Kamis, 06 Juni 2013

Media, Muhidin, dan Resensi Buku



Media, Muhidin, dan Resensi Buku
Darwin
            “Ikatlah ilmu dengan tulisan, ikatlah bacaan dengan resensi,” demikian lontaran kata-kata Muhidin M. Dahlan pada Ahad malam (19 Mei 2012) sepekan yang lalu, ketika diskusi “Teknik Meresensi Buku” baru saja dimulai. Hal ini menjadi penenang hati kita karena sebelumnya saya dan Kanda Ahmad Sahide dibuat dag dig dug menanti kedatangan Muhidin M. Dahlan, seorang novelis yang juga arsiparis di Indonesia Boekoeku itu.
Menunggu kehadiran seseorang memang selalu mendebarkan, apalagi yang berhubungan dengan ketidakpastian plus kata “pertanggungjawaban”. Ibarat seorang yang sedang menunggu kekasihnya, begitulah mungkin perumpamaan malam itu. Kita dibuat “tidak tenang”. Yang lebih mendebarkan kita adalah peserta diskusi “Teknik Meresensi Buku” terus berdatangan ke markas Komunitas Belajar Menulis (KBM) di Jalan Golo 36 A, Pandean, Umbulharjo. Sebagai yang bertanggung jawab terhadap helat malam itu, wajar saja kita agak “takut” jikalau Bang Muhidin (begitu Muhidin M. Dahlan sering kita sapa) tidak datang.
Tambahan lagi, berkomunikasi dengannya membutuhkan alat komunikasi yang tidak biasa. Jika pembicara-pembicara lainnya mudah saja dihubungi dengan alat komunikasi berupa ponsel, hal ini tak berlaku pada Bang Muhidin. Katanya, Bang Muhidin tidak mempunyai ponsel. Kita tidak tahu mengapa Bang Muhidin mempunyai lifestyle berbeda dengan manusia pemuja produk hasil kreasi teknologi abad modern itu. Sebagaimana kita ketahui, ponsel menurut sebagian orang sungguh sangatlah penting bagi kehidupan. Jadilah alat komunikasi yang kita gunakan ketika berkomunikasi dengan Bang Muhidin adalah media sosial yang bernama Facebook.
Kita tahu Facebook dalam hal tertentu tidaklah seefektif ponsel.  Pesan Inbox yang kita kirim belum tentu langsung dibaca oleh si empunya Facebook. Berbeda dengan ponsel di mana pesannya cenderung langsung diketahui oleh si penerima pesan, karena seperti yang pernah dikatakan Bang Muhidin, ponsel saat ini sudah menjadi berhala kecil, artinya ia selalu ada di dekat kita setiap saat melebihi Tuhan. Bahkan orang sekarang tidak cukup lagi menggunakan satu ponsel, ada yang mempunyai dua, bahkan tiga ponsel sekaligus.
Untuk mengurangi “kegundahan”, Kanda Ahmad Sahide mencoba mengecek kembali pesan di inbox Facebook-nya, mana tahu ada pesan dari Bang Muhidin. Benar saja, setelah pesan inbox dibuka, tertera sedikit pesan dari Bang Muhidin di mana ia akan hadir satu setengah jam lagi, tepatnya jam sembilan malam. Akhirnya, kepastian sudah didapatkan, namun tetap ada yang mengganjal. Menunggu satu jam setengah tidaklah sebentar. Apalagi para peserta bisa saja ada yang belum makan. Segera saya instruksikan saja kepada Kanda Ahmad Sahide untuk menyuruh peserta makan terlebih dahulu, karena jika menunggu acara usai, bisa saja hampir tengah malam baru selesai. Untuk orang yang tidak mengidap maag, makan telat tidaklah masalah. Tetapi bagaimana dengan orang-orang seperti saya yang merasa nyeri di lambung jika telat makan. Makanya, malam itu segera saja saya menstarter motor, untuk kemudian menuju burjo yang tidak begitu jauh dari markas KBM.

Pentingnya indeks
Menarik dan banyak hal baru yang kita dapatkan dari pemaparan Bang Muhidin malam itu. Inilah kekhasan dari Bang Muhidin. Setiap ia menyampaikan sesuatu, selalu ada saja hal baru yang kita serap dari untaian katanya. Menarik, karena beberapa peserta antusias menikmati diskusi yang dihadiri sekitar 26 peserta itu (berdasarkan absen). Salah seorang peserta bahkan bertanya terus seperti percakapan sehari-hari tanpa jeda. Mungkin moderator dalam hal ini bisa disalahkan karena tidak bijak mengatur jalannya diskusi.
Hal baru yang kita dapatkan, misalnya, bagaimana pentingnya indeks dalam sebuah buku. Menurut Bang Muhidin, indekslah yang menjadi alat untuk menilai sebuah buku apakah dia buku bermutu atau buku sampah (dalam bahasa Bang Muhidin). Indeks sangat penting bagi seorang peresensi karena dari indeks kita bisa melacak arus pemikiran penulis buku yang akan kita resensi. Dari indeks akan diketahui referensi atau bacaan si penulis. Indeks juga menjadi penanda kecenderungan seorang penulis. Dalam bahasa saya, kecakapan seseorang penulis buku bisa diuji dari indeks yang biasanya tertera di halaman akhir sebuah buku itu.
Yang lain, seorang peresensi sebenarnya dimudahkan dengan identitas buku yang ada di halaman empat (biasanya berangka romawi). Resensi, menurut Bang Muhidin, hanyalah “berkutat” pada halaman empat ini. Karena di sinilah informasi sebuah buku kita dapatkan. Sebagaimana kita ketahui, di halaman ini biasanya ada judul buku, penulis/penerjemah, penerbit, tahun terbit, jumlah halaman, dan ukuran (size) buku. Dari sini kita sudah mendapatkan segala hal tentang buku. Kita bisa memulai meresensi buku dari halaman empat ini. Selanjutnya tinggal kita lihat indeks, seperti yang sudah dipaparkan di atas tadi. Namun, menurut Bang Muhidin, walaupun informasi buku detail telah kita dapatkan (bisa dari halaman empat, indeks, atau pengantar penulis), tetap saja membaca keseluruhan buku itu penting, kecuali jika kita sedang dikejar deadline. Jika tidak diresensi segera, maka momen akan hilang. Apalagi yang berhubungan dengan media surat kabar yang menuntut kecepatan dan kebaruan.
Akhirulkalam, inilah secuil kata-kata yang bisa saya tangkap pada malam itu. Hal ini tidaklah menjadi monopoli saya sendiri terhadap pemikiran Bang Muhidin, karena setiap peserta punya perspektif masing-masing dalam menerjemahkan pemikiran seorang Muhidin. Keterbatasan adalah sifat manusia yang tidak bisa ditolak. Sebuah diskusi bisa saja melahirkan puluhan buku dan berlembar-lembar makalah jika dituliskan. Ini hanya salah satu perspektif saja dalam menangkap realitas (diskusi) pada malam itu…Begitu! Wallahu a’lam bi al-shawab.
Kamar kos, 25 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar