Media, Muhidin, dan Resensi Buku
Darwin
“Ikatlah ilmu dengan tulisan,
ikatlah bacaan dengan resensi,” demikian lontaran kata-kata Muhidin M. Dahlan pada
Ahad malam (19 Mei 2012) sepekan yang lalu, ketika diskusi “Teknik Meresensi Buku”
baru saja dimulai. Hal ini menjadi penenang hati kita karena sebelumnya saya
dan Kanda Ahmad Sahide dibuat dag dig dug
menanti kedatangan Muhidin M. Dahlan, seorang novelis yang juga arsiparis di
Indonesia Boekoeku itu.
Menunggu
kehadiran seseorang memang selalu mendebarkan, apalagi yang berhubungan dengan
ketidakpastian plus kata “pertanggungjawaban”. Ibarat seorang yang sedang menunggu
kekasihnya, begitulah mungkin perumpamaan malam itu. Kita dibuat “tidak
tenang”. Yang lebih mendebarkan kita adalah peserta diskusi “Teknik Meresensi
Buku” terus berdatangan ke markas Komunitas Belajar Menulis (KBM) di Jalan Golo
36 A, Pandean, Umbulharjo. Sebagai yang bertanggung jawab terhadap helat malam
itu, wajar saja kita agak “takut” jikalau Bang Muhidin (begitu Muhidin M.
Dahlan sering kita sapa) tidak datang.
Tambahan
lagi, berkomunikasi dengannya membutuhkan alat komunikasi yang tidak biasa.
Jika pembicara-pembicara lainnya mudah saja dihubungi dengan alat komunikasi
berupa ponsel, hal ini tak berlaku pada Bang Muhidin. Katanya, Bang Muhidin
tidak mempunyai ponsel. Kita tidak tahu mengapa Bang Muhidin mempunyai lifestyle berbeda dengan manusia pemuja
produk hasil kreasi teknologi abad modern itu. Sebagaimana kita ketahui, ponsel
menurut sebagian orang sungguh sangatlah penting bagi kehidupan. Jadilah alat
komunikasi yang kita gunakan ketika berkomunikasi dengan Bang Muhidin adalah
media sosial yang bernama Facebook.
Kita
tahu Facebook dalam hal tertentu tidaklah seefektif ponsel. Pesan Inbox
yang kita kirim belum tentu langsung dibaca oleh si empunya Facebook. Berbeda
dengan ponsel di mana pesannya cenderung langsung diketahui oleh si penerima
pesan, karena seperti yang pernah dikatakan Bang Muhidin, ponsel saat ini sudah
menjadi berhala kecil, artinya ia selalu ada di dekat kita setiap saat melebihi
Tuhan. Bahkan orang sekarang tidak cukup lagi menggunakan satu ponsel, ada yang
mempunyai dua, bahkan tiga ponsel sekaligus.
Untuk
mengurangi “kegundahan”, Kanda Ahmad Sahide mencoba mengecek kembali pesan di inbox Facebook-nya, mana tahu ada pesan
dari Bang Muhidin. Benar saja, setelah pesan inbox dibuka, tertera sedikit pesan dari Bang Muhidin di mana ia
akan hadir satu setengah jam lagi, tepatnya jam sembilan malam. Akhirnya, kepastian
sudah didapatkan, namun tetap ada yang mengganjal. Menunggu satu jam setengah
tidaklah sebentar. Apalagi para peserta bisa saja ada yang belum makan. Segera
saya instruksikan saja kepada Kanda Ahmad Sahide untuk menyuruh peserta makan
terlebih dahulu, karena jika menunggu acara usai, bisa saja hampir tengah malam
baru selesai. Untuk orang yang tidak mengidap maag, makan telat tidaklah masalah. Tetapi bagaimana dengan
orang-orang seperti saya yang merasa nyeri di lambung jika telat makan. Makanya,
malam itu segera saja saya menstarter motor, untuk kemudian menuju burjo yang
tidak begitu jauh dari markas KBM.
Pentingnya indeks
Menarik
dan banyak hal baru yang kita dapatkan dari pemaparan Bang Muhidin malam itu.
Inilah kekhasan dari Bang Muhidin. Setiap ia menyampaikan sesuatu, selalu ada
saja hal baru yang kita serap dari untaian katanya. Menarik, karena beberapa
peserta antusias menikmati diskusi yang dihadiri sekitar 26 peserta itu
(berdasarkan absen). Salah seorang peserta bahkan bertanya terus seperti
percakapan sehari-hari tanpa jeda. Mungkin moderator dalam hal ini bisa
disalahkan karena tidak bijak mengatur jalannya diskusi.
Hal
baru yang kita dapatkan, misalnya, bagaimana pentingnya indeks dalam sebuah
buku. Menurut Bang Muhidin, indekslah yang menjadi alat untuk menilai sebuah
buku apakah dia buku bermutu atau buku sampah (dalam bahasa Bang Muhidin).
Indeks sangat penting bagi seorang peresensi karena dari indeks kita bisa
melacak arus pemikiran penulis buku yang akan kita resensi. Dari indeks akan
diketahui referensi atau bacaan si penulis. Indeks juga menjadi penanda kecenderungan
seorang penulis. Dalam bahasa saya, kecakapan seseorang penulis buku bisa diuji
dari indeks yang biasanya tertera di halaman akhir sebuah buku itu.
Yang
lain, seorang peresensi sebenarnya dimudahkan dengan identitas buku yang ada di
halaman empat (biasanya berangka romawi). Resensi, menurut Bang Muhidin, hanyalah
“berkutat” pada halaman empat ini. Karena di sinilah informasi sebuah buku kita
dapatkan. Sebagaimana kita ketahui, di halaman ini biasanya ada judul buku,
penulis/penerjemah, penerbit, tahun terbit, jumlah halaman, dan ukuran (size)
buku. Dari sini kita sudah mendapatkan segala hal tentang buku. Kita bisa
memulai meresensi buku dari halaman empat ini. Selanjutnya tinggal kita lihat
indeks, seperti yang sudah dipaparkan di atas tadi. Namun, menurut Bang
Muhidin, walaupun informasi buku detail telah kita dapatkan (bisa dari halaman
empat, indeks, atau pengantar penulis), tetap saja membaca keseluruhan buku itu
penting, kecuali jika kita sedang dikejar deadline.
Jika tidak diresensi segera, maka momen akan hilang. Apalagi yang berhubungan
dengan media surat kabar yang menuntut kecepatan dan kebaruan.
Akhirulkalam,
inilah secuil kata-kata yang bisa saya tangkap pada malam itu. Hal ini tidaklah
menjadi monopoli saya sendiri terhadap pemikiran Bang Muhidin, karena setiap
peserta punya perspektif masing-masing dalam menerjemahkan pemikiran seorang
Muhidin. Keterbatasan adalah sifat manusia yang tidak bisa ditolak. Sebuah
diskusi bisa saja melahirkan puluhan buku dan berlembar-lembar makalah jika
dituliskan. Ini hanya salah satu perspektif saja dalam menangkap realitas
(diskusi) pada malam itu…Begitu! Wallahu
a’lam bi al-shawab.
Kamar
kos, 25 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar