Senin, 27 Mei 2013

Catatan Kebangsaan; Optimisme vs Pesimisme



Catatan Kebangsaan; Optimisme vs Pesimisme
Ahmad Sahide
            Menarik untuk membaca rubrik opini Harian Kompas pada hari Selasa, 21 Mei 2013. Pada hari itu, redaksi opini menampilkan dua artikel yang berseberangan dan juga ditulis oleh dua tokoh yang punya latar belakang berbeda. Artikel yang satu ditulis oleh seorang birokrat dan artikel lainnya ditulis oleh seorang aktivis sosial. Tapi di situlah letak menariknya, menampilkan dua sudut pandang dalam membaca Indonesia yang kadang-kadang sulit menemukan titik temu. Satu tulisan bernada optimis dan tulisan yang satu bernada pesimis.
            Pada halaman 7, Dino Patti Djalal (DPD) menulis artikel dengan judul “World Statesman Award Untuk SBY.” Pemerhati politik Indonesia sudah tidak asing lagi dengan nama ini. Pada periode pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebelumnya,  DPD dipercaya oleh SBY sebagai Juru Bicara (Jubir) Kepresidenan bidang luar negeri. Dan saat ini diangkat menjadi Duta Besar Indonesia yang bertugas di Amerika Serikat.
            Membaca judul tulisan dan juga nama penulisnya, saya sudah punya asumsi awal (sebelum membaca) bahwa artikel tersebut sudah pasti memuji kiprah pemerintahan SBY selama ini. Asumsi saya tidaklah salah. DPD menguraikan kelayakan SBY menerima penghargaan World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation, katanya suatu yayasan antaragama bergengsi di AS (Kompas, 21/05/2013). Sebagaimana asumsi awal saya, DPD memuji SBY, bosnya itu, dan juga Indonesia (kita memang harus bangga dengan Indonesia) yang menjadi parameter kelayakan SBY menerima penghargaan tersebut. Pertama, demokrasi Indonesia yang semakin mapan dan stabil. Kedua, kemajuan dari segi penegakan hak asasi manusia. Ketiga, Indonesia kini dipandang sebagai pelopor perdamaian. Dan keempat adalah Indonesia kini telah menjadi pemain global, beberapa data untuk membangun tesisnya dan tidak ada yang menyangkal hal tersebut. Misalnya Indonesia masuk dalam forum G-20 dan SBY dipilih sebagai Ketua Bersama High Level Panel oleh PBB. Sayang, DPD tidak menjelaskan mengapa Indonesia absen, jika memang telah menjadi pemain global, dalam krisis politik di negara-negara Arab pasca-The Arab Spring.
            Artikel lainnya pada halaman 6 adalah yang berjudul “Meninggalkan Rakyat,” yang ditulis oleh Sri Palupi, Peneliti Institute for Ecosoc Rights. Apa yang ditulis oleh Sri Palupi sangat bertentangan dengan DPD. Dari judulnya saja sudah terlihat. Sri Palupi mengangkat kisah pedagang kecil di stasiun kereta api yang tergusur karena masuknya pemodal lain yang mampu membayar jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya sewa dari pedagang kecil.  Sri Palupi pun berpendapat bahwa ini adalah konsekuensi dari arah kebijakan pemerintahan SBY yang cenderung meninggalkan rakyat (Kompas, 21/05/2013).
            Dengan membaca artikel dari DPD dan Sri Palupi, kita akan melihat bagaimana Indonesia dibaca oleh mereka (dan kita berada di mana?). Pembacaan yang bertolak belakang dan juga cara membaca yang berbeda. DPD, sebagai orang yang keluar masuk istana, membaca Indonesia dengan narasi-narasi besar, dari data-data statistik yang masuk ke Istana. Sementara Sri Palupi melakukan pembacaan bukan dari data-data statistik itu, yang terkadang dimanipulasi, tetapi dari narasi-narasi kecil yang dia saksikan langsung di lapangan sebagai seorang peneliti. Dan boleh jadi narasi-narasi kecil yang sering dijumpainya itu tidak terdeteksi oleh radar Badan Statistik Nasional (BSN).
            Dari sini terlihat bahwa demokrasi yang dibaca oleh Sri Palupi berbeda dari demokrasi yang dibaca oleh DPD. Demokrasi Indonesia dalam pembacaan Sri Palupi adalah demokrasi yang tidak berpihak kepada rakyat miskin dan lemah (pedagang kecil di stasiun). Sri Palupi tidak melihat demokrasi Indonesia dengan ukuran bahwa Indonesia sudah tiga kali melakukan pemilihan langsung dan juga berjalan lancar dan stabil. Bukan pemilihan dan prosesnya yang dilihat oleh Sri Palupi, tetapi hari ini rakyat makan apa dan apakah mereka mendapatkan perlindungan. Itulah pembacaan demokrasi Sri Palupi. Demokrasi dari arus bawah.
            Berbeda dengan Sri Palupi, DPD membaca demokrasi Indonesia dengan narasi besar tadi. DPD hanya melihat demokrasi Indonesia dari pemilihan ke pemilihan, dari data-data. Demokrasi dengan narasi-narasi kecil tidak tampak di hadapnya. Ia tidak melihat bahwa demokrasi kita yang sudah berjalan 15 tahun belum mampu memberikan perlindungan kepada rakyat kecil untuk mencari nafkah sesuap nasi dalam sehari semalam. DPD tidak melihat bahwa SBY yang dipilih secara langsung belum mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat kecil sebagaimana yang diceritakan oleh Sri Palupi tersebut. dan tentu masih banyak narasi-narasi serupa lainnya di seluruh pelosok Tanah Air. Demokrasi dengan narasi kecil itulah yang tidak tampak di mata DPD karena memang hidupnya hanya keluar masuk istana dan saat ini di Washington.
            Kita patut bangga dengan penghargaan yang diberikan kepada SBY tersebut, tetapi itu semestinya menjadi beban moril bagi SBY yang harus dia pertanggungjawabkan kepada rakyat Indonesia. Penghargaan itu haruslah menjadi kaca mata tajam bagi SBY untuk melihat perjalanan demokrasi Indonesia dari narasi-narasi kecil.
Yogyakarta, 22 Mei 2013.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar