Pelalawan yang Unik di Tengah
Telikungan Modernisasi
Darwin
Langkah
pertama untuk menaklukkan sebuah masyarakat adalah
dengan
memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku,
kebudayaan,
dan sejarahnya. Lalu perintahkan seseorang untuk menulis
buku-buku
baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah baru.
Tak
akan lama, masyarakat itu akan mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya.
(Milan
Hubl dalam Anton Kurnia, 2004: 32)
Kebudayaan
baru adalah kebudayaan yang membunuh umat manusia.
Dan
pembunuhan itu dilakukan di balik selimut perdagangan.
(Muhammad
Iqbal dalam Ibrahim, ed., 1997)
KATA
“peradaban” sudah sering dipercakapkan. Namun perlu kiranya kita mengetahui
kembali apa arti kata “peradaban” ini. Menurut Mulyadi Kartanegara dalam Bayang-bayang Fanatisisme: Esai-esai Untuk Mengenang
Nurcholish Madjid (Abd Hakim dan Yudi Latif <ed: 2007), secara sederhana
peradaban dipinjam dari kata “adab”, yang berarti kesopanan atau etiket. Masih
menurut Mulyadi, peradaban dalam bahasa Inggris disebut dengan civilized, yang artinya memiliki
peradaban, sedang dalam bahasa Arab disebut dengan tamaddun, bisa diartikan dengan peradaban atau kebudayaan tinggi.
Nah, dalam konteks pengertian di
ataslah kita akan membicarakan tentang peradaban Pelalawan, sebuah kabupaten di
sekitaran Sungai Kampar, Riau. Peradaban di sini penulis artikan saja dengan
budaya adiluhung/tinggi. Budaya ini sangat elitis karena cakupannya yang tidak
luas. Contoh sederhana budaya pernikahan klasik di Pelalawan yang menggunakan
jargon: Balai talintang, kambing tabebek,
naik bandeo nan limo (Balai terlintang, kambing membebek, naik bendera yang
lima).
Budaya ini sangat elitis, bahkan
sekarang sulit kita menemuinya lagi. Untuk diketahui, ritual pernikahan ini
menggunakan balai di depan rumah sebagai tempat bersanding kedua pengantin
didampingi ninik mamak yang tentunya sangat diistimewakan itu. Balai ini juga
terbuat dari kayu dan diiikat dengan rotan (bukan dengan paku). Ikatan rotan
ini pun penuh dengan nilai-nilai filosofis khas Pelalawan. Setiap simpul ikatan
yang melekat di balai ini adalah nilai. Ia tidak hanya sekadar ikatan.
Bendera yang lima juga terpacak di
depan balai ini. Ada lima bendera yang
dikibarkan di puncak tiang. Ia berkait kekuasaan yang menaungi masyarakat
Pelalawan. Ada kekuasaan batin mudo,
dan ada pula kekuasaan batin tuo, dan
lain sebgainya.
Kambing
tabebek diartikan dengan seekor kambing yang diikatkan di tiang bendera
ini. Kambing ini disediakan oleh pihak mempelai perempuan. Setelah kedua
pengantin naik ke rumah, barulah kambing ini disembelih untuk kemudian disantap
bersama-sama setelah dimasak terlebih dahulu. Sebagai tambahan, biasanya pihak
mempelai laki-laki juga menyediakan ayam sebagai pelengkap yang juga diiikatkan
di tiang bendera ini.
Inilah salah satu contoh budaya
adiluhung atau elite tadi. Ia dikatakan adiluhung karena sifat ritual ini
sangatlah langka. Sudah jarang dipraktikkan dalam ritual pernikahan di
masyarakat Pelalawan. Selain dari aspek langkanya tradisi ini, ritual
pernikahan ini juga bersifat mendalam, penuh dengan nilai-nilai filosofis
seperti dijelaskan di atas. Budaya adiluhung ini juga memiliki sedikit
pengikut. Perhatikan saja, apakah budaya ini dipraktikkan oleh banyak orang?
Sampai di sini saja penjelasan terkait budaya adiluhung.
Budaya Pop
Lawan
dari budaya adiluhung ini adalah budaya yang sungguh sangat tenar hari ini,
yakni budaya pop. Budaya ini biasanya bersifat dangkal (sedikit makna, atau
bahkan tak bermakna), paling ekstrem cendekiawan yang juga sastrawan
Kuntowijoyo mengatakan budaya pop ini bersifat pembodohan (Ibrahim, ed.,1997).
Budaya pop juga disebut dengan
budaya massa karena mempunyai pengikut yang bersifat massa. Misalnya apa yang
terjadi dengan masyarakat Pelalawan hari ini di mana kebanyakan generasi
mudanya mulai dari anak Sekolah Dasar hingga para orang tua keroyokan membikin
akun Facebook. Atau bisa dilihat juga pada gadis-gadis dan ibu-ibu di Pelalawan
yang “menggilai” salon untuk rebonding
dan manicure-pedicure (mani-pedi). Yang lain sebagai pembalikan
tradisi pernikahan masyarakat Pelalawan di atas, di mana saat ini tradisi
pernikahan masyarakat Pelalawan adalah dengan konsep menerima undangan dengan
tenda disertai hiburan keyboard. Langka ditemui lagi balai terlintang, atau
kambing yang diikatkan di tiang bendera seperti yang telah dijelaskan. Sama
langkanya dengan tradisi kuliner lama yang dipunyai Pelalawan. Banyak tradisi
kuliner lama kita yang hampir hilang saat ini. Tidak ada lagi penerus dari
tradisi-tradisi ini karena hanya generasi ibu kita saja yang bisa membuatnya.
Kuliner Pelalawan
Dalam catatan penulis, ada beberapa
makanan khas Pelalawan yang mulai langka. Misalnya sansagun (terbuat dari tepung beras yang ditumbuk di lesung), sagu ondang (bahannya terbuat dari
pohon rumbia), omping (dari padi yang
masih muda), lopat (dari ketan yang
dibungkus dengan daun lipai) dan yang lainnya. Masakan-masakan khas ini lesap
karena hari ini tidak ada lagi generasi muda yang bisa membuatnya. Hanya
generasi level ibu kita saja mungkin yang masih bisa meracik bahan-bahan untuk
membuat makanan khas ini. Ini diakibatkan oleh budaya modern yang menyelusup ke
dalam kehidupan kita tanpa basa basi. Ia menelikung kehidupan tradisional kita,
untuk kemudian melenyapkannya. Terbukti hari ini di Pelalawan sudah banyak
tradisi-tradisi klasik yang hilang.
Nah, bagi kita sebagai orang muda,
mungkin yang bisa kita lakukan adalah meniru apa yang telah ibu kita perbuat.
Sewaktu ia membuat lomping pisang,
atau cucuh misalnya, kita bisa
belajar cara mengolahnya, apa saja bahannya, dan lain sebagainya.
Selain aspek kuliner, ranah
anyam-menganyam juga menghilang dari kehidupan masyarakat Pelalawan. Tidak
banyak lagi yang bisa membuat bakul, kangkatang
(tempat omping), ambung, poda (untuk menebang pohon), luka, tangkalak, campiai (semuanya alat penangkap ikan). Dan ada
yang menarik satu lagi, yakni tike onek
(tikar yang terbuat dari daun pandan tapi dibikin dengan ukuran sangat kecil,
atau onek bahasa Pelalawannya.
Memang masih ada jenis makanan khas
Pelalawan yang masih bertahan, misalnya gulai
simpode—gulai tanpa santan—yang menggunakan mukut (beras yang direndam terlebih dahulu, kemudian digiling)
sebagai pelengkapnya, di sinilah kekhasannya, dan tentunya sulit ditemukan di
daerah lainnya. Selain itu, hari ini kita masih bisa melihat para orang tua
kita membuat aih asam (air asam). Aih asam terbuat dari suwiran ikan
panggang, terung asam yang dibakar/direbus, cabe rawit yang dipencet,
kesemuanya ini kemudian diaduk di dalam air hangat. Ritual lainnya yang
bertahan, misalnya, mandi kaih. Mandi
yang dilakukan oleh seorang anak kecil sebelum ia menjejak tanah. Makanya,
ritual ini sering disebut juga dengan mandi
kaih jejak tanah.
Pengampu peradaban
Kita yang notabene adalah generasi
muda Pelalawan yang mengampu budaya (peradaban) Pelalawan itu sendiri kiranya
bisa memaksimalkan segala kemampuan untuk bersama-sama melestarikan segala
budaya adiluhung kita ini. Bisa dengan mempraktikkan sendiri, atau minimal
mempelajarinya. Mempraktikkannya bisa dengan membuat sendiri sambil belajar
mengolah makanan khas kita di atas tadi. Misalnya, membuat aih asam tidaklah terlalu sulit dilakukan. Ketika di Yogyakarta,
misalnya, penulis bersama seorang teman pernah melakukan ini, tentu dengan
sumber daya yang berbeda dengan di Pelalawan sana, karena di sini tdaklah dijumpai
pohon terung asam, atau pemanggangan
tempat memanggang ikan yang sulit didapatkan.
Kita bisa mendiskusikan kembali
ragam budaya Pelalawan ini. Kita bisa juga membacanya dari buku-buku yang
bertebaran tentang budaya Pelalawan. Yang lain, bertanya kepada tetua adat
sepertinya adalah jalan jitu untuk mengetahui seluk-beluk budaya Pelalawan,
atau media orang tua kita bisa kita manfaatkan juga ketika kita berinteraksi
dengan mereka. Setelah bertanya banyak, mungkin bisa kita dokumentasikan dalam
bentuk video, foto, atau ditulis untuk kemudian dipublikasikan. Ini saja, mari
kita jaga keunikan Pelalawan dari gempuran “tsunami” modernitas! Semoga budaya
Pelalawan tak lekang oleh waktu! Wallahu
a’lam bi al-shawab. (Kamar kos,
25-26 April 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar