Selasa, 22 Januari 2013

Makan Malam Bersama Ebiet G. Ade



Makan Malam Bersama Ebiet G. Ade
Ahmad Sahide
            Tanpa bermaksud mengagung-agungkan, tetapi bagi kebanyakan orang, makan bareng atau bisa ngobrol dekat dengan artis terkenal dan papan atas adalah suatu keistimewaan tersendiri. Momen itu akan diabadikan dengan mengambil gambar bersama. Kurang lebih seperti itu barangkali.
            Tadi malam, Ahad, 20 Januari 2013, saya punya kesempatan yang diistemewakan oleh banyak orang tersebut, yaitu makan malam sambil ngobrol banyak dengan pelantun lagu “Camelia.” Dialah Ebiet G. Ade. Penyanyi senior yang cukup berbeda. Ada kesan tersendiri bagi saya secara pribadi akan sosoknya ketika makan malam, saya duduk persis di depannya, tadi malam di rumah makan “Valley Bambu,” di daerah belakang Ambarukmo Plaza. Kesan itulah barangkali yang akan saya abadikan dari momen tersebut.

Bagaimana Ceritanya?
            Cerita pertemuan dan makan malam bersama Ebiet ini berlangsung di luar dugaan saya. Ceritanya seperti ini, sehabis sholat Magrib, saya ke Komunitas Belajar Menulisku (KBM), agenda kami memang setiat minggu malam. Baru beberapa menit sampai di markas, Pak Nizam Effende datang dan menanyaiku akan agenda apa yang saya punya tadi malam. Saya lalu bertanya balik, karena penasaran. Pak Nizam pun, ayah dari Ofadhani Afwan yang menulis buku puisi “1001 Puisi Untukmu,” mengajak saya makan malam dengan Ebiet G. Ade. Katanya ia baru dihubungi oleh Ebiet untuk makan malam. Tujuan lainnya, selain silaturrahim, adalah Ofadhani Afwan akan diajaknya meminta tandatangan Ebiet di buku yang baru ia terbitkan. Juga meminta Endorsment jika suatu saat nanti memungkinkan untuk terbit ulang edisi kedua.
            Saya sempat berpikir sejenak, ada keraguan meninggalkan agenda dari komunitasku. Tapi akhirnya saya putuskan ikut bersama Ofa dan pak Nizam memenuhi undangan Ebiet G. Ade. Kami pun bertiga ke Hotel Santika, baru ke warung makan “Valley Bambu,” dengan mobil beriringan. Kurang lebih tiga puluh menit, rombongan yang kurang lebih lima belas orang ini pun tiba di lokasi. Tempat yang sangat nyaman dan nikmat untuk wisata makan malam sambil rifreshing tentunya. Entah sengaja atau kebetulan, begitu kami tiba, lagu-lagu Ebiet sedang diputar, menyambut kedatangan kami.

Kegelisahan Ebiet

              Hal yang membuat saya terkesan dengan Ebiet adalah sosoknya yang sederhana dan santai. Dalam berkomunikasi dengan yang lain, seolah ia tidak sadar kalau dirinya adalah penyanyi terkenal. Setelah memesan menu kesukaan masing-masing. Ia pun diminta membubuhkan tandatangannya di buku Ofa, juga memberikan beberapa komentar. Tidak lupa mengambil gambar tentunya. Saya, Ofa, dan Pak Nizam gantian berfoto bareng dengan Ebiet. Saya memerhatikan, sepertinya para crew “Valley Bambu” tidak sadar kalau mereka sedang ‘kedatangan’ seorang artis terkenal.
Ebiet pelan-pelan mulai bercerita. Ia menceritakan kegelisahannya akan industri musik Indonesia yang sangat kapitalis. Dari Ebiet saya tahu bahwa para artis atau band-band yang baru muncul, jika ingin tampil di program “dahsyat,” mereka harus membayar mahal. Itu penuturannya. “Ngapain saya harus ada di sana?” kalimatnya dengan bahasa tubuh yang memberikan penilaian negatif dari program yang digandrungi anak-anak muda tersebut. Dari sini, kesan pertama saya dengan Ebiet adalah dia seorang musisi (artis) yang memiliki idelisme.
Para artis pendatang baru seharusnya banyak belajar dari dia bahwa mempertahankan idealisme dalam dunia industri musik bukan berarti tidak bisa eksis. Ebiet adalah bukti dan contohnya yang masih bisa tetap eksis di usianya yang cukup tua. Ebiet bisa eksis sampai sekarang, sejak tahun 80-an, dengan idealisme dan kualitas dari lagu-lagunya. Berbeda dari artis-artis yang terkadang hanya menjual sensasinya; meledak kemudian tenggelam. 
Setelah ngobrol santai kurang lebih satu jam lamanya, para crew “Valley Bambu” sepertinya baru menyadari akan keberadaan Ebiet yang mereka harus layani. Mereka pun pada berdatangan mengambil gambar Ebiet sedang ngobrol, juga meminta tandatangan dan komentarnya di kertas putih yang disodorkan oleh satu satu crew. Tandatangan Ebiet tentu akan memiliki nilai komersil untuk “Valley Bambu.” Lagi-lagi kapitalisme. Tetapi sepertinya Ebiet masih dapat menoleransi hal tersebut.
Yogyakarta, 21 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar