Makan Malam Bersama
Ebiet G. Ade
Ahmad Sahide
Tanpa
bermaksud mengagung-agungkan, tetapi bagi kebanyakan orang, makan bareng atau
bisa ngobrol dekat dengan artis terkenal dan papan atas adalah suatu
keistimewaan tersendiri. Momen itu akan diabadikan dengan mengambil gambar
bersama. Kurang lebih seperti itu barangkali.
Tadi malam, Ahad, 20 Januari 2013,
saya punya kesempatan yang diistemewakan oleh banyak orang tersebut, yaitu
makan malam sambil ngobrol banyak dengan pelantun lagu “Camelia.” Dialah Ebiet
G. Ade. Penyanyi senior yang cukup berbeda. Ada kesan tersendiri bagi saya secara
pribadi akan sosoknya ketika makan malam, saya duduk persis di depannya, tadi
malam di rumah makan “Valley Bambu,” di daerah belakang Ambarukmo Plaza. Kesan
itulah barangkali yang akan saya abadikan dari momen tersebut.
Bagaimana Ceritanya?
Cerita pertemuan dan makan malam
bersama Ebiet ini berlangsung di luar dugaan saya. Ceritanya seperti ini,
sehabis sholat Magrib, saya ke Komunitas Belajar Menulisku (KBM), agenda kami
memang setiat minggu malam. Baru beberapa menit sampai di markas, Pak Nizam
Effende datang dan menanyaiku akan agenda apa yang saya punya tadi malam. Saya
lalu bertanya balik, karena penasaran. Pak Nizam pun, ayah dari Ofadhani Afwan
yang menulis buku puisi “1001 Puisi Untukmu,” mengajak saya makan malam dengan
Ebiet G. Ade. Katanya ia baru dihubungi oleh Ebiet untuk makan malam. Tujuan
lainnya, selain silaturrahim, adalah Ofadhani Afwan akan diajaknya meminta
tandatangan Ebiet di buku yang baru ia terbitkan. Juga meminta Endorsment jika
suatu saat nanti memungkinkan untuk terbit ulang edisi kedua.
Saya sempat berpikir sejenak, ada
keraguan meninggalkan agenda dari komunitasku. Tapi akhirnya saya putuskan ikut
bersama Ofa dan pak Nizam memenuhi undangan Ebiet G. Ade. Kami pun bertiga ke
Hotel Santika, baru ke warung makan “Valley Bambu,” dengan mobil beriringan.
Kurang lebih tiga puluh menit, rombongan yang kurang lebih lima belas orang ini
pun tiba di lokasi. Tempat yang sangat nyaman dan nikmat untuk wisata makan
malam sambil rifreshing tentunya. Entah sengaja atau kebetulan, begitu kami
tiba, lagu-lagu Ebiet sedang diputar, menyambut kedatangan kami.
Kegelisahan Ebiet
Hal yang membuat saya terkesan dengan Ebiet adalah sosoknya yang
sederhana dan santai. Dalam berkomunikasi dengan yang lain, seolah ia tidak
sadar kalau dirinya adalah penyanyi terkenal. Setelah memesan menu kesukaan
masing-masing. Ia pun diminta membubuhkan tandatangannya di buku Ofa, juga
memberikan beberapa komentar. Tidak lupa mengambil gambar tentunya. Saya, Ofa,
dan Pak Nizam gantian berfoto bareng dengan Ebiet. Saya memerhatikan,
sepertinya para crew “Valley Bambu” tidak sadar kalau mereka sedang
‘kedatangan’ seorang artis terkenal.
Ebiet pelan-pelan mulai bercerita. Ia menceritakan kegelisahannya akan
industri musik Indonesia yang sangat kapitalis. Dari Ebiet saya tahu bahwa para
artis atau band-band yang baru muncul, jika ingin tampil di program “dahsyat,”
mereka harus membayar mahal. Itu penuturannya. “Ngapain saya harus ada di sana?”
kalimatnya dengan bahasa tubuh yang memberikan penilaian negatif dari program
yang digandrungi anak-anak muda tersebut. Dari sini, kesan pertama saya dengan
Ebiet adalah dia seorang musisi (artis) yang memiliki idelisme.
Para artis pendatang baru seharusnya banyak belajar dari dia bahwa
mempertahankan idealisme dalam dunia industri musik bukan berarti tidak bisa
eksis. Ebiet adalah bukti dan contohnya yang masih bisa tetap eksis di usianya
yang cukup tua. Ebiet bisa eksis sampai sekarang, sejak tahun 80-an, dengan
idealisme dan kualitas dari lagu-lagunya. Berbeda dari artis-artis yang
terkadang hanya menjual sensasinya; meledak kemudian tenggelam.
Setelah ngobrol santai kurang lebih satu jam lamanya, para crew “Valley
Bambu” sepertinya baru menyadari akan keberadaan Ebiet yang mereka harus
layani. Mereka pun pada berdatangan mengambil gambar Ebiet sedang ngobrol, juga
meminta tandatangan dan komentarnya di kertas putih yang disodorkan oleh satu
satu crew. Tandatangan Ebiet tentu akan memiliki nilai komersil untuk “Valley
Bambu.” Lagi-lagi kapitalisme. Tetapi sepertinya Ebiet masih dapat menoleransi
hal tersebut.
Yogyakarta, 21 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar