Minggu, 17 Maret 2013

Catatan Pembelaan


Catatan Pembelaan
Ahmad Sahide
            Satu hal yang membahagiakan bagi seorang penulis adalah ketika karya yang lahir dari jari-jarinya mendapatkan apresiasi dari orang lain (pembaca). Salah satu bentuk apresiasi itu adalah mengadakan diskusi bedah buku yang dilahirkannya. Saya termasuk orang yang turut berbahagia ketika karya dari Ofadhani Afwan, yang kini baru duduk di kelas 6 Sekolah Dasar (SD), mendapatkan respons positif dari publik. Buku puisi dari Ofa, panggilan kesehariannya, telah dibedah dua kali setelah terbit dan mulai masuk pasar Januari lalu. Ia didiskusikan pertama kali di Pare, Kediri, Jawa Timur, pada tanggal 23 Februri lalu, kemudian satu minggu berikutnya, tepatnya 2 Maret 2013 buku ini kembali didiskusikan di Masjid Jenderal Sudirman (Kompleks Kolombo) Yogyakarta.
Kebahagiaan saya bukan sebagai penulis, tetapi lebih karena saya adalah editor dan juga orang yang mendampingi Ofa dalam melahirkan karya fenomenal tersebut. Jika kita tidak bisa menorehkan sejarah, setidaknya kita membantu (mengambil peran) orang yang menorehkan sejarah. barangkali seperti itu bangunan logika sederhananya. Namun, satu hal yang sedikit mengusik dari apresiasi pembaca akan buku Ofa tersebut adalah ketika saya ‘ditetapkan sebagai tersangka.’ Ketika buku ini, 1001 Puisi Untukmu, dibedah di Rumah Anak Bangsa, tepatnya di kompleks Smart English Course, Pare, pada tanggal 23 Februari lalu, Agus Rego S. Ilalang, yang dihadirkan sebagai pembedah, mengatakan secara langsung di hadapan saya akan kecurigaannya, “...saya curiga, jangan-jangan ini karya editornya,” katanya. Editor yang dia maksudkan tentunya adalah saya. Demikian halnya ketika didiskusikan kembali di Masjid Jenderal Sudirman, di mana Ofa sempat hadir, Bustan Basir Maras juga mengatakan kecurigaannya dan secara tidak langsung saya kembali sebagai ‘tersangka.’ Ia mengaku bahwa sejak buku itu saya antarkan ke dia, pegiat Komunitas Goeboek Indonesia (KGI) ini membaca berkali-kali bukunya Ofa dan masih ‘kurang percaya’ jika Ofa, yang masih duduk di Sekolah Dasar, bisa memainkan diksi yang baginya jauh melampaui usianya.
Saya sendiri mengakui dan mengatakan pada setiap kesempatan bahwa Ofa dalam menuliskan puisi, ia merangkai kata dan memilih diksi yang jauh melampaui usianya. Banyak bahasa-bahasa ketuhanan yang ia tuliskan, juga pemilihan katanya (diksi) yang terlalu tinggi untuk ukuran anak kelas 6 SD. Bahasa-bahasa itu, misalnya, dapat kita lihat dari puisinya yang berjudul Fatamorgana Yang Hilang, pada bait-bait berikutnya Ofa menuliskan Singa padang pasir/Yang pergi mengembara/hilang bagai fatamorgana/Mencari mangsa yang tak terlihat/Air mata ini kering bagai padang pasir/Tangis tak berhenti/Penyesalan tak berakhir. Jika kita memerhatikan pilihan kata dari Ofa ini, bahasa-bahasa ini seolah hanya bisa dituturkan oleh orang yang sudah dewasa, bukan anak kelas enam SD. Bagaimana mungkin anak kelas SD bisa memilih diksi seperti pada bait pertama Singa padang pasir dan seterusnya? Boleh jadi pertanyaan-pertanyaan ini muncul ketika puisi-puisi Ofa dibaca oleh Bustan Basir Maras dan Agus Rego S. Ilalang, sehingga saya pun harus menerima nasib sebagai tersangka. Dan tulisan ini lahir sebagai wujud pembelaan. Saya tidak ingin sepanjang hayat dikenang sebagai tersangka tentunya.
Pertama, hal yang tidak banyak diketahui oleh pembaca dari puisi Ofa pada umumnya adalah keseharian Ofa. Sebagai orang yang hampir setiap hari bertemu dan ‘bermain’ dengan Ofa, saya melihat bahwa Ofa adalah anak SD yang sudah punya tradisi membaca yang kuat. Ia sudah membaca bukunya Kafka, Metamorfosis, juga novel Andrea Hirata, Sang Patriot, dan masih banyak buku-buku lainnya yang ia baca. Bacaan-bacaan Ofa juga banyak yang melampaui usianya. Olehnya itu, pemilihan diksi dari puisi-puisinya banyak dipengaruhi oleh bacaannya.
Kedua, saya melihat bahwa kebanyakan puisi-puisi Ofa ia peruntukkan untuk kakaknya Arkie Aninditya (almarhum). Di sana banyak kita temukan bahasa-bahasa kerinduan dan kehilangan. Itu adalah bahasa rasa di mana saya tidak bisa menggantikan posisinya. Misalnya dalam puisinya yang berjudul Kepergian di Hari Yang Cerah (hal. 26), dan lain-lain. Juga saya melihat bahwa Ofa banyak memiliki kesamaan diksi dari puisi-puisi almarhum kakaknya itu, dalam antologi puisi kami bersama Kusimpan Kau Dalam Puisi.
Salah satu diksi Arki dalam puisinya adalah  Awan Mendung-tertunduk aku melihat awan mendung....” pada halaman 1 dari antologi puisi Kusimpan Kau Dalam Puisi. Ofa, dalam salah satu puisinya (hal. 18) juga punya diksi “Mendung-gelap/hitam/hatiku/saat kau tak ada di sisiku/namun hatiku merasa senang/cerah/putih/apabila engkau di sisiku.” Saya curiga bahwa diksi mendung itu adalah bahasa yang ia ambil dari bahasa kakaknya sendiri. Ofa juga dari bait-bait puisinya ini punya diksi “hitam”, jika kita membaca puisi-puisi almarhum Arkie, ia juga banyak memiliki diksi “hitam”, misalnya dalam puisinya yang berjudul Hitamku dan Arang Hitam (hal.18-19 dari antologi puisi Kusimpan Kau Dalam Puisi). Bahkan, hemat saya, ada puisi dari almarhum Arkie Aninditya yang objeknya sama dari puisinya Ofa. Arkie punya puisi yang berjudul Mencari-Nya- di bawah payung-payung seribu kitab/aku berteduh/berguling gelisah/mencari dalam tanah di mana diri-Nya/merobek angkasa kucari diri-Nya/tak ada juga kutemukan/maka kuambil silet duniawi/kusobek diriku, kucari di dalam kulit/kuurai isi perutku/kutarik isi jantungku/dalam hembusan detik nafas terakhir kutemukan diri-Nya/ia berada dalam hatiku yang tak bisa kulihat dengan mata duniawi.
Saya melihat bahwa di sini Arkie menulis puisi untuk dirinya sendiri. Ia mencari Tuhannya yang ia temukan pada hembusan nafas detik terakhirnya. Sebaliknya, Ofa juga menuliskan puisi, di mana dalam hemat saya adalah untuk Arkie, dengan judul Bermuka Hitam- Manusia yang bermuka hitam/yang memegang buku paling suci/ia selalu membacanya ketika malam/namun beribu-ribu kali ia baca/ia tak tahu makna yang dikandungnya/namun/ketika ia hampir putus asa/ketika matanya hampir terpejam untuk selamanya/di detik-detik terakhir/ia menemukan lebih dari yang ia cari/sebuah makna/yang lebih berharga daripada/seluruh makna di muka bumi ini/hingga akhirnya/ia tak bisa melihat apa-apa lagi.
Di sini akan nampak adanya kesamaan substansi dari puisi Arkie dan Ofa. Arkie menulis dalam hembusan detik nafas terakhir kutemukan diri-Nya , dalam bait puisi Ofa juga kita temukan ketika ia hampir putus asa/ketika matanya hampir terpejam untuk selamanya/di detik-detik terakhir/ia menemukan lebih dari yang ia cari. Jika dicermati bahasa Arkie, proses pencariannya yang mencari di dalam tanah, kemudian merobek angkasa, seterusnya merobek dirinya. Dan pada bait terakhirnya ia berada dalam hatiku yang tak bisa kulihat dengan mata duniawi adalah bahasa penemuan yang tidak terduga, setelah dihampiri keputus-asaan dan itu dibahasakan oleh Ofa, sebagai adik yang ditinggal pergi (untuk selamanya), dalam bait-bait puisinya.
Di sini jelas bahwa saya tidak bisa membahasakan demikian karena ada ikatan emosional yang berbeda antara saya dengan Arkie dan antara Ofa dengan Arkie. Oleh karena itu, saya seharusnya tidak lagi berstatus sebagai ‘tersangka’.
Yogyakarta, 8 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar