Catatan Kebangsaan;
Optimisme vs Pesimisme
Ahmad Sahide
Menarik untuk membaca rubrik opini Harian
Kompas pada hari Selasa, 21 Mei 2013. Pada hari itu, redaksi opini
menampilkan dua artikel yang berseberangan dan juga ditulis oleh dua tokoh yang
punya latar belakang berbeda. Artikel yang satu ditulis oleh seorang birokrat
dan artikel lainnya ditulis oleh seorang aktivis sosial. Tapi di situlah letak
menariknya, menampilkan dua sudut pandang dalam membaca Indonesia yang
kadang-kadang sulit menemukan titik temu. Satu tulisan bernada optimis dan
tulisan yang satu bernada pesimis.
Pada halaman 7, Dino Patti Djalal
(DPD) menulis artikel dengan judul “World Statesman Award Untuk SBY.”
Pemerhati politik Indonesia sudah tidak asing lagi dengan nama ini. Pada periode
pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebelumnya, DPD dipercaya oleh SBY sebagai Juru Bicara
(Jubir) Kepresidenan bidang luar negeri. Dan saat ini diangkat menjadi Duta
Besar Indonesia yang bertugas di Amerika Serikat.
Membaca judul tulisan dan juga nama
penulisnya, saya sudah punya asumsi awal (sebelum membaca) bahwa artikel
tersebut sudah pasti memuji kiprah pemerintahan SBY selama ini. Asumsi saya
tidaklah salah. DPD menguraikan kelayakan SBY menerima penghargaan World
Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation, katanya suatu
yayasan antaragama bergengsi di AS (Kompas, 21/05/2013). Sebagaimana
asumsi awal saya, DPD memuji SBY, bosnya itu, dan juga Indonesia (kita memang
harus bangga dengan Indonesia) yang menjadi parameter kelayakan SBY menerima
penghargaan tersebut. Pertama, demokrasi Indonesia yang semakin mapan dan
stabil. Kedua, kemajuan dari segi penegakan hak asasi manusia. Ketiga,
Indonesia kini dipandang sebagai pelopor perdamaian. Dan keempat adalah
Indonesia kini telah menjadi pemain global, beberapa data untuk membangun
tesisnya dan tidak ada yang menyangkal hal tersebut. Misalnya Indonesia masuk
dalam forum G-20 dan SBY dipilih sebagai Ketua Bersama High Level Panel
oleh PBB. Sayang, DPD tidak menjelaskan mengapa Indonesia absen, jika memang
telah menjadi pemain global, dalam krisis politik di negara-negara Arab pasca-The
Arab Spring.
Artikel lainnya pada halaman 6
adalah yang berjudul “Meninggalkan Rakyat,” yang ditulis oleh Sri Palupi,
Peneliti Institute for Ecosoc Rights. Apa yang ditulis oleh Sri Palupi
sangat bertentangan dengan DPD. Dari judulnya saja sudah terlihat. Sri Palupi
mengangkat kisah pedagang kecil di stasiun kereta api yang tergusur karena
masuknya pemodal lain yang mampu membayar jauh lebih besar dibandingkan dengan
biaya sewa dari pedagang kecil. Sri
Palupi pun berpendapat bahwa ini adalah konsekuensi dari arah kebijakan
pemerintahan SBY yang cenderung meninggalkan rakyat (Kompas,
21/05/2013).
Dengan membaca artikel dari DPD dan
Sri Palupi, kita akan melihat bagaimana Indonesia dibaca oleh mereka (dan kita
berada di mana?). Pembacaan yang bertolak belakang dan juga cara membaca yang
berbeda. DPD, sebagai orang yang keluar masuk istana, membaca Indonesia dengan
narasi-narasi besar, dari data-data statistik yang masuk ke Istana. Sementara
Sri Palupi melakukan pembacaan bukan dari data-data statistik itu, yang
terkadang dimanipulasi, tetapi dari narasi-narasi kecil yang dia saksikan
langsung di lapangan sebagai seorang peneliti. Dan boleh jadi narasi-narasi kecil
yang sering dijumpainya itu tidak terdeteksi oleh radar Badan Statistik
Nasional (BSN).
Dari sini terlihat bahwa demokrasi
yang dibaca oleh Sri Palupi berbeda dari demokrasi yang dibaca oleh DPD.
Demokrasi Indonesia dalam pembacaan Sri Palupi adalah demokrasi yang tidak
berpihak kepada rakyat miskin dan lemah (pedagang kecil di stasiun). Sri Palupi
tidak melihat demokrasi Indonesia dengan ukuran bahwa Indonesia sudah tiga kali
melakukan pemilihan langsung dan juga berjalan lancar dan stabil. Bukan pemilihan
dan prosesnya yang dilihat oleh Sri Palupi, tetapi hari ini rakyat makan apa
dan apakah mereka mendapatkan perlindungan. Itulah pembacaan demokrasi Sri
Palupi. Demokrasi dari arus bawah.
Berbeda dengan Sri Palupi, DPD
membaca demokrasi Indonesia dengan narasi besar tadi. DPD hanya melihat
demokrasi Indonesia dari pemilihan ke pemilihan, dari data-data. Demokrasi
dengan narasi-narasi kecil tidak tampak di hadapnya. Ia tidak melihat bahwa
demokrasi kita yang sudah berjalan 15 tahun belum mampu memberikan perlindungan
kepada rakyat kecil untuk mencari nafkah sesuap nasi dalam sehari semalam. DPD
tidak melihat bahwa SBY yang dipilih secara langsung belum mampu memberikan
perlindungan kepada masyarakat kecil sebagaimana yang diceritakan oleh Sri
Palupi tersebut. dan tentu masih banyak narasi-narasi serupa lainnya di seluruh
pelosok Tanah Air. Demokrasi dengan narasi kecil itulah yang tidak tampak di
mata DPD karena memang hidupnya hanya keluar masuk istana dan saat ini di
Washington.
Kita patut bangga dengan penghargaan
yang diberikan kepada SBY tersebut, tetapi itu semestinya menjadi beban moril
bagi SBY yang harus dia pertanggungjawabkan kepada rakyat Indonesia.
Penghargaan itu haruslah menjadi kaca mata tajam bagi SBY untuk melihat
perjalanan demokrasi Indonesia dari narasi-narasi kecil.
Yogyakarta, 22 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar