Cinta dalam Kanvas Rindu
Sabtu, 13 Juli 2013
Oleh: Sabil Ibnu Bakri
Sore ini entah mengapa hari
menampakkan kesedihannya. Awan tiba-tiba berubah menjadi mendung. Langit biru
hilang bersama selimut kelabu sang awan. Burung-burung kecil sibuk ke sana ke
mari mencari tempat untuk berteduh karena sebentar lagi nampaknya hujan akan
turun membasuh wajah bumi. Angin bertiup sepoi-sepoi membuat tubuh pepohonan
menari-nari kegirangan. Rumput tak kalah
riangnya menampilkan dirinya pada moment
sejuk itu. Burung-burung yang sedari tadi sibuk mencari ranting di salah satu
pepohonan ikut menyuarakan aspirasinya, menuntut agar pohon-pohon itu diam
karena mereka akan medarat di rantingnya.
Gerimis mulai menyapa, tapi rintik dan rinai hujan belum juga
menampakkan butiran-butirannya. Sekelabat awan mulai mekar kembali, menampakkan
mahkota sebagai wujud dari langit biru. sepertinya hujan tidak jadi
turun.Butiran-butitan debu mulai beterbangan bersama angin yang sedikit
mendekat hingga ke pelataran. Pohon-pohon dan rumput-rumput hijau itu nampaknya
kecewa terhadap perilaku hujan kali ini. Melihat kondisi badannya yang sudah
mulai kumuh lama tak dimandikan sebab hujan jarang menyapa.
Sebuah cerita terangkai di mata Rayhan. Ia melihat peristiwa alam di
sore nan sejuk ini begitu mendeskripsikan setangkai makna antara harapan dan
realita yang kadang tak sejalan. Carut marut wajah alam seringkali nampak jelas
dalam perenungannya ketika ia sedang terdiam menghayati pergerakan-pergerakan
kecil yang terjadi di sekelilingnya. Berangkat dari sanalah ia menyadari bahwa
masih banyak orang yang merindukan kehadirannya di kejauhan sana. Ia
menggambarkan dirinya seperti hujan yang selalu diharapkan kehadirannya menyapa
penghuni bumi. Rayhan pun menyeka air matanya ketika dalam diam itu ia menemukan
satu ranah rasa yang mengantarnya menuju ruang rindu. Ia mulai takut terbawa
arus rasa itu, sebab sangat tidak mungkin ia meninggalkan kota ini dengan
alasan kuat bahwa ia belum mengikuti tes di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mutiara mimpi belum ia raih, lentera mimpi belum ia nyalakan. Dalam kegelapan
ia belum tahu, ada apakah dengan mimpi? Merekahlah sang mawar, merintiklah
hujan agar ia bisa tertidur lagi dan mengurai senyum untuk keceriaan di esok
pagi.
Setelah shalat ashar di masjid Fathul Huda kampung Nitipuran, masjid
yang tidak jauh dari kontrakan. Dalam perjalanan pulang Rayhan mencoba
menengadah ke atas langit kelabu lalu membelok-belokkan pandangannya. Ia
memperhatikan betul bagaimana cuaca di
sore ini. Yang ia temukan hanya suara riuh angin yang bertiup sana sini,
menyambar dedaunan-dedaunan kering yang kemudian jatuh berkeping-keping ke
bawah padang rumput nan gersang. Rayhan hanya bisa diam dan terus berjalan,
tatapannya tetap di atas langit.
Meskipun cuaca masih membingunkan dirinya, namun ia yakin kalau
kenyamanan masih akan ia temukan di dalam kamar kecilnya, tempat di mana ia
sering bermain bersama mimpi-mimpi besarnya. Rayhan memang dikenal sebagai
bocah yang suka melamun, suka diam, dan susah ditebak ada apa dengan dirinya yang
tiap hari kerjaannya hanya melamun sambil tersenyum-senyum sendiri tapi kadang
juga rona wajahnya memancarkan suasana tak nyaman ketika ia lagi sedih.
Moment kali ini berbeda dengan moment di hari kemarin. Ketika Rayhan
sampai di bibir pintu kamarnya, ia melihat ada Budi sahabatnya yang lagi sibuk
mengutak-atik dua buah hp usangnya. Yang satu Nokia C3 dan yang satunya lagi
Sony Ericcson J 230 I. Kedua-duanya sama sama butut, usang, sukanya hang sebab
batu baterainya sudah mengembang. Rayhan hanya bisa terus menggeleng-geleng
kepala memandangi sahabatnya yang menurutnya kurang kerjaan itu. Budi punya dua
buah sim card, satu AS dan Satunya XL. Karena itulah sore ini ia dapat
sms dari kekasihnya yang masuk di kartu ASnya tapi kebetulan pulsanya lagi
eror. Ia mencoba memindahkan kartu XL ke hp Nokianya. Namun setelah ia aktifkan
dan cek pulsa ternyata pulsanya juga eror, pulsa yang tersisa cuma 30 rupiah.
Melarat betul hidupnya Budi dalam perantauan ini. Orang tuanya belum mengirim
uang untuknya, padahal uangnya sisa 25.000 rupiah. Mana bisa hidup di Jogja
selama sebulan. Ini masih untung karena bulan puasa jadi makannya cuma dua kali
dalam sehari yaitu pagi pada waktu sahur dan petang pada waktu beduk.
Rayhan perlahan melepaskan tangannya dari kusen pintu, ia pun mendekat
ke arah Budi yang sedari tadi hanya diam tanpa mempersilahkan Rayhan untuk
segera masuk.
“Bud.. Ada apa dengan hpmu? saya lihat dari tadi kau utak-atik terus
kartumu..” Rayhan menyapa dengan logat Bulukumbanya yang masih kental. Selama
kurang lebih sebulan ia di Jogja tapi pengaruh bahasa belum mencemari cara
bicaranya. Rayhan masih tetap teguh mempertahankan budaya desanya. Berbeda
dengan Budi yang di tiap deretan katanya sudah mulai menampakkan ciri khas
ke-Jawaannya. Rayhan tetap ada untuk desa kelahirannya. Buktinya saja kemarin
malam sewaktu pulang dari shalat tarawih di masjid Syuhada, ia pulangnya dengan
sarung yang melilit tubuhnya, diikatkan di atas pundak mengelilingi lehernya.
Ia duduk di atas jok di belakang Budi yang mengendarai motor Honda Revo milik
pamannya. Semua orang yang lalu lalang bersama kendaraannya masing-masing
melirik ke arah Rayhan yang begitu antusiasnya menampakkan ciri-ciri adat
ke-Bugisannya. Apalagi waktu pas di persimpangan lampu merah, orang-orang di
sekitarnya memandangnya sinis sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Seandainya salah satu di antara mereka mampu berucap. Maka pasti akan
mengatakan “Ini orang dari mana, kok gayanya kayak gitu, sudah gila apa?” Tapi
Rayhan tidak mempersoalkan itu. Menurutnya setiap orang harus bisa menampakkan
ciri khas yang berbeda dengan orang-orang di sekelilingnya, setiap orang punya
citranya masing-masing, punya jati diri, punya motto dan punya segala
perbedaan. Di mata Rayhan, pelangi hanya akan indah jika warna yang menyatu
mesti saling berbeda tapi tetap satu tujuan yaitu membuat sebuah lengkungan
yang mempesona.
“Nda apa-apa kok, cuma ini tadi si Devi sms saya tapi tiba-tiba hpku
lowbat. Nah kupindahkanlah kartuku dari Sony ke Nokia. Tapi setelah kuaktifkan
dan kucek pulsanya tiba-tiba yang muncul cuma 30 rupiah..” Budi menjawab dengan
suara datar tapi tangannya tetap berada di lantai sambil mengutak-atik kedua
hpnya.
“Wah, melarat sekali hidupmu di Jogja kawan. Memang ibumu sudah
mengirim uang kah?“ Rayhan melanjutkan pertanyaannya sambil terkekeh kecil
melihat kondisi ekonomi sahabatnya yang satu ini.
“Belumlah, tadi keluarga di kampung nelpon, terus yang saya temani
ngobrol adalah tanteku. Katanya kalau uangku habis ia akan mengirim lagi tapi
totalnya cuma 50.000 buat sebulan. Bagaimana bisa hidup kita kawan!” Tatapannya
ia lemparkan tepat ke arah mata Rayhan, akhirnya mereka beradu pandang. Namun,
perlahan Rayhan mengalah dengan tatapan Budi yang kian detik kian menikam.
“Sabarlah kawan, kau memang ditakdirkan untuk hidup dalam kemelaratan
di kampung orang. Sabarlah kawan, sekali sehari makan kau pun tetap bisa hidup
tapi lagi-lagi harus kerempeng dan melarat.” Rayhan meledek sahabatnya yang
sedari kemarin pagi hingga sekarang kerjanya cuma mengeluh kepada nasib yang membelenggu
keceriaannya.
Tanpa menunggu detik beralih ke menit, Budi langsung melompat ke arah
Rayhan kemudian ia menggulingkan tubuh Rayhan ke atas sprint bath dan
memukulinya bebarapa kali dengan bantal guling. Rayhan pun lelah, Budi pun
demikian. Tawa meledak di antara mereka.
Seperti itulah kehidupan sehari-hari mereka selama di Jogja. Meskipun
nasib selalu berkata tidak untuk sebuah kemewahan dan hidup enak, tetapi mereka
tetap mampu menghadapinya dengan lapang dan penuh keceriaan. Bagi mereka hidup susah
dan senang hanyalah dua sisi yang telah menjadi titik pilihan. Mereka memilih
ceria walaupun jiwa dan raganya berada dalam detik-detik kesukaran. “Hidup itu
sederhana, memilih saja serta jangan pernah menyesalinya.” Jawab mereka
serentak ketika disodori pertanyaan antara hidup dan pilihan.
* * *
Hari masih saja seperti itu. Senja masih belum menampakkan dirinya,
suara riuh angin sore masih terdengar memekakkan telinga tapi perlahan reda dan
berlalu. Di dalam kamar ada Rayhan dan Budhi yang masing-masing sibuk
menjalankan aktivitasnya. Dari wajah mereka belum terlihat tanda-tanda bahwa
mereka dalam keadaan lapar, perut mereka belum pada leroncongan, cacing-cacing
kecil belum bangun dari tidurnya. Mungkin saja cacing-cacing itu lagi asyik
pacaran, akhirnya mereka lupa bahwa lonceng di perut Rayhan dan Budi belum
didentangkan. Atau entahlah mungkin mereka juga ikut puasa.
Jam digital di hp Rayhan telah menunjukkan pukul 04:13. Sekitar sejam
lagi acara buka puasa bersama di asrama Sawerigading akan dilangsungkan. Rayhan
dan Budi bersiap-siap sebelum beranjak ke sana. Di beranda rumah Rayhan melihat
Budi sedang mengatur setiap helai rambutnya yang tebal dan berserak-serakan.
Pemuda ini memang tipikal makhluk kasar yang suka berdiri di depan cermin untuk
memandangi keindahan sekitaran wajahnya. Raut wajahnya memang gagah, tapi
kadang-kadang kelemah lembutannya menampilkan dirinya sebagai sosok yang tidak
bernyali, spesifiknya seperti wanita ayu nan gemulai.
“Assalamualaikum, Fiek.. Saya datang lagi untuk menyapa
kesendirianmu..” Rayhan tiba-tiba mengirim sms kepada teman dekatnya. Temannya
itu adah Ufiekk.. Seorang perempuan muslimah yang telah lama diidam-idamkannya.
Mukanya oval tapi senyumnya manis. Kulitnya kuning langsat, badannya agak
kurus, dan tingginya sekitar 157 cm. Banyak pemuda yang mendekatinya, tapi
hanya Rayhan yang berhasil mengenalinya dengan dekat. Mereka pun akrab.
“Waalaikumussalam, Iya selamat datang kembali..” Kadang-kadang Ufiek
memang cuek, tapi aslinya baik hati. Suka menghibur hati yang sedang luka. Tapi
kalau hati yang tidak luka sama sekali terkadang dia cuekin saja. Nah, kali ini
Rayhan sedang tidak dalam posisi itu.
“Terima Kasih, tapi saya sudah takut untuk masuk lewat pintu hatimu,
dan masuk ke berandamu. Saya ingin duduk di lobi saja..” Rayhan mencoba
bercanda.
“Kalau begitu, lewat genteng saja..” Sederhana sekali jawaban Ufiek.
“Asem, memangnya di sana ada jalan apa? Jahat amat kamu Fiek, kenapa
saya tidak disuruh lewat jendela saja?” Rayhan mulai cemberut, keningnya
berkerut.
“Haha, maaf saya lagi sibuk..”
“Yaaaaah,, Ta.. ta.. ta.. tapi..” Rayhan tampak seperti kecewa kali
ini, dirinya tak menyangka akan seperti ini jadinya.
“Maaf Han, lebih baik kamu istirahat saja, kamu kan puasa. Pastinya
kamu butuh istirahat. Bentar lagi juga buka puasa..”
“Yawdah deh,, Wassalam..”
***
“Duk,, dukl, dukduukduuuk.. Allahu Akbar, Allahu Akbar..” Suara azan
pun berkumandang, semua orang di asrama Sawerigading berbuka puasa dengan
sajian lezat yang disediakan oleh teman-teman yang bertugas untuk konsumsi..
Rayhan masih kecewa dengan Ufiek, Ufiek yang lebih mementingkan kesibukannya
dari pada bertegur sapa dengan sahabat yang selalu menantikan kehadirannya.
Sekian..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar