Rindu Mamat
Kemarau panjang
tahun ini mencapai puncaknya. Bulan juli, panas matahari seakan memanggang
setiap benda yang berada di atas bumi. Panasnya tiada terkira. Semua merasa
gerah. Tidak siang, tidak juga malam. Keringat mengucur deras. Suasana kota
dengan berbagai macam hiruk pikuknya, menambah suasana yang sudah panas. Begitu
pun dengan Mamat. Kantor tempatnya selama ini bekerja mencari nafkah terasa
panas dan gerah. Pendingin ruangan yang terpasang di sudut kantornya tak cukup
mendinginkan keadaan. Pun dengan kondisi hatinya. Seakan mencapai puncak dari
segala keletihan yang telah ia lalui. Sapa teman sekerjanya tak ia indahkan.
Gurauan temannya kadang ia tanggapi dengan muka masam serta amarah. Mamat
resah. Mamat gelisah. Hati Mamat tak menentu. Selaras dengan cuaca yang makin
panas. Makin tak menentu.
***
Musim
hujan mulai datang, telah lama ia dinantikan. Kemarau panjang telah berakhir, rintik hujan
menerbangkan debu-debu jalanan. Mengisi celah-celah tanah yang lekang. Keluarga kodok riang dengan nyanyiannya. Para jangkrik
asyik dengan irama orkesnya. Burung-burung tak ketinggalan berkicau menyambut
pagi.
Pepohonan yang dulu meranggas kini kembali bergairah. Pucuk-pucuk hijau
dedaunan menjadi hiasan indah kala pagi menyapa. Bunga-bunga beraneka warna
berseri indah. Memekarkan kuncupnya. Merekah.
Musim
hujan telah datang, lama ia dinantikan. Mengusir kemarau panjang. Tapi tidak
dengan Mamat. Kondisi hatinya
belum juga berubah. Kebosanan kian merajai hari-harinya.
Terkurung dalam ruang sempit rumahnya. Hatinya pun begitu. Kerinduan semakin
tumbuh berkembang. Bertunas. Beranak pinak. Hingga menetaskan kegaduhan dalam
hatinya. Kegalauan yang menyesakkan.
Seringkali Mamat berkelililing menatap lamat-lamat setiap
inci dinding-dinding rumah kecilnya. Melihat fhoto-fhotonya yang lama tak dibersihkan. Berdebu. Sesekali pikirannya
mengawang terbang ke masa silam. Teringat akan masa-masa lampau. Masa dimana
kebersamaan masih bersamanya. Keriuhan sebuah keluarga. Ibu yang sering marah,
ayah dengan sederet kebengisannya, kakak-kakaknya yang sering mengeluh tentang
pacar atau permasalahan kuliahnya. Itu dahulu kala. Kala kebersamaan masih
bersamanya. Semua kini sirna. Hanya karena sebuah pristiwa. Sebuah bencana.
Menyisakan dirinya sendiri. Bersama kenangan serta kesepian yang menghantui. Terjebak
dalam kesendirian menjemukan. Dalam rumahnya yang suram. Tanpa teman. Kenangan Mamat
hanyut. Malam sudah larut.
Kerinduan
Mamat pada seorang teman. Teman dalam menemani malam-malam panjang yang akan
dilewatinya. Teman kala turun hujan, atau kala menghirup secangkir kopi di pagi
hari. Teman yang akan menemani dengkur merdunya kala mata lelap terpejam. Teman dalam mengusir kebosanan yang bakal menghampirinya di bulan-bulan panjang musim penghujan.
Teman
yang dirindui tak jua
kunjung datang. Ia hilang bersama hujan yang membasahi bumi, meresap ke dalam, mengalir hingga berbaur dalam aliran
sungai. Menghilang di celah-celah bebatuan. Teman yang diharapkan Mamat tak
kunjung datang. Ia pergi bagai mentari senja ditelan dari peraduan,
disembunyikan oleh gelap malam. Ia menghilang tak kunjung datang. Ia pergi tak
kunjung kembali.
Mamat
hanya bisa terpekur dalam pangkur kerinduan. Ia hanya bisa berbaring sakit
menahan rindu dendam. Ia hanya bisa mendengkur sendirian, dalam lelah tak
berkesudahan. Setiap pagi datang,
kepalanya seperti berkunang-kunang. Memikirkan hari-hari yang sama tanpa ada
perubahan. Kejenuhan akan kesendirian. Kejemuan akan pekerjaan. Ia ingin pagi
yang baru. Matahari yang baru. Suasana baru.
Pagi Mamat berganti dengan siang. Siang bergulir menuju
senja hingga malam datang menyelimuti dirinya. Sedang hatinya masih seperti
paginya. Usahanya seperti sia-sia. Tak berubah.
Bila gelisah menghampirinya. Mamat kembali pada ritualnya
berjalan mengelilingi rumah mungilnya. Hingga kedua
kakinya terasa lelah, kemudian ia akan duduk di depan
rumahnya yang tak seberapa lebarnya.
Termenung,
menatap kosong kegelapan malam. Sesekali ia berdiri, kemudian duduk kembali. Bertanya lagi. Masih dengan pertanyaan-pertanyaan
tentang keberadaan seorang teman. Pertanyaannya
seperti
larut dalam hening angin di malam
hari. Tak kunjung ada jawaban. Do’a-do’a panjang yang ia panjatkan seperti
membentur tiang-tiang langit. Tak kuasa menembus singgasana Tuhan. Tak jua
dikabulkan. Mamat mendesah. Mamat mulai putus asa.
***
Suatu
hari Mamat bergairah. Do’anya terijabah. Usahanya membuahkan kabar gembira. Seorang teman telah ia
jumpai, teman dalam kehidupan yang akan ia jalani. Teman tautan hati. Patutlah
kiranya Mamat bergairah. Bibirnya kini berhias senyum cerah. Tersenyum Karena hari-harinya tak kan sendiri, bahwa malam-malamnya ada yang
menemani. Akan ada canda kala pagi tiba dengan secangkir kopi di beranda rumah.
Mamat patut bahagia. Karena tidur lelapnya tak lagi dalam lelah. Bila pun mendengkur, setidaknya ada yang
mendengar iramanya. Ia tak lagi sendiri. Mamat berbahagia kini.
Pagi
Mamat seperti mimpi, mendapati
dirinya tak lagi sendiri.
Sinar matahari memberinya energi. Hingga ia bersemangat untuk melewati menit
demi menit setiap hari. Ia kini punya seorang teman. Seorang
istri. Ia tak lagi sibuk membikin secangkir kopi, tak lagi sibuk belanja di
warung sebelah. Tak lagi bingung nanti malam masak apa atau makan dimana. Semua
ada yang menyediakan. Seorang teman. Seorang istri.
Hari-hari
Mamat bergairah. Ia punya teman untuk bercerita. Gumpal kerinduan kini pecah.
Kegalauan
yang menjulang kini rekah. Larut dalam balutan kebahagiaan. Seringkali mereka
ke luar rumah, sekedar mencari suasana mesra. Bergandeng tangan menyusur
jalanan kota. Hiruk pikuk kendaraan menjadi melodi dalam hati mereka, orchestra dalam
lagu kemesraan. Tak
ada lagi keluhan kebosanan. Tak ada lagi kak-kaki lelah karena berdiri resah,
mengelilingi serta menatap setiap inci dinding rumah. Semua tinggal cerita. Ia
kini berubah. Selalu ada senyum di bibirnya.
Di kantornya Mamat juga berubah. Kinerjanya juga berubah.
Semua teman-temannya heran. Sibuk menerka dan bertanya. Dalam hati tentunya.
Karena Mamat telah berubah. Tak lagi gelisah dan cepat marah. Tak ada lagi muka
masam yang menjengkelkan. Yang ada senyuman, sapa ramah serta obrolan ceria. Semua sibuk menerka dan
bertanya, kenapa Mamat berubah. Dalam hati tentunya. Teman-teman kerjanya tak
ambil peduli dengan pertanyaan kenapa Mamat berubah. Yang terpenting mereka
kini ikut berbahagia. Karena Mamat telah berubah.
Bila waktu pulang kerja tiba, Mamat akan segera lekas
meninggalkan kantornya. Langsung kerumah. Ia selalu teringat dengan temannya
yang telah menunggu. Seorang istri siap menyambutnya di muka pintu. Bertanya
kabar tentang pekerjaan. Kemudian menyiapkan baju ganti, ketika Mamat mandi.
Sedang di atas meja di beranda rumah, telah sedia teh manis untuk menemani sore
harinya. Bercengkrama. Mesra. Hingga malam kembali datang. Malam dengan hiasan
percintaan. Berpadu dalam hangat kasih sayang. Kebahagian yang tak pernah bisa
diungkapkan. Hari berganti minggu, bulan bertukar dengan bulan. Hari-hari telah
dilalui Mamat bersama dengan keberadaan seorang teman. Kegelisahannya tentang
teman telah hilang. Kerinduan akan sosok seorang istri telah terpenuhi.
***
Namun kini ada kegelisahan lain yang hadir menyeruak
dalam rutinitas kebersamaan dengan istrinya. Ada kerinduan lain yang datang
kala penat tiba di tempat kerja. Ia sibuk bertanya. Kerinduan apalagi yang
tumbuh di hatinya. Menggelayuti pikiran. Membuat ia kembali kelam. Tenggelam
dalam bermacam pertanyaan.
Pulang ke rumah tidak lagi menjadi suatu yang dinanti.
Senyum istrinya terasa hampa. Hambar. Tawar. Tak lagi menggairahkan. Kopi di
pagi hari, serta teh manis di beranda rumah tak lagi memberi semangat atau mengobati
penat seharian di tempat kerja. Mamat bimbang. Istrinya bingung. Tak mengerti. Mamat kembali berubah. Perubahan yang tak
dimengerti oleh Mamat. Tak pula dimengerti oleh istrinya. Mamat kadang kembali
bermenung sendiri. Terkadang diam berkepanjangan. Terkadang mengigau tak
karuan. Istrinya tak bisa berbuat banyak. Kata-kata mesranya tak lagi menjadi
penawar. Tegurannya pun kadang berbuntut amarah. Berujung pertengkaran.
Mulanya Mamat berpikir, bahwa dengan seorang teman, dengan
seorang istri hidupnya akan bahagia. Hari-harinya akan tentram. Semua hanya
berjalan dalam hitungan bulan. Keinginannya tak terpenuhi. Harapannya
menyisakan penyesalan. Kebahagian kembali hilang. Bersamaan dengan kembalinya kegelisahan
dan kebosanan. Sedang sang istri hanya bisa menangis. Sedu sedan. Terlantarkan.
Tercampakakan.
Hari-hari Mamat dilewati dengan acuh tak acuh. Prilakunya
rusuh. Tingkahnya aneh, seaneh pakaian yang ia kenakan. Lusuh. Teman
sekantornya lebih merasa heran. Atasannya meberikan sangsi. Mamat diberhentikan
dari pekerjaan. Membuat kehidupan Mamat semakin tak karuan. Berantakan.
***
Senja itu, hujan turun dengan lebatnya. Guntur dan petir
bersahutan. Langit kelam. Mamat berjalan menyusuri jalanan. Seharian. Tubuhnya
kuyup. Badannya basah. Membawa keresahan
dalam hatinya. Mencari tempat menghilangkan gelisah. Menyusuri jalanan panjang
di bawah hujan. Mencari pelabuhan. Tempat di mana rindu bisa ia tambatkan. Di mana
kebahagiaan bisa ia dapatkan.
Kalibeber,
16-23
Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar