Kamis, 06 Juni 2013

Pelalawan yang Unik di Tengah Telikungan Modernisasi



Pelalawan yang Unik di Tengah Telikungan Modernisasi
Darwin
Langkah pertama untuk menaklukkan sebuah masyarakat adalah
dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku,
kebudayaan, dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang untuk menulis
buku-buku baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah baru.
Tak akan lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya.
(Milan Hubl dalam Anton Kurnia, 2004: 32)
Kebudayaan baru adalah kebudayaan yang membunuh umat manusia.
Dan pembunuhan itu dilakukan di balik selimut perdagangan.
(Muhammad Iqbal dalam Ibrahim, ed., 1997)

KATA “peradaban” sudah sering dipercakapkan. Namun perlu kiranya kita mengetahui kembali apa arti kata “peradaban” ini. Menurut Mulyadi Kartanegara dalam Bayang-bayang Fanatisisme: Esai-esai Untuk Mengenang Nurcholish Madjid (Abd Hakim dan Yudi Latif <ed: 2007), secara sederhana peradaban dipinjam dari kata “adab”, yang berarti kesopanan atau etiket. Masih menurut Mulyadi, peradaban dalam bahasa Inggris disebut dengan civilized, yang artinya memiliki peradaban, sedang dalam bahasa Arab disebut dengan tamaddun, bisa diartikan dengan peradaban atau kebudayaan tinggi.
            Nah, dalam konteks pengertian di ataslah kita akan membicarakan tentang peradaban Pelalawan, sebuah kabupaten di sekitaran Sungai Kampar, Riau. Peradaban di sini penulis artikan saja dengan budaya adiluhung/tinggi. Budaya ini sangat elitis karena cakupannya yang tidak luas. Contoh sederhana budaya pernikahan klasik di Pelalawan yang menggunakan jargon: Balai talintang, kambing tabebek, naik bandeo nan limo (Balai terlintang, kambing membebek, naik bendera yang lima).
            Budaya ini sangat elitis, bahkan sekarang sulit kita menemuinya lagi. Untuk diketahui, ritual pernikahan ini menggunakan balai di depan rumah sebagai tempat bersanding kedua pengantin didampingi ninik mamak yang tentunya sangat diistimewakan itu. Balai ini juga terbuat dari kayu dan diiikat dengan rotan (bukan dengan paku). Ikatan rotan ini pun penuh dengan nilai-nilai filosofis khas Pelalawan. Setiap simpul ikatan yang melekat di balai ini adalah nilai. Ia tidak hanya sekadar ikatan.
            Bendera yang lima juga terpacak di depan balai ini.  Ada lima bendera yang dikibarkan di puncak tiang. Ia berkait kekuasaan yang menaungi masyarakat Pelalawan. Ada kekuasaan batin mudo, dan ada pula kekuasaan batin tuo, dan lain sebgainya.
            Kambing tabebek diartikan dengan seekor kambing yang diikatkan di tiang bendera ini. Kambing ini disediakan oleh pihak mempelai perempuan. Setelah kedua pengantin naik ke rumah, barulah kambing ini disembelih untuk kemudian disantap bersama-sama setelah dimasak terlebih dahulu. Sebagai tambahan, biasanya pihak mempelai laki-laki juga menyediakan ayam sebagai pelengkap yang juga diiikatkan di tiang bendera ini.
            Inilah salah satu contoh budaya adiluhung atau elite tadi. Ia dikatakan adiluhung karena sifat ritual ini sangatlah langka. Sudah jarang dipraktikkan dalam ritual pernikahan di masyarakat Pelalawan. Selain dari aspek langkanya tradisi ini, ritual pernikahan ini juga bersifat mendalam, penuh dengan nilai-nilai filosofis seperti dijelaskan di atas. Budaya adiluhung ini juga memiliki sedikit pengikut. Perhatikan saja, apakah budaya ini dipraktikkan oleh banyak orang? Sampai di sini saja penjelasan terkait budaya adiluhung.

Budaya Pop
            Lawan dari budaya adiluhung ini adalah budaya yang sungguh sangat tenar hari ini, yakni budaya pop. Budaya ini biasanya bersifat dangkal (sedikit makna, atau bahkan tak bermakna), paling ekstrem cendekiawan yang juga sastrawan Kuntowijoyo mengatakan budaya pop ini bersifat pembodohan (Ibrahim, ed.,1997).
            Budaya pop juga disebut dengan budaya massa karena mempunyai pengikut yang bersifat massa. Misalnya apa yang terjadi dengan masyarakat Pelalawan hari ini di mana kebanyakan generasi mudanya mulai dari anak Sekolah Dasar hingga para orang tua keroyokan membikin akun Facebook. Atau bisa dilihat juga pada gadis-gadis dan ibu-ibu di Pelalawan yang “menggilai” salon untuk rebonding dan manicure-pedicure (mani-pedi). Yang lain sebagai pembalikan tradisi pernikahan masyarakat Pelalawan di atas, di mana saat ini tradisi pernikahan masyarakat Pelalawan adalah dengan konsep menerima undangan dengan tenda disertai hiburan keyboard. Langka ditemui lagi balai terlintang, atau kambing yang diikatkan di tiang bendera seperti yang telah dijelaskan. Sama langkanya dengan tradisi kuliner lama yang dipunyai Pelalawan. Banyak tradisi kuliner lama kita yang hampir hilang saat ini. Tidak ada lagi penerus dari tradisi-tradisi ini karena hanya generasi ibu kita saja yang bisa membuatnya.

Kuliner Pelalawan
            Dalam catatan penulis, ada beberapa makanan khas Pelalawan yang mulai langka. Misalnya sansagun (terbuat dari tepung beras yang ditumbuk di lesung), sagu ondang (bahannya terbuat dari pohon rumbia), omping (dari padi yang masih muda), lopat (dari ketan yang dibungkus dengan daun lipai) dan yang lainnya. Masakan-masakan khas ini lesap karena hari ini tidak ada lagi generasi muda yang bisa membuatnya. Hanya generasi level ibu kita saja mungkin yang masih bisa meracik bahan-bahan untuk membuat makanan khas ini. Ini diakibatkan oleh budaya modern yang menyelusup ke dalam kehidupan kita tanpa basa basi. Ia menelikung kehidupan tradisional kita, untuk kemudian melenyapkannya. Terbukti hari ini di Pelalawan sudah banyak tradisi-tradisi klasik yang hilang.
            Nah, bagi kita sebagai orang muda, mungkin yang bisa kita lakukan adalah meniru apa yang telah ibu kita perbuat. Sewaktu ia membuat lomping pisang, atau cucuh misalnya, kita bisa belajar cara mengolahnya, apa saja bahannya, dan lain sebagainya.
            Selain aspek kuliner, ranah anyam-menganyam juga menghilang dari kehidupan masyarakat Pelalawan. Tidak banyak lagi yang bisa membuat bakul, kangkatang (tempat omping), ambung, poda (untuk menebang pohon), luka, tangkalak, campiai (semuanya alat penangkap ikan). Dan ada yang menarik satu lagi, yakni tike onek (tikar yang terbuat dari daun pandan tapi dibikin dengan ukuran sangat kecil, atau onek bahasa Pelalawannya.
            Memang masih ada jenis makanan khas Pelalawan yang masih bertahan, misalnya gulai simpode—gulai tanpa santan—yang menggunakan mukut (beras yang direndam terlebih dahulu, kemudian digiling) sebagai pelengkapnya, di sinilah kekhasannya, dan tentunya sulit ditemukan di daerah lainnya. Selain itu, hari ini kita masih bisa melihat para orang tua kita membuat aih asam (air asam). Aih asam terbuat dari suwiran ikan panggang, terung asam yang dibakar/direbus, cabe rawit yang dipencet, kesemuanya ini kemudian diaduk di dalam air hangat. Ritual lainnya yang bertahan, misalnya, mandi kaih. Mandi yang dilakukan oleh seorang anak kecil sebelum ia menjejak tanah. Makanya, ritual ini sering disebut juga dengan mandi kaih jejak tanah.

Pengampu peradaban
            Kita yang notabene adalah generasi muda Pelalawan yang mengampu budaya (peradaban) Pelalawan itu sendiri kiranya bisa memaksimalkan segala kemampuan untuk bersama-sama melestarikan segala budaya adiluhung kita ini. Bisa dengan mempraktikkan sendiri, atau minimal mempelajarinya. Mempraktikkannya bisa dengan membuat sendiri sambil belajar mengolah makanan khas kita di atas tadi. Misalnya, membuat aih asam tidaklah terlalu sulit dilakukan. Ketika di Yogyakarta, misalnya, penulis bersama seorang teman pernah melakukan ini, tentu dengan sumber daya yang berbeda dengan di Pelalawan sana, karena di sini tdaklah dijumpai pohon terung asam, atau pemanggangan tempat memanggang ikan yang sulit didapatkan.
            Kita bisa mendiskusikan kembali ragam budaya Pelalawan ini. Kita bisa juga membacanya dari buku-buku yang bertebaran tentang budaya Pelalawan. Yang lain, bertanya kepada tetua adat sepertinya adalah jalan jitu untuk mengetahui seluk-beluk budaya Pelalawan, atau media orang tua kita bisa kita manfaatkan juga ketika kita berinteraksi dengan mereka. Setelah bertanya banyak, mungkin bisa kita dokumentasikan dalam bentuk video, foto, atau ditulis untuk kemudian dipublikasikan. Ini saja, mari kita jaga keunikan Pelalawan dari gempuran “tsunami” modernitas! Semoga budaya Pelalawan tak lekang oleh waktu! Wallahu a’lam bi al-shawab. (Kamar kos, 25-26 April 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar