Selasa, 26 Februari 2013

Belajar dari Tukang Sayur dan Tingkah Politisi



Belajar dari Tukang Sayur dan Tingkah Politisi
Darwin
Agama menebarkan empati pada sesama,
sedangkan uang ingin menaklukkan sesama
(Dari kaver buku The Wisdom of Life, Komaruddin Hidayat)         
Dentingan mangkuk, pencetan terompet, dan suara tukang sayur. Itulah bunyi-bunyian nan menghibur yang menemani saya setiap paginya, selain suara bantingan koran yang mengenai pintu kamar kos saat koran langganan saya diantar oleh loper koran. Bunyi-bunyian yang penuh makna ini terjadi di selingkaran kos penulis di Gang Ontorejo, Jalan KP Tendean, Wirobrajan, Yogyakarta, atau tepatnya sebelah selatan pasar Klitikan.
            Tak berhenti pada bunyi-bunyian ini saja. Ada makna atau nilai yang lebih besar di sebalik bergemanya suara yang menyelusup ke telinga saya ini. Bunyi di sini hanya sekadar penanda saja dari kehadiran penjual roti, tukang sayur, penjaja bubur kacang hijau (burjo), dan loper koran. Bunyi terompet yang dipencet adalah tanda-tanda lewatnya tukang roti di depan kos. Mangkuk yang dipukul berulang dengan menggunakan sendok berarti bapak penjual burjo akan hadir dengan gerobak dorongnya. Kata-kata “sayuuur! sayuuur!” yang keluar dari mulut penjual sayur keliling menandakan kehadiran motor bebek dengan bermacam-macam sayuran di atasnya.
Jika tukang sayur datang, segera saja ibu-ibu akan mengerubungi penjual sayur yang terlihat masih muda ini. Saya memperkirakan umurnya berada pada kisaran 30-an tahun. Begitu juga dengan bantingan koran ke pintu, menandakan datangnya bapak bertubuh kurus, dengan langkah tergesanya yang khas—mungkin karena banyak koran yang akan diantar kepada pelanggan lainnya—di sebalik pagar berwana hijau depan kos saya.
            Bunyi yang telah akrab di telinga saya ini telah berlangsung sekitar 4 tahun terakhir. Dan, itu menghibur saya setiap paginya sambil menyesap secangkir kopi kesukaan dan sedikit kudapan. Sekali-sekali saya sempatkan untuk menyambangi tukang roti dan penjaja burjo untuk merasakan nikmatnya roti rasa stroberry dan sensasi burjo yang dijual dengan harga terjangkau itu. Di waktu lain, saya memperhatikan tukang sayur keliling dikerumuni ibu-ibu yang dengan cekatan melayani sambil bercanda. Sungguh suasana yang penuh keakraban! Coba bandingkan dengan transasksi antar-penjual dan pembeli di supermarket yang menjangkiti manusia modern saat ini yang, hanya mengandalkan mesin hitung berupa komputer dan senyuman yang dipaksakan itu.  

Ibrah
            Ada banyak ibrah (pelajaran) yang didapat dari fenomena yang terjadi di sekitar kos saya di atas. Di antaranya berkait ketekunan dan disiplin diri. Saban pagi mereka datang menghampiri pelanggan selalu dengan jam yang sama. Jam 6 Si Loper Koran, Jam 7 bagi penjual roti, jam 7.30 Bapak burjo, dan setengah jam kemudian Si Penjaja Sayur.
            Ketekunan plus disiplin nan tinggi ini tentu saja tidak kita temui pada penyelenggara negara kita. Para elite negara kita di lingkaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif menghidupi keluarga mereka dengan cara menipu rakyat kecil. Anggota DPR melakukan titip absen, para bupati memanipulasi anggaran untuk menambah pundi-pundi, dan para hakim yang memutuskan perkara pun tidak mau ketinggalan dengan putusan-putusan kontroversialnya. Putusan yang mencederai keadilan. Sedangkan Presiden sibuk bersolek memulas wajah dengan “bedak” citra, tidak peduli bencana, kemiskinan, dan kebodohan menghampiri rakyatnya.
            Bandingkan dengan yang terjadi di dekat kos saya di atas. Tukang sayur, penjual roti, loper koran, dan penjaja burjo. Mereka-mereka ini menjalankan keseharian mereka dengan disiplin, tekun, serta ikhlas. Tidak peduli uang yang didapatkan. Yang penting pekerjaan dijalani dengan tulus hati. Bekerja di jalan kebenaran, jalan yang diridhoi Allah Swt. Selama empat tahun, saban pagi, profesi ini dijalani dengan rasa syukur. Tidak mengambil hak orang lain laiknya politisi. Selalu dekat di hati para pelanggan dengan senyum mengembang, senyum alami tanpa dibuat-buat seperti (lagi-lagi) politisi kita di televisi.
Para elite kita sangat jarang melakukan seperti yang dicontohkan Pak Burjo, tukang sayur, loper koran, dan penjaja roti di atas. Mereka enggan berdekatan dengan rakyat? Malah yang dilakukan adalah menjauhkan diri, berlindung di balik gedung ber-AC ala Senayan atau Istana dengan tampilan necis, bau tubuh harum, dan aksesori melingkar berharga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Jika keluar dari gedung, mobil harga milyaran telah menanti dengan kaca hitam tak tembus pandang. Kapan menemui rakyat? Cukup di kala Pemilu saja! Wallahu a’lam bi al-shawab. 16 2 2013, 6.35 PM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar