Sabtu, 14 September 2013

Kerudung Merah



Kerudung Merah

Ayam jantan belum lagi berkokok, langit pun belum ada tanda-tanda menampakkan semburat merahnya, apa lagi mentari. Ia masih betah bertahta pada singgsananya. Dan lengkaplah itu tanda, bahwa pagi masih lama. Bahwa hari belum lagi dimulai. Bahwa penghuni bumi masih betah bercengkrama dengan sisa gelap malam serta dinginnya udara.
Tapi tidak bagi Mak Jiah. Ia sedari tadi sudah sibuk dengan heningnya sendiri. Hening kesadaran akan tugasnya sebagai makhluk. Hening yang membuatnya tentram. Akhir ibadahnya malam ini ditutup dengan do’a panjang buat keluarganya. Ya. Keluarga kecilnya. Ia sebagai nenek dan seorang cucunya yang ditinggal mati kedua orangtuanya. Anak tunggal Mak Jiah.
“Mai.. Bangun nak,” ia besuara perlahan membangunkan cucunya itu. Maida namanya. Masih kecil, sebaya dengan anak kelas lima SD,  11 tahun, 10 tahun. Ah.. nenek tak begitu hafal berapa umurnya. Maida kecil, cucunya, telah menjadi teman terakhirnya di dunia ini. Temannya menyusuri jalan-jalan hening subuh hari.
“Mai… bangunlah nak, bentar lagi dah mau subuh…”  Masih dengan perlahan ia membangunkan cucunya. Kali ini menyentuh pipi Maida dengan lembut.
“Ia Mak, suara Maida terdengar serak,” hampir tak terdengar. Matanya menyipit. Silau oleh cahaya lampu yang wattnya tak seberapa. Ucek-ucek matanya ia selesaikan, dan bangkit  terhuyung menuju kamar mandi. Bukan kamar mandi tepatnya. Tapi tempat meletekkan sebuah  baskom besar dan satu ember yang muat lima liter air, sebagai penutup, tempatnya disekat dengan karung bekas. Ya. Tempat mandi bagi mereka. Sederhana.
Maida sudah biasa mengikuti ritual neneknya bangun malam untuk ibadah. Latihan. Kata neneknya satu ketika. biar kamu ndak terkejut menerima pagi, serta menghadapi matahari. kebiasaan itu terus berjalan walau terkadang ia masih malas. Susah.
“Mak, pagi ini kita kemana?” Maida perlahan bertanya setelah do’a singkatnya. Do’a singkat buat mereka berdua. Untuk Mak Jiah dan Maida. Cuma buat mereka berdua.
“kita kejalan yang arah utara Maida, di sana banyak rumah orang kaya, dan mahasiswa yang kaya. Jadi mudah-mudahan kita bisa dapatkan sampah yang bagus-bagus. Kalau beruntung kita bisa dapatkan lebih dari itu.” Mak Jiah menjawab sambil menyiapkan alat-alat kerja mereka.
Mereka berangkat setelah sholat subuh berjamah. Tadi, sembari menunggu azan subuh, mereka berdua mengisi perut dengan segelas teh hangat serta ditemani pisang goreng. Mereka berjalan beriringan menuju utara kota. Tujuan mereka adalah komplek dekat sebuah universitas ternama. Yang konon sebagian besar mahasiswanya adalah orang kaya. Di pundak Mak Jiah terdapat sebuah karung bekas. Tempat untunk menampung barang-barang rongsok yang akan mereka kumpulkan.
Adzan Subuh telah setengah jam berlalu. Di sebuah kost pinggir kota.
Ruang kamar ukuran tiga kali empat, dengan berderet poster yang menghiasi dindingnya, tampak besahaja dengan sinar lampu putih 18 watt. Samar lagu lawas dari Ebit G Ade teredengar syahdu, sama syahdunya dengan hening sisa malam yang berawan. Suara keciprat air bersahut dengan suara jangkrik yang kerap menghiasi sekitar kamar itu. Suasana kamar kost seorang mahasiswa yang duduk di semester yang tak pernah berakhir tampak sendu, lantunan Elegi Esok Pagi Ebit menambah sendu ruang kamar itu.
Di atas kasur tipis tanpa seprei berbaring Alan, sang penghuni kamar. Berbaring dengan kepala mengahadap utara, mengarah ke jendela kamarnya. Berjejer sebelah baratnya, seorang lagi masih dengan mata terpejam dengan tubuh berbalut sarung yang difungsikan sebagai selimut. Udara subuh musim kemarau tampaknya memang dingin. Atau selimut itu hanya sekadar menutupi tubuhnya. Karena ia seorang perempuan. Berambut panjang, dengan wajah innocent, tapi lelah. Dhea. Nama panjangnya tertulis Anandya pertiwi. Teman dekat Alan. Pacar. Seorang Kekasih.
Semalam mereka lelah bernyanyi hingga larut. Bernyanyi mesra lagu cinta. Lagu asmara. Asmara suatu ketika seperti lagunya Ebit ataukah cinta tulus dari hati anak manusia. Entahlah, wajah mereka terlihat bahagia walau tampak lelah.
“Mas... Bangun dah subuuhh” Dhea menggerakkan tangan Alan. Masih dengan mata terpejam serta mulut yang terbuka ditutupi tangan kanannya.. Menguap. Halus. Tubuh Alan bergerak sebentar lalu kembali meringkuk menutupi ujung kakinya dengan sarung. Kembali lelap. Suasana sebentar senyap.
Gelap malam mulai bersiap untuk meninggalkan peraduannya. Mentari pagi mulai menyelinap di sela-sela langit timur. Bersiap sedia menggantikan tugas malam. Semburat merah mulai merekah. Tanda pagi akan segera tiba, sebuah tanda semesta. Dhea, yang sejak tadi sudah tak lagi nyenyak dengan tidurnya merasa bahwa ia harus segera bangun.
Setelah meminum segelas air putih yang ia ambil dari air galon di sudut kamar, Dhea bangun kemudian menuju kamar mandi. Tidak kurang dari lima belas menit ia di kamar mandi. Kembali ke kamar kemudian menatap wajahnya lamat-lamat pada cermin yang tergantng di dinding kamar Alan. Cerah. Dengan mata yang sedikit sembab. Kurang tidur barangkali. Lama ia terpaku menatap wajahnya, berfikir tetang hubungan yang telah jauh ia lakukan dengan Alan.
Jilbab merah yang tersampir pada daun pintu lemari ia kenakan kemudian mengambil sebuah buku sejarah. Ia duduk diam. Terpekur menatap huruf-huruf yang berjejer. Entah benar-benar membaca atau hanya sekadar menghilangkan kegalauan yang ada di hatinya. Hening. Lantunan lagu Ebiet telah lama diam. Pagi terasa lama beranjak meninggi. Menambah kegalauan yang ada di hati Dhea. Entah karena apa.
***
Aktivitas pagi itu belum terlalu ramai. Beberapa mahasiswa melewati jalan sempit itu. ada yang sendirian ada juga yang berpasangan. Mereka lewat dengan masing-masing semangat pagi di hati mereka. Di ujung gang ada sebuah warung tempat segala kebutuhan perut bisa didapatkan. Mulai dari yang sederhana, hingga yang sangat sederhana sekali. Warung pavorit mahasiswa. Harga terjangkau. Lengkap. Serta cukup akrab di lidah.
Warung itu adalah tempat Angga nongkrong di pagi hari, sebelum ia memulai ritual tidur paginya. Kebiasaannya begadang hingga subuh sepertinya menjadi rutinitas. Pagi itu, secangkir kopi dan rokok yang tinggal setengah menemani kesendiriannya. Koran pagi yang di tunggunya belum juga datang. Masih terlalu pagi. Acara gosip di televisi yang terpajang di pojok warung masih sibuk dengan kabar-kabar selebriti dengan segala sensasinya. Jengah Angga melihat acaranya. Sambil menghadapi kopi dan gorengan Angga membolak balik halaman koran kemarin. Melihat kabar Indonesia raya dari beritanya.
Tak berapa lama, Koran hari ini ia terima. Ia langsung mebaca headline berita. Berita-berita hari ini masih seperti biasanya tak ada yang istimewa. Kabar KPK dan korupsi, bencana kekeringan yang semakin menjadi, kemiskinan yang tak pernah teratasi. Walau di antara kekacauan itu masih ada terselip prestasi anak negeri yang menang di olimpiade. Baik olahraga maupun keilmuan.
Mentari mulai merangkak melintasi langit yang cerah. Mata Angga mulai menyipit karena kantuk yang tertahan sedari tadi. Secangkir kopinya pun telah tandas. Lima ribu rupiah ia bayar untuk sarapan paginya. Ia beranjak pergi kemudian, bergegas menuju kost tercintanya. Menghilangkan segenap kantuk yang kian lama kian memuncak.
Kost Angga terlihat sepi. Ia langsuk masuk ke kamarnya. Kantuknya sudah tak tertahankan. Bayangan kasur dan bantal menari-nari di pelupuk matanya. Di kamar ia langsung rebah, belum sempat menutup matanya, HPnya berdering, satu pesan masuk. “ Ngga ke kost ya, ne ada yang harus kita bicarakan soal rencana kemaren. Penting. Sekarang.” Pesan dari Yudha. Teman sekampungnya. Huhhhh… Angga kesal, walau begitu ia tetap berangkat. Dia kembali mengenakan jaketnya. Kemudian membasuh muka, berusaha menghilangkan kantuk yang masih menyergapnya.
Motor supranya melaju kencang. Membelah jalanan pagi kota. Menuju utara kota.
Sementara itu, di pinggiran kota, di mana letak kost Alan berada. Suasana kamar kostnya masih hening. Alan duduk menjejeri Dhea yang sedari tadi diam. Tak sepatah mengeluarkan kata. Mereka sibuk dengan fikiran masing-masing. Di luar, tetangga kost Alan mulai sibuk dengan berbagai aktivitas mereka. Di gerbang kost, serombongan bapak-bapak berjalan setengah terburu menuju kost mahasiswa tersebut.  Mereka adalah aparat RT, disertai oleh induk semang kost. Mereka mengarah ke kost Alan. Sontak para penghuni kost terhenti dari aktivitasnya. Penasaran melihat apa yang akan terjadi.
Pintu kamar Alan digedor. Alan tersentak, Dhea ikut kaget. Selang beberapa detik, kecemasan menghiasi wajah mereka berdua. Alan membuka pintu. “Maaf mas, kita minta mas ikut dengan kami ke kantor RT. Mas tahu kan peraturan kost di sini?” Ketua RT yang berbicara. Wajah Alan berubah pucat. Ia hanya bisa mengangguk pasrah.
Alan dan Dhea berjalan menunduk, berdiri di depan rombongan aparat RT. Kerudung merah Dhea terlihat terpasang seadanya. Tak sempat ia merapikannya di depan kaca. Kusut dan berantakan. Penghuni kos lainnya menatap mereka dengan pandangan tak menentu. Antara kasihan dan empati. Beberapa penduduk RT setempat juga melihat kejadian pagi itu. Setelah lama kejadian serupa tak terjadi. Kasus mahasiswa yang menginapkan mahasiswi di kamar kostnya.
Di kantor RT, Alan dan Dhea diintrogasi. Mata Dhea mendung menahan air mata yang hendak tumpah tapi tertahan. Alan juga terlihat cemas, terbata menjawab pertanyaan ketua RT. Kejadian ini menjadi pukulan bagi mereka berdua. Kekhawatiran yang sejak semula telah mereka duga. Entahlah. Alan tak sempat befikir banyak lagi tentang hubungannya dengan Dhea. Begitupun dengan Dhea. Kata-kata ketua RT tak begitu lagi mereka perhatikan.
***
Matahari mulai meninggi, teriknya mulai menyengat. Tak lagi hangat dengan vitamin D nya. Angga masih melaju dengan kecepatan tinggi. Sebentar lagi ia sampai di tujuan. Matanya terasa pedas. Memerah. Perpaduan kantuk dengan tempuran debu jalanan yang mulai bertebangan. Lampu merah perempatan kampus Bulaksumur tampak padat. Angga merengsek maju mendekati lampu merah. Ia sedikit terburu. Lampu merah berubah menjadi hijau. Angga langsung tancap gas. Menyalip beberapa kendaraan di depan dan sampingnya. Kecepatannya tak berhitung dengan padat kendaraan yang mulai merayap. Ia tak melihat bahwa di garis tengah jalan ada seorang nenek dan cucunya yang berhenti untuk menyebrang. Mak Jiah dan cucunya Maida. Baru hendak menyebrang melintasi jalanan. Karung bawaan mereka setengah berisi. Barang rongsokan. Angga tak sempat mengelak. Seandainya mengelakpun ia akan menabrak mobil di sampingnya. Dari arah berlawanan kendaraan berseliweran. Angga terhempas. Nenek yang ditabrak terpental lurus dua meter ke depan. Roboh. Maida yang berada di sampinya ikut terpental. Isi karungnya berhamburan.


Lalu lintas mendadak macet. Kendaraan terhenti. Beberapa sepeda motor ikut limbung kemudian jatuh. Maida masih bisa bangun, lengannya lecet. Ia menghampiri neneknya yang sudah tak bergerak. Beberapa orang dari rumah makan Padang di pinggir jalan ikut membantu. Mengangkat mereka berdua ke pinggir jalan. Dari kepala Mak Jiah yang tertutup kerudung, mengucur darah. Mungkin kepalanya pecah. Bisa juga keluar dari telinganya. Hidungnya juga mengeluarkan darah. Maida langsung melepas jilbab merahnya, sambil menangis ia mengusap darah di muka neneknya.
Tubuh Angga masih tergeletak di pinggir jalan. Di depan warung makan padang. Ia pingsan. Sayup suara penyiar berita sekilas info terdengar dari televisi warung makan padang. Seorang tersangka korupsi di gelandang ke gedung KPK. Nini Anjarwati namanya. Istri seorang pejabat pusat. Di balik kerudung merah serta kacamata hitam yang menutup wajahnya, ia turun dari mobil mewah dengan menebar senyum kepada wartawan.
Sirene ambulan terdengar meraung. Bertengkar dengan suara bising jalanan. Terburu mengangkat korban kecelakaan. Tubuh Mak Jiah tertutup kain putih. Hidungnya terpasang selang infus. Sedang Maida masih terisak, dengan kerudung merah bercampur darah di pangkuannya. Pusing di kepala Angga belum hilang, efek dari pingsannya. Ia belum sepenuhnya sadar. Kepalanya tersandar di dinding ambulan. Matanya menatap sendu kepada Maida. Entah apa yang ada di benaknya. Di luar udara panas sekali…
Kalibeber. 27 November 2012. 21.44.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar