-an. Dosen lebih sibuk di lab
daripada menularkan pemikiran-pemikiran kritis kepada para mahasiswanya. Jadi,
kebekuan sedang melanda wilayah pemikiran di kampus-kampus kita saat ini.
Kekuatan Puisi dan Daya Kata
Sebenarnya
masih banyak sudut-sudut negeri yang dilanda matinya dunia pemikiran ini. Namun,
tidak perlu kiranya dijelaskan detail karena akan menambah beban kita saja.
Cukup introspeksi saja bagi kita yang masih peduli dengan dunia pemikiran
(mendalam). Kita mungkin bisa becermin pada sejarah Indonesia ketika masih dalam perangkap
penjajah. Menurut Partha Chatterje, pemikir India, sebagaimana dikutip Yudi
Latif, bahwa tumbuhnya nasionalisme adalah bukan karena mesiu (perlawanan
terhadap penjajah), perundingan, kognisi Barat, dan kapitalisme percetakan,
melainkan pada emosi yang dipancarkan puisi dan daya kata (Latif: 2009, 3). Terlihat,
masih kata Yudi Latif, dari bertumbuhnya ruang publik yang mengetengahkan
wacana yang terekspresikan dalam kegiatan-kegiatan intelektual (hal. 4).
Sebelum
mencetuskan kemerdekaan, para tokoh bangsa kita adalah pemikir dan pendidik handal
yang penuh dengan perdebatan bernas. Wacana di seputar dunia filsafat, sosial,
budaya, agama, juga politik mereka ungkai dan hadirkan ke tengah publik. Mereka
adalah pembaca filsafat, sastra, dan
berbagai kearifan Nusantara. Lembaga-lembaga studi, kampus, juga media massa,
seperti surat kabar dan jurnal selalu bergairah dengan perdebatan-perdebatan
intelektual. Setiap tokoh pergerakan ketika itu mempunyai jurnal tempat lahirnya
ide-ide progresif, ide-ide penyelesai masalah bangsa. Salah satunya, misalnya
Soekarno aktif menulis di jurnal Indonesia
Moeda (Latif: 2009, 13). Dengan
kondisi inilah, negara bangsa yang bernama Indonesia merecup menjadi antitesis
negara imperialis.
Kini,
keprihatinan yang melanda kita berkait tidak mekarnya bunga-bunga pemikiran malah
dijawab oleh negara dengan ketidakpedulian. Kurikulum pendidikan kita hanya
memunculkan generasi terdidik yang bak mesin. Mereka dijejali ilmu yang
berorientasi ekonomi (kerja), bukan generasi yang berkarakter. Buku yang sangat
erat kaitannya dengan kaum terpelajar, malah diabaikan oleh negara. Penerbit di
Indonesia banyak yang sekarat karena tidak adanya subsidi. Jadi, sistem
bernegara kita sepertinya memang didesain sedemikian rupa untuk mematikan dunia
pemikiran. Sungguh tragis!
Akhirnya,
kita menjadi kerdil di tengah sistem yang mendangkalkan pemikiran. Makanya
karya besar akan sulit bertumbuh di negeri ini, seperti dikatakan novelis
Ernest Hemingway di awal tulisan. Yang bisa kita lakukan, sekali lagi, adalah
introspeksi dengan menghadirkan pemikiran-pemikiran alternatif, melakukan hal
di luar kebiasaan, seperti dikatakan Hilmar Farid di halaman SMI kemarin malam.
***
Yogya,
2192013, 4.56 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar