Belajar dari Tukang Sayur dan Tingkah
Politisi
Darwin
Agama menebarkan empati pada sesama,
sedangkan uang ingin menaklukkan sesama
(Dari
kaver buku The Wisdom of Life, Komaruddin Hidayat)
Dentingan
mangkuk, pencetan terompet, dan suara tukang sayur. Itulah bunyi-bunyian nan
menghibur yang menemani saya setiap paginya, selain suara bantingan koran yang
mengenai pintu kamar kos saat koran langganan saya diantar oleh loper koran.
Bunyi-bunyian yang penuh makna ini terjadi di selingkaran kos penulis di Gang Ontorejo,
Jalan KP Tendean, Wirobrajan, Yogyakarta, atau tepatnya sebelah selatan pasar Klitikan.
Tak berhenti pada bunyi-bunyian ini
saja. Ada makna atau nilai yang lebih besar di sebalik bergemanya suara yang
menyelusup ke telinga saya ini. Bunyi di sini hanya sekadar penanda saja dari
kehadiran penjual roti, tukang sayur, penjaja bubur kacang hijau (burjo), dan
loper koran. Bunyi terompet yang dipencet adalah tanda-tanda lewatnya tukang
roti di depan kos. Mangkuk yang dipukul berulang dengan menggunakan sendok
berarti bapak penjual burjo akan hadir dengan gerobak dorongnya. Kata-kata
“sayuuur! sayuuur!” yang keluar dari mulut penjual sayur keliling menandakan
kehadiran motor bebek dengan bermacam-macam sayuran di atasnya.
Jika
tukang sayur datang, segera saja ibu-ibu akan mengerubungi penjual sayur yang
terlihat masih muda ini. Saya memperkirakan umurnya berada pada kisaran 30-an
tahun. Begitu juga dengan bantingan koran ke pintu, menandakan datangnya bapak
bertubuh kurus, dengan langkah tergesanya yang khas—mungkin karena banyak koran
yang akan diantar kepada pelanggan lainnya—di sebalik pagar berwana hijau depan
kos saya.
Bunyi yang telah akrab di telinga
saya ini telah berlangsung sekitar 4 tahun terakhir. Dan, itu menghibur saya
setiap paginya sambil menyesap secangkir kopi kesukaan dan sedikit kudapan.
Sekali-sekali saya sempatkan untuk menyambangi tukang roti dan penjaja burjo untuk
merasakan nikmatnya roti rasa stroberry dan sensasi burjo yang dijual dengan
harga terjangkau itu. Di waktu lain, saya memperhatikan tukang sayur keliling
dikerumuni ibu-ibu yang dengan cekatan melayani sambil bercanda. Sungguh
suasana yang penuh keakraban! Coba bandingkan dengan transasksi antar-penjual
dan pembeli di supermarket yang menjangkiti manusia modern saat ini yang, hanya
mengandalkan mesin hitung berupa komputer dan senyuman yang dipaksakan itu.
Ibrah
Ada
banyak ibrah (pelajaran) yang didapat
dari fenomena yang terjadi di sekitar kos saya di atas. Di antaranya berkait
ketekunan dan disiplin diri. Saban pagi mereka datang menghampiri pelanggan
selalu dengan jam yang sama. Jam 6 Si Loper Koran, Jam 7 bagi penjual roti, jam
7.30 Bapak burjo, dan setengah jam kemudian Si Penjaja Sayur.
Ketekunan plus disiplin nan tinggi
ini tentu saja tidak kita temui pada penyelenggara negara kita. Para elite negara
kita di lingkaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif menghidupi keluarga
mereka dengan cara menipu rakyat kecil. Anggota DPR melakukan titip absen, para
bupati memanipulasi anggaran untuk menambah pundi-pundi, dan para hakim yang
memutuskan perkara pun tidak mau ketinggalan dengan putusan-putusan
kontroversialnya. Putusan yang mencederai keadilan. Sedangkan Presiden sibuk
bersolek memulas wajah dengan “bedak” citra, tidak peduli bencana, kemiskinan, dan
kebodohan menghampiri rakyatnya.
Bandingkan dengan yang terjadi di
dekat kos saya di atas. Tukang sayur, penjual roti, loper koran, dan penjaja
burjo. Mereka-mereka ini menjalankan keseharian mereka dengan disiplin, tekun,
serta ikhlas. Tidak peduli uang yang didapatkan. Yang penting pekerjaan
dijalani dengan tulus hati. Bekerja di jalan kebenaran, jalan yang diridhoi
Allah Swt. Selama empat tahun, saban pagi, profesi ini dijalani dengan rasa
syukur. Tidak mengambil hak orang lain laiknya politisi. Selalu dekat di hati
para pelanggan dengan senyum mengembang, senyum alami tanpa dibuat-buat seperti
(lagi-lagi) politisi kita di televisi.
Para
elite kita sangat jarang melakukan seperti yang dicontohkan Pak Burjo, tukang
sayur, loper koran, dan penjaja roti di atas. Mereka enggan berdekatan dengan
rakyat? Malah yang dilakukan adalah menjauhkan diri, berlindung di balik gedung
ber-AC ala Senayan atau Istana dengan tampilan necis, bau tubuh harum, dan
aksesori melingkar berharga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Jika keluar
dari gedung, mobil harga milyaran telah menanti dengan kaca hitam tak tembus
pandang. Kapan menemui rakyat? Cukup di kala Pemilu saja! Wallahu a’lam bi al-shawab. 16 2 2013, 6.35 PM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar