Sabtu, 14 September 2013

Rindu Mamat



Rindu Mamat

Kemarau panjang tahun ini mencapai puncaknya. Bulan juli, panas matahari seakan memanggang setiap benda yang berada di atas bumi. Panasnya tiada terkira. Semua merasa gerah. Tidak siang, tidak juga malam. Keringat mengucur deras. Suasana kota dengan berbagai macam hiruk pikuknya, menambah suasana yang sudah panas. Begitu pun dengan Mamat. Kantor tempatnya selama ini bekerja mencari nafkah terasa panas dan gerah. Pendingin ruangan yang terpasang di sudut kantornya tak cukup mendinginkan keadaan. Pun dengan kondisi hatinya. Seakan mencapai puncak dari segala keletihan yang telah ia lalui. Sapa teman sekerjanya tak ia indahkan. Gurauan temannya kadang ia tanggapi dengan muka masam serta amarah. Mamat resah. Mamat gelisah. Hati Mamat tak menentu. Selaras dengan cuaca yang makin panas. Makin tak menentu.
***
Musim hujan mulai datang, telah lama ia dinantikan. Kemarau panjang telah berakhir, rintik hujan menerbangkan debu-debu jalanan. Mengisi celah-celah tanah yang lekang. Keluarga kodok riang dengan nyanyiannya. Para jangkrik asyik dengan irama orkesnya. Burung-burung tak ketinggalan berkicau menyambut pagi. Pepohonan yang dulu meranggas kini kembali bergairah. Pucuk-pucuk hijau dedaunan menjadi hiasan indah kala pagi menyapa. Bunga-bunga beraneka warna berseri indah. Memekarkan kuncupnya. Merekah.
Musim hujan telah datang, lama ia dinantikan. Mengusir kemarau panjang. Tapi tidak dengan Mamat. Kondisi hatinya belum juga berubah. Kebosanan kian merajai hari-harinya. Terkurung dalam ruang sempit rumahnya. Hatinya pun begitu. Kerinduan semakin tumbuh berkembang. Bertunas. Beranak pinak. Hingga menetaskan kegaduhan dalam hatinya. Kegalauan yang menyesakkan.
Seringkali Mamat berkelililing menatap lamat-lamat setiap inci dinding-dinding rumah kecilnya. Melihat fhoto-fhotonya yang lama tak  dibersihkan. Berdebu. Sesekali pikirannya mengawang terbang ke masa silam. Teringat akan masa-masa lampau. Masa dimana kebersamaan masih bersamanya. Keriuhan sebuah keluarga. Ibu yang sering marah, ayah dengan sederet kebengisannya, kakak-kakaknya yang sering mengeluh tentang pacar atau permasalahan kuliahnya. Itu dahulu kala. Kala kebersamaan masih bersamanya. Semua kini sirna. Hanya karena sebuah pristiwa. Sebuah bencana. Menyisakan dirinya sendiri. Bersama kenangan serta kesepian yang menghantui. Terjebak dalam kesendirian menjemukan. Dalam rumahnya yang suram. Tanpa teman. Kenangan Mamat hanyut. Malam sudah larut.
Kerinduan Mamat pada seorang teman. Teman dalam menemani malam-malam panjang yang akan dilewatinya. Teman kala turun hujan, atau kala menghirup secangkir kopi di pagi hari. Teman yang akan menemani dengkur merdunya kala mata lelap terpejam. Teman dalam  mengusir kebosanan yang bakal menghampirinya di bulan-bulan panjang musim penghujan.
Teman yang dirindui tak jua kunjung datang. Ia hilang bersama hujan yang membasahi bumi, meresap ke dalam, mengalir hingga berbaur dalam aliran sungai. Menghilang di celah-celah bebatuan. Teman yang diharapkan Mamat tak kunjung datang. Ia pergi bagai mentari senja ditelan dari peraduan, disembunyikan oleh gelap malam. Ia menghilang tak kunjung datang. Ia pergi tak kunjung kembali.
Mamat hanya bisa terpekur dalam pangkur kerinduan. Ia hanya bisa berbaring sakit menahan rindu dendam. Ia hanya bisa mendengkur sendirian, dalam lelah tak berkesudahan. Setiap pagi datang, kepalanya seperti berkunang-kunang. Memikirkan hari-hari yang sama tanpa ada perubahan. Kejenuhan akan kesendirian. Kejemuan akan pekerjaan. Ia ingin pagi yang baru. Matahari yang baru. Suasana baru.
Pagi Mamat berganti dengan siang. Siang bergulir menuju senja hingga malam datang menyelimuti dirinya. Sedang hatinya masih seperti paginya. Usahanya seperti sia-sia. Tak berubah. Bila gelisah menghampirinya. Mamat kembali pada ritualnya berjalan mengelilingi rumah mungilnya. Hingga kedua kakinya terasa lelah, kemudian ia akan duduk di depan rumahnya yang tak seberapa lebarnya. Termenung, menatap kosong kegelapan malam. Sesekali ia berdiri, kemudian duduk kembali. Bertanya lagi. Masih dengan pertanyaan-pertanyaan tentang keberadaan seorang teman. Pertanyaannya seperti larut dalam hening angin di malam hari. Tak kunjung ada jawaban. Do’a-do’a panjang yang ia panjatkan seperti membentur tiang-tiang langit. Tak kuasa menembus singgasana Tuhan. Tak jua dikabulkan. Mamat mendesah. Mamat mulai putus asa.
***
Suatu hari Mamat bergairah. Do’anya terijabah. Usahanya membuahkan kabar gembira. Seorang teman telah ia jumpai, teman dalam kehidupan yang akan ia jalani. Teman tautan hati. Patutlah kiranya Mamat bergairah. Bibirnya kini berhias senyum cerah. Tersenyum Karena hari-harinya tak kan sendiri, bahwa malam-malamnya ada yang menemani. Akan ada canda kala pagi tiba dengan secangkir kopi di beranda rumah. Mamat patut bahagia. Karena tidur lelapnya tak lagi dalam lelah. Bila pun mendengkur, setidaknya ada yang mendengar iramanya. Ia tak lagi sendiri. Mamat berbahagia kini.
Pagi Mamat seperti mimpi, mendapati dirinya tak lagi sendiri. Sinar matahari memberinya energi. Hingga ia bersemangat untuk melewati menit demi menit setiap hari. Ia kini punya seorang teman. Seorang istri. Ia tak lagi sibuk membikin secangkir kopi, tak lagi sibuk belanja di warung sebelah. Tak lagi bingung nanti malam masak apa atau makan dimana. Semua ada yang menyediakan. Seorang teman. Seorang istri.
Hari-hari Mamat bergairah. Ia punya teman untuk bercerita. Gumpal kerinduan kini pecah. Kegalauan yang menjulang kini rekah. Larut dalam balutan kebahagiaan. Seringkali mereka ke luar rumah, sekedar mencari suasana mesra. Bergandeng tangan menyusur jalanan kota. Hiruk pikuk kendaraan menjadi melodi dalam hati mereka, orchestra dalam lagu kemesraan. Tak ada lagi keluhan kebosanan. Tak ada lagi kak-kaki lelah karena berdiri resah, mengelilingi serta menatap setiap inci dinding rumah. Semua tinggal cerita. Ia kini berubah. Selalu ada senyum di bibirnya.
Di kantornya Mamat juga berubah. Kinerjanya juga berubah. Semua teman-temannya heran. Sibuk menerka dan bertanya. Dalam hati tentunya. Karena Mamat telah berubah. Tak lagi gelisah dan cepat marah. Tak ada lagi muka masam yang menjengkelkan. Yang ada senyuman, sapa ramah  serta obrolan ceria. Semua sibuk menerka dan bertanya, kenapa Mamat berubah. Dalam hati tentunya. Teman-teman kerjanya tak ambil peduli dengan pertanyaan kenapa Mamat berubah. Yang terpenting mereka kini ikut berbahagia. Karena Mamat telah berubah.
Bila waktu pulang kerja tiba, Mamat akan segera lekas meninggalkan kantornya. Langsung kerumah. Ia selalu teringat dengan temannya yang telah menunggu. Seorang istri siap menyambutnya di muka pintu. Bertanya kabar tentang pekerjaan. Kemudian menyiapkan baju ganti, ketika Mamat mandi. Sedang di atas meja di beranda rumah, telah sedia teh manis untuk menemani sore harinya. Bercengkrama. Mesra. Hingga malam kembali datang. Malam dengan hiasan percintaan. Berpadu dalam hangat kasih sayang. Kebahagian yang tak pernah bisa diungkapkan. Hari berganti minggu, bulan bertukar dengan bulan. Hari-hari telah dilalui Mamat bersama dengan keberadaan seorang teman. Kegelisahannya tentang teman telah hilang. Kerinduan akan sosok seorang istri telah terpenuhi.
***
Namun kini ada kegelisahan lain yang hadir menyeruak dalam rutinitas kebersamaan dengan istrinya. Ada kerinduan lain yang datang kala penat tiba di tempat kerja. Ia sibuk bertanya. Kerinduan apalagi yang tumbuh di hatinya. Menggelayuti pikiran. Membuat ia kembali kelam. Tenggelam dalam bermacam pertanyaan.
Pulang ke rumah tidak lagi menjadi suatu yang dinanti. Senyum istrinya terasa hampa. Hambar. Tawar. Tak lagi menggairahkan. Kopi di pagi hari, serta teh manis di beranda rumah tak lagi memberi semangat atau mengobati penat seharian di tempat kerja. Mamat bimbang. Istrinya bingung. Tak mengerti.  Mamat kembali berubah. Perubahan yang tak dimengerti oleh Mamat. Tak pula dimengerti oleh istrinya. Mamat kadang kembali bermenung sendiri. Terkadang diam berkepanjangan. Terkadang mengigau tak karuan. Istrinya tak bisa berbuat banyak. Kata-kata mesranya tak lagi menjadi penawar. Tegurannya pun kadang berbuntut amarah. Berujung pertengkaran.
Mulanya Mamat berpikir, bahwa dengan seorang teman, dengan seorang istri hidupnya akan bahagia. Hari-harinya akan tentram. Semua hanya berjalan dalam hitungan bulan. Keinginannya tak terpenuhi. Harapannya menyisakan penyesalan. Kebahagian kembali hilang. Bersamaan dengan kembalinya kegelisahan dan kebosanan. Sedang sang istri hanya bisa menangis. Sedu sedan. Terlantarkan. Tercampakakan.
Hari-hari Mamat dilewati dengan acuh tak acuh. Prilakunya rusuh. Tingkahnya aneh, seaneh pakaian yang ia kenakan. Lusuh. Teman sekantornya lebih merasa heran. Atasannya meberikan sangsi. Mamat diberhentikan dari pekerjaan. Membuat kehidupan Mamat semakin tak karuan. Berantakan.
***
Senja itu, hujan turun dengan lebatnya. Guntur dan petir bersahutan. Langit kelam. Mamat berjalan menyusuri jalanan. Seharian. Tubuhnya kuyup.  Badannya basah. Membawa keresahan dalam hatinya. Mencari tempat menghilangkan gelisah. Menyusuri jalanan panjang di bawah hujan. Mencari pelabuhan. Tempat di mana rindu bisa ia tambatkan. Di mana kebahagiaan bisa ia dapatkan.
Kalibeber, 16-23 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar